Dinding dan Lampu

rofenaa
9 min readFeb 16, 2022

Gedung yang sudah tiga tahun menjadi tempatnya untuk mengeluh dan menampung rapuh, hari ini Alvaro datangi kembali tempat tersebut. Entah karena sebatas rutinitas, atau memang karena ia tengah merindukan sosok Mama yang telah tertidur cukup lama. Langkah kakinya terlihat ringan. Namun setiap ayunannya terasa berat. Sebab, begitu banyak beban yang ia telah ia tanggung di usia yang tanggung pula.

Proses menuju dewasanya begitu teramat menguji. Luka yang datang silih berganti, tak ada habisnya menghampiri. Sosok lelaki dewasa yang harusnya menjadi pedoman, telah lama Alvaro pupuk rasa dendam. Hampir setiap hari, bertubi-tubi hatinya disakiti. Entah itu karena perkataan, atau perbuatan Fadel terhadapnya.

Alvaro pasti tidak akan pernah lupa tentang bagaimana bejatnya lelaki itu menjadi seorang suami dan seorang ayah. Tak ada satupun yang patut untuk ia teladani dari sosok yang sampai saat ini masih ia panggil dengan sebutan ‘Papa’.

Kini, Alvaro pandangi kamar bernuansa putih tersebut. Ia tatap wajah pucat pasi yang semakin tirus di hadapannya itu. Aroma obat-obatan yang kentara, tak lagi mampu menguasai indera. Bunyi alat medis yang sudah sangat ia kenali, pun, tak lagi dapat menarik atensi. Sedihnya kini tengah menjadi-jadi. Biar ia tumpahkan hari ini meski sang Mama tak akan menyahuti.

“Ma .... ” Suaranya terdengar lirih. Kemudian ia raih tangan yang tak berdaya itu untuk diletakkan di pipi kiri.

Digenganggamnya dengan lembut, diielusnya dengan sangat hati-hati. Seolah tak mau tangan mungil nan rapuh itu merasa kesakitan lagi.

“Alvaro capek,” gumamnya sembari memejamkan mata. Mencari ketenangan yang sialnya tak kunjung ditemukan.

“Ma, Varo harus apa setelah ini?” Ia bertanya pada sang ibu. Jangankan untuk hari esok. Untuk nanti saja ia bingung harus melakukan apa lagi. Semangatnya kian menipis. Pula tekatnya yang semakin terkikis.

“Ma, maaf kalau nanti Varo gak bisa mengembalikan nama Bessara ke tempat semula,” ucapnya kini menerawang jauh. “Karena, kalau suatu saat Mama pergi ninggalin aku, mungkin aku bakalan hancur.” Helaan napas berat miliknya seolah menggema. Menghantam setiap sudut ruangan yang mungkin sudah lelah menjadi pendengar keluhan dari seorang Alvaro Marfellio yang teramat banyak. Kalau boleh dinding berbicara, andai lampu pun dapat bersuara, pasti akan ia utarakan bahwa mereka sudah bosan mendengar kisah hidup Alvaro yang menyedihkan.

“Varo mau ikut Mama aja, boleh 'kan?” Pemuda itu tampak benar-benar kehilangan semangat dan harapan. Dinding dan lampu boleh saja sudah bosan. Tapi jikalau mereka diberi satu keajaiban oleh alam raya, maka akan ia teriaki pada Alvaro untuk tidak berkata demikian. Mati bukanlah satu-satunya solusi. Tuhan pasti akan berikan ribuan jalan pulang. Tak akan Dia biarkan umatnya tersesat di tengah kecamuk ujian.

“Ma, Alvaro rindu.” Air mata yang sangat mahal dan berharga itu menumpuk di pelupuk mata. Belum sempat menetes, Alvaro menyekanya begitu saja. Tak sudi rasanya ia menangisi perlakuan sang ayah. Tak pantas pula rasanya ia menangis di hadapan sang ibu yang lukanya mungkin lebih dahsyat dari apa yang tengah Alvaro rasakan. Siapa pula yang tak akan terluka disaat cinta yang ia perjuangkan mati-matian malah berkhianat padanya.

Helaan napas kembali menguar. Alvaro juga lelah terhadap perlakuan semesta. Namun apa daya, alam raya bukan miliknya. Ingin memaki pun, ia masih tahu diri. Mungkin ini adalah fase dimana Tuhan tengah menguji. Rasanya memang sungguh berat sekali. Namun dia dipaksa oleh keadaan agar tetap berdiri dengan pundak yang kokoh. Mau bagaimanapun, Alvaro tak akan pernah menundukkan pandangan pada manusia-manusia brengsek yang masuk ke dalam semestanya.

“Ma,” panggilnya lagi. “Kalau Varo gak bisa dapetin nilai sempurna di ujian kimia nanti, gimana?” Ketakutannya hari ini bertambah satu. Dari 92 menjadi 100. Bahkan disaat dia sangat membenci pelajaran tersebut.

“Kalau nanti Varo gak bisa mencapai target, kira-kira apalagi ya Ma, yang mau direbut Papa?” Jiwa pesimisnya kini tengah mengaduk-aduk diri Alvaro sendiri. Ia benar-benar buntu. Namun di satu waktu, dia juga mau Fadel mewujudkan semua keinginannya.

Kalau saja alam raya memang berkehendak, dinding dan lampu pasti sudah membentak. Kemana Alvaro Marfellio yang dulu selalu berjiwa kompetitif dan penuh ambisi itu? Kenapa hanya jiwa-jiwa pecundang yang kini tersisa? Tolong, kalau saja mereka bisa berbicara, mungkin sudah ribuan kalimat yang menghantam gendang telinga.

Dari dinding dan lampu, harusnya Alvaro dapat belajar. Tentang bagaimana dinding berdiri dengan pondasi yang begitu kokoh, melindungi segala isi dari setiap keadaan yang ada. Dari lampu, harusnya Alvaro juga bisa memahami makna. Bahwa lampu harus mengalah pada mentari di siang hari. Dari hal-hal kecil itu, harusnya Alvaro belajar, bagaimana agar tetap berdiri kuat dengan pribadi yang tahu diri.

Namun, kalaupun Alvaro disuruh memilih antara dinding dan lampu, lebih baik ia memilih pintu. Sebab dari pintu, ia belajar artinya keberanian. Entah itu masuk ataupun keluar, dari pintu ia dapat mengerti, bahwa tak selamanya buruk akan ditemui. Adakalanya, pasti, nanti baik akan menghampiri.

Langit di luar yang menggantung, kini tengah mendung. Persis seperti hatinya sekarang. Kepulan asap mengandung nikotin itu pun mengudara bersama dinginnya angin malam. Lagi, sebungkus Marlboro dan sebuah korek api peninggalan almarhum sang kakek menjadi teman seorang Alvaro Marfellio malam ini.

Usai menjenguk sang Mama di rumah sakit, pria itu memilih untuk melepas suntuk dengan cara menghisap berbatang-batang rokok tersebut. Mungkin sudah habis enam batang sejak tadi sore hingga malam ini. Baju kaus rumahan dengan celana pendek biasa pun menjadi pilihan terakhir Alvaro. Tak ia hiraukan suara televisi yang sedari tadi sibuk berceloteh tanpa mendapatkan perhatian darinya barang sedikit. Begitu pula dengan buku-buku yang menyebalkan menurut Alvaro itu terkembang tanpa dipahami. Berbagai macam molekul dan rumus yang sialnya harus Alvaro kuasai dengan sempurna dalam waktu dekat.

Entah pada hisapan ke berapa, bunyi bel apartemen yang sempat dijajah oleh Jeffan itu pun berbunyi. Menandakan bahwa seseorang tengah bertamu. Namun, bukannya lekas membukakan pintu, Alvaro masih tetap memilih untuk memejamkan matanya. Bersandar pada sofa, seraya menikmati angin yang berembus menerpa seisi ruangan.

“Varo, ini gue, Senan.” Barulah, setelah mendengar suara lelaki yang sangat ia kenali itu, Alvaro membuka matanya, lalu berdiri untuk membukakan pintu.

Meski sambil berdecak saat mematikan puntung rokok, Alvaro pasti akan tetap membukakan pintu dan memberikan pria itu kesempatan untuk masuk. Sebab, perlu diingat dan dicatat, kalau Senan itu adalah orang yang sangat mengetahui keadaan Alvaro dari dulu hingga saat ini.

“Ngapain lo ke sini?” Pintu belum sepenuhnya terbuka. Tap Alvaro sudah melayangkan pertanyaannya begitu saja.

Namun, bukan hanya sosok Senan saja lah yang ada di sana. Melainkan juga ada satu raga lagi yang menatapnya dengan wajah hangat dan senyum penuh ketulusan. Siapa lagi, kalau bukan Arsaka Laksana?

“Lo,” ucap Alvaro sedikit kaget. Untung, sebelum membuka pintu tadi dirinya sudah mematikan puntung rokok. Kalau tidak, sudah habis ia dilalap oleh omelan Arsaka.

“Kok kamu bau rokok?” Nyatanya, Arsaka tak sebodoh itu. Buktinya saja, kini ia bertanya.

Alvaro diam. “Ya menurut lo?” Lelaki itu malah bertanya balik.

“Lo ngerokok lagi?” Senan pun menerobos masuk. Ia endus badan Alvaro lebih dekat.

Ah, baunya begitu pekat!

“Bego!” Arsaka cukup kaget saat melihat Senan dengan santainya menoyor kepala Alvaro. Belum lagi dengan perkataannya barusan. Seumur-umur, baru kali ini ia melihat Senan berlaku demikian. Terlebih pada sosok Alvaro Marfellio.

“KEPALA GUE!!!” Tentu, Alvaro tidak akan pernah membiarkan orang-orang menyentuh kepalanya. Sama halnya dengan Senan. Ia juga anti kalau kepalanya dipegang-pegang. Dua orang paling sensitif itu kini malah berakhir toyor-toyoran.

Setelah menutup pintu dan mempersilahkan tamu tak diundang itu untuk duduk di ruang TV, Alvaro memilih untuk mengemasi asbak dan bungkus rokoknya. Hanya buku saja yang ia tinggalkan di atas meja.

“Nih, aku punya permen fox.” Uluran tangan dengan lima butir permen fox tersebut Arsa sodorkan pada Alvaro. Senan yang melihatnya pun langsung menyomot satu hingga tersisalah empat butir untuk lelaki beralis camar tersebut.

Bungkusnya bukan seperti permen biasa. Sebab mungkin Arsaka membeli yang kalengan. Maka dari itu, bungkusnya berwarna bening. Bentuknya juga persegi. Warna-warni, dan fruity.

“Gak lo habisin aja tuh ampe sebungkus?” sindir Senan yang masih saja sensi setiap menangkap basah teman-temannya tengah merokok.

“Kalau punya masalah tuh cerita. Bukan nyakitin diri.” Meski Senan berbicara dengan raut datar, bunyi gemeletuk dari gigitan permen tersebut telah menandakan bahwa dirinya sedang kesal.

“Gak semua masalah bisa diceritain,” sahut Alvaro sembari membuka salah satu permen untuk diemutnya. “Ya gak, Sa?” sambung Alvaro meminta persetujuan Arsa.

Namun lelaki itu sama sekali tak menyahut. Matanya hanya fokus memperhatikan buku-buku jari Alvaro yang memerah dan sebab terluka. Tanpa ba bi bu, ia tarik tangan yang menguasai atensinya itu.

“Ini kenapa?” tanya Arsaka penuh selidik. Tadi pagi tangan Alvaro jelas tidak kenapa-kenapa. Tapi sekarang sudah luka saja.

Permen yang akan ia suapi ke dalam mulutnya itu hampir saja terjatuh kalau saja Alvaro tidak cepat tanggap untuk segera membuka mulutnya. Arsaka bergerak begitu tiba-tiba. Kan, Alvaro kaget jadinya.

“Apaan sih lo?!” kesal Alvaro menarik tangannya kembali. Ia lupa kalau tadi sempat mengajak dinding apartemen yang kokoh untuk berduel dengan tangannya yang lembek. Tadi siang, amarahnya memang begitu menggelegar saat tahu foto keluarganya dibuang begitu saja oleh Jeffan si jelmaan iblis.

“Jujur, kamu kenapa sebenernya?” Raut Arsaka berubah serius. Pandangannya pun terlihat sangat dalam. Seolah Arsaka benar-benar menuntut Alvaro untuk lebih terbuka.

“Bukan urusan lo!” sahut Alvaro kemudian mendekap kedua tangannya di depan dada.

Karena tak kunjung mendapat jawaban, Arsaka yang kepalang khawatir pun nekat untuk bertanya. “Maaf, tapi apa ini karena ayah kamu lagi?” Ada getaran was-was yang dapat ditangkap dalam suaranya.

Senan yang sedikit banyaknya tahu, menoleh waspada ke arah Alvaro dan Arsaka secara bergantian. Jangan sampai lelaki lelaki beralis camar itu naik darah dan malah melampiaskan emosinya saat ini pada Arsaka. Pria itu salah dalam memilih waktu. Alvaro tak suka ditanya-tanya demikian oleh siapapun.

“Gue bilang, bukan urusan lo.” Dengan penuh penekanan dan tatapan tajam, Alvaro menjawabnya.

Helaan napas pun terdengar dari sosok Arsaka. Alvaro memang begitu sulit untuk terbuka kepada orang lain.

Dua menit teridam, Senan mencoba untuk membuka suara. Ia cari topik pembicaraan lain yang sekiranya nyaman untuk dibicarakan.

“Lagi belajar kimia?” tanyanya saat atensinya tertarik pada kembangan buku paket dan LKS Kimia.

“Yang lo liat?” Nyatanya, Alvaro masih saja sensi.

Bingung harus apa lagi, dia pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sampai pada saat Senan menerima sebuah pesan dari sang kekasih hati, ia pun lekas untuk pamit pergi. Sudah ada janji, katanya. Ke sini pun sebenarnya juga karena ditanyai Arsa. Lelaki itu meminta Senan untuk mengantarkannya. Mau tak mau, karena Arsaka mengirimkan tangkapan layar pesan dari Alvaro yang mengganjal, ia antarkan lah lelaki itu kemari.

“Gue duluan ya, udah janji malmingan sama Ratu.” Langkah Senan pun kini hanya meninggalkan jejak yang tak terlihat. Belum diberi jawaban, lelaki itu telah pergi meninggalkan Alvaro dan Arsaka dalam keheningan.

“Masih gak mau cerita?” Bukan Arsaka namanya kalau gampang menyerah.

“Mending lo ajarin gue kimia daripada dengerin kesengsaraan orang lain,” jawabnya demikian.

Arsaka terbungkam. Lalu, karena perdana Alvaro minta diajarkan kimia olehnya, Arsaka pun mengangguk dan meraih sebuah pena dengan tinta berwarna biru tersebut.

“Materi mana yang kurang Varo pahami?”

“Reaksi Redoks.”

Mata bulat milik Arsaka tentu saja semakin membulat karenanya. Apa iya siswa terpintar di sekolahnya ini tidak memahami materi tersebut?

“Tapi itu kan pelajaran kelas sepuluh?” tanya Arsa memastikan.

“Ya terus?” Alvaro tampak begitu tak peduli.

Arsaka menelan ludahnya sejenak. “Kalau konfigurasi elektron, paham kan?” Itu adalah dasar dalam belajar kimia. Kalau saja konsepnya tidak duduk, maka untuk pelajaran ke depannya pasti akan sangat sulit dipahami.

“Kalau gue jawab enggak, lo percaya?” Arsaka menggeleng cepat. “Ya udah.” Oh, berarti paham. Syukurlah.

“Sifat koligatif yang minggu lalu diterangkan guru, duduk, kan, konsepnya?”

Sembari mengemut permen yang masih belum habis, Alvaro menjawabnya dengan anggukan ringan.

“Tapi itu tangannya diobatin dulu. Dikompres juga.” Arsaka menunjuk tangan Alvaro dengan matanya.

Alvaro berdecak. “Kompres aja tuh muka lo.” Ia malah menjadikan wajah Arsaka yang masih lebam untuk dijadikan jawaban.

“Ini udah dikompres tadi. Tangan kamu yang perlu diobati,” jawabnya.

Alvaro mendesis sebal. “Bawel lo!” sentaknya sembari berdiri dan berjalan ke arah dapur. Mau tak mau, ia pun mengompres tangannya dengan air hangat-hangat kuku. Lalu, kemudian memberikan obat merah pada buku-buku jarinya yang terluka. Perih, memang. Bahkan sangat sakit bila ditanya. Tapi, sakitnya belum seberapa dengan apa yang Alvaro rasa dalam hatinya.

Lukanya, cukup ia simpan untuk dirinya sendiri. Orang lain tak perlu tahu seberapa rapuh dirinya yang sebenarnya.

Lima menit berselang, akhirnya acara belajar dadakan itu pun dimulai. Arsaka dengan sangat begitu lancar mengajarkan hal-hal dasar yang patut untuk Alvaro ketahui dalam kimia. Ada poin-poin penting pula yang Arsaka beritahu pada Alvaro.

Kimia itu memang rumit. Tapi tidak akan terasa sulit jika kita mau mencoba untuk memahaminya sepenuh hati. Begitulah kata Arsaka pada raga yang membenci eksistensi sains dalam hidupnya sejak kali pertama.

Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa

© ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet