Lima belas menit telah berlalu sejak pembagian angket yang menurut Alvaro sangatlah tidak jelas. Entah apa pula tujuan Tristan membagikan tiga lembar kertas dengan berbagai macam pertanyaan tersebut. Sedangkan satu lembar lagi, hanya kertas kosong. Katanya, lembaran itu akan diisi dengan pernyataan dari masing-masing pemilik nama.
Sementara itu, Tristan telah pergi ke lantai dua. Dimana kamar Irvan berada. Yudhistira dan Tatang mendapat tugas untuk mengawasi jalannya pengisian angket agar tetap berjalan efektif. Mereka ditinggalkan dalam keadaan hening meskipun tadi sempat protes terhadap kegiatan ini.
Alvaro memperhatikan lembar tersebut lamat-lamat. Ah, pertanyaan macam apa ini? Haruskah ia menjawab semua pertanyaan yang tentu akan mengungkapkan kehidupan pribadinya? Alvaro tentu tidak sudi jika ada orang lain yang mengetahui kisah hidupnya yang jauh dari kata bahagia dan sempurna.
Apakah kamu memiliki orangtua dan keluarga yang peduli?
Bagaimanakah cara mereka mendukungmu selama ini?
Seringkah kamu berselisih paham dengan mereka?
Apakah kamu dekat dengan orangtuamu?
Apakah kamu pernah mendapatkan tekanan dari mereka?
Seberapa sayangkah kamu dengan kedua orangtuamu?
SRAKK!!!
Bunyi suara sobekan kertas itu seketika menjadi pusat perhatian. Semua yang menunduk jadi mendongak demi melihat sumber pembuat kebisingan. Siapa lagi? Kalau bukan Alvaro Marfellio?
“Sekolah serius ngasih beginian?” tanyanya dengan raut wajah yang mengeras. Kemudian, tatapannya beradu dengan milik Arsa yang terlihat sendu.
“ARSA!” Yang dibentak tentu tersentak. Mendengar suara Alvaro yang menggelegar membuat ia sedikit gemetar.
“Kenapa, Alvaro? Arsa ada salah?” tanyanya bingung. Namun Alvaro malah berdiri dan tertawa. Langkah kakinya membawa ke arah meja Arsaka yang hanya berjarak tiga langkah.
Tanpa disangka, angket milik Arsaka direbut oleh Alvaro.
“Alvaro Marfellio!” Yudhistira menegur Alvaro untuk tidak membuat keributan. Namun pria itu mengabaikannya.
Tatapan tak percaya sungguh terpampang jelas pada sorot Alvaro. Ia sungguh tak habis pikir dengan jawaban yang Arsa tuliskan atas beberapa pertanyaan menyebalkan tadi.
"Lo serius jawab gini?" Semua diam. Termasuk Arsaka sendiri.
SRAAKK!!!
Kertas milik Arsa tiba-tiba malah ikut dirobek oleh Alvaro. Sungguh, ia merasa angket ini hanya akan membuat mereka terlihat malang di mata orang-orang yang nanti akan memeriksa jawaban mereka. Pertanyaan dengan jawaban yang tertulis ini sangat memuakkan. Bisa-bisanya mereka memberikan soal ini pada mereka yang bermasalah dengan orangtuanya. Terlebih pada Arsaka. Mau jawab apa dia?
"Lo semua berdiri," ucap Alvaro pada kawannya. "Kita keluar dari sini. Gue udah nggak betah!" lanjut pemuda itu sembari menatap sinis pada Tatang dan Yudhistira.
Dua utusan itu menghela napas. Mereka bukannya tak tahu apa yang dipermasalahkan dengan pemuda ini. Tujuan Aliansi ada dua saat memutuskan untuk memberikan angket tersebut. Satu, sejauh mana hubungan antara anak dan orangtua. Dua, sejauh mana rasa simpatinya terhadap Arsaka Laksana.
Tapi, kalau untuk Alvaro, ini beda cerita. Selain menjunjung harga dirinya begitu tinggi, dia yang tampak paling keras itu nyatanya berhati lembut dan pengertian. Ia juga sangat teliti dan cepat dalam mengamati pertanyaan pada lembar kedua tersebut.
