Cinta Buta

rofenaa
6 min readApr 18, 2022

--

Pukul 15.54. Semua tengah bersiap untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Termasuk Adibya dan rekan-rekannya.

“Najmi, ayo!” Gadis yang baru selesai menyimpan laptop kantor pun menoleh. Ia raih hand bag miliknya, lalu mengangguk. Adibya telah menanti Najmi.

Tentu, perhatian semua orang kini terfokus pada mereka. Tak terkecuali Puja sendiri.

“Najmi pulang bareng Mas Adib?”

Setelah sekian jam Najmi menantikan pertanyaan itu terlontar dari lisan Puja, akhirnya ia pun mendengar hal tersebut. Ia sudah terlampau penasaran, maka dari itu lah Najmi hanya diam saat menanti respon Adibya terhadap pertanyaan sederhana milik Puja.

Lelaki itu mengangguk. “Iya, emang kenapa?”

Ah, kurang puas pemirsa! Najmi cukup kecewa atas jawaban Adibya. Tapi tak apa. Setidaknya, Najmi dapat melihat raut Puja yang sedikit berubah mendapati respon Adibya kepadanya.

Hadeh, iya deh yang bentar lagi mau nikah!” ucapan itu terlontar dari mulut Mas Riyan. Advokat junior di kantor ini ikut bersuara. Menarik perhatian Puja dan Riski lebih dalam lagi.

“Nikah?” ulang Riski kurang paham. “Siapa yang mau nikah, Mas?” tanyanya kemudian.

“Lah, kamu nggak tau kalau Najmi sama Adibya ini couple pertama di kantor kita?”

Bagai disambar petir, Puja yang mendengar kalimat tersebut langsung mati rasa. Hatinya memanas. Tubuhnya seolah terbakar setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya tentang Najmi dan Adibya.

Sementara itu, Riski termangu. “Yang bener, Mas?” tanya lelaki itu memastikan. Namun Mas Riyan hanya menaikkan bahunya acuh tak acuh. “Tanya sendiri aja sana sama yang bersangkutan,” sahutnya terkekeh.

Adibya pun tersenyum tipis kala netranya beradu dengan Riski. Ah, ternyata bukan hanya ada satu orang. Namun ada dua pasang mata yang menunggu sanggahan dari dirinya. Ck, kenapa dia baru sadar kalau ternyata bocah bernama Riski ini tengah menaruh rasa pada Najmi-nya?

“Apa yang dibilang Mas Riyan memang benar,” tutur Adibya kemudian. “Najmi adalah calon istri saya.”

Senyum yang tadi masih dipaksakan oleh Puja pun luntur. Wajahnya pias, tubuhnya kian terdiam kaku. Hati gadis itu tersayat sembilu.

Sementara Najmi, dia hanya bisa tersenyum malu. Berjuta kupu-kupu tengah berterbangan di dalam perut gadis itu. Bagaimana tidak? Adibya baru saja mempublikasikan hubungan mereka. Terlebih, lelaki itu mengakui Najmi sebagai calon istrinya. Ah, kapan-kapan dia harus mentraktir Mas Riyan. Sebab karena lelaki itu lah percakapan ini terpancing di depan semua orang.

Yeu, Si Adib! Tenggang rasa sedikit kamu. Ada yang kesenggol tuh status single-nya.” Pak Bahar ikut menimbrung. Pria itu baru keluar dari ruangannya. Ternyata, advokat sekaligus bos mereka itu turut mendengarkan percakapan.

Yang dimaksud Pak Bahar pun mencebik. “Apaan si Bapak. Saya biasa aja kok.” Mas Riyan bersuara. Sedari dulu, seniornya itu memang suka sekali meledek Riyan yang masih saja menjomblo.

Heleh, biasa aja biasa aja. Nanti di rumah meratapi nasib,” sahut Pak Bahar lagi.

Mereka pun tertawa. Yang diguraukan hanya bisa mamasang wajah pasrah. Mbak Jessi sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Sore itu, hari di kantor pun mereka tutup dengan senda gurau bersama atasan. Berjalan beriringan menuju parkiran.

Semua tampak melangkah dengan ringan dan penuh senyuman. Namun tidak dengan Puja. Hatinya hancur. Dia telah dipatahkan oleh Adibya untuk yang kesekian kalinya.

“Kamu bercanda kan, Kak?” Puja yang masih berdiri menunggu jemputannya pun menatap mobil Adibya yang mulai menjauh. Hatinya benar-benar sakit kala melihat lelaki itu tersenyum hangat pada sosok Najmi. Bahkan, saat hendak berangkat tadi, Puja menangkap bahwa gadis itu tampak puas menatap ke arahnya. Seolah-olah menunjukkan, bahwa Najmi memang tidak pernah berbohong dan halu. Apa yang gadis itu beritahu tadi pagi adalah sebuah kebenaran.

“Jangan kayak gini, Kak Adib. Jangan jadiin Najmi tempat pelampiasan dari jeleknya hubungan kita.” Susah payah, Puja menahan air matanya. Cengkraman pada tali tas itu bahkan terasa kuat sekali sampai tangannya terlihat memutih.

Calon istri? Bahkan Adibya tidak tanggung-tanggung dalam bertindak. Pria itu seolah-olah telah melupakan dirinya dengan sangat mudah. Tak ada belas kasih, tak ada kesempatan untuk memperbaiki. Adibya benar-benar telah meninggalkannya.

Tin! Tin!

Klakson mobil yang ditunggu-tunggu pun menyapa rungu. Jemputan Puja telah sampai. Dengan segara, gadis itu pun melangkah memasukinya.

“Hai,” sapa lelaki yang sudah janji menjemput Puja hari ini. Namun senyumnya perlahan pudar kala melihat wajah Puja yang tampak sedih. Mata gadis itu memerah dan berlinang.

“Kamu kenapa?” tanyanya penuh kekhawatiran. Namun bukannya jawaban yang di dapat, Puja malah menangis dengan sangat sesak. Tangis yang ia tahan sedari tadi akhirnya dapat terlepas di dalam mobil. Di hadapan sang lelaki yang telah menemani dirinya selama ini.

“Astaga, kamu kenapa, Ja?!” Lelaki itu lekas menarik Puja ke dalam pelukannya. Mendekap gadis itu dengan penuh ketulusan dan rasa khawatir.

“Kak Adib, Kak.” Dalam tangisnya, Puja mulai bertutur meski tersendat-sendat.

Lagi dan lagi. Nama itu yang selalu membuat wanita tersayangnya menangis seperti ini. Rahangnya sampai mengeras saat mendengar nama itu terucap dari bibir Puja Larasati.

“Kenapa lagi dia?”

“Ternyata dia mau nikah, sama temen satu tim magang aku,” jawabnya sesak. “Aku harus gimana lagi, Kak Ghandi?”

Ya, lelaki itu adalah Ghandi. Ghandi Desra, kakak kandung seorang Najmi yang berhasil mencuri hati Adibya.

Ghandi terdiam lama. Andai saja Puja tahu kalau calon istri Adibya itu adalah adiknya, bagaimana nasib hubungan mereka? Puja pasti akan sangat kecewa kepada dirinya.

Tuhan, kenapa takdir harus serumit ini? Bagi Puja, Ghandi, dan Adibya, bayang masa lalu masih saja melingkupi kisah cinta mereka. Bertahun-tahun lamanya, kenapa cerita ini tak kunjung usai jua?

Ghandi lelah, Tuhan. Terlebih adik satu-satunya itu harus berhubungan dengan lelaki yang sangat ia benci. Dari semua laki-laki yang ditawarkan oleh Papinya, kenapa harus Adibya yang dipilih oleh Najmi Desra? Kenapa? Kenapa lelaki itu harus masuk ke dalam list menantu pilihan dan idaman Papinya? Ghandi sungguh benci akan hal itu!

“Ya udah lah, kalau dia memang mau nikah, kamu bisa apa, Ja? Lupain aja dia. Kayak nggak ada kerjaan lain aja nangisin tuh orang.”

Puja yang masih dalam dekapan Ghandi pun memukul pelan punggung pria tersebut. Kemudian ia lepas pelukan mereka. Gadis itu bahkan menghapus air mata yang membasahi wajahnya. Kemudian, ia tangkup kedua pipi Ghandi dengan sangat pelan.

Tatapan mereka bertemu hingga beberapa detik. Sampai pada akhirnya terputus kala bibir Ghandi mengecup kedua kelopak mata Puja dengan penuh ketulusan.

“Kamu jelek banget tiap nangisin dia, Sayang.”

Kalau saja ada nominasi pria terbodoh di dunia, mungkin Ghandi adalah pemenangnya. Bahkan lelaki itu bisa mendapatkan gelar juara bertahan sangkin bodohnya dalam hal mencinta. Padahal, sedari dulu, Ghandi hanya menjadi bayang dalam hidup Puja. Ia tak pernah terlihat nyata di mata gadis itu.

Saat Puja membuka matanya, gadis itu balas kecupan Ghandi dengan mengecup pipi lelaki tersebut. Ghandi pun hanya bisa tertawa begitu pelan. Mereka selalu begini. Hubungan yang tidak jelas, kisah lama yang belum usai, romansa tanpa kepastian. Seperti yang dikatakan, Ghandi itu sudah terlampau bodoh karena cinta. Lelaki itu benar-benar penganut ‘cinta itu memang buta’.

“Maaf,” ucap Puja kemudian. Ia sangat merasa bersalah usai menangisi Adibya di hadapan Ghandi.

Usakan pelan pada rambut pun Puja rasakan. “Gapapa. Besok-besok jangan diulangin lagi nangisnya. Oke?” Ghandi selalu demikian. Terlalu sabar dan banyak mengalah pada gadis itu.

Mau tak mau, Puja pun mengangguk. “Makasih, Kak.”

Di lain sisi, Najmi yang masih berbunga-bunga itu tak lagi sanggup berucap kala Adibya memutar lagu Tergila-gila milik Tulus di dalam mobil. Seperti apa yang sudah pria itu katakan tadi malam, bahwa ia sering mendengarkan lagu itu semenjak kenal dengan dirinya.

“Kamu kenapa?” Adibya pun bertanya saat tak sengaja menangkap wajah Najmi yang masih saja memerah. Pria itu sampai memelankan laju mobilnya karena khawatir pada sang gadis. “Gerah ya? Atau lagi pengen ke toilet?” lanjutnya.

“Hah? Enggak.”

“Terus kenapa muka kamu merah begitu?” Najmi langsung meraba wajahnya.

Ah, benar saja, bahkan tangannya yang dingin ini dapat merasakan pipinya yang masih memanas.

“Maaf, sebentar,” ucap Adibya kemudian menaruh satu punggung tangannya di dahi Najmi. “Normal,” sambung lelaki itu mengerut heran.

Najmi yang tak tahan lagi pun menarik tangan Adibya agar menjauh dari dahinya. Bahkan gadis itu sampai memukul pelan lengan kiri lelaki tersebut.

Lho, kok saya dipukul?” tanya Adibya bingung.

“Ya aku tuh lagi salting, tau nggak?! Malah dikira demam,” ucapnya sebal.

Adibya pun terdiam. Lalu pada detik kemudian ia terkekeh mendengar jawaban Najmi barusan. “Oh, jadi kamu kalau salting mukanya kayak — ”

“Kayak apa? Nahan eek?”

Adibya sungguh tak sanggup lagi menahan tawanya saat Najmi menyela demikian. “Lucu banget sih kamu?”

Namun bukannya ikut tertawa, Najmi malah semakin terdiam kaku kala Adibya berucap demikian. “Iiiih, apaan siiihhh? Udah sana, nyetir mah nyetir aja kali!”

Ya, Najmi tentu semakin salah tingkah. Semanjak mengenal Adibya, langkahnya seolah berpijak pada taman bunga. Kupu-kupu selalu berterbangan dalam perut Najmi Desra.

Adibya hanya bisa manahan senyum kala netranya menatap Najmi yang menghadapkan tubuh ke arah jendela. Gadis itu lebih memilih menatap jalanan di samping daripada harus memperhatikan Adibya yang menyetir sembari mencuri-curi pandang kepadanya.

Semesta, kalau boleh lagi meminta, tolong jadikan kehadiran Najmi kekal disisinya. Itu saja.

Narasi 13 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

© ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet