Dari Koma Kepada Titik

rofenaa
22 min readJul 13, 2022

--

Disclaimer!

This part has a lot of paragraphs, and I think it will take half an hour because I wrote almost six thousand words.

Best Regards,

Rofenaa

Pagi ini terlihat mendung. Udaranya pun terasa sangat lembab menandakan air langit akan segera turun. Belum lagi angin yang berembus sejak tadi malam tak ada hentinya menghantam lapisan epidermis luar hingga membuat siapapun akan meremang, lalu mencari kehangatan dengan caranya masing-masing. Termasuk seorang lelaki yang kini tengah duduk di dalam kamar bernuansa serba putih tersebut, kian merapatkan balutan jaket di tubuhnya. Sebab nyatanya, sudah berada di dalam ruangan pun dinginnya masih terasa. Hari ini tampaknya suhu kota mereka sedang sangat rendah, begitu asumsi lelaki itu. Sementara, satu orang lagi berdiri di samping ranjang yang dihuni oleh Najmi. Orang itu memperbaiki selimutnya, lalu mengusap kepala sang gadis yang lelap dengan sangat lembut.

“Lo nggak kerja?” Ghandi menatap jam yang melingkar di tangannya, lalu memilih bergabung untuk duduk bersama Adibya di sofa. Sang sulung baru bisa tenang setelah melihat adiknya tidur dengan nyaman.

“Saya izin cuti hari ini, mau nemenin Najmi.” Lantas, pemuda itu ikut menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. “Kamu sendiri?” Adibya balik bertanya. Ghandi hanya menggeleng tanpa berniat membangun konversasi lebih lanjut dengan sosok yang ada di hadapannya saat ini. Masih terlalu pagi, menurutnya. Lagi pula, dalam kondisi dan keadaan yang seperti ini, mana bisa dirinya meninggalkan Najmi. Selama bekerja nanti pasti tidak akan fokus karena kepikiran. Maka, lebih baik dirinya membebaskan diri dari dunia pekerjaan untuk hari ini.

“Kamu enggak mau pulang dulu? Mandi, terus ganti baju. Nanti baru balik lagi ke sini,” ucap Adibya menyarankan. Sebab, Ghandi memang benar-benar terlihat lusuh dengan celana bagian bawah yang kotor. Kemungkinan terbesarnya ya…, terkena cipratan becek tadi malam. Apalagi?

“Najmi biar saya yang jaga. Kamu jangan khawatir.” Begitu sambungnya meyakinkan.

Ghandi menatap hening. Kemudian melirik ke arah celananya yang tampak memprihatinkan — hampir menyerupai petani yang baru pulang dari sawah di tengah lautan manusia yang hidup di perkotaan. Jadi, mau tak mau, suka tidak suka, ia harus segera pulang. Sementara, Khaffa sang Papi sudah kembali ke TKP. Ada banyak hal yang masih harus pria itu urus di sana. Sedang Jafar, remaja tersebut sudah terlebih dahulu pulang. Karena hari ini adalah hari terakhir dirinya ospek. Remaja menuju dewasa itu, memang sudah memasuki masa menjadi mahasiswa baru.

“Nantian aja, Najmi belum bangun.” Ghandi meyakinkan dirinya untuk tinggal sedikit lebih lama lagi. Mengundang helaan napas pelan dari sosok Adibya yang menatap dengan raut tenang.

“Dokternya, kan, udah bilang kalau Najmi bakalan siuman sekitar jam delapanan. Jadi saran saya, kamu pulang dulu aja. Ini masih jam tujuh, kok.” Adinya tahu bahwa resah Ghandi masih belum luruh. Sebab, siapapun mungkin dapat melihat betapa jelasnya rasa khawatir itu terpampang pada gelagat dan rautnya. Terlebih, saat mendengar cerita dari Jafar tadi subuh terkait kronologi kejadian, Adibya paham betul. Rasa bersalah itu pasti juga tengah menguasai relung lelaki itu.

Setelah diam untuk belasan detik, Ghandi pun menghela napas pasrah. Ia memutuskan untuk membersihkan diri di rumah, lalu nanti kembali lagi ke sini. “Ya udah, gue pulang dulu. Tar balik lagi,” putusnya begitu.

Adibya lantas mengangguk. Namun ia tahan sebentar kepergian teman sekaligus calon kakak iparnya itu dengan satu pertanyaan yang mungkin bisa dianggap sedikit lancang bagi Ghandi. “Kenapa?” sahutnya bingung ketika Adibya memangil namanya saja. Padahal, ia sudah ingin segera berdiri dan beranjak dari sofa.

“Saya mau tanya sesuatu dulu, boleh?” ucapnya memulai pertanyaan.

“Apaan?” Ghandi meladeni dengan raut dan nada super malas. Kentara sekali ia sedang tak berminat untuk menanggapi.

Adibya kemudian berdeham, lalu tetap melancarkan aksi wawancara dadakannya tanpa menghiraukan reaksi yang ia terima. “Kalau boleh tau, perhitungan kasar jumlah kerugian yang Najmi alami, totalnya berapa?”

Ghandi mengerut, lalu terkekeh sinis. Entahlah, ia kesal saja dengan eksistensi Adibya yang muncul sepagi ini. “Dib, lo tuh ibarat sepatu olahraga.”

Adibya yang dijawab demikian pun mengerut dalam. Ucapan Ghandi sangat tidak relevan dengan pertanyaan yang ia ajukan. “Maksud kamu?”

“Nggak. Punya. Hak!” sentaknya menenkankan nada bicara pada setiap kata. Kemudian, Ghandi pun berdiri. “Lo nggak punya hak buat tau berapa kerugian yang Najmi alami!”

“Atas dasar apa kamu ngomong kayak gitu?” Adibya bertanya tak suka. Dia benar-benar merasa tersinggung, namun tetap harus menjaga etikanya. Terlebih saat ini sedang berada di rumah sakit, dan yang ia hadapi adalah Ghandi — calon kakak iparnya.

“Saya ini tunangannya adik kamu, Ghan. Dan dia adalah calon istri saya, jadi saya berhak untuk tau seberapa besar kerugian yang Najmi alami, dan apa aja kesulitan yang sedang dia hadapi. Paham?” Kini, mereka sama-sama berdiri berhadapan dengan hunusan dari sorot masing-masing.

Ghandi dengan tatapan yang tajam itu memasang wajah jengkel. Ia kesal sekali dengan sosok Adibya — tanpa alasan yang pasti. “Emang bakal ngaruh apa kalau gue ngasih tau ke lo? Wartawan bukan, pembantu bukan, tapi malah nanya-nanya. Mau ngasih duit lo emangnya?!”

Yang ditanyai demikian pun hanya bisa menarik napas dalam, lalu menghelanya dengan lambat sembari memejamkan mata demi meredam rasa kesal yang juga mulai merambat hingga ke ubun-ubun. “Ghandi, saya tanya, berapa?” Adibya mengulang pertanyaannya dengan nada datar, sampai membuat Ghandi tertawa sarkas.

“Lo tadi nanya boleh apa nggak, kan? Kenapa malah maksa?!” Ghandi membalikkan serangan. “Lagian harusnya lo ngerti dong, kalau gue jawabnya kayak gitu, berarti LO NGGAK BOLEH NANYA. Ngerti?!”

Adibya bungkam untuk bebearapa saat. Ghandi memang tidak sepenuhnya salah. Dan itu adalah haknya ingin memberitahu ataupun tidak. Tapi, apa salahnya dijawab saja? Toh, tidak ada ruginya untuk Ghandi memberitahu soal itu. Malah, Adibya jadi tahu berapa kisaran jumlah yang harus ia bantu nantinya untuk pemulihan usaha milik Najmi. Bukannya malah sewot tak menentu seperti ini.

“Oke, kalau kamu ngerasa ini bukan ranah saya untuk ikut campur. Tapi Ghandi, seenggaknya kamu bicara dengan baik. Jangan pakai emosi, dan enggak usah pasang wajah masam kayak gitu.” Adibya menatap lekat pada wajah Ghandi yang rahangnya semakin mengeras menahan kesal. Jelas, meski sekalipun kesalahpahaman mereka yang lalu telah diselesaikan, Ghandi tetap masih punya tensi tersendiri terhadap lelaki ini. Terlebih sampai diceramahi. Dia sangat tidak suka!

“Saya ngerti kamu lagi bingung, kesel dan juga kacau. Silakan kalau kamu mau melampiaskan semuanya ke saya. Tapi tolong, Ghandi, kasih tau saya berapa total perkiraan kerugian yang Najmi alami. Dia itu calon istri saya, dan saya ingin membantu mengurangi beban pikiran dia. Karena apa? Karena rencana yang sudah disusun apik itu sedang goyah, Ghan. Makanya saya butuh informasi dari kamu. Dari narasumber yang paling tau.”

Ghandi diam dengan raut tak terbaca. Deru napasnya yang tadi memburu perlahan normal. Sebab percuma, mau bagaimana pun bentuk dirinya menyalurkan amarah dan kekesalan, Adibya selalu sabar. Dia benar-benar menanggapi dan menyelesaikan masalah dengan raut tenang dan hati yang sabar. Membuat Ghandi kadang jadi malu sendiri.

Terlebih, Adibya sampai membahas rencana pernikahan antara dirinya dan Najmi. Maka, Ghandi tak lagi bisa untuk tutup mulut. Dengan sedikit dongkol dan malas, ia pun menjawab seadanya. “Empat ratus jutaan, puas?!” sahutnya menyentak, lalu mendengus. “Punya uang segitu emangnya?”

Mungkin selama ini dirinya memang cukup sabar. Namun pertanyaan Ghandi barusan benar-benar membuat dirinya sebal bukan main. “Memangnya kamu pikir, saya ini niat nikahin Najmi cuma dengan modal cinta dan tangan kosong?” tanya Adibya dengan nada yang kentara sekali menunjukkan bahwa dirinya tengah tersinggung. “Saya punya tunjangan hidup yang lebih dari cukup untuk membantu Najmi dan menghidupi keluarga kecil saya nantinya. Jadi kamu jangan anggap remeh. Saya enggak semiskin apa yang kamu kira selama ini.” Ia tak pernah berniat sombong. Tapi sekali-kali, orang seperti Ghandi memang harus diberi teguran keras.

“Terserah!” jawab Ghandi yang lantas berjalan keluar meninggalkan Adibya dengan tak lupa menyenggol bahu lelaki itu. Ia sudah kalah telak dalam perdebatan yang cukup sengit barusan. Maka, agar tidak kehilangan muka, ia harus enyah dengan segera. Adibya memang seorang pendebat ulung, seperti laku dan prestasi-prestasinya yang dikenal banyak orang.

Di dalam, Adibya hanya menghela napas lelah. Kapan dirinya bisa akur dengan manusia yang satu itu? Ia benar-benar tak mau selalu berselisih dengan temannya itu. Terlebih Ghandi adalah kakak kandung satu-satunya yang Najmi miliki. Lelaki itu akan menjadi kakak iparnya pula di kemudian hari. Maka, Adibya akan selalu mencoba sekeras mungkin untuk tidak lagi terlibat perselisihan. Sebab pada dasarnya, Ghandi akan melunak kalau dihadapi dengan cara tenang dan lembut seperti yang dirinya lakukan selama ini. Ya meskipun kadang-kadang melunjak, tak masalah. Nanti bisa diberi ultimatum lebih oleh dirinya. Adibya sama sekali tidak takut, dan tidak pernah gentar.

Tak lama berselang, kehadiran sosok lain memasuki ruangan VIP tersebut. Sosok wanita paruh baya melangkah masuk dengan pakaian dinas yang sangat Adibya hapal instansinya. BPN (Badan Pertanahan Nasional), ia cukup sering berurusan dengan lembaga pemerintah non kementerian yang satu itu. Dan dia, adalah Anggun. Sosok ibu sambung yang berhati lembut dan berparas indah — persis seperti namanya.

“Lho, beneran ada Adib? Bunda kira Ghandi bercanda bilang Najmi dijagain sama cakinya.” Anggun menyapa Adibya sembari menaruh tas yang ia bawa di sofa. Sementara, sang lelaki hanya bisa mengerut, lalu menyalami Anggun.

“Maksud ‘cakinya’ apa ya, Bu?” tanya Adibya yang memang tak mengerti dari maksud kata tersebut. Sebab, memang terdengar sangat asing, tapi juga tidak terlalu asing. Paham tidak perasaannya bagaimana? Pokoknya demikian.

Anggun yang tersadar karena turut terkontaminasi virus bahasa asing ciptaan keluarga Desra itu pun tertawa kecil. “Oh, itu maksudnya Calon Laki. Najmi kalau di rumah sering ceritain kamu pakai sebutan ‘Caki’, sih. Ghandi sampai gedek sendiri. Tapi ya tetep ketawa.”

Oke, too much information — tapi super tidak masalah. Adibya tetap mengangguk dan terkekeh. Malah, ia ikut menghangat kala mendengar penjabaran dari Anggun yang membuat semburat pipinya turut berubah bak mawar marah. Lalu, ia lirik gadis yang tengah terbaring damai dengan masker oksigen tersebut — tersenyum tipis.

Selama dua menit memperhatikan Anggun yang berjongkok demi menyusun beberapa pakaian Najmi ke dalam lemari kecil yang disediakan sebagai salah satu fasilitas, wanita itu pun kembali berdiri.

“Kamu enggak ngantor, Dib?” tanyanya yang langsung mendapat gelengan dari Adibya. “Enggak, Bu. Hari ini saya ambil cuti.”

Anggun menarik garis bibirnya lembut, lalu menghela napas lega. “Kalau gitu, Bunda titip Najmi, ya, Dib? Mau ngantor hari ini. Bener-bener nggak bisa ditinggal soalnya,” ucap Anggun dengan raut dan nada yang terdengar tidak enak hati. Dia juga sudah meminta maaf pada sang suami karena tidak bisa menjaga sang anak gadisnya itu. Pekerjaannya sungguh sangat menumpuk. Begitu banyak pendaftaran hak atas tanah yang harus ia urus sejak dua hari lalu.

“Iya, Bu. Ibu tenang aja. Saya di sini memang buat jagain Najmi.” Adibya, mau bagaimanapun Khaffa dan Anggun menyuruhnya untuk memanggil mereka dengan sebutan Papi dan Bunda, lelaki itu tetap tidak bisa. Ia merasa belum berhak untuk melakukan hal itu. Sebab Najmi sendiri belumlah menjadi perempuan sah untuk ia ubah statusnya menjadi seorang Istri. Maka, sampai nanti dirinya sudah menikah, barulah ia akan memanggil Khaffa dan Anggun sesuai dengan permintaan.

“Oke, makasih ya, Caman!” Kemudian, Adibya hanya mengangguk dan menyalami Anggun yang gelagatnya menunjukkan untuk kembali pergi. Kali ini, Adibya tidak bertanya. Sebab, ia tahu arti kata itu. Khaffa sudah terlalu sering memanggilnya demikian sampai-sampai Anggun pun mengikutinya.

Caman, alias Calon Mantu.

Jika kebanyakan pasangan di buku-buku dan drama yang Najmi tonton akan menggenggam dan mengelus lembut punggung tangan sang kekasih hati yang sedang terbaring sakit, maka di sini ada Adibya yang mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya begitu pelan pada punggung tangan sang calon istri. Sesekali, ia mengelus dan membentuk pola acak menggunakan jarinya tersebut. Lelaki itu…, melakukannya sesuai naluri, yang kadang tanpa ia sadari. Sebab, sejak dulu Adibya memang sudah kebiasaan seperti ini setiap mendiang Ibunya dirawat di rumah sakit. Maka, orang-orang yang mengenal dekat pemuda itu pasti akan paham dan maklum.

Akibat terlalu asik dengan kegiatannya itu, Adibya sampai tak menyadari bahwa Najmi sudah membuka matanya sejak puluhan detik yang lalu. Namun karena tidak ingin mengganggu ketenangan sang pemuda, ia hanya diam memperhatikan sembari tersenyum tipis di balik masker oksigen.

Setelah asyik dua menit menunduk dan memperatikan punggung tangan Najmi yang halus, lantas Adibya mendongak. Matanya membelalak kaget saat mendapti bahwa gadis yang sedari tadi ia tunggu kesadarannya itu sudah membuka mata dengan sempurna. Bahkan, Adibya dapat melihat senyum khas milik Najmi yang tertarik lebar.

“Mas Adib ngapain?” tanya Najmi dengan nada serak. Tak lupa, ada makna bercanda di baliknya.

Namun bukannya menjawab, Adibya malah langsung berdiri dan semakin mendekatkan dirinya pada gadis itu. “Kamu udah bangun, toh?” tanyanya kaget yang mendapat anggukan santai dari Najmi. Gadis itu bahkan memberi kekehan dan gerakan untuk melepas masker oksigen. Namun, Adibya lekas menahannya.

“Jangan dibuka, oke?” titahnya lembut, membuat sang gadis jadi mengurungkan niat. Ditambah, senyum Adibya yang terpampang itu memang selalu berhasil meredam segala resah. Nada bicaranya yang tenang, turut mampu meluruhkan segala sebal. Adibya Lofarsa, adalah sosok yang benar-benar Najmi syukuri kehadirannya dalam hidup gadis itu.

“Apa yang terasa? Dadanya masih sesak, atau bahkan kepala kamu kerasa pusing, mungkin?” Adibya bertanya sembari memeriksa. Lelaki itu bahkan menempelkan telapak dan punggung tangannya pada pipi dan kening Najmi demi memastikan. Dalam sorot teduhnya, ia juga dapat melihat bahwa Adibya benar-benar khawatir. Pemuda itu, memang selalu penuh perhatian pada dirinya.

“Aku nggak apa-apa, Mas Adib.” Najmi menyahut dengan senyumnya. Namun Adibya yang tidak mudah percaya dan puas begitu saja pun izin pamit untuk memanggil dokter. Karena menurutnya, Najmi harus diperiksa secara keseluruhan.

Setelah sepuluh menit melewati tahap pemeriksaan lanjutan oleh dokter dan konsultasi terkait kesehatan Najmi, lelaki itu baru bisa merasa lega. Maka, saat kini mereka telah kembali berdua, Adibya duduk lagi di bangku tersebut. Tepat di samping ranjang najmi yang sudah di posisikan agar gadis itu bisa jadi setengah duduk untuk sarapan.

Dalam diam dan kecamuk pikirannya masing-masing, Adibya menyuapi Najmi dengan sangat telaten. Masker oksigennya sudah boleh dibuka, kata dokter.

“Nggak enak. Nggak manis.” Begitu komentar Najmi yang tadi dipaksa Adibya untuk menghabiskan bubur kacang hijau tersebut.

“Sedikit lagi, ya? Perut kamu perlu diisi.”

Najmi memberi tatapan tak suka. “Kan tadi udah kamu suapin nasi lembek lauk hambar itu sampai habis,” jawabnya menunjuk nampan yang berisi piring kotor di atas nakas.

“Ya…, ini mubazir kalau enggak kamu habisin. Kasian, lho, nanti kacang ijonya sedih, terus nangis karena nggak mau kamu makan.”

Najmi dibuat menecebik atas bujukan Adibya barusan. “Aku bukan anak kecil, Mas Adib.”

“Lho, hubungannya apa kamu sama anak kecil?” tanya Adibya yang tangannya masih saja setia mengudara di depan mulut Najmi. Sendok berisi bubur kacang hijau tersebut sudah siap untuk memasuki goa gelapnya untuk dilahap.

Namun, Najmi hanya bungkam dan menggeleng. Membuat Adibya mengembalikan sendok berisi tersebut ke dalam wadahnya.

“Najmi…,” panggil Adinya begitu lembut dan terdengar merdu. Ia tengah membujuk gadis itu untuk menghabiskan makanannya.

“Iyaaa, Mas Adib…,” jawab Najmi tak mau kalah mendayu dengan raut yang dibuat seramah mungkin.

“Habiskan, ya? Sedikit lagi. Mubazir.” Namun Najmi tetaplah Najmi yang keras kepala. Sekali tak mau, maka tak mau. Jangan paksa. “Mas Adib aja yang habisin kalau takut mubazir. Aku nggak mau, dan aku udah kenyang. Nanti kalau aku sampai muntah gimana? Mas Adib juga, kan, yang bakal repot?”

Adibya yang dijawab demikian pun lagi-lagi hanya bisa menghela napasnya pelan. Mau tak mau, ia mengalah dan menyuapi bubur kacang hijau itu ke dalam mulutya sendiri — membuat Najmi sedikit membulatkan mata. Ia jadi ingat saat pertama kali Adibya mengajaknya sarapan di bawah terpal lapak nasi uduk. Di sana, mereka berbagi isi piring bak orang tak mampu untuk membeli dua porsi. Padahal, hari itu, ia hanya ingin menawarkan Adibya untuk memakan orek tempe yang sangat tak ia sukai. Mau dibagaimanakan pun, ia tetap tak akan pernah mau mengunyah olahan kedelai yang satu itu tanpa alasan yang jelas. Pokoknya, Najmi tak suka.

“Kenapa?” tanya Adibya bingung saat Najmi memperhatikannya sembari terkekeh pelan. “Gapapa. Cuma lagi nginget our first breakfast di warung nasi uduk,” jawabnya membuat Adibya ikut tetawa kecil. Ia tentu ingat akan hal itu.

“Enak?” sambung Najmi bertanya pendapat sang pemuda terkait bubur kacang hijau. Namun reaksinya hanya mengedikkan bahu, lalu bangkit dari bangku. Adibya telah selesai menghabiskan menu sarapan yang satu itu, yang sebenarnya untuk Najmi santap.

Dari netranya yang sebenarnya masih terlihat redup, Najmi memperhatikan Adibya yang lagi-lagi sangat telaten dan lihai dalam menumpuk wadah kotor. Tangannya terlihat cekatan dalam mengurus pekerjaan rumah atau apapun itu nantinya.

“Mas Adib.” “Minum dulu,” potong Adibya yang mengabaikan panggilan sang gadis untuknya. Dan dengan pasrah, Najmi menerima sembari membuka mulutnya kecil demi menyedot air putih dengan sedotan yang Adibya sodorkan. Bahkan, pemuda itu tidak membiarkannya minum dengan memegang botolnya sendiri. Adibya benar-benar merawat Najmi dan melakukan segalanya untuk gadis itu.

Dalam hati, Najmi kian gemuruh. Ada sesak yang begitu besar tengah menghantam relungnya berkali-kali lipat. Perlakuan Adibya selama tiga puluh menit terakhir sungguh membuatnya kian bimbang akan keputusan yang ia pikirkan sejak semalam hingga berakhir semakin sesak dan kehilangan kesadaran.

“Kenapa? Kamu mau ngomong apa?” Kini, lelaki itu sudah duduk dengan tenang dan menjadikan Najmi sebagai objek fokusnya tanpa ada lagi kegiatan lain yang memecah konsentrasi.

Sorot mereka pun beradu, saling menyelam pada bening yang menyembunyikan segala resah kala menatap lekat. Adibya menarik bangkunya untuk kian merapat saat melihat Najmi menghela napas berat.

“Mas Adib,” “Hmm?”

Lagi-lagi Najmi menghela napasnya dengan berat. Gadis itu kemudian kembali menarik oksigen dengan volume penuh.

“Kalau rasanya masih terlalu berat untuk dibicarakan sekarang, enggak apa-apa. Masih ada hari esok untuk kita obrolin.” Adibya memang seolah tampak diciptakan untuk selalu mengerti tentang Najmi — bahkan tanpa diberitahu terlebih dahulu. Ia benar-benar bisa mengerti dan membaca segala gelagat dan apa yang tengah Najmi rasakan. Lelaki itu kini bahkan memijat pelan kedua kaki sang gadis secara bergantian demi memberikan ketenangan lebih.

Namun bukannya merasa tenang, Najmi malah kian merasa sesak dengan gumpalan cairan bening yang bertengger di pelupuk matanya. Lantas, tanpa mau terlihat lemah saat Adibya sibuk memijat dengan raut tulus pun membuat Najmi menyeka air matanya cepat. Ia tak mau Adibya menyadari dirinya sedang menangisi rencana mereka yang sudah tersusun apik akan segera digoyahkan karena harus dirombak dengan berbagai macam rencana lain di dalam kepalanya.

Tapi sekeras apapun Najmi menutupi resahnya, sekali lagi, ini adalah Adibya Lofarsa. Yang cepat tanggap, yang mengerti tentang raut dan perasaan perempuan di hadapannya ini dengan cukup baik. Sebab dari kecil pun, dirinya juga dibesarkan dengan anggota keluarga yang di antaranya terdiri dari empat perempuan. Yakni satu mendiang Ibu, dan tiga lagi adalah kakak-kakaknya yang bermacam ragam dalam bertingkah. Adibya sudah cukup khatam dengan laku perempuan.

“Kenapa nangis? Sakit, ya?” tanya Adibya yang sebenarnya basa-basi. Sebab, ia sungguh tahu apa yang membuat gadis itu sedari tadi tampak gelisah.

Namun tanpa disangka, Najmi malah mengangguk dan memukul pelan dada kirinya. “Sakit, Mas. Di sini,” ucapnya dengan nada yang benar-benar terdengar bergetar.

Ssstt, jangan dipukul, Najmi. Nanti yang ada makin sakit…,” ucapnya kala Najmi menepuk-nepuk dadanya berulang kali dengan tangan yang mengepal. Ia raih tangan kanan sang gadis untuk ditahan, lalu menggantikan dengan tangannya yang menepuk pelan dada kiri Najmi. Bahkan kalau bisa dibilang, bukan lagi dada. Sebab, Adibya menyentuhnya hampir di bagian pundak kiri. Tak berani dirinya untuk lancang ikut mengelus ke arah bagian privasi sang gadis. Ia masih punya etika yang bahkan sangat dijunjung setinggi mungkin.

“Mas Adib…,” panggil Najmi yang kian terdengar lirih. Gadis itu benar-benar sudah bersusah payah menahan tangisnya. Sebab, entah mengapa, setiap bersama Adibya, sisi gengsi dan kuatnya sebagai wanita yang mandiri itu jadi sedikit tersingkir. Ia bahkan sama sekali tidak pernah malu untuk mengeluh dan menangis di hadapannya. Sebab, ia tahu bahwa Adibya akan selalu menerima dan bahkan memperhatikan dengan caranya sendiri. Najmi merasa nyaman atas afeksi dan kenyamanan yang lelaki itu berikan kepadanya.

“Iya, Najmi. Saya di sini.” Jawabannya selalu begitu. Setiap Najmi memanggilnya dengan nada sendu, Adibya akan menjawab panggilannya persis demikian — sama sekali tak ubah. Nadanya, rautnya, gelagatnya. Semua, tetap sama.

“Kenapa? Ada yang mau disampaikan sekarang, ya? Udah enggak tahan lagi sampai bikin dada kamu sakit gini…,” tambah Adibya sembari mengelus tangan yang berada di dalam genggaman tanga kirinya. Maka tanpa aba-aba, Najmi mengangguk reflek. Ia tak bisa bohong, dan tak bisa menahannnya dalam waktu yang lebih lama lagi.

Setelah dirasa Adibya nyaman dengan duduknya, Najmi mulai membuka suara. Tenggorokkannya benar-benar terasa dicekik karena menahan sesak yang luar biasa hebat.

“Ya udah, ayo cerita. Saya dengarkan,” ucapnya dengan senyum tipis dan anggukkan yang meyakinkan Najmi.

Terdiam belasan detik, Adibya masih menanti Najmi lekat tanpa memindahkan atensinya pada objek lain.

“Kalau kamu lanjutin pendidikan ke Belandanya sendirian, enggak apa-apa, kan?” tanya Najmi yang menatap sendu dengan bibir bawah yang ia gigit kecil, takut. Bahkan nada bicaranya terdengar begitu serak karena menahan tangis. Sebab, Adibya hanya diam. Ia tak merespon apapun meski Najmi sendiri dapat melihat bahwa pemuda itu cukup tersentak dengan kalimatnya yang diyakini Najmi dapat dipahami secara jelas oleh Adibya sendiri.

Pemuda itu menatap kian lekat tanpa berniat menjawab. Bukan tanpa alasan, namun hanya ingin mendengarkan kalimat selanjutnya yang akan keluar dari sosok Najmi. Karen memang dari awal, dirinya ingin mendengar pendapat dan keputusan gadis itu.

“Nikahnya juga kita undur dulu, boleh, ya?” Najmi, dia benar-benar selaras dengan saran yang Mba Aini sampaikan padanya. Sama sekali tak buang, alias sama persis.

“Aku tau di sini aku yang salah. Padahal, aku sendiri yang pengen pernikahan kita cepet-cepet dilangsungkan. Tapi nyatanya, semua nggak semulus itu, kan, Mas Adib?” terangnya dengan nada yang semakin terdengar pilu dan penuh rasa bersalah. “Karena dari awal rencana yang udah kita rancang berdasarkan prinsip anti long distance marriege dalam hubungan kita setelah menikah, maka aku rasa ini keputusan yang paling tepat setelah kejadian semalam.” Mereka yang dari awal sudah terlalu asyik berfokus pada rencana utama, sampai lupa menyediakan plan B sebagai rencana cadangan. Maka, inilah konsekuensi yang harus ditanggung.

“Nanti, setelah dirasa semuanya membaik, aku bakalan ambil program master juga. Tapi…, di Indonesia, bukan Belanda atau negara mana pun itu.”

Kemudian, yang Najmi lihat dari sosok Adibya hanyalah lelaki itu yang menyandarkan diri pada bangku sembari menyugar rambutnya pelan. Matanya yang dipejamkan sejenak dengan deru napas berat itu membuat Najmi kian paham, bahwa hal ini juga berat untuk dihadapi sang pemuda yang lebih tua tiga tahun darinya tersebut.

Kenapa mereka tak menikah dulu saja? Mengapa pasangan ini terlalu ribet terkait hubungan jarak jauh setelah menikah? Jawabannya, sudah mereka pahami masing-masing. Sebab, hal ini sudah berulang kali dibahas. Bahwa Najmi dan Adibya adalah anti LDR garis keras. Dan menurut Najmi, seperti apa yang selalu ia sampaikan pada Adibya, dan seperti apa yang telah ia katakan pada Nabila kemarin malam…, itulah garis besarnya. Bahwa, Najmi tidak suka dan tidak mau kalau golden period-nya pada lima tahun pertama pernikahan malah jadi tidak sempurna dan jauh dari bayang-bayangnya selama ini. Mereka, sudah setuju untuk menghindari konflik yang dampaknya akan jauh lebih besar di masa depan. Meski sekalipun mereka telah paham dengan tanggung jawab yang diemban dan dipikul pada pundak masing-masing, mengihindar adalah cara terbaik demi mencapai titik tujuan mereka.

Bukan. Bukan karena mereka tidak percaya dengan satu sama lain. Namun, karena memang begitulah karakter sepasang manusia tersebut.

“Kalau saya punya solusi selain pengunduran rencana pernikahan, gimana?” Lelaki itu akhirnya membuka suara saat dirasa Najmi sudah benar-benar membutuhkan pendapat dari dirinya.

“Saya punya sebidang tanah di daerah Ciamis yang sudah akan dilepas. Kita bisa pakai uang itu untuk pemulihan usaha kamu.” Lantas, hal itu langsung mendapatkan gelengan keras dari Najmi.

Meski dia tahu bahwa Adibya memang anak juragan tanah yang meneruskan usaha pribadi keluarganya itu, tetap saja, Najmi menolak dengan sangat tegas. Sebab kalau dibilang, Adibya sudah terlalu royal kepada dirinya. Bahkan, minggu lalu pemuda itu sempat menawarkan agar dirinya saja yang membiayai seluruh pengeluaran Najmi selama menuntut ilmu di Belanda, termasuk biaya pendidikan yang satu tahunnya hampir menyentuh 300 juta. Itu pun masih di luar visa dan tiket keberangkatan. Serta belum lagi dengan biaya apartemen, kehidupan sehari-hari, asuransi, sampai pegangan untuk keperluan mendadak Adibya yang akan menanggung seluruhnya. Lelaki itu benar-benar membujuk Najmi untuk membiarkan dirinya membiayai penuh.

Namun gadis ini adalah Najmi. Perempuan yang tidak haus harta dan tamak. Perempuan yang tidak akan dibutakan oleh keroyalan Adibya karena efek terlalu cinta kepadanya. Sebab, mau bagaimapun Adibya meminta, sekalinya Najmi bilang tidak, maka tidak sampai akhir. Terlebih, ini menyangkut uang. Yang mana, di mana-mana, topik yang satu itu sangatlah sensitif. Bahkan, kekeluargaan dan persahabatan sendiri bisa pecah hanya karena permasalahan uang.

Mungkin, saat itu permintaan Adibya memang masuk akal karena jikalau ditarik sesuai rencana yang tersusun, mereka sudahlah menjadi pasangan suami isrti. Maka wajar jikalau Adibya merasa itu adalah tanggung jawabnya sebagai seorang suami terhadap istri. Namun kini, semua jelas berbeda. Jika saat itu Najmi akhirnya setuju dengan Adibya yang akan menafkahinya dengan cara memmbayarkan visa dan biaya hidup sehari-hari saja, maka kali ini tidak sama sekali. Terlebih, sampai membantu dirinya sebanyak ratusan juta. Najmi sunggguh tak berani mengambil resiko besar. Ia juga malas kalau lagi-lagi harus rembuk dan rapat dua keluarga. Maka lebih baik, ia harus berusaha sendiri dan mengandalkan bantuan sang Papi dan Ghandi. Keluarganya lebih dari mampu untuk membantunya bangkit dari keterpurukan.

Katakanlah Najmi adalah perempuan paling bodoh dan paling ribet sejagat raya. Tapi sekali lagi, itu tak akan berpengaruh padanya. Karena kita perlu untuk mengingat, bahwa gadis itu juga pernah menjadi korban bullying. Maka, ia tentu sudah kebas dan anti badai jika dikatai macam-macam. Tak ada yang bisa menggoyahkannya selain tragedi kehilangan Mami.

“Nanti hal ini kita bahas lagi lebih lanjut after you get better, dan keluar dari rumah sakit, ya? Sekarang saya minta tolong sama kamu untuk istirahat aja dan enggak berpikiran macam-macam. Oke?” Lelaki itu berdiri, lalu menekan sebuah tombol yang membuat ranjang Najmi menjadi lebih rendah dari sebelumnya.

“Dan hal ini bukan salah kamu. Bukan salah siapa-siapa,” ucap Adibya yang kemudian mengusak kepala Najmi penuh sayang. “Mungkin emang ujiannya yang kayak gini. It’s super okay,” sambungnya tersenyum menenangkan. Sorot teduh yang dilayangkan pun turut membuat Najmi kembali berkali-kali lipat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah Dia berikan. Karena, selakunya Adibya yang selalu Najmi syukuri kehadirannya, yang selalu Najmi kagumi terkait bagaimana Adibya yang memperlakukannya bak putri raja, Najmi sungguh tidak bohong saat bertekad untuk tidak akan pernah membiarkan siapapun merebut pemuda itu darinya. Sampai kapanpun, Najmi tidak akan melepaskan Adibya Lofarsa.

Sebab mengapa? Karena pemuda itu memang benar-benar sosok yang selalu menghindari cek-cok. Dia mempunyai stok kesabaran yang melimpah, dan lebih banyak mengalah. Sebab itu lah, semakin hari, Najmi semakin sadar diri untuk mempebaiki pribadinya agar merasa pantas untuk bersanding dengan lelaki sempurna seperti Adibya Lofarsa.

“Mas Adib,” panggil Najmi yang kini memperhatikan Adibya. Pemuda itu sibuk memperbaiki selimutnya, lalu melihat ke arah cairan infus — memeriksa.

“Hmm?” sahutnya santai, lalu menatap Najmi.

“Deketan sini,” ujar Najmi sembari memberi gestur untuk mendekat dengan jari tangannya.

Adibya hanya menurut dan mendekat. “Kenap — ”

Chup!

… pa kamu tiba-tiba cium saya?!” ucap Adibya yang tadinya terputus malah disambung dengan pertanyaan demikian.

Sedang sang gadis hanya terkekeh saat mendapati telinga Adibya yang memerah. Padahal Najmi hanya cium pipi. Tapi salah tingkah yang lelaki itu tunjukkan membuat semburat tawanya jadi pecah. Resahnya berhasil luruh, sesaknya berhasil sirna.

“Kebiasaan banget kamu nyerang love language saya,” protesnya menjauhkan wajah dengan mata disipitkan — pura-pura sebal.

Lantas, Najmi tertawa. Ia jadi teringat ucapan Adibya terkait persentase love language-nya yang asli adalah physical touch. Bukan acts of service, quality time, atau bahkan words of affirmation seperti yang selama ini Najmi perhatikan. Sebab, Adibya yangbeberapa waktu lalu mengaku itu, memberitahu kalau sudah menikah nanti, semuanya akan ia pastikan terlihat berbeda dari apa yang Najmi dapatkan saat sebelum menikah. Bahkan secara signifikan, ucapnya dengan sangat meyakinkan.

“Awas ya kamu kalau udah jadi istri saya,” ucap Adibya masih menatap dengan raut sok seram. Lelaki itu bahkan duduk bersandar pada kursi dan bersedekap dada.

“Apa? Mau apa memangnya Mas Adib?” tanya Najmi menantang.

Adibya terkekeh pura-pura sinis. “Mau saya kekep sampai kamu enggak bisa kemana-mana.”

“Dih?!” sahut Najmi dengan raut tak yakin. Bahkan tanpa disadari, percakapan mereka benar-benar tampak berbeda dengan aura deep conversation yang beberapa menit lalu mereka langsungkan. “Kalau aku dikekep terus, engep dong? Seneng ngga, mati iya.”

“Heh!” tegur Adibya lembut. Namun ia sungguhan tak suka dengan ucapan Najmi barusan. “Lagian, bukannya kamu, ya, yang enggak sabar mau gelendotan dan kelonan sama saya? Makanya mau cepet-cepet nikah?” sambung Adibya dengan rautnya yang setengah meledek.

“Dih, kapan aku bilang gitu ke Mas Adib?!” sahutnya tak mau kalah.

“Perlu saya bawa hardcopy Surat Terbuka yang kamu kirim ke Mba Arsyi waktu itu ke sini?” Lantas, Najmi langsung bungkam kala ia mengingat bahwa dirinya pernah mengetik demikian pada paper tersebut — membuat Adibya malah tertawa karena merasa menang.

“Centil banget!” seru Najmi menanggapi tawa Adibya.

“Lah, kok jadi saya yang dibilang centil? Bukannya tadi tuh kamu, ya, yang cium pipi saya?” goda Adibya membalas dengan senyuman yang mengembang. Sebab lagi-lagi, ia menang.

“Tapi seneng, kan?!” tuding Najmi yang nyatanya masih tak mau kalah.

“Ya…, seneng lah. Namanya juga rejeki — aduh!” Adibya langsung meringis kala Najmi sanggup memukul lengan atasnya dengan cukup keras.

“Semua cowok sama aja!”

“Kok gitu?” tanya Adibya yang memang tidak pernah setuju dengan kalimat dan persepsi yang demikian.

“Ya ibarat kucing dikasih ikan asin, kucing mana yang bakal nolak? Nggak ada!”

“Tapi saya manusia, Najmi. Bukan kucing.”

“Kan, ibarat?! Gimana sih, Mas Adib?!” kesal sang gadis yang mengundang gelak tawa Adibya.

“Nggak semua kucing mau ikan asin, Najmi. Karena kucing persia dan anggora jarang mau makan ikan asin. Mereka sangat pemilih, super selective, dan dipilihkan makanannya. Enggak sembarangan. Begitu juga dengan saya terhadap kamu,” jelasnya dengan nada yang enak memasuki gendang telinga. “Paham, kan, maksud saya?” sambungnya kemudian.

Namun Najmi hanya diam dan memiringkan kepalanya ke kiri, pertanda meminta penjabaran lebih luas. Bukan, bukan karena bodoh dalam mengartikan. Namun, karena Najmi suka sekali saat Adibya menjelaskan sesuatu kepadanya dengan senang hati.

“Kita ini hidup didampingi dengan moral dan etika, Najmi. Harus tau batasan,” ucap Adibya yang kini sudah duduk santai dengan kaki saling menghimpit. Sementara, kedua tangannya terjalin dan diletakkan di atas lutut.

“Terus, what about our first kiss?” tanyanya dengan kedua alis yang dinaikkan tinggi. Apakah Najmi sudah melewati batasan?

“Menurut kamu, alih-alih bahas first kiss, kenapa saya waktu itu cuma tulis Kecupan Kilat di Tanggapan Surat Terbuka?” Adibya malah balik bertanya — membuat Najmi mencebik sebal, lalu mengedikkan bahunya malas. Ia tak berniat untuk menjawab.

Lantas, Adibya malah tertawa. “Najmi, First kiss is an intimate activity carried out by kissing each other on the lips for the first time.” Najmi yang diberitahu demikian pun mengerutkan dahinya. “It means, yang waktu itu enggak bisa kamu bilang first kiss. Because kissing is need two people untuk saling mengisi, not alone like at that time.”

Stop!” Najmi benar-benar tak mau lagi mendengar penjelasan lebih lanjut dari Adibya yang membuatnya merinding dan semakin malu.

“Dan dengan durasi yang lama,” tambah Adibya yang sengaja menggoda Najmi agar lebih sebal terkait penjelasan first kiss yang perempuan itu bahas.

“MAS ADIB, IH!” kesal Najmi yang sedikit bangkit untuk mecubit lengan Adibya.

“Aduh, iya-iya. Maaf, enggak lagi deh!” sahut Adibya yang meringis sembari mengusap-usap bekas cubitan Najmi yang benar-benar pedih — melibihi sakitnya digigit semut merah.

Padahal, kalau saja gadis itu mau, sudah ia ledek habis-habisan Adibya yang saat itu langsung sakit karena terlalu syok menerima kecupan darinya. Waras lelaki itu hampir terenggut kalau dia lupa.

But if you wanna know more about it, search aja ‘first kiss meaning’ or ‘how to kiss someone you love’ biar langsung paham.”

CAN YOU STOP?!!” erang Najmi yang benar-benar kian bersemu dan sebal. “Kayak yang udah pro aja! Nanti giliran beneran diajak ciuman malah tipes! Nggak seru!” lanjut Najmi yang membuat Adibya tertawa cukup kencang. Gadis itu tengah meledeknya secara tidak langsung.

“Siapa bilang?” balas Adibya dengan sisa tawanya. “Kalau kamunya ngasih aba-aba dulu, ya saya enggak bakalan syok kayak waktu itu.”

“Halah, baru dikecup satu detik aja Mas Adib langsung tepar nggak berdaya sampai demam seharian. Mana katanya hampir gila,” timpal sang gadis yang kini semakin menyenggol kenangan yang satu itu. Ia bahkan dapat mengingat dengan jelas apa yang pemuda itu tulis pada Tanggapan Surat Terbuka. Sebab, hampir tiap hari ia membacanya tanpa rasa bosan. Entah itu pagi, siang, sore, malam, hingga menjelang tidur pun, Najmi tetap akan membacanya. Mood-nya yang buruk bahkan akan langsung membaik begitu saja kala membaca susunan kalimat menyentuh yang ditata dengan baik oleh sosok Adibya Lofarsa.

Sementara, di pintu masuk, langkah yang tertahan sejak belasan menit lalu itu masih terpaku di sana. Ia mendengarkan percakapan Najmi dan Adibya sembari tersenyum kecil dan menghela napas lega. Separuh urusan bisnis anaknya sudah ia selesaikan beberapa waktu lalu.

“Terima kasih, Adib. Terima kasih sudah bersedia meyalam ke dalam kehidupan anak gadis saya yang sebelumnya dikuasai oleh hampa.” Khaffa membatin penuh haru. Ia benar-benar bersyukur atas keputusannya waktu itu. Pun, menjadikan Adibya salah satu lelaki yang akan ia jodohkan dengan Najmi. Padahal, kalau saja hari itu anaknya tak meminta dijodohkan, Khaffa akan tetap mengenalkannya dengan sosok Adibya Lofarsa. Namun siapa sangka, niat baiknya tersebut malah dipermulus dan dipercepat oleh keinginan Najmi sendiri.

“Sekali lagi, terima kasih, Adibya Lofarsa. Najmi beruntung punya kamu.”

Namun pada hakikatnya, tak ada yang merasa paling beruntung. Karena kalimat yang tepat untuk pasangan itu adalah, mereka sama-sama beruntung karena memiliki satu sama lain. Baik itu Adibya kepada Najmi, dan Najmi kepada Adibya, mereka sama-sama bersyukur atas takdir yang mereka hadapi saat ini.

Adibya bersyukur mengenal Najmi, dan Najmi bersyukur mempunyai Adibya. Forever will always be like that.

Kepada titik, izin sebentar, ya? Saya juga butuh koma untuk menuju akhir dari peraduan kisah dan perjuangan ini. Bertahan sedikit lebih lama, tidak akan masalah, kan? Saya dan Najmi masih butuh waktu untuk mengukir bahagia yang lebih luas. Maka, tolong bersabar dan mengerti.

— Adibya Lofarsa

Narasi 32 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet