Antara Cinta dan Teman Hidup

rofenaa
9 min readJan 13, 2023

--

Waktu telah menunjukkan pukul 7 malam. Kediaman Desra yang masih cukup sering Najmi sambangi meski sudah menikah tersebut tampak cukup ramai. Ghandi bahkan turut hadir ke rumah orang tuanya saat Ratna mengabari ada Abbas di sini. Kakak ipar Adibya sekaligus kawannya sewaktu SMA tersebut memang sangat menyukai sosok Abbas. Mereka begitu akrab. Terlebih, sudah hampir dua minggu lamanya Ghandi tak bertemu dengan ponakannya itu. Jadilah sepulang kantor, ia langsung mengarahkan kemudinya ke rumah ini.

Suasana meja makan pun tampak hangat. Acara makan malam bersama keluarga besar yang terlaksana secara dadakan ini sedikit banyak membuat Jafar juga merasa terhibur. Rasa suntuknya perlahan terusir. Tak ada lagi ringisan dan rintihan manja yang keluar dari lisannya pada sang Bunda.

Najmi yang sangat tahu bahwa suaminya itu tak terbiasa makan malam, hanya menyendokkan satu centong nasi ke piring Adibya. Ia paham betul bahwa sang suami pasti sungkan apabila tak turut menyuap makanan yang sudah disiapkan oleh mertuanya.

“Makasih, Dek.” Najmi hampir saja memukul suaminya itu dengan centong nasi. Sebab bisa-bisanya berucap demikian dengan raut wajah yang seolah tak terjadi apa-apa di antara mereka sebelum kemari. Namun tak hanya sampai di situ, panggilan Adibya tadi berhasil menjadi bahan ledekan Jafar yang ditimpali sang Papi. Katanya, “ceilah, manis bener!” karena memang pada nyatanya, mereka jarang mendengar Adibya memanggil Najmi dengan sebutan demikian.

Maka mau tak mau Najmi hanya bisa terkekeh malu. Padahal dulu sebelum menikah, dia lah yang sering mempermalukan diri sendiri. Contohnya saja seperti mengecup bibir Adibya tanpa izin, atau menggombalinya dengan cara meminta cium pipi di depan Ghandi kala itu.

“Masih ngambek?” bisik Adibya bertanya saat orang-orang tengah sibuk menyendok lauk. Najmi yang mendengar itu pun tak menggubris. “Udah, kamu makan aja mending,” sahutnya usai menyendokkan lauk ke piring suaminya tersebut.

Adibya pun mencebik samar. Ia pasrah menuruti kemauan sang Istri. Tak lama, makan malam pun berlangsung khidmat.

“Eh, cucu Nenek ‘kan sebentar lagi mau ulang tahun … jadinya mau kado apa, nih?” Anggun bertanya kepada satu-satunya cucu di keluarga Desra.

Lantas yang sedang mengunyah potongan melon pun langsung menoleh pada sang Mama. Ia duduk di antara kedua orang tuanya. Sorot mata Abbas bahkan menatap lama, lalu mengulas senyum kecil usai menelan kunyahannya.

“Abang mau adek.”

Sontak semburan tawa dari tiap-tiap manusia yang menghuni ruang makan pun terdengar. Abbas meminta dengan begitu polosnya hingga membuat Najmi nyaris tersedak. Sedang Adibya hanya tersenyum sembari menyodorkan segelas air putih untuk istrinya itu. Lalu usapan kepala pun ia berikan pada anaknya dengan perasaan gemas.

“Tuh, dengerin!” Khaffa menimpali percakapan. Ghandi bahkan turut mengode Ratna agar mereka juga bisa cepat dapat momongan.

“Selain adek, Abang mau apa?” Najmi bertanya usai meneguk air putih.

Abbas pun berguman seraya menggulirkan matanya tanda sedang berpikir. “Apa aja Abang terima, sih. Soalnya kata Papa, hadiah itu ‘kan salah satu bentuk pemberian dan apresiasi. Sifatnya nggak boleh memaksa. Jadi Mama mau ngasih apa pun, pasti Abang terima. Yang penting Mama ikhlas ngasihnya buat Abang.”

Mungkin ini bukan yang pertama, namun tak ada satu pun dari mereka yang tak takjub atas jawaban dari bocah yang nyaris menginjak usia 6 tahun tersebut. Lagi-lagi Abbas mengundang decak kagum dari tiap-tiap penghuni ruang makan saat ini. Bahkan Adibya saja tetap terpukau dengan daya ingat dan kemampuan pemahaman Abbas yang sangat kuat.

“Buset, Dib. Lo kasih makan apaan ponakan gue ampe segini pinternya?” Ghandi tentu turut berkomentar. Ini lah salah satu alasan mengapa ia sangat menyukai Abbas. Kemampuannya dalam menyusun kata dan mengingat nasihat baik sang Papa benar-benar patut untuk diapresiasi.

“Gimana nggak pinter orang bapaknya aja Mas Adib,” sahut Ratna turut menimpali ucapan suaminya.

Ghandi pun terkekeh. “Gue jadi curiga, apa jangan-jangan lo ngajarin Abbas baca tuh malah pake buku self improvement lagi?!” tudingnya yang dihadiahi decakan dari Najmi. “Nggak sekalian aja lo bilang Mas Adib ngajarin Abbas pake Kitab Undang-Undang!” sahutnya kemudian. Adibya yang mendengar istrinya meladeni candaan Ghandi pun hanya menggeleng sembari meraih semangka untuk ia santap.

Sedangkan Abbas, anak yang menjadi topik pembahasan utama pun meniru aktivitas sang Papa. Usai menghabiskan melon, ia juga mau semangka. Senyumnya mengembang sebab Adibya juga berikan senyum yang tak kalah manis dan penuh ketulusan. “Hati-hati, ya, nanti belepotan,” ucapnya memperingati sang anak.

Tak lama, usai makan malam berakhir, Adibya pun turut bergabung bersama Khaffa dan Ghandi di teras belakang. Mereka sibuk membahas progres bisnis dan pekerjaan masing-masing. Tak jarang lemparan lelucon ala para lelaki turut menghiasi konversasi. Maka jika menurut Adibya selera humornya dengan Ghandi berbeda, maka menurut lelaki itu candaan Adibya adalah jokes pinggir jurang. Tema leluconnya tak jauh-jauh dari aparat, penegakkan keadilan, dan sistem pemerintahan di negara mereka yang jauh dari kata baik-baik saja. Oleh sebab itu lah, humor dua orang kawan lama itu sangat jauh berbeda.

Sementara, Jafar bermain dengan Abbas di ruang tengah. Lelaki yang tadinya seperti orang tak punya semangat hidup itu tampak begitu semangat mengenalkan koleksi mobil mainannya pada sang ponakan. Sedang para perempuan dewasa (Anggun, Najmi, dan Ratna) sibuk membicarakan program kehamilan.

“Mobil kamu tinggal di sini dulu. Kita pulang bareng. Besok minta tolong Pak Joko aja yang jemput.” Begitulah kira-kira hasil diskusi singkat antara Najmi dan Adibya sebelum mereka berpamitan.

Kendaraan roda empat milik Adibya pun melesat membelah jalanan yang ramai meski langit kelam mulai menumpahkan tangisnya. Udara dingin yang terasa lembab tentu tak dibiarkan masuk. Adibya tutup rapat-rapat seluruh kaca mobilnya dan lebih memilih untuk menggunakan AC.

Sepanjang perjalanan pulang, kendaraan ini hanya diramaikan dengan celotehan Abbas yang menceritakan deretan koleksi mobil mainan milik Uncle Jafar. Sesekali Adibya turut menimpali. Abbas sangat bersemangat duduk di bangku belakang dengan sabuk pengaman yang tak lupa Najmi pasangkan.

“Abang main sendiri dulu, ya, di kamar? Mama mau siapin baju Papa dulu.” Ketika telah menginjakkan kaki di singgasana mereka, Najmi pun berkata demikian pada anaknya. Abbas pun tentu menyanggupi tanpa berat hati. Lagian ia dan Mamanya juga sudah mandi di rumah sang Kakek tadi sore.

“Oh, iya. Papa ‘kan belum mandi!” Lantas usai menyahut dan berpamitan, Abbas pun berlari kecil menuju kamarnya. Tas beruang yang berada di punggung Jagoan Kecil tersebut bergoyang-goyang hingga menambah kesan menggemaskan bagi siapa saja yang memandang.

Najmi melirik ke arah Adibya. “Tuh, anakmu semangat banget karena tau bentar lagi mau ulang tahun,” ucapnya lalu berjalan menuju kamar mereka.

Walaupun Abbas tidak mengharapkan hadiah apapun selain adik, Najmi tentu tahu apa yang sebenarnya anak itu inginkan. Abbas ingin ulang tahunnya dirayakan dengan mengundang teman-teman panti asuhan yang sebulan sekali ia kunjungi bersama Mama dan Papanya. Ia juga ingin mengundang beberapa teman dekatnya di TK. Najmi bahkan juga tahu bahwa barang apa yang sangat diinginkan Abbas akhir-akhir ini.

Namun semua apa artinya, jikalau pesta perayaan ulang tahun yang pertama kali akan diadakan cukup meriah dan ramai ini tak dihadiri oleh sosok paling menginspirasi? Sebesar apa kecewa Abbas nantinya jikalau tahu bahwa sang Papa tidak bisa hadir di pesta perayaan ulang tahunnya yang ke-6?

Maka Adibya yang paham letak kesalahnya pun hanya bisa menghela napas pelan. Ia mengerti mengapa Najmi bisa sesebal ini kepadanya.

“Sini, kita ngobrol dulu.” Sang suami menepuk pinggiran kasur. Ia meminta istrinya untuk duduk berhadapan.

Najmi yang baru keluar dari kamar mandi demi menyiapkan air mandi untuk Adibya pun melayangkan protes. “Ah, nanti aja ngobrolnya. Mending kamu mandi dulu, Mas. Gerah, kan?” Meski sedang dalam keadaan kurang akur, Najmi tetaplah menjalankan baktinya pada sang suami.

“Nanti aja. Mas mau ngobrol dulu sama kamu. Sini,” jawabnya yang lantas menarik pergelangan Najmi dengan lembut agar turut duduk di pinggir ranjang.

Dengan rasa kesal yang masih kentara, Najmi pun hanya bisa berdecak dalam hati. Namun tetap ia turuti permintaan sang suami.

“Kusut banget lho ini dari tadi.” Adibya mengusap dahi Najmi yang sedari sore mengerut sebab merengut. Pelipis dan alis turut ia elus dengan begitu halus sampai raut kesal tersebut rasanya perlahan mengendur.

Sebab, ia paham betul, jikalau Najmi sedang sebal atau mood-nya dalam keadaan buruk, pasti akan sangat jelas terlihat. Contohnya saja seperti ini.

Diperlakukan demikian, Najmi pun menatap suaminya tanpa lepas. Meski sebal masih tersisa, debar jantungnya tak ‘kan pernah bisa berbohong bahwa Najmi tetap berdesir setiap kali Adibya bersikap romantis kepada dirinya.

“Alasan hubungan pernikahan kita masih bertahan sampai saat ini tuh udah masuk ke tahap yang katanya antara cinta dan teman hidup, ya?” Perempuan itu ingat sekali, bahwa suaminya pernah berkata demikian saat anniversary mereka yang ke-7. “Jadi misalkan suatu hari nanti kamu merasa jenuh sama saya, tolong bilang, ya? Karena saya maunya kita tetap saling cinta sampai tua. Nanti sama-sama kita kembangkan lagi rasa yang ada — sebagaimana tergila-gilanya kita sewaktu di awal dulu.”

Dan hal itu selalu dibuktikan oleh usaha Adibya yang selesaikan pertengkaran kecil mereka dengan kepala dingin. Ia selalu bersikap tenang meski Najmi acapkali nyaris hilang kendali. Sebab ia tahu, bahwa istrinya juga sadar kalau pertengkaran di dalam sebuah rumah tangga itu adalah hal yang sangat wajar. Karena pertengkaran hal itu pula lah yang akan menjadi perekat hubungan rumah tangga itu sendiri. Kuncinya, jangan lupa intropeksi diri dan saling meminta maaf setelahnya. Sebab meninggikan ego hanya akan berakhir dapatkan luka.

“Gimana hari ini di kantor? Lancar meeting-nya?” Lihat, bahkan saat ini Adibya bertanya begitu lembut pada istrinya. Meski mereka memang lagi-lagi dihadapi pertikaian kecil, Adibya tak akan pernah lupa untuk menanyakan bagaimana hari orang terkasihnya itu berjalan. Sekaligus, ini adalah percakapan pembuka paling tepat agar mereka bisa lebih rileks saat masuk ke topik pembicaraan inti.

“Lancar kok. Aman-aman aja. Mas Adib gimana emang tadi urusannya di kampus?” Begitu sahutnya balik bertanya. “Ya yang kayak tadi sore Mas bilang,” balasnya santai. Namun kini raut Najmi tak lagi bisa menutupi semburat merah pada wajah. Sebab Adibya, dengan santainya menyelipkan rambut Najmi ke balik daun telinga, lalu mengelus pipi perempuan tersebut dengan senyum tipis yang begitu manis.

“Sekarang Mas udah boleh ngomong masalah tadi belum?” Adibya tak lupa meminta izin. Sebab ia ingin masalah ini lekas selesai sebelum mandi. Ia juga ingin tidur dengan tenang setelahnya.

Anggukan pertanda boleh pun Najmi berikan. Ia butuh penjelasan yang lebih jelas dari sang suami.

“Jadi gini,” ucap Adibya yang sempatkan diri terlebih dahulu demi meraih tangan Najmi untuk ia genggam. “Mas tiga hari di sana itu memang termasuk tanggal 10. Tapi pulangnya hari itu juga, kok. Tapi agak siangan karena paginya harus ketemu beberapa pengurus dulu di sana. Lagian acaranya Abbas juga mulai jam 2 siang, kan? Jadi Mas tetep bisa dateng kok ke ulang tahun anak kita.” Tangan lelaki itu kini bertengger di pundak Najmi. Ia usap bahu istrinya tersebut dengan senyum hangat dan penuh pengertian.

“Tapi ‘kan flight dari Samarinda ke Jakarta itu 3 jam-an, Mas. Belum lagi dari Bandara ke rumah kalau naik mobil bisa 1 jam lebih. Terus dari rumah ke lokasi acaranya Abbas bisa makan waktu 30 menit. Kamu mau berangkat dari sana jam berapa? Seenggaknya jam 9 itu kamu udah duduk anteng di waiting room. Tapi pertemuan itu nggak mungkin bakal kelar jam segitu, kan? Palingan jam segitu mah juga baru mulai. Emangnya nggak bisa apa ditunda dulu? Atau dipadetin kek gitu pas di hari kedua? Jadi tanggal 10 pagi itu kamu tinggal balik aja ke sini tanpa ngurusin yang lain lagi.”

Kemudian hening. Yang terdengar hanya gelak tawa Abbas dari luar. Anak itu pasti sibuk bermain dengan mobil remot kontrol pemberian Jafar beberapa saat lalu.

“Nggak bisa jawab, kan? Kamu mah bilang begitu karena cuma mau nyari alesan. Males!” Lantas Najmi pun berdiri dan memilih berjalan ke arah lemari. Meski sebalnya kian menjadi, lagi-lagi ia tetap bebakti pada sang suami. Dipilihkannya baju tidur dan pakaian dalam untuk Adibya pakai usai mandi nanti.

Namun belum sempat meraih satu gantungan pilihannya, Adibya sudah menyusul dan memeluk Najmi dari belakang tak kalah erat. Lelaki itu meletakkan dagunya di bahu kanan sang istri, lalu bergumam kecil. “Iya, maaf. Tapi Mas bukannya mau cari alesan kok, Dek. Ini beneran. Besok Mas coba telepon orangnya lagi, ya, buat re-schedule. Semoga dia bisa, biar Mas juga fix padetin jadwalnya jadi dua hari.”

“Hm.” Najmi menyahut singkat. Sebab sebenarnya ia tentu tak puas dengan jawaban Adibya yang masih belum pasti.

“Jangan marah, ya, Dek?” pinta Adibya dengan nada yang begitu menggoyahkan pendirian. Namun tetap saja, Najmi masih belum bisa lapang dada sebelum segala sesuatunya mendapat kepastian.

“Lagian Mas, sih. Udah dibilang juga dari jauh hari. Masih aja ada jadwalnya di tanggal segitu. Gimana aku nggak sebel?” Rengkuh itu dilepas Adibya sebab Najmi yang beri gestur penolakan. Ia terdiam memerhatikan saat sang istri berjalan ke arah ranjang demi menaruh pakaian untuk ia pakai nanti.

“Udah, kamu mandi sana. Keburu malem banget. Air hangatnya udah siap tuh.” Lantas Najmi pun meraih ponselnya, lalu berjalan ke arah pintu.

“Nggak mau mandi bareng gitu?” Oh, Adibya. Bisa-bisanya ia melempar bujukan yang demikian saat Najmi masih berada di puncak kekesalan.

“Nggak usah genit! Solo aja kamu di sana! Aku udah mandi di rumah Papi!” sahutnya kemudian melanjutkan langkah ke kamar Abbas.

Adibya yang ditinggalkan begitu saja pun menghela napas panjang. Mau ikut kesal, di sini dia yang salah. Mau meminta pengertian dan toleransi dari Najmi, ia juga tidak sanggup. Sebab acara Abbas dan kerjaannya juga sama-sama penting. Yang ada, jika Najmi didebat balik, mereka akan beradu pendapat kian tajam. Jadilah, mau tak mau, Adibya hanya bisa mengalah dan menurunkan egonya serendah mungkin.

Semoga permintaan Najmi tadi bisa terwujud agar istrinya itu tak lagi merajuk.

Das Sein by ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet