Duga Benih Patah Hati

rofenaa
8 min readJun 20, 2022

--

I start to imagine a world where we don’t collide
It’s making me sick, but we’ll heal and the sun will rise

Shawn Mendes — It’ll Be Okay

Pijar merah jambu itu tampaknya memang harus dipaksa padam oleh Ghandi. Alam yang selama ini telah menemaninya dalam membangun benih cinta pada sosok Puja, kini mulai menunjukkan eksistensinya. Mengguncang Ghandi, menyadarkan pria itu agar lekas mengerti bahwa melepaskan adalah jalan yang memang seharusnya sudah ia lakukan sejak lama.

Tak ada yang salah dengan hati. Hanya Ghandi yang tampaknya salah dalam menaruh rasa. Sudah jelas hanya akan ada sendu yang menyapa, ia masih saja bertahan pada pilihannya, Puja. Rela menjadi rumah kedua, obat, dan penawar patah hati untuk sang gadis. Padahal, hatinya sendiri telah renta dan rapuh. Dia tergopoh-gopoh mencari tiang penegak kepercayaan bahwasannya sugesti tentang ‘Gapapa, pelan-pelan aja. Nanti Puja pasti bakalan bales perasaan gue kok.’ itu hanya akan berakhir tragis. Bahkan, sudah tujuh tahun saling mengenal pun, nyatanya tak sama sekali membuahkan hasil.

Jika diibaratkan, Ghandi itu adalah pria bodoh yang rela bertahan menjadi bayangan tanpa tahu kapan ia akan menjadi wujud dan rupa. Hadirnya itu, bagai tak berarti apapun bagi sosok Puja. Seolah Ghandi hanyalah manusia tanpa hati dan mati rasa. Padahal, setiap Puja menyebut nama Adibya Lofarsa, luka yang Ghandi terima semakin menganga. Gadisnya tak kunjung lupa pada sang pemuda.

“Kamu capek nggak sih?” Pertanyaan itu terlontar. Puja yang sedang mengaduk minumannya itu pun tentu menoleh pada sumber suara.

Puja Larasati, dia tentu bukan gadis bodoh yang tidak memikirkan kejadian semalam. Ada banyak hal yang kini tengah berkecamuk dalam benak dan hatinya. Berperang melawan rasa dan akal yang saling memberi serangan pada pikiran gadis tersebut. Dan kini pun, tentu ia tahu apa maksud dari pertanyaan Ghandi barusan. Maka dari itu, dirinya masih memilih bungkam tanpa ada keberanian untuk balik menatap sorot mata sang lawan bicara.

“Puja.”

“Kak, please…,” sahut Puja yang pada akhirnya menaikkan pandangan. Kini, wajah mereka sejajar. Tak ada lagi aksi saling menunduk di antara keduanya.

“Maaf.” Dan dari ribuan kata yang telah Puja coba rangkai, pada akhirnya hanya ada kata maaf yang mampu ia lontarkan.

Ghandi menghela napas berat. Tatapannya tak pernah lepas dari gerak-gerik sang gadis. “Aku cuma nanya, kamu capek nggak? Kenapa malah minta maaf?” tanyanya kemudian.

Puja kembali terbungkam. Gadis itu tahu, bahkan sangat tahu. Capek yang dimaksud Ghandi adalah mengenai perasaannya terhadap Adibya yang tak kunjung pudar dan lekang. Padahal, sudah jelas-jelas Ghandi telah berdiri di depan matanya, namun tetap saja hanya sosok Adibya yang dapat memenuhi netra dan menarik atensinya. Ghandi, dia tidak dianggap. Dirinya ada, namun seolah tiada.

Hari ini, Puja rela memilih izin dan tidak masuk magang. Alasannya, apalagi kalau bukan dugaan yang bodohnya baru muncul semalam dalam otaknya. Ia terlalu malu untuk menunjukkan wajahnya di hadapan Najmi. Bahkan saat memikirkannya saja, Puja frustasi setengah mati.