“Ayo, kita pulang ke asrama!” Alvaro mengulang ajakannya saat tak kunjung mendapatkan respon apapun.
"Emangnya lo tau kemana arah jalan pulang? Bahkan taksi aja gak ada di sini, Var." Senan menjawab Alvaro sesuai dengan apa yang sudah ia perhatikan tadi siang. Lokasi ini begitu terpencil dan sepi. Terlebih sekarang sudah malam hari. Pasti sunyi.
Semua menghela napas. Mereka juga merasa sendu saat membaca soal-soal tersebut. Selain memikirkan hubungan dengan orangtua, mereka juga memikirkan bagaimana Arsaka akan menjawab pertanyaan itu?
"Ada apa ribut-ribut?" Tristan yang baru saja kembali pun bertanya. Ia lihat robekan-robekan kertas yang berserakan di lantai. Ah, tebakannya benar. Ia memang sengaja menaruh pertanyaan tersebut di angket. Tristan dan yang lain ingin menyaksikan seberapa peduli pemuda-pemuda tersebut pada sosok Arsaka yang yatim piatu.
"Angket ini gak berguna! Cuma sampah!" Telak Alvaro menunjuk Angket Senan yang masih tergeletak di atas meja. Napasnya memburu tak suka menatap Tristan, Yudhistira, dan Tatang.
Tristan mengangguk-angguk paham. Namun semakin membuat mereka semua bingung. "Irvan demam. Saya lihat dia menggigil," ucap Tristan memberitahu.
Mereka pun menatap kaget. Padahal tadi sore anak itu masih baik-baik saja. Ya selain luka lebam tersebut tentunya.
Alvaro berdecak. Ada saja yang menghalangi mereka untuk kabur. Entah itu rencana Aliansi, ataupun rencana semesta.
Yang tak disangka, Lino malah ikut berdiri dan langsung berlari ke arah anak tangga. Ia ingin menjumpai Irvan yang katanya sedang sakit. Ya... solidaritas dan kesetiaan mereka nyatanya memang cukup kuat.
"Kalian boleh kembali ke atas. Tidak usah diselesaikan angket tersebut. Pembahasan masalah kasus tuduhan pembullyan itu, besok pagi saja dibahas. Sekarang kalian istirahat." Tristan menjelaskan dengan raut tenangnya.
"Tatang, tolong panggilkan dokter. Tadi saya sudah bantu kompres, tapi dia masih menggigil." Tatang mengangguk paham dan kemudian berjalan sedikit menjauh utnuk menelepon dokter.
Perasaan gundah semakin tumbuh besar dalam rongga dada Arsaka. Apakah Irvan sakit karenanya? Ia ingin segera menghampiri. Tapi orangtua ini belum selesai berbicara. Tak sopan pula nanti rasanya. Toh, lagian sudah ada Lino yang berlari menyusul Irvan terlebih dahulu. Arsaka bisa menahan diri sebentar lagi.
"Silahkan bubar," ucap Tristan kemudian. Membuat semuanya langsung bergerak cepat meningalkan ruang belajar, kecuali Nuel.
"Nuel," Saat di ujung pintu keluar, Nuraga menyadari bahwa karibnya itu masih diam duduk membisu di bangku. "Lo nggak ikut?" tanya Nuraga kemudian. Tentu hal ini tak lepas dari perhatian Tristan dan Yudhistira.
Nuel menoleh. "Gue mau ngisi angket ini," jawabnya santai. Lalu tatapan Nuel kembali fokus pada kertas tersebut. Membuat Nuraga menghela napas berat.
"Oke." Nuraga pun meninggalkan Nuel di dalam ruangan itu. Lagian ia juga ingin lekas beristirahat. Namun, jauh dalam lubuk hati Nuraga, ia tahu. Bahwa Nuel yang terlihat paling ringan bebannya itu, ia sedang tidak baik-baik saja. Ada beban tersendiri yang tak mau ia bagi. Biar saja ia pikul sendiri. Begitu pikir Nuel selalu.
"Boleh 'kan, kalau saya isi angket ini sampai selesai?" tanya Nuel pada Tristan. Mau tak mau, pria itu pun hanya bisa mengangguk.
Para siswa teratas Garuda Pancasila, nyatanya memiliki beban pada masing-masingnya.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
©ebbyyliebe