Di antara Dua Kubu

rofenaa
5 min readJan 1, 2023

--

Sebenarnya Najmi sama sekali tidak merajuk. Ia hanya malu karena sudah kelepasan marah dan mengumpat pada suaminya. Padahal Najmi sudah mengambil ancang-ancang untuk menyelesaikan masalah mereka saat jam istirahat makan siang. Karena biasanya, lelaki itu akan menyempatkan diri untuk pulang dan makan di rumah bersama keluarga kecilnya. Namun nyatanya kali ini sang suami tak bisa. Usai jadwal mengajar di kampus, ia harus segera ke kantor firma hukumnya untuk mempersiapkan berkas persidangan di pengadilan negeri yang akan ia hadiri.

Kini, langit telah gelap. Mentari bersembunyi demi beri kesempatan pada bulan yang terangi bumi. Meski pada akhirnya gumpal awan kelabu yang kuasai hamparan, tak masalah. Toh mereka juga sudah berada di rumah.

Adibya yang dua jam lalu telah sampai pun tampak damai. Ia masih belum membahas pertikaian kecil di antara mereka. Padahal Najmi sudah tak tahan lagi untuk berpura-pura sebal. Suaminya itu sangat menggemaskan ketika mengirimkan begitu banyak pesan yang berakhir hanya dibaca saja olehnya seperti tadi.

Belum lagi saat baru menginjakkan kaki di rumah, ia mencium kening Najmi dengan cukup lama. Pertanda bahwa dirinya tidak marah dan merajuk seperti apa yang istrinya itu kira. Namun tetap saja, Adibya masih belum mau untuk buka suara.

“Kenapa, Bang? Ada yang mau disampaikan ke Papa?” Adibya yang sadar akan tatapan dan gelagat sang anak pun tentu bertanya. Rabu malam kali ini tampaknya tak ‘kan ada jadwal hafalan kosa kata bahasa Inggris. Karena memang, Adibya sendiri sudah menantikan momen ini sejak pengaduan Najmi.

Abbas mengangguk dua kali. Adibya pun merapatkan diri. Ia lipat tangannya di atas meja dengan Abbas yang juga turut menyandarkan perutnya. Benda yang terbuat dari kayu ini memang sengaja diletakkan di atas karpet hijau pastel berbulu agar mereka bisa duduk dengan nyaman. Meja bundar nan rendah ini menjadi perantara antara Adibya dan Abbas yang akan terlibat konversasi antara anak dan bapak.

Ruang terbuka yang digunakan khusus untuk belajar Abbas itu berada di sebelah studio seni milik Najmi. Dari arah dapur, bahkan kegiatan mereka masih tampak dalam pengawasan sang Mama yang sibuk meyeduh secangkir susu cokelat dan chamomile tea. Ia dengarkan Abbas yang menceritakan bagaimana detail kejadian saat di sekolah hingga ia bisa sampai di rumah. Anak itu juga memberi tahu bahwa sang Mama sempat merasa sebal dan marah pada Bima meski secara tidak langsung.

Adibya mendengarkan semua cerita anaknya yang menggebu-gebu. Ia bahkan tidak marah. Sama sekali tidak demikian sebab apa yang terlontar dari mulut Abbas sudah cukup untuk membuatnya urung beri nasehat. Anak itu sadar akan segala perbuatan dan sebab akibat. Ia bahkan tahu tindakan apa yang harus diambil jika hal demikian kembali terulang.

“Tapi Papa …” Abbas menggantung kalimatnya. Najmi yang meletakkan minuman untuk suami dan anaknya itu tentu ikut menoleh. Mereka sama-sama menanti apa yang akan bocah ini sampaikan.

“Kata daddy Ghandi — ” “Daddy?!

Kalimat Abbas tentu terputus saat kedua orang tuanya serempak mengucapkan satu kata. Sepasang suami istri tersebut bahkan sempat berpandangan meski hanya sesaat.

“I-iya. Maksud Abang, Pakde Ghandi.” Abbas yang sebenarnya cukup terkejut lantas langsung sadar bahwa ia sudah salah dalam menyebutkan panggilannya pada Ghandi. Sebab perjanjiannya dengan sang paman adalah, Abbas harus memanggilnya dengan sebutan Daddy jika sedang tidak ada Adibya. Sebab setahu Abbas, Papanya itu tidak suka apabila Ghandi dipanggil dengan sebutan Daddy oleh dirinya.

“Oke, Daddy-mu itu bilang apa memang?” Adibya yang tak mau anaknya salah kaprah terhadap larangan tersebut pun berterus-terang tanpa menyensor kata Daddy. Urusan panggilan ini sebenarnya hanya pertikaian kecil yang mucul semenjak Abbas lahir, namun tak kunjung usai hingga saat ini. Adibya pun sesungguhnya tak terlalu masalah. Tapi ia merasa sebal jika ada yang dipanggil ayah oleh anaknya itu selain dirinya sendiri.

“Katanya, kalau ada yang jahatin Abang, jangan takut. Sebisa mungkin ya bales aja.” Adibya termangu. Ajaran Ghandi memang benar-benar bagaimana ia selama ini bersikap. Ini pasti efek Abbas yang sering bermain dengan iparnya tersebut. Bahkan beberapa waktu lalu, Ghandi yang saat ini masih belum memiliki momongan sempat berhasil mengajak Abbas untuk menginap di kediamannya.

Najmi yang paham betul bagaimana konsep hidup Ghandi dan pola pikir kakaknya itu, tentu tak lagi berani menatap Adibya. Hal yang paling ia hindari saat ini adalah mata sang suami yang sesekali melirik ke arahnya.

Ah! Kakaknya itu pasti banyak sekali mengajarkan berbagai macam cara survive diri pada Abbas yang konsepnya sedikit berlawan dengan apa yang selama ini Adibya ajarkan.

“Tangan balas tangan, kaki balas kaki. Artinya kalau Abang dipukul, harus dibalas pukul. Kalau Abang ditendang, berarti Abang harus tendang balik. Gitu, ya, Pa?” Karena sepenangkapan Abbas, begitulah kira-kira maksud ilmu yang Daddy Ghandi berikan padanya.

“Kalau menurut Abang bagusnya harus gimana? Mau balas pakai kekerasan juga, atau dibicarakan baik-baik?” Abbas diam sejenak kala Adibya bertanya demikian padanya. Maka kemudian ia lirik sang Mama yang sedari tadi hanya diam.

“Tergantung seberapa besar masalahnya, sih, Pa. Kalau Abang udah disudutkan, berarti nggak ada cara lain selain serang balik. Ya, kan? Abang boleh gitu, kan?”

Lihatlah, mereka seperti sedang berbicara dengan remaja SMA yang sering tawuran saja. Padahal umur Abbas masih belum genap 6 tahun.

Karena Adibya yang tak kunjung menjawab, Najmi pun buka suara. “Boleh. Urusan orang tua dipanggil pihak sekolah bisa belakangan. Yang penting kamu jangan mau kalah dan jadi kelihatan pecundang di depan musuhmu.”

Adibya lantas menaruh telapak tangannya pada dengkul Najmi, pertanda sang istri harus berhenti bicara saat ini juga. Ia tak boleh mendoktrin pikiran Abbas dengan ajaran yang demikian. Sebab memikirkan akibat sebelum bertindak itu adalah hal yang paling utama. Menyesal di akhir itu tiada guna.

“Boleh aja. Tapi balik lagi sama pendirian Abang. Sama apa yang Papa ajarin selama ini. Bersikap tenang, pikirkan sebab akibat sebelum bertindak lebih jauh. Paham, kan?” Abbas mengangguk pertanda ia paham sekali maksud sang Papa. Ia pun sudah puas atas jawaban yang diterima.

“Kekerasan nggak harus dibalas kekerasan kok, Sayang. Sebagai manusia yang cakap hukum dan berintegritas, kita punya cara lain untuk menindakinya.” Najmi tahu, meski saat ini sorot Adibya menatap wajah sang anak, kalimat barusan nyatanya adalah untuk dia. Adibya menegurnya secara halus.

“Terkadang, perihal minta maaf, mengalah, dan nggak membalas perbuatan jahat persis seperti apa yang kita terima itu, nggak selalu bakal kelihatan pecundang, kok. Percaya deh, sama Papa. Jangan takut dikira pecundang cuma karena kita memilih untuk bersikap benar dan bijaksana.”

Najmi lantas berdiri. Ia tidak tahan dengan nasihat Adibya yang benar-benar menyentil harga dirinya. Ia tiba-tiba merasa kecil dan buruk. Najmi mendadak merasa bahwa ia masih jauh dari kata sempurna untuk imbangi baiknya Adibya Lofarsa.

Belum lagi dengan tatapan sang suami yang sulit sekali ia artikan, maka Najmi lebih baik undur diri dan menyiapkan makan malam mereka sesegera mungkin.

“Pa, kayaknya Mama sebel deh. Jangan lupa bujuk, ya?” Begitu bisik Abbas pada Adibya. Anak kecil itu saja peka bahwa Najmi Desra sedang tak baik-baik saja.

“Iya, Abang tenang aja. Nanti Papa bujuk Mama sampai happy lagi!” balasnya lantas mengacak surai sang anak. Kemudian ia ajak Abbas agar turut berdiri. Mereka harus membantu Najmi menyiapkan makan malam (meski Adibya tidak akan menyentuh nasi ataupun makanan berat lainnya seperti biasa).

Das Sein by ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet