Brak!!!
Pintu itu pun tertutup rapat. Namun tubuh Alvaro seolah membeku di tempat. Gerakannya kaku. Lidahnya pun terasa kelu. Mata elang milik pemuda tersebut bergetar saat menatap raga yang bertahun-tahun telah terbaring sendirian di ranjang rumah sakit, kini tak lagi di sana.
Flashback On
“Ma, maaf kalau nanti Varo gak bisa mengembalikan nama Bessara ke tempat semula.” Kali ini rungunya kembali menangkap keluh kesah. “Karena, kalau suatu saat Mama pergi ninggalin aku, mungkin aku bakalan hancur.” Helaan napas berat milik lelaki itu seolah menggema. Menghantam setiap sudut ruangan yang mungkin sudah lelah menjadi pendengar isak tangis rasa bersalah dan penuh iba.
“Varo mau ikut Mama aja, boleh 'kan?” Kalimat tersebut mencabik-cabik hatinya. Ingin ia dekap raga tersebut saat ini juga. Tapi apalah daya, masih banyak rencana yang tengah ia susun untuk menuju sebuah keadilan dan pembalasan.
“Ma, Alvaro rindu.” Suara yang terdengar putus asa itu membuat jiwanya bergetar. Ia kepal tangan kirinya yang tak berada dalam genggaman. Hatinya sakit kala mendengar aduan yang penuh dengan kelelahan.
“Ma,” panggilnya lagi. “Kalau Varo gak bisa dapetin nilai sempurna di ujian kimia nanti, gimana?” Ketakutan lelaki itu tampaknya hari ini bertambah lagi satu.
“Kalau nanti Varo gak bisa mencapai target, kira-kira apalagi ya Ma, yang mau direbut Papa?” Jiwa pesimis tersebut tampak tengah mengaduk-aduk kepercayaan diri anaknya.
Jihan, dia mendengar semua keluh kesah Alvaro setiap kali berkunjung. Dia tahu segala resah yang tengah ditanggung oleh putra tunggalnya tersebut.
Setiap derap yang dipaksa untuk kuat itu mulai melangkah pergi dan menjauh, maka suara isak tangis dan bulir air mata kecewa pun mulai mengalir dengan amat deras. Jihan kecewa dengan dirinya sendiri yang tak bisa merengkuh raga sang anak dengan dekapan yang begitu hangat. Peluk yang didambakan, peluk yang dirindukan, Alvaro tak bisa rasakan selama beberapa tahun ini sebab rencana besar yang ia lakukan. Pergerakan bawah tanah yang Jihan rencanakan, semua demi sang putra satu-satunya. Balas dendam pada sosok Fadel yang zolim dan bejat, adalah tujuan utama wanita itu.
Flashback Off
“Mama?!!”
Bruk!!!
Lututnya lemah seketika. Wanita paling berharga yang diinfokan telah tiada, kini tengah duduk di sofa sembari membalikkan lembar majalah bisnis dengan santai. Wajahnya tak lagi pucat seperti hari-hari sebelumnya saat Alvaro berkunjung. Raut datar saat tertidur tak lagi Alvaro temukan. Dalam simpuhnya, ia dapat menangkap sudut bibir itu ditarik dengan sangat anggun. Lengkungan garis senyum tersebut tampak menghiasi wajah Jihan nan jelita.
“Hai, Sayang.”
Apa ini mimpi? Iya, ini pasti mimpi! Lekas bangun, Alvaro. Jangan mau terbelenggu dalam bunga tidur yang fana ini. Begitu pikirnya.
Detik demi detik pun terlewati. Namun ia tak kunjung melesat menuju dunia nyata. Alvaro masih di sini, bersimpuh di belakang pintu yang tertutup rapat. Netranya masih saja menangkap setiap pergerakan wanita itu.
“Ini Mama, Nak.”
Tiga tahun lamanya Alvaro tidak mendengar suara tersebut. Sudah tiga tahun pula rasanya Alvaro tak melihat mata bulat itu terbuka dan menatapnya dengan selembut ini. Tuhan, jikalau ini bukan mimpi, Alvaro ingin meminta maaf karena telah berburuk sangka kepada-Mu.
“Mama,” gumamnya kemudian. Alvaro masih mencerna semua yang tengah ia hadapi.
Jihan semakin tersenyum manis. Senyum itu adalah senyuman yang sangat Alvaro rindukan. Meski dahulu dirinya juga jarang melihat tarikan tipis itu, namun kini ia sangat bahagia. Bahkan jantungnya berdebar kala melihat sang Mama mengayunkan kaki menuju dirinya yang masih bersimpuh di lantai.
Kedua tungkai yang dulu ia dengar mengalami cedera usai kecelakaan, bahkan kini telah berdiri tegak di hadapannya. Alvaro mendongak. Kemudian perlahan kembali turun saat Jihan ikut bersimpuh di hadapannya.
“Maafin Mama, Ellio.”
Bulir bening pun semakin berjatuhan dengan amat deras. Suara tangis Alvaro menggema di setiap sudut ruangan saat dekapan sang Mama terasa begitu nyata. Tuhan, kalau begini ceritanya, jangan dulu bangunkan ia dari mimpi. Alvaro masih ingin berlama-lama di sini. Di dalam dekapan perempuan paling berharga dalam hidupnya.
Deru napas Alvaro memburu. Pandangannya pun turut mengabur tatkala air bening tersebut tak henti-hentinya menggenang di pelupuk mata.
“Ma, kalau ini mimpi, aku mau tinggal di sini sama Mama. Gapapa kalau misalnya aku nggak bangun lagi asal sama Mama di sini.” Di sela-sela tangisnya, Alvaro berbicara demikian. Dapat ia rasakan gelengan lemah dari sosok Jihan.
“Kamu enggak boleh ngomong kayak gitu, Sayang. Mau bagaimana pun kondisinya, jangan pernah egois. Masih banyak orang yang sayang sama kamu,” jawabnya demikian.
“Tapi sesayang-sayangnya mereka, Mama lebih sayang sama kamu. Makanya Mama yang kembali ke sini. Ke dunia kamu, dunia kita.”
Alvaro mulai bingung. Dunia kita?
“Alvaro, ini bukan mimpi.” Jihan menangkup, kemudian membelai wajah yang dihiasi lebam pada paras anaknya itu.
Atensi Jihan beradu tepat pada netra Alvaro. Ia usap pula pipi anaknya yang basah karena air mata. “Ini Mama, Sayang. Kamu bukan lagi bermimpi. Ini Mama. Mama udah enggak sakit lagi, Nak.”
Namun Alvaro tak kunjung mengerti. Dirinya mendadak linglung. Bingung dengan situasi yang tengah ia hadapi. Kalau ini bukan mimpi, maka apakah dirinya sedang dipermainkan?
Isakan pun Alvaro hentikan dengan paksa. Deraian air matanya kini tak lagi bersuara. Debarannya kian bertambah. Wajahnya kian memerah menahan amarah. “Sejak kapan Mama siuman?” tanya Alvaro saat akal pikirannya telah diseret untuk kembali.
Tidak mungkin seseorang yang baru siuman setelah koma tiga tahun lamanya bisa langsung berjalan dengan lancar seperti ini. Secara medis, syaraf tubuhnya pasti telah kaku. Fungsi alat geraknya pasti juga menurun dratsis. Harus ada terapi yang mereka lalui pasca bangun dari koma demi untuk mengoptimalkan alat gerak agar kembali seperti semula.
“Satu tahun yang lalu,” jawab Jihan lemah. Sementara Alvaro mendadak kaku. Telinganya berdenging saat mendengar jawaban sang Mama. Pikirannya melayang pada setiap waktu yang ia habiskan di sini dengan berbagai macam keluhan dan keputusasaan.
Tapi jawaban yang ia terima sungguh menyayat-nyayat hatinya. Kalau sudah siuman dari koma sejak satu tahun yang lalu, jadi selama ini Alvaro dianggap apa? Dia telah dibodohi dan dibohongi. Untuk apa? Dan kenapa?
“Mungkin kamu marah sama Mama karena udah menutupi hal sepenting ini dari kamu.” Jihan mulai berbicara. Kini dirinya menggenggam kedua tangan sang anak. Syukurnya, Alvaro tidak menyentak genggamnnya. Lagi pula, Alvaro tak berani durhaka pada wanita yang telah melahirkannya itu. Dia sangat berjasa meski begitu banyak menorehkan kecewa.
“Kamu pasti kecewa ya, Nak, sama Mama? Mama udah biarin kamu sendirian di tengah kejamnya dunia memperlakukanmu.”
Alvaro menunduk. Ia tak sanggup menatap wajah Jihan yang merasa sangat bersalah. “Maafin Mama, Ellio. Ini semua juga demi kamu. Demi kita.”
Tak pernah Jihan sangka bahwa Alvaro hanya akan mengangguk tanpa bantahan dan ujaran kekecewaan. Yang ia dengar hanya deru napas sesak sebab kembali menangis meski tak sederas tadi.
“Apapun alasan dan rencana Mama, aku tau itu adalah pilihan yang terbaik. Varo nggak marah. Varo juga nggak akan kecewa sama Mama. Mama udah siuman aja Varo udah bahagia, Ma.”
Kini tangis Jihan yang pecah. Wajah putranya yang dihiasi lebam itu menatapnya dengan begitu tulus. Rautnya tampak sangat bahagia. Tuhan, terima kasih karena Kau telah memberikan putra sesempurna Alvaro pada dirinya. Terima kasih, karena Kau telah menyisakan satu laki-laki yang menjadi harapan terbesarnya. Jikalau cintanya dahulu tidak berhasil, maka berikanlah keberhasilan tersebut pada anaknya. Jangan biarkan lelaki ini kecewa. Terlebih sebab manusia-manusia brengsek seperti Fadel dan keluarga kecilnya itu.
“Ma, jangan nangis. Cukup aku aja,” ucap Alvaro sembari menghapus jajak air mata di pipi Jihan.
Senyum getir itu terbit di wajahnya. Menatap pada sosok Mama yang masih saja terlihat sendu. Tak lama, pintu ruangan pun terbuka. Menampilkan sosok dokter yang selama ini ternyata turut menutupi kondisi Jihan yang sebenarnya. Pula dia lah sosok yang berbohong bahwa Jihan telah tiada. Apa rencana mereka?
Namun, tak cukup sampai di sana. Sosok yang berjalan menyusul setelah Dokter Digo adalah sosok yang semakin membuat Alvaro bertanya-tanya.
“Pak Jeriko?” gumamnya tak percaya.
Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum tipis. Lalu mengangguk hormat pada sosok Jihan yang pula membalas dengan cara yang sama.
Astaga, mereka ini siapa sebenarnya? Apa rencana mereka? Kenapa Alvaro jadi mendadak bingung seperti ini? Berbagai macam pertanyaan dan terkaan pun mulai tumbuh dalam benaknya.
“Sudah saya bilang, ‘kan? Saya ini bukan guru BK biasa,” ucap Jeriko menahan senyumnya. Dan ya, tentu Alvaro ingat pada percakapan intens antara dirinya dengan Jeriko saat dini hari tersebut.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
©ebbyyliebe