“Kita selesai di sini, ya? Aku nyerah.” Bukan hanya Ghandi yang sebenarnya merasa runtuh. Namun juga Puja yang merasa hatinya seolah ditimpa bebatuan besar. Berat dan sesak. Ia juga tak kalah patah.

“Nggak. Nggak boleh.” Katakanlah Puja adalah perempuan paling egois di muka bumi ini. Sebab memang pada kenyataannya, kehadiran Ghandi telah menjadi pelengkap hidupnya yang rumpang. Ada rasa tak mau kehilangan sosok Ghandi yang begitu besar dalam diri Puja.

“Aku capek, Puja. Semua usahaku nggak ada gunanya.” Ghandi mempertegas pilihannya. “Padahal dari dulu kamu tau kalau aku sayang sama kamu. Tapi apa yang aku dapetin? Bertahun-tahun cuma jadi manusia yang digantung perasaannya. Bertahun-tahun juga aku ngerasain sakit dan kecewa. Terluka atas fakta siapa yang masih setia berkedudukan di hati kamu.”

Di bawah meja sana, tangan Puja meremat celananya kuat. Keadaan saat ini benar-benar mengingatkan hari di mana dulu Adibya juga menyelesaikan semuanya dengan latar tempat dan suasana yang hampir sama. Kisah cinta Puja selalu memiliki sisi tragis di suatu kafe, dengan rasa minuman yang tak ubah, frappucino.

“Tapi… kenapa?”

“Kenapa?” Ghandi tertawa setelah mendengar dan mengulangi pertanyaan sang gadis. “Kamu pikir, disaat kamu nangisin laki-laki yang udah jelas nggak pernah tertarik sama kamu sampai dia udah mau nikah kayak gini, kamu masih berani tanya kenapa?” Ghandi benar-benar tidak tahu harus berkata apalagi dibuatnya.

“Lo pernah mikirin perasaan gue nggak sih?”

Skakmat. Wajah Puja juga langsung merah padam dengan bibir yang pucat. Air matanya turut menggenang di pelupuk, siap jatuh dan terjun bebas menuju pipi. Sebab, untuk pertama kalinya, setelah tujuh tahun mengenal, Ghandi berbicara demikian kepada Puja. Perasaannya kacau balau. Ia merasa sedang dikasari oleh Ghandi hanya karena lelaki itu menggunakan lo-gue.

Dia, Ghandi Desra. Lelaki yang sungguh telah berada di titik jenuh.

“Jam makan siang udah mau habis,” ucap Ghandi setelah melirik jam tangannya. Ia muak melihat Puja yang sedari tadi diam dan tak mau menjawab.

Arah pandang Puja beralih. Kini ia tatap Ghandi yang hendak berdiri meninggalkan meja.

Tidak. Jangan lagi. Ia sungguh tak mau merasakan deja vu. Ia benar-benar tak ingin hatinya kembali merasakan perasaan sakit saat ditinggalkan dengan kata-kata yang menurutnya jahat.

Setelah lelaki itu dapat mengontrol emosinya kembali, ia pun angkat bicara. “Kamu perlu ingat ini,” ucap Ghandi yang kini telah sepenuhnya berdiri. “Bahwa calon istri Adibya yang selalu kamu ceritain itu… she’s the only one little sister I have.

Air mata itu akhirnya jatuh. Tangannya yang sejak tadi bergetar pun kini semakin mengepal erat. Sementara kaki sang gadis tak lagi kuasa untuk menumpu. Ia begitu lemas mendapati validasi tentang dugaan yang terpenjara sejak semalam di dalam benaknya.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya cukup kuat. Ia menangis tanpa suara. Ditatapnya Ghandi yang kini juga menunduk dengan raut datar. “Namanya Najmi Desra. And she’s not a bitch as you think!” ucap Ghandi penuh penekanan. “Got it?” sambungnya.

Puja tak mampu untuk menjawab. Ia benar-benar mengakui kebodohannya untuk kali ini. Kakak mana yang tidak marah saat adik perempuannya selalu dianggap buruk dan kecentilan terhadap satu laki-laki? Terlebih, saat tadi malam Najmi dibilang ‘maruk dan kegatelan’, Ghandi benar-benar merasa tersinggung. Sebab, secinta-cintanya lelaki itu pada sosok Puja, tetap, keluarga adalah nomor satu. Najmi adalah prioritasnya. Harga diri dan kebahagiaan sang adik berada di atas segalanya. Tak apa ia terluka, asal Najmi tak lagi terusik.

“Permisi.” Kemudian Ghandi pun mulai melangkah pergi. Meninggalkan Puja yang kembali diterjang rasa sakit yang luar biasa. Bahkan, sakitnya bekali-kali lipat dari saat kejadian bertahun-tahun lalu ketika ia ditinggalkan begitu saja oleh sosok Adibya.

“Kak! Kak Ghandi!” Namun kali ini Puja tak ingin menyesal. Ia lepaskan semua gengsi dan rasa malunya sekarang demi kehadiran Ghandi yang nyatanya sangat ia butuhkan.

BRUK!!!

Puja meringis bukan main. Semua pandangan kini bahkan mengarah kepada gadis yang baru saja tersungkur di lantai kafe karena tidak hati-hati. Dia tersandung kaki meja hanya karena mengejar kepergian Ghandi. Sementara, lelaki itu, yang sudah berada di ujung pintu pun akhirnya berbalik. Menatap sang gadis yang masih tersimpuh di lantai dengan kepala menunduk. Rambut panjangnya itu menutupi wajah cantik yang semakin memerah karena menahan tangis dan malu. Semuanya campu aduk.

“Berdiri.” Namun Puja malah semakin menunduk kala mendapati sepatu milik Ghandi telah berada di hadapannya.

Lelaki itu, mau tak mau, tentu ia harus berbalik dan menyusulnya. Ghandi tak mau dianggap lelaki brengsek oleh orang-orang yang melihat. Ia juga tak mau membuat harga diri Puja terlihat tengah diinjak-injak olehnya. Maka dari itu ia memutusakan untuk melangkah balik, dengan perasaan yang juga campur aduk. Mana bisa cinta itu hilang dalam hitungan menit saja.

“Berdiri, Puja.” Ghandi mengulanginya lagi. Namun karena gadis itu tak kunjung mengindahkan, mau tak mau Ghandi pun meraih kedua bahu sang gadis untuk berdiri tegak, lalu meraih pergelangannya untuk turut melangkah keluar.

Namun bukannya lekas pergi, pandangan Ghandi malah terpaku pada sebuah kertas berwarna kuning yang berada dalam genggaman tangan kiri milik Puja. Kertas itu, surat cintanya yang membawa berbagai macam malapetaka.

Ghandi menghela napas berat, lalu mulai melangkahkan kakinya membawa Puja hingga menuju parkiran. Meski gadis itu terjatuh cukup kuat, syukurnya tak ada bagian tubuh yang lecet. Jadi Ghandi tak perlu menambah pekerjannya lagi setelah ini.

“Aku nggak bisa nganter kamu balik. Ada meeting. See you.” Namun bukannya masuk ke dalam mobil, tubuh Ghandi malah tertahan saat dirinya hendak membuka pintu mobil. Gadis itu memeluknya dari belakang.

“Lepas, Puja. Malu diliatin orang.” Tapi Puja malah menggeleng dan semakin mengencangkan pelukannya. “Jangan pergi, Kak Ghandi. Jangan,” cicitnya.

Namun tekad Ghandi telah bulat. Maka kini ia lepaskan dengan paksa tangan mungil yang melingkar di perutnya. “Stop. It’s over.” Sentaknya yang kemudian berhasil terlepas dari dekapan Puja. Lalu tanpa mau berbalik demi melihat wajah Puja yang terpampang sendu, lelaki Ghandi masuk ke dalam mobilnya tanpa basi-basi. Membiarkan Puja, yang lagi-lagi merasa ditinggalkan, oleh siapapun.

“Gue nggak punya siapa-siapa lagi,” batin Puja menatap nanar kepergian Ghandi dengan mobilnya yang berdesing. “Bego, bego, bego!” ucapnya kemudian memukuli kepalanya pelan. Sebab di sini, memang murni karena kesalahan dan kebodohannya. Tak ada orang yang patut disalahkan lagi selain dirinya sendiri.

Di lain sisi, Ghandi tidak kembali ke kantornya. Meeting itu hanyalah sebuah alasan dan kebohongan demi lekas menghilang dari hadapan Puja. Buktinya saja, dia malah berakhir di sini, di sebuah rest area dengan mata yang mulai terpejam. Sebab, satu-satunya yang dapat membuat pikiran Ghandi kembali tenang disaat banyak pikiran seperti ini hanyalah tidur.

Lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada jok yang sengaja direndahkan agar lebih nyaman. Tak lupa, musik pun turut menemani tidur siang dadakannya saat ini. Sialnya, yang terputar malah deretan western song galau. Mulai dari Apocalypse milik Cigarettes After Sex, Traitor dari Olivia Rodrigo, sampai Angel milik Keshi pun menemani siang sendunya hari ini.

Ah, sial sekali sampai Ghandi terpaksa membuka matanya kembali demi mematikan musik tersebut. Ia hanya ingin tidur siang saja tanpa susah payah merasa semakin tertekan.

Sementara itu, jauh di tempat lain, gadis tersebut melesat cepat dibawa pergi oleh transportasi umum ternama, MRT. Sudah menjadi kebiasaannya berkeliling kota dengan transportasi tersebut kala suntuk dan sedih tengah melanda harinya.

Biasanya, Puja akan menikmati pemandangan kota yang tersaji sembari mendengarkan lagu melalui AirPods. Namun kali ini kertas berwarna kuning tersebut masih menjadi hal yang paling menarik untuk ia pandangi. Puluhan kali, bahkan sudah ratusan kali ia baca rentetan kalimat yang ada pada kertas tersebut sampai ia hapal di luar kepala. Jangankan untaian kata, titik koma saja ia sampai hapal di mana letaknya.

If I was your boyfriend, you can hold my hand whenever you want. If you feel bad about your day, my ears ready to hear whatever you say. I’m here, don’t worry. I’m always by your side. We can share our problems with each other.

Potongan bahasa Inggrisnya mungkin tidak sempurna dengan kalimat yang sama sekali juga tidak terdengar keren dan berkelas. Namun setidaknya, Puja selalu merasa nyaman setiap kali membaca salah satu bait yang tertulis di atas kertas yang sudah lusuh tersebut.

Ada begitu banyak penyesalan yang kini tengah menghantam dirinya. Dan lagu milik Shawn Mendes berjudul It’ll Be Okay yang di cover oleh Rachel Grae itu semakin menyadarkannya. Bahwa semua memang akan baik-baik saja meski hati ini kian terluka atas fakta karena takut kehilangan sosok Ghandi untuk selamanya.

“Gue nggak boleh nyerah. Nggak boleh.”

Puja itu pantang menyerah. Meski sebenarnya juga ia sudah menanggung malu yang luar biasa hebat untuk kali ini, ia tidak akan semudah itu untuk melepaskan Ghandi dalam hidupnya. Sebab nyatanya, eskistensi lelaki itu lebih berharga. Kehilangan untuk selamanya adalah sesuatu yang tak dapat untuk Puja bayangkan dalam benaknya.

Patah hati Ghandi, adalah patahnya. Yang tanpa siapapun sadari, bahwa sebenarnya rasa cinta itu telah tumbuh di dalam hati Puja. Berkembang pesat, melebihi rasanya untuk Adibya. Berkali-kali lipat. Namun sayangnya malah tertutup karena ketidakdewasaan dan obsesinya terhadap Adibya Lofarsa.

Labuhan cintanya telah menetap. Ghandi Desra telah berhasil membuat seorang Puja Larasati menambatkan hatinya. Tinggal bagaimana dua insan itu kembali membaik dan menyadari perasaan satu sama lain.

Tak ada yang salah dengan cinta. Jalan setiap orang dalam menemukan cintanya saja yang berbeda-beda.

Narasi 23 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet