Begitu banyak tempat yang dapat ia datangi, dan begitu banyak pula manusia yang dapat ia temui. Namun mengapa iris coklat terang itu lagi yang menjadi panguasa atas netranya? Iringan musik pada tempat ini pun bahkan turut menambah kesan dramatis terhadap pertemuan tak terduga mereka. Pengeras suara tersebut bak menyuarakan isi hati Adibya. Judulnya Tergila-gila dari Tulus, salah satu musisi favorit lelaki tersebut.
Ini bukan yang pertama, tapi ini paling menarik…♪♪♪♪
Begitulah lantunan lirik yang menyapa indera tiap manusia yang ada di sini. Terutama pada gendang Adibya. Ia perhatikan gadis dengan rambut di atas bahu itu duduk sendirian tanpa teman di malam minggu yang ramai. Namun tampaknya, ia tengah menanti kedatangan seseorang yang tak kunjung menunjukkan eksistensinya. Kemeja putih berlapis vest biru muda itu terlihat cocok untuknya. Kesan lembut dan damai pun mengiringi perawakan gadis itu bagi siapapun yang memandang.
Ah, indah sekali puan yang satu ini. Begitulah kalimat yang terbesit dalam hati Adibya.
Masih dengan lagu yang sama, keadaan pun tetap sama. Gadis itu menghindari pandangannya dari Adibya. Ia arahkan matanya ke segala titik asal tidak ke tempat Adibya berada. Lelaki itu duduk sendirian. Namun raganya tampak sibuk mengotak-atik ponsel. Jemari lelaki itu menari-nari. Apalagi kalau bukan melakukan hal yang ia suka — membaca jurnal dan artikel hukum dikala luang.
Jika lelaki itu sibuk menambah ilmu, maka Najmi pun sibuk melakukan panggilan pada Nabila. Ia telepon teman somplaknya tersebut berulang kali. Namun gadis bucin dengan otak rada-rada tersebut tak kunjung datang. Sementara ini sudah melebihi lima menit. Najmi bukan tipe manusia yang senang menunggu. Dia mudah bosan dan muak. Apalagi di sini ada sosok Adibya. Malas sekali harus berbagi oksigen pada lelaki yang membuat mood-nya menurun drastis hari ini. Ya meskipun tujuannya ingin bertemu dengan Nabila dan Septian untuk membahas lelaki itu, tetap saja, Najmi masih malas kalau harus melihat wajah Adibya saat ini.
“Nab, ini tuh udah lewat lima menit. Kasian, ih, itu temen kamu sendirian.” Begitu ucap Asep alias Septian pada sang kekasih hati, Nabila Putri. Gadisnya ini masih saja bersikeras untuk bersembunyi dari pandangan Najmi dan Adibya.
“Bentar dulu, Sep. Kita tungguin mereka bakal ngapain.” Sepasang kekasih itu duduk di bangku paling pojok. Tempatnya sedikit tertutup akibat interior yang telah diatur sedemikian rupa sejak awal. Nabila memang pandai kalau sudah menyangkut hal seperti ini. “Lagian, Kak Sindy belum keliatan. Kali aja Mas Adib mau ngajak Najmi baikan dulu?” jawab Nabila seraya mengintip ke arah dua orang yang duduk berbeda bangku tersebut. Meja mereka berjarak sekitar enam meter.
“Tapi Kak Sindy kan udah di parkiran, Sayang.” Septian itu dikenal sangat sabar menghadapi Nabila. Lelaki itu banyak sekali mengalah. Pula, cintanya yang tak lekang, dan tak kunjung pudar pada gadis ini. Kalau kata orang, Nabila pasti mendapatkan Septian jalur pelet. Termasuk oleh kakak kandung Nabila sendiri, namanya Yarli. Bertuah sekali gadis itu mendapatkan laki-laki seperti Septian, pikirnya.
“Terus kalau Kak Sindy nyamperin Mas Adib gimana?” lanjut Asep bertanya.
“Ya udah, mau dibegimanein lagi? Kita liat aja reaksinya si Najmi ntar.” Asep hanya bisa menghela napasnya pasrah. Terserah Nabila mau apa. Yang penting gadis itu senang.
“Mampus, Sep! Kak Sindy nyamperin Mas Adib!” Tiba-tiba Nabila heboh sendiri saat melihat sosok yang pernah membuatnya salah sangka terhadap Septian itu pun akhirnya muncul.
Rupa wanita yang berumur satu tahun lebih tua dari Adib itu pun tak kalah cantik. Pakaian yang sebenarnya biasa saja tersebut bahkan tampak glamour kalau sudah Sindy yang memakainya. Nabila saja dulu sempat mengira kalau Sindy ini benar-benar selingkuhan Septian. Namun ternyata, perempuan yang telah lama hidup menyendiri di Aussie tersebut merupakan kakak kandung pacarnya.
“Hai, Dib. Kok masih sendiri?”
Najmi dapat mendengar sapaan tersebut sayup-sayup. Bukan hanya hatinya, namun juga mata Najmi turut memanas saat mendapati seorang perempuan datang menghampiri Adibya seraya mengacak pelan rambut lelaki tersebut.
Najmi tertawa sinis. “Sialan, dia udah punya pacar?” batinnya merasa tertipu. Seketika Najmi berpikir bahwa hal ini memang suatu kebetulan. Nabila pasti tidak ada kaitannya dengan ini. Hal yang tengah Najmi saksikan tampaknya di luar ekspektasi. Padahal, ini semua memang salah Septian. Lelaki itu benar-benar mengajak Sindy untuk keluar dengan iming-iming Adib yang mau ikut duduk bersama mereka. Dua sepupu itu memang cocok sekali dalam berbagi isi kepala.
Rematan pada ponsel pun Najmi pererat saat Adibya malah menyambutnya dengan senyum lebar. Wajahnya yang tampak begitu senang itu membuat Najmi jengkel. Bahkan perempuan cantik tersebut mendapatkan pelukan dari Adibya meski hanya dua detik.
“Kapan sampainya, Ndy?” tanya Adibya pada Sindy. Sedari dulu, dirinya memang tidak pernah memanggil gadis itu dengan sebutan kakak.
“Udah lima hari kali, Dib, aku di rumah nenek. Lumayan capek juga ngurusin S2 di sana.” Adibya terkekeh mendengar jawaban Sindy. Ia paham betul bagaimana sibuknya perempuan satu ini.
“Eh, Tian-nya mana?” lanjut Sindy tiba-tiba bertanya.
“Lho, dia bukannya berangkat sama kamu?”
“Tian mah tadi udah duluan. Tapi katanya mau ke tempat pacarnya dulu sih kalau nggak salah.” Sindy menjawab sembari mengangkat tangan untuk memanggil pelayan kafe. Ia ingin memesan minuman.
Adibya mengangguk. Mungkin sebentar lagi sampai, pikirnya.
Di lain sisi, Najmi sudah panas dingin melihat interaksi antara Sindy dan Adibya yang terlihat sangat akrab. Bahkan mereka saling berbagi tawa saat bercerita. Padahal, ia sendiri tidak pernah melihat Adibya seperti itu sebelumnya. Entah itu mungkin karena mereka masih terlalu dini untuk saling mengetahui, atau mungkin memang Adibya yang ingin membatasi diri.
“Nab, ih, itu Najmi mukanya udah kesel banget tau. Kamu nggak kasian liat dia salah paham?” Septian tak kunjung berhenti membujuk Nabila untuk segera mengakhiri acara petak umpet mereka. Bahkan gelas minumannya pun sudah hampir habis. Namun Nabila belum saja puas dengan apa yang ia saksikan.
“Ya justru itu, Sep. Gue tuh pengen liat si Najmi kebakaran jenggot dulu.” Kekehan renyah pun terdengar. Gadis satu ini memang benar-benar di luar ekspektasi. Bukannya mencegah kesalahpahaman yang terjadi, dia malah menantikan reaksi lebih dari seorang Najmi.
Lagu telah berganti sejak tadi. Liriknya seolah mendukung kondisi hati Najmi yang diobrak-abrik oleh Adibya. Gadis itu terlihat seperti gadis yang memiliki kisah malang dalam menjalin cinta. Kesendiriannya turut pula diiringi dengan lagu barat mellow. Mulai dari Reckless, Easy On Me, Wicked Games, hingga My All pun telah menjadi rekan Najmi di tengah ramainya pasangan yang bermalam minggu di kafe ini.
Pada langit malam yang terlihat terang, tidakkah cukup bagimu dahulu menyaksikan Najmi yang dipatahkan oleh cinta pertamanya? Tidakkah jalan ini terlalu berlebihan dalam memberi Najmi sebuah harapan? Disaat dirinya telah mantap ingin melabuhkan cinta, mengapa pelabuhannya malah terlebih dahulu dilabuhi oleh orang lain? Salahkah Najmi kali ini? Apa memang dirinya yang terlalu cepat dalam menaruh rasa pada Adibya Lofarsa?
Tatapan tajam pun seketika Najmi layangkan pada salah satu speaker yang merupakan sumber dari alunan melodi. Eksistensi lagu tersebut seolah-olah tengah meledek dirinya. Maka dari itu ia merasa kian kesal.
Berdua Lebih Baik, dari Acha Septriasa, kini melantun indah di bawah langit-langit kafe. Suaranya mengudara, menyapa tiap pasang telinga yang ada. Semua tentu menikmatinya kecuali Najmi Desra.
Berdua denganmu pasti lebih baik, aku yakin itu…♪♪♪♪
Bila sendiri hati bagai langit berselimut kabut...♪♪♪♪
Najmi mendesis sebal. Gigitan pada sedotan plastik itu pun ia perkuat saat kesalnya yang tiap detik kian bertambah sebab Nabila tak kunjung datang. Sepuluh panggilannya tak ada yang dijawab. Nomor ponsel Septian pun ia tentu tak punya. Sementara di sini, dua puluh menit sudah dirinya duduk sendirian sembari menyaksikan Adibya yang tampak mesra dengan gadis lain.
Sebenarnya, Najmi bisa saja langsung pergi dari sini. Tapi rasa gengsi dan penasarannya telah menguasai segenap jiwa raga. Jadilah, ia memilih untuk tetap bertahan meski akan berujung sakit hati seperti ini.
Sialnya, kalau Najmi keluar sekarang, dirinya harus melewati meja Adibya. Sedangkan, ia malas sekali harus melihat wajah lelaki itu dari dekat. Oh, ayolah, Najmi mohon, Nabila segera muncul saat ini. Agar dirinya tidak terlihat terlalu menyedihkan di sini.
“Nab, ih, itu gimana?” Septian yang masih mengawasi dari tempatnya pun bertanya gusar pada Nabila. Netranya menangkap gelagat Najmi yang tampak ingin segera angkat kaki dari sini.
“Gue keluar duluan. Nanti kamu nyusul aja.” Dengan lekas, Nabila segera mengendap-ngendap berjalan ke arah pintu keluar yang berada di dekatnya. Gadis itu akan berpura-pura masuk dari pintu utama.
Sekedar informasi saja. Nabila itu memang susah merapikan konsonan kata yang harus ia gunakan saat bersama Septian. Kadang gue-elo, atau lagi mode bucin akan lebih romantis lagi menggunakan aku-kamu. Namun akhir-akhir ini, gadis itu semakin tidak konsisten. Septian sampai hapal dengan cara bicara pacarnya itu. Gue-kamu menjadi jalan pintas Nabila dalam berkomunikasi dengannya. Tapi tak apa. Septian tidak terlalu mempermasalahkannya. Yang penting, Nabila nyaman dan bertahan di sisinya.
Tak lama, Septian yang ditinggal begitu saja pun hanya menatap bingung. Ia tidak habis pikir dengan pacarnya itu. Terpaksa, setelah ini ia juga harus diam-diam membayar makanannya di kasir terlebih dahulu. Tapi pertama-tama ia akan mengikuti trik Nabila, yaitu keluar dari pintu samping.
“NAJMI YA AMPUN SORRY GUE TELAT BANGET...”
Tanpa tahu malunya, Nabila pun berucap dengan suara keras hingga menarik beberapa perhatian pelanggan lain. Najmi yang kepalang kesal pun melampiaskan amarahnya pada Nabila. Ia pukul kepala gadis itu hingga menimbulkan bunyi.
“Anjing, sakit!” umpat Nabila pelan sembari mengusap-usap kepala bagian kirinya yang menjadi sasaran empuk Najmi.
“Lo dari mana aja anjrit?!! Kenapa lama banget?!” Najmi bersungut-sungut.
“Tadi Vespanya si Asep ngadat ih, nyebelin. Lo nggak liat ini muka gue udah keringetan?” Nabila menunjuk beberapa keringat yang memang ada di sekitar anak rambutnya. Padahal ia engap juga karena berlari dari arah samping untuk masuk kembali dari arah depan. Gadis itu berbohong. Dan Septian lah yang kembali menjadi kambing hitamnya.
“Terus si Asep mana?” tanya Najmi masih dengan wajah sebalnya. Ia lihat di pintu depan sana tidak ada siapapun yang baru masuk.
“Ada, di depan. Masih ngecek motornya.” Untungnya, Najmi itu gampang sekali untuk Nabila kibuli. Maka dari itu ia sanggup mengerjai temannya yang satu ini.
Setelah napas Nabila mulai teratur, dan amarah Najmi mulai mereda, gadis itu mengode temannya untuk mendekatkan wajah. Jari telunjuk itu Najmi gerakan guna menarik perhatian Nabila agar mendekat ke arahnya. Wajah mereka berhadap-hadapan. Gerak tubuhnya dibaca Nabila dengan gesit.
“Apaan? Gue masih demen batang.”
PLAK!
Kepala Nabila kembali menjadi sasaran telak dari pukulan reflek milik Najmi. “Akh, sakit bego!!!” protes Nabila. Ia pun membalas pukulan Najmi tak kalah keras.
“Ya lagian gue cuma mau ngajak lo gibah nyet! Bukan mau ngajak ciuman!” sahut Najmi jengkel. “Liat tuh,” lanjutnya sembari melirik ke arah meja Adibya. Najmi pun otomatis langsung menoleh ke belakang. Gadis itu pura-pura tidak tahu dengan apa yang Najmi beri tunjuk.
“Apaan sih?” tanyanya.
“Itu anjir, si Adib lagi sama cewek lain.” Nabila masih saja mencari keberadaan Adibya. “Mana?” tanyanya yang tak kunjung mau melihat ke arah Adibya.
“Mata lo buta?” sebal Najmi pada akhirnya.
“WHAT THE Fff—pphh?!”
“Jangan berisik bisa nggak?” desis Najmi yang membekap mulut Nabila dengan ringkas. Gadis itu nyatanya berpura-pura kaget saat akhirnya menangkap siluet Adibya.
“Itu Mas Adib sama siapa njir?!” tanya Nabila usai Najmi melepaskan tangan dari mulutnya. Dari sini, Nabila memang tidak akan dapat melihat wajah Sindy secara langsung karena tubuh gadis itu yang membelakangi mereka. Untungnya, saat Najmi masuk tadi, dua orang itu tak menyadari kedatangannya.
“Pacarnya kali. Akrab begitu gue perhatiin.” Najmi menjawab dengan raut jengkel. Sudut bibir kanannya naik-naik mendandakan sebuah ketidaksukaan.
Nabila harus sebisa mungkin menahan senyum. Sohibnya ini tengah dilanda api cemburu.
“Udahlah, gue bad mood. Lo kalau mau masih di sini sama Asep, silahkan. Gue mau pulang aja. Bye!” Najmi pun berdiri sembari meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja.
“Lah, woi! Ini siapa yang bayar??!”
“LO!”
Nabila hanya bisa mendengus saat Najmi benar-benar berjalan meninggalkannya di meja ini.
“Duit lo lebih banyak dari gue anjrit!” Nabila berdumal. Mulutnya komat-kamit menyerapahi Najmi yang menyuruhnya membayar semua pesanan gadis itu. Namun mau bagaimana lagi? Ini juga karena rencana tidak jelasnya itu. Maka mau tak mau ia harus ikhlas membayarkan pesanan Najmi. Mood-nya berantakan gara-gara rencana ini di luar ekspektasi. Padahal, rencana awalnya, Sindy tidak masuk ke dalam hitungan. Namun Septian benar-benar memanggil gadis itu untuk datang kemari. Pula Adibya yang tampaknya bersikap bodo amat dengan kehadiran Najmi pun membuat mood-nya bertambah buruk.
Najmi berjalan pongah saat melewati Adibya. Ia tahu bahwa kehadirannya disadari oleh lelaki itu. Namun Najmi memilih untuk tidak peduli. Langkahnya terlihat penuh percaya diri. Sedang Adibya dengan santainya melanjutkan acara perbincangan serius dengan Sindy. Di antara mereka tak ada yang mau menyapa terlebih dahulu.
Namun, belum genap Najmi melewati pintu keluar, langkah gadis itu terhenti. Ada sesuatu yang menahan langkahnya.
“Cih, drama juga nih laki,” batin Najmi yang percaya bahwa Adibya lah yang tengah menahannya bak scene di drama Korea.
“Lepas.” Dengan begitu angkuhnya, Najmi berucap tanpa ingin membalikkan tubuh. Malas sekali harus berurusan dengan lelaki playboy ini, pikirnya.
Najmi pun kembali mencoba melangkah. Namun tarikan itu tak kunjung melepaskannya.
“Lepas nggak? Gue lagi males ngomong!”
Awalnya, Najmi tidak diperhatikan oleh siapapun. Namun momen itu berkahir mencuri satu persatu perhatian pengunjung kafe. Bagaimana tidak? Gadis itu berdiri di dekat pintu utama.
“Najmi—”
Gadis itu tiba-tiba berbalik. “DIBILANG LEPAS YA LEPAS, KAK ADIB!!!” Bentakan Najmi yang keras itu pun terdengar bersamaan dengan suara robekan baju.
“Baju lo nyangkut...” sambung Septian yang baru saja ingin memberi tahu. Pria itu memang belum masuk ke dalam. Namun ia dapat melihat bahwa kemeja bagian ujung bawah milik Najmi menyangkut pada salah satu paku yang ada pada meja dekat pintu utama.
Sementara Najmi tak lagi dapat mendengar suara apapun. Wajahnya tertangkap basah oleh seluruh pengunjung kafe malam ini. Belasan pasang mata kini tertuju padanya. Ada yang menatap heran, ada yang menahan tawa, dan ada pula yang turut merasa malu melihat aksi Najmi barusan. Termasuk Nabila dan Septian. Dua manusia itu dengan reflek menutup wajahnya menahan malu akibat tingkah Najmi.
Paras putih itu bukan lagi terlihat seperti biasa. Wajah hingga telinganya sudah memerah semerah-merahnya melebihi kepiting rebus. Najmi begitu teramat malu. Terlebih saat matanya beradu pada netra Adibya yang menatapnya bingung dari tempat duduk. Tubuh lelaki itu bahkan memutar enam puluh derajat hanya untuk memperhatikannya. Mata bulat Adibya turut berkedip-kedid tatkala Najmi langsung berlari keluar tanpa mempedulikan suara orang-orang yang mulai menertawakannya.
“Adib?” gumam Sindy bingung. “Kamu?” tanyanya kini menatap Adibya dengan wajah bingung. Sindy memang tak turut tertawa. Dia hanya heran dengan tingkah gadis itu. Pasti malu sekali rasanya saat membentak, namun tidak ada siapapun yang menahannya.
“Hah?” Adib kembali menghadap Sindy.
“Tadi kayaknya dia bilang ‘Kak Adib’ deh. Kamu ya? Apa orang lain?” tanyanya menatap ke sekeliling. Siapa tahu Kak Adib yang dimaksud perempuan itu memang orang lain. Pasalnya, tragedi tadi menunjukkan bahwa gadis itu seolah-olah tengah bertengkar dengan pacarnya.
“Mungkin?” jawab Adibya memberi kesan bingung. Sindy pun menyeringit heran. “Berarti kamu kenal?” tanyanya.
Adibya mengangguk. “Dia yang saya ceritain ke kamu barusan.”
“HAH?!” Sindy menatap terkejut. Pasalnya sedari tadi, percakapan serius yang membuat mood Najmi itu memburuk ternyata karena membahas gadis itu.
“Astaga, Dib?! Kenapa nggak bilang-bilang sih kalau dia juga ada di sini?!” Adibya hanya diam. Lalu melirik ke arah meja yang tadi dihuni oleh Najmi. Ternyata masih tersisa satu perempuan lagi di sana. Sindy pun turut menoleh penasaran.
“Jangan bilang dari tadi cewek itu duduk di sana?” Sindy bertanya was-was.
“Tapi sayangnya, kamu benar.”
Sindy mengerang kesal. “Astaga, Adib!!! Berarti dari tadi dia liat kita dong?! Bisa jadi salah paham yang ada. Katanya kamu mau baikan? Mau minta maaf sama dia. Kenapa malah diem aja?”
“Ya saya pikir dia masih butuh waktu. Bisa jadi dia masih marah sama saya. Makanya enggak saya samperin.” Santai sekali jawaban Adibya pada Sindy. Sampai membuat gadis itu geram sendiri melihat tingkah sepupunya yang satu ini.
“Waktu dia mau pergi juga enggak mau saya hadang. Karena saya pikir, dia udah selesai sama urusannya. Dia harus istirahat.”
“Ya tapi nggak gitu juga konsepnya, Adibya...” Sindy mengusap keningnya pusing.
Sementara itu, Najmi sudah berteriak tidak jelas di dalam mobilnya. Ia lepaskan rasa malu yang bukan main itu di dalam ruang sempit ini. Rambutnya yang pendek itu ia acak-acak. Topinya sudah melayang entah kemana. Apapun akan Najmi pukul untuk melampiaskan rasa kesal dan malunya. Kaki pun turut ia hentakkan dikala rasanya ia masih belum merasa puas.
“PAPIIII...” soraknya putus asa. Malu sekali Najmi kali ini. Wajahnya bahkan terasa panas. Air matanya pun kini sudah siap untuk terjun bebas menyapa pipi. Najmi menangis kesal karena harus menanggung malu yang begitu besar.
Septian yang melihat mobil Najmi melesat dengan cepat saat keluar dari parkiran pun segera memasuki kafe untuk mencari Nabila. Sebab gadis itu mengendarai mobil dengan kesetanan.
Di lain sisi, gadis bernama Nabila itu masih dalam fase mengumpulkan rasa percaya diri. “Temennya ya, Mba?” Nabila yang masih sibuk dengan dirinya itu malah ditanya demikian oleh seorang pria muda yang ada di meja sebelah.
Nabila menoleh. Bodohnya, ternyata ia baru sadar kalau meja Najmi ini bersebelahan dengan kumpulan pria muda tersebut.
“Itu mbanya yang duduk di sini tadi kan?” tanya lelaki itu memperjelas. Dia membicarakan Najmi.
Nabila hanya tersenyum kikuk. “Iya, Mas. Temen saya.”
Lelaki itu mengangguk sembari tertawa. “Freak banget, Mba, temennya. Lucu.”
“Hehe, iya Mas. Maaf ya.” Nabila pun dengan lekas berdiri. Sangkin terbarunya hendak meninggalkan kafe ini, Nabila sampai tersandung kaki meja hingga membuat gadis itu hampir saja jatuh terjerembab kalau Septian tidak lekas menahannya.
Najmi dan Nabila, mereka memang bestie paling freak yang pernah Septian kenal. Bisa-bisanya Najmi yang sudah mengundang humor pelanggan di kafe ini malah akan ditambah lagi oleh atraksi cium lantai oleh Nabila. Untung itu tidak sampai terjadi. Kalau sempat kejadian, tak tahu lagi Septian harus bicara apa.
“Pelan-pelan, Nabila. Jangan buru-buru.” Nabila hanya nyengir tanpa dosa.
Tentu, hal tersebut tak lepas dari perhatian Adibya dan Sindy. Panggilannya yang tak diacuhkan oleh Septian tadi ternyata karena harus menahan tubuh Nabila agar tidak terjatuh.
“Makasih, hehe...”
“Nggak usah haha hehe haha hehe kamu.” Septian menjitak kepala Nabila geram. “Itu tadi temen kamu keluar parkiran bawa mobilnya udah kaya orang kesetanan aku liat. Buruan ditelepon dulu. Takutnya kenapa-napa,” lanjut Septian memberitahu. Nabila pun dengan lekas mengeluarkan ponselnya dari dalam tas sembari menarik Septian untuk berjalan keluar.
“Tian!” Sindy menahan satu pergelangan adiknya saat melewati mereka begitu saja.
Nabila yang ikut tertahan langkahnya pun berhenti. Kemudian menyapa canggung pada Sindy dan Adibya. Sementara ponselnya masih menempel di telinga. Panggilannya tersambung, namun tak kunjung dijawab oleh Najmi. Tampaknya gadis itu memang tengah melaju kencang dengan mobilnya.
“Kamu temennya Najmi?” tanya Adibya pada Nabila. Gadis itu pun mau tak mau mengangguk. “Mas Adib kenal Najmi ya? Wahhhh...” Nabila pura-pura tidak menyangka. Namun senggolan dari Septian mengalihkan perhatiannya.
“Apa sih?” desis Nabila bingung.
“Kamu dari tadi di sini, Nab?” tanya Sindy menengahi aksi senggol-senggolan sepasang kekasih tersebut.
“Nggak Kak, baru sepuluh menit.”
“Kok aku nggak liat kamu masuk ya?”
“Lho, aku juga nggak sadar kalau Kak Sindy yang duduk di sini. Hehe...”
Septian hanya menghela napas pasrah saat Nabila masih saja melanjutkan acara bohongnya.
Pada panggilan ketiga, gadis itu langsung berbicara saat akhirnya Najmi menjawab telepon dari Nabila. “Halo, Mi? Lo dimana nyet?!!” Septian yang hendak protes pada Nabila agar segera menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pun urung. Keberadaan gadis itu lebih utama.
“LO NANGIS?!” Pertanyaan tersebut berhasil membuat telinga Adibya berdiri. Siapa yang menangis? Najmi? Tapi kenapa?
Narasi 5 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe