Bujuk Rayu Adibya

rofenaa
8 min readJan 3, 2023

--

Abbas telah lelap. Terhitung satu jam sudah lamanya Adibya menanti kehadiran Najmi di kamar mereka. Namun perempuan yang diharapkan untuk segera muncul demi meluruskan perselisihan pendapat itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Ia lebih memilih menyibukkan diri di ruang studio seni. Najmi berkutat dengan iPad kesayangannya dengan kondisi tangan yang berselancar bebas demi salurkan imajinasi. Dirampungkannya beberapa design baju yang dua hari lalu ingin ia jadikan salah satu produk baru.

Adibya menghela napas panjang. Mau tak mau, ia tutup laptop yang tadinya menampilkan proposal skripsi milik beberapa mahasiswanya tersebut. Ia dipercaya oleh kampus untuk menjadi Dosen Pembimbing 2 hingga harus memeriksa sistematika, metode dan redaksi proposal skripsi sebagai tugasnya. Namun dikarenakan ia yang sejak kemarin sampai besok tidak bisa hadir ke kampus karena urusannya sebagai advokat, terpaksa beberapa mahasiswanya tersebut harus bimbingan secara online.

Sayangnya, saat memeriksa file terakhir, ia tak lagi bisa menaruh fokus. Adibya lekas beranjak dari ranjang dan meletakkan laptopnya ke atas meja. Ia harus menghampiri Najmi demi mempercepat proses penyelesaian perselisihan di antara mereka.

“Masih belum selesai?” Najmi yang sedari tadi hanya ditemani playlist Spotify pilihannya tentu saja tersentak saat tiba-tiba mendapati suara lain. Belum lagi dengan iringan tangan Adibya yang menyentuh bahu kirinya, membuat jantung Najmi seolah berhenti berdetak barang sejenak.

“Eh, maaf, Sayang. Saya bikin kamu kaget, ya?” Lantas diusapnya kepala sang istri dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, sedikit merasa bersalah.

Mmm … udahan dulu, boleh? Kerjaannya dilanjut besok aja.”

Najmi pun berdeham. Kalau sudah dihampiri begini, ia tahu betul gelagat suaminya. Adibya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah mereka. Pokoknya, Adibya ini tipe yang pantang tidur sebelum mencapai titik perdamaian. Mau selarut apapun malam, mau seberapa gelapnya langit, yang jelas mereka harus bicara. Sebab ia tak mau suasana di meja makan besok pagi terasa dingin hingga membuat keduanya tak bersemangat untuk sarapan.

Usai mematikan daya iPad-nya, Najmi pun berdiri dan menatap Adibya yang sedari tadi setia menunggu. Lelaki itu tersenyum lembut dengan mata yang sama sekali tak lepas menatap sang istri. Ia tahu betul bahwa pikiran Najmi Desra tengah berkecamuk dengan segala macam asumsi diri.

Sepanjang melangkah menuju kamar, Najmi masih tetap diam meski Adibya menautkan tangan mereka. Hangat yang tersalurkan, bohong apabila Najmi tak menyukai perilaku suaminya yang seperti ini. Lelaki ini paham betul bagaimana caranya membujuk sang istri.

Setelah Adibya berhasil membangun suasana yang tenang di antara mereka, beserta remangnya lampu tidur yang turut dinyalakan, Najmi pun memilih untuk duduk bersila di tengah ranjang. Disusul sang suami yang duduk berhadapan menatap dirinya. Bahkan Adibya tak ragu untuk menggapai dan menggenggam kedua tangan Najmi.

“Kamu marah, ya, sama saya?”

Ditatap begitu lembut, ditanya begitu halus, dan disayang dengan begitu hebat, bagaimana bisa Najmi tidak akan luluh hanya dengan perlakuan Adibya yang seperti ini? Namun ia tak boleh goyah. Mau bagaimanpun, rasa kesalnya masih belum luruh secara penuh.

Karena tak kunjung dijawab, Adibya pun hanya bisa mengulum senyum. Diusapnya pumggung tangan sang istri dengan begitu pelan. Seolah ia takut bahwa tangan perempuannya ini bisa remuk sewaktu-waktu.

“Saya boleh tau nggak apa yang bikin kamu marah? Biar saya juga ngerti di mana letak kesalahan saya.” Adibya ini sangat tidak tahan jika Najmi sudah memilih diam dan memendamnya sendiri. Ia lebih baik mendengar colotehan Najmi yang menggebu-gebu daripada harus menerima kebisuan yang mendadak datang.

“Adek kesel, ya, sama Mas?”

Sialan, Adibya Lofarsa. Dia berhasil menyerang titik terlemah Najmi Desra hanya dengan kata-kata yang demikian. Dia yang biasa menggunakan kamu-saya, mendadak merubah panggilan kesayangan mereka. Padahal, panggilan Adek dan Mas saat begini benar-benar jarang terlontar. Hanya disaat momen tertentu saja akan tercipta percakapan yang demikian. Misal saat ingin membujuk begini ataupun hendak berbagi peluh.

Diam-diam Najmi pun menyerapahi dirinya sendiri yang terlalu gampang luluh. Bahkan debaran jantungnya kian bertalu-talu sebab satu tangan Adibya yang menangkup pipi kanan. Wajah Najmi berhasil dibuat memerah dan panas seketika.

Namun lelaki itu malah tersenyum kecil saat sadar bahwa Najmi tengah salah tingkah bukan main. Bahkan obsidian favoritnya itu bergerak gelisah, seolah tak mau balas sorot lembut dan seriusnya dalam menatap.

“Dilihat dong, Masnya. Masa ganteng gini mau kamu anggurin?” Tak henti-hentinya Adibya menggoda hingga berhasil timbulkan decakan sebal dari Najmi Desra. Lantas ia pun terkekeh dan mengusak pelan rambut sang istri.

“Kamu tuh, ya! Aku lagi sebel tau nggak?” Najmi mencubit pelan dada suaminya, yang detik berikutnya timbulkan rintih sakit berpura-pura.

Adibya terkekeh. “Iya, tau. Makanya ini saya minta kamu buat cerita. Keselnya sama saya atau bukan?”

Tangan pun kembali bertaut. Adibya genggam milik Najmi dengan begitu lembut. Ditatapnya pula manik sang istri dengan sorot serius. Namun wajahnya tetap terlihat ramah, seolah siap mendengar segala keluh kesah.

“Aku tuh kesel sama diriku sendiri, Mas.” Adibya tentu cukup terkejut. Ia kira, Najmi akan mengaku bahwa dirinya lah yang membuat perempuan itu kesal. Namun ternyata bukan. “Lho, memangnya kenapa? Kok kamu malah kesel sama diri kamu sendiri?”

Najmi menggeleng. Ia hela napasnya yang cukup berat. “Nggak tau. Aku kesel aja sama mindset-ku yang nggak bisa sejalan sama kamu. Cara kita berpikir itu beda, Mas. Bahkan berlawanan. Pun, prinsip hidup kamu itu nggak relate sama pengalamanku waktu sekolah.”

Adibya memilih diam. Ia tunggu Najmi melanjutkan kalimatnya.

“Kamu inget, kan, cerita aku yang dulu pernah jadi korban bullying waktu sekolah? Itu karena aku yang selalu terapin prinsip sabar dari mendiang Mami, Mas.” Najmi memang pernah dikucilkan oleh teman-temannya hanya karena dirinya cantik dan berasal dari keluarga berada. Ia bahkan pernah dijahili dan dipukuli karena sejak awal tak mau melawan. Makanya, persetan dengan kata sabar. Ia harus mengajari Abbas untuk melawan apabila ada yang menjahatinya. Cukup ia saja yang dulu terlalu bodoh dan tak mau membalas. Abbas jangan.

“Aku tuh nggak bisa biarin pola pikir itu juga harus diterapin ke Abbas. Aku nggak mau anak kita punya trust issue yang bahkan bisa berakhir jadi trauma kayak aku.” Karena memang sampai saat ini, teman baik Najmi hanya ada Nabila dan Ratna. Itupun akrab saat mereka kuliah. Jadi, terbayang ‘kan, seberapa sepi dan beratnya masa remaja Najmi?

“Nggak semua masalah bisa dibawa sabar dan ikhlas, Mas Adib. Cuma segelintir orang yang baiknya kayak kamu. Selebihnya, ya kayak aku. Pola pikirku sekarang adalah pola pikir paling realistis. Kamu nggak boleh mendoktrin Abbas buat selalu sabar dan menyelesaikan masalah dengan cara kamu. Ngerti nggak sih, maksudku?”

“Iya, Adek. Mas Ngerti.” Najmi tentu langsung berdecak. “Serius, Mas! Aku tuh lagi nggak bercanda, ya!”

“Siapa yang bercanda, sih? Orang Mas juga serius dengerin kamu,” balas Adibya menahan senyumnya. Namun tentu ia paham betul maksud kekhawatiran Najmi saat ini.

“Tau ah, sebel!” Najmi nyaris melepaskan genggaman tangan mereka. Namun Adibya juga tak kalah cepat untuk tetap menahannya agar tetap bertaut.

“Terus Adek maunya Mas gimana? Bilang ke Abbas kalau dia boleh balas perbuatan jahat orang dengan hal yang sama, gitu?” Ia begitu lemah lembut. Bahkan nada suaranya masih bertahan pada oktaf yang sama. Beda sekali dengan sosok Adibya saat mengajar di kampus dan beracara di pengadilan.

“Ya nggak gitu juga, Mas Adib!” Najmi balas menggenggam tangan Adibya dengan cukup kuat. Ia geram sendiri karena bingung harus menjelaskan dengan kalimat yang bagaimana lagi.

Sang lelaki pun menarik napas dalam, ia coba pahami maksud istrinya tanpa membuat situasi kian rumit. “Sabar yang Mas maksud itu, bukan berarti Abbas nggak boleh ngelawan sama sekali, Sayang. Kamu ‘kan denger gimana yang Mas bilang ke Abbas tadi.”

Najmi hanya diam menatap cemberut pada sang suami. Sampai Adibya kembali membuka suara, dan luruskan maksud ajarannya. “Mas paham sama kekhawatiran kamu. Mas juga ngerti sama hal yang kamu takutin. Tapi, Adek …” ucapnya sembari lepas satu genggaman demi usap pipi Najmi dengan lembut. “Kamu nggak bisa secara blak-blakan kasih izin ke Abbas buat ngelawan gitu aja. Dia itu masih kecil, nanti kalau kamu biarin kayak gitu terus, Abbas bisa kebiasaan nanti sampai dia besar. Paham, kan, maksudnya Mas?”

Yang ditanya masih bungkam. Sebab sejujurnya, ia masih belum setuju dengan penjelasan Adibya. “Mas cuma lagi ngajarin Abbas buat jadi pribadi yang pandai mengontrol emosinya, Sayang. Mas mau Abbas tuh jadi orang yang tenang dan nggak gegabah buat ke depannya. Itu aja, kok.”

Karena tak kunjung mendapatkan jawaban dan membuat Najmi puas akan penjelasannya, Adibya pun menawarkan sebuah ide pada sang istri. “Gini, deh. Kalau kamu masih takut Abbas jadi korban bullying di masa depan, besok kita tanya anaknya. Mau nggak ikut latihan bela diri. Biar kamunya juga tenang kalau Abbas pasti bakal punya pegangan buat suatu waktu ngelawan.”

Najmi tampak tertarik. Sebenarnya ia memang sudah berencana mendaftarkan Abbas untuk ikut bela diri, entah itu karate, taekwondo, ataupun pencak silat, terserah. Yang penting anaknya punya bekal ilmu bela diri.

“Gimana, Sayang? Mau, kan?” tanya Adibya meminta persetujuan. “Ya udah, boleh. Tapi jangan yang buat turnamen. Buat perlindungan diri aja.” Akhirnya Najmi pun langsung menyetujui dengan syarat. Karen lagi dan lagi, ia tak rela anaknya terluka bahkan dengan resiko yang sebenarnya harus ditanggung oleh seorang atlet.

Senyum Adibya pun mengembang. Setidaknya, ia berhasil meredamkan sedikit kekhawatiran Najmi. “Iya, tapi nunggu Abbas masuk SD, ya? Biar sekarang fokus belajar baca tulis sama hitung-hitungan dulu.”

Najmi lagi-lagi mengangguk. Ia sebenarnya cukup terpukau dengan kepintaran yang dimiliki anaknya tersebut. Padahal, ia sendiri saja pandai membaca saat sudah mau naik kelas 2. Sementara, Abbas yang masih TK sudah bisa banyak hal. Jagoan kecilnya itu bahkan sudah bisa perkalian 2. Memakai sepatu dan sandal pun tak lagi pernah terbalik sejak umur 4 tahun. Benar-benar definisi pintar yang tak dibuat-buat.

“Terus sekarang gimana? Masih sebel nggak sama Mas?”

Yang ditanya pun mencebik, “gimana mau sebel orang kamunya begini!” Najmi lantas menghambur ke dalam pelukan Adibya. Ia tidak tahan berlama-lama mendiamkan suaminya itu.

Yang dipeluk secara tiba-tiba tentu tertawa. Dibalasnya dekapan Najmi tak kalah erat dan hangat. “Nah, kalau gini ‘kan enak. Akur, adem ayem terus dipeluk,” gumam Adibya yang sesekali tenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Najmi. Sementara istrinya itu hanya tersenyum sembari mengusapkan pipi pada dada bidangnya.

“Mas kalau lihat kamu cembedat-cembedut gitu bawaannya pengen peluk tau, nggak? Mau Mas hap pipinya buat digigit.”

“Dih, apaan?!” sahut Najmi yang lantas melonggarkan pelukannya. Ia tidak nyaman dengan posisi ini.

“Kenapa? Nggak boleh, ya?” tanyanya pura-pura murung. “Nggak! Kan, aku lagi ngambek. Yang ada kamu bakalan kena semprot nanti.”

Adibya lantas mencebik. “Ya udah, tapi sekarang udah nggak ngambek, kan?” tanyanya dengan mata yang berkedip-kedip. Gumam ogah-ogahan pertanda mengiyakan pun lantas Najmi berikan demi menjawab pertanyaan sang suami.

Senyum lebar nan penuh kepuasan terpampang. Lalu beberapa detik kemudian, gelagat dan raut Adibya tampak sedikit berbeda. “Buktinya apa, kalau kamu sekarang udah nggak ngambek?”

Kening Najmi mengerut, lalu matanya beralih menyipit. Ia tatap sang suami yang tampak ingin menjahili. “Emang harus banget pakai bukti?” sahut Najmi yang hendak turun dari ranjang. Ia ingin segera mencuci muka, skincare-an lalu tidur. Namun karena gerakan Adibya lebih cepat menahan dengkulnya untuk tidak bergerak, Najmi pun tak kadi beranjak.

“Kenapa lagi, Maaass?” tanyanya kemudian dengan nada yang mendayu. Karena sadar Najmi balik menjahili, mau tak mau Adibya pun harus berkata jujur demi menyampaikan keinginannya. “Mas boleh cium?” ungkap lelaki itu yang langsung disodorkan pipi kanan oleh Najmi. “Nih, buruan!”

Adibya lantas menangkup wajah Najmi dengan kedua tangannya. Ia kecup pipi kanan sang istri berulang kali, lalu pindah ke sebelah kiri meski tak ditawari.

“Kalau ini, boleh?” Belah ranum milik perempuannya ia usap. Ditatapnya bagian tersebut bergantian dengan sorot Najmi yang tampak mengizinkan.

Maka tanpa menunggu jawaban dari lisan, Adibya pun memagut ranum Najmi dengan lembut. Ia biarkan benda kenyal nan penuh candu tersebut bersatu dengan miliknya. Adibya lumat manisnya bibir Najmi hingga dapatkan balasan yang sama.

Karena tak nyaman dengan posisi mereka kali ini, sang lelaki pun berinisiatif mendorong Najmi dengan pelan untuk segera berbaring telentang. Kini, Adibya pun berada di atas Najmi. Ia akan bertugas memimpin permainan ranjang.

“Boleh yang lebih, nggak?”

Das Sein by ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet