Getaran Asmara

rofenaa
6 min readMar 12, 2022

--

Suasana hangat pada ruangan ini cukup menakjubkan. Interior bertema klasik yang terkesan mewah menandakan bahwa performa dari firma hukum ini memang sesuai dengan apa yang digadang-gadangkan oleh masyarakat sekitar. Khairul Bahar Law Firm Assocation memang terkenal. Ia bahkan memiliki hubungan kerja sama hampir pada setiap perusahaan leasing yang bertindak sebagai kuasa hukum. Tak jarang, Pak Bahar juga menyelesaikan perkara yang terjadi di kalangan selebriti. Entah itu terlibat konflik harta warisan, harta gono-gini, penyalahgunaan narkoba, perceraian, tindak pidana KDRT, dan sebagainya.

Ditambah lagi, tiga karyawan yang ada di firma hukum milik Pak Bahar, semuanya tampak berwibawa. Di antaranya, ada Riyan Siregar yang berprofesi sebagai pengacara muda. Dia baru saja lulus pendidikan advokat sekitar dua tahun lalu. Ada pula karyawan bagian administrasi bernama Jessi Ananta yang ternyata bukan dari lulusan ilmu hukum, melainkan seorang Sarjana Ekonomi. Pula yang paling menarik perhatian, ada Adibya Lofarsa. Lelaki dengan kulit eksotis dan mempesona itu menambah kesan charming pada dirinya. Ditambah lagi dengan beberapa tahi lalat kecil yang menyebar di wajah dan lehernya, membuat Najmi semakin merasa tertarik terhadap hasil pahatan Tuhan yang satu itu. Sebab sedari dulu, gadis ini selalu iri saat melihat orang-orang memiliki tahi lalat di wajah. Sementara dirinya, hanya punya satu, yakni di perut.

Khairul Bahar memang tipe advokat yang sangat pemilih dan selektif dalam menerima karyawan di kantornya. Lelaki tua itu memiliki prinsipnya sendiri dalam menjalani firma hukum. Tidak masalah jika kuantitas pegawainya sedikit asal kualitas terbaik lah yang menjadi rekan kerjanya di sini. Maka, tak jarang, saat dibukanya lowongan pekerjaaan pada firma ini, tahap interview lah yang paling menentukan. Sebab, tahap ini akan berhadapan langsung dengan Pak Bahar. Yang hasil akhirnya, memang jarang sekali yang akan lulus dengan mulus. Ada saja letak kesalahannya di mata Bahar, hingga berakhir tidak ada satu pun yang dapat menembus kriteria pria tersebut. Terakhir kali yang lulus, ya, Adibya Lofarsa. Itu pun sudah hampir dua tahun yang lalu.

Tak hanya sampai di situ saja. Tiga pemagang yang dikirim ke sini pun kualitasnya bukan sembarangan. Ada Puja Larasati, mantan wakil ketua himpunan mahasiswa fakultas hukum yang sering mengikuti berbagai macam gerakan mahasiswa dan lomba debat hukum. Parasnya yang cantik, berkepribadian baik, berintelektual tinggi, serta berwawasan luas membuat gadis itu menjadi primadona di fakultasnya. Ada pula Riski Syahputra, aktivis kampus yang sering mempelopori gerakan Mahasiswa Bersuara. Dia terkenal kritis dan berpikir tajam terhadap suatu permasalahan. Sering pula menjadi Mikrofon Mahasiswa saat aksi demonstrasi terjadi.

Terakhir, Najmi Desra. Satu-satunya Sarjana Hukum yang bukan seperti lulusan ilmu hukum itu sendiri. Gadis ini terkenal karena sering mematahkan pendapat teman-teman mahasiswa dalam suatu diskusi kelompok atau forum hanya dengan satu dua potongan kalimat. Pernyataan dan sanggahannya memang bermutu, namun terkesan menyebalkan. Gadis itu juga terkenal cerewet dan memiliki suara seperti toa masjid. Keras dan lantang. Terlebih, sohibnya adalah Nabila Putri, gadis paling santuy seantero fakultas hukum. Perangainya sebelas dua belas dengan Najmi. Oleh karena itulah, Pak Jasman, selaku Wakil Prodi meletakkan nama Najmi bersamaan dengan tokoh mahasiswa ternama dalam prestasi. Agar gadis itu dapat lebih tajam, kritis, dan dapat mengasah kemampuannya lagi dalam bidang hukum.

“Pak Bahar-nya di mana ya, Mas?” tanya Pak Jasman pada Riyan. Karena dosen penanggung jawab yang harusnya mengantar mereka tengah sakit, jadilah lelaki itu sendiri yang turun tangan.

“Pak Bahar-nya lagi full schedule, Pak, hari ini. Jadi nggak bisa ikut acara penerimaan anak magang. Beliau juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.” Dengan suara yang begitu terdengar tegas, Riyan pun menjelaskan. Dosen tersebut pun mengangguk paham. Advokat senior yang jaringannya sudah merembet luas seperti Bahar tersebut memang sudah dipastikan sangat sibuk.

“Makasih, Mbak.” Perempuan bernama Jessi baru selesai menyajikan minuman kaleng. Ucapan terima kasih pun silih berganti berkumandang.

Sementara Pak Jasman dan Riyan masih berbincang, Najmi yang memang pada dasarnya cerewet dan tidak bisa bungkam barang semenit pun membuka suara. Ia turut bertanya pada satu perempuan yang ada di kantor ini.

“Udah lama, Mbak, kerja di sini?” Dengan wajah yang dibuat sepolos mungkin, Najmi bertanya layaknya anak SMA yang kepo terhadap karir pengemudi ojol saat di perjalanan.

Untungnya, Jessi tersenyum ramah. Wanita itu tidak terlalu ribet dan bukan tipe yang gampang tersinggung atas pertanyaan-pertanyaan yang seperti ini karena masih termasuk ke dalam batas wajar. “Baru tiga tahun,” jawabnya lembut. Tapi kesan bijak dari raut wajahnya sama sekali tidak luntur. Ah, mungkin memang sudah seperti itu pembawaannya dari lahir. Pikir Najmi demikian.

Najmi pun menggut-manggut. “Lumayan lama juga ya, Mbak,” sahut gadis itu. Jessi lantas membalas dengan tersenyum pertanda benar.

“Gajinya gede nggak, Mbak?”

Cubitan yang lumayan keras itu pun melesat dan menembus celana dasar hitam milik Najmi. Aksi tersebut mendarat dengan mulus di paha kanan sang gadis. Kesaktiannya itu ia terima dari sosok Puja. Gadis primadona fakultas tersebut sedikit melotot demi memperingati Najmi agar tidak bertanya macam-macam di hari pertama magang. Yang ada nanti bisa saja pihak firma hukum tidak mau memberikan surat pengalaman magang untuk mereka. Padahal itu adalah program resmi fakultas mereka. Pula selembar kertas pernyataan tersebut sangat berguna sebagai tambahan berkas dalam melamar pekerjaan suatu hari nanti.

“Gapapa, kok.” Jessi berucap sembari menahan tawanya. Lucu saja saat melihat aksi cubit mencubit dan protes antara dua gadis tersebut.

Di lain sisi, Adibya masih sibuk memperhatikan salah satu data pemagang pada lembar berwarna putih tersebut. Lelaki itu fokus mematut nomor ponsel yang ada di dua kertas. Satu pada note yang diberikan Pak Khaffa, yang satu lagi pada lembar data diri. Ia memang belum sempat menyalin nomor tersebut ke dalam gawai miliknya. Kertas pemberian Pak Khaffa masih setia berada di dalam dompetnya sejak satu minggu yang lalu.

Kemudian, mata bulat milik Adibya beralih pada foto ukuran 3x4 yang berada pada pojok kanan atas kertas. Rambut gadis itu berwarna hitam dan hanya sebatas bahu. Dari meja kerjanya ini, Adibya melirik ke arah sofa tempat penerimaan tamu. Ditatapnya satu per satu wajah baru tersebut. Dan tanpa disengaja, iris Adibya malah beradu dengan obsidian milik gadis yang ingin ia ketahui wujud aslinya tersebut.

Denting jam dinding seolah berhenti tatkala tarikan setipis benang menghiasi wajah ayu gadis tersebut. Hati Adibya bergetar. Darahnya turut berdesir, pula nadi yang mendadak ikut berdenyut lebih cepat dibanding biasanya.

“Najmi Desra.” Nama dengan dua suku kata itu terucap dalam hati seorang Adibya Lofarsa. Lisannya seolah kaku. Lidah yang biasanya lincah bertutur kata pun turut kelu kala gadis itu dengan percaya dirinya melambaikan tangan seolah tengah menyapa teman lama.

“Lho, kamu kenal sama Adib?” Jessi bertanya saat menangkap pergerakan Najmi yang tentu pula dapat diperhatikan semua orang.

Gadis itu menggeleng. “Nggak. Ini baru ketemu,” jawab Najmi sejujur mungkin, membuat dua pemagang lainnya meringis ngeri dengan jawaban Najmi. Mereka geram dengan tingkah gadis satu ini.

Jessi tertawa. “Owalah, saya kira udah kenal,” ucapnya kemudian. Helaan napas lega pun diembuskan oleh Puja dan Riski. Dua teman Najmi itu sudah lumayan berdebar saat Najmi bersikap lumayan frontal pada senior dalam dunia kerja.

Sementara itu, Adibya kembali menarik fokus pada lembar data diri yang ada di meja kerjanya meski hati dan otak tengah porak poranda akibat ulah unik Najmi. “Jadi itu yang namanya Najmi?” batinnya cukup senang.

Tanpa Adibya sadari, sebenarnya dia adalah lelaki yang menyukai gadis dengan tipe seperti Najmi. Pandai berekspresi, mengutarakan apa yang selalu ingin ia utarakan, rasa ingin tahu yang tinggi, dan cerewet. Hari ini baru hari pertama. Belum hari-hari setelahnya. Apakah mungkin dirinya akan semakin mengenali Najmi dari berbagai sisi? Ah, entahlah. Ini baru permulaan. Adibya tidak mau fokusnya terbelah hanya karena urusan wanita, lagi.

Setelah berbincang cukup lama dengan para pemagang, Jessi pun pamit undur diri sejenak. “Dib, saya mau ke PN nih. Kamu yang arahin adik-adik ya?” Jessi selaku penerima amanah dari Pak Burhan untuk mengantar surat gugatan ke pengadilan negeri pun berucap demikian pada Adibya.

Pak Jasman sebagai seorang dosen penanggung jawab pengganti kelompok magang Najmi pun telah pergi dari kantor ini sejak tiga menit yang lalu.

“Gimana kalau Adibya aja, Jess, yang antar. Nanti Adib ajak satu buat ke pengadilan biar bisa turun ke lapangan langsung. Duanya lagi di kantor.” Riyan si advokat muda memberi saran.

Adibya dan Jessi yang memang pada nyatanya tidak terlalu sibuk pun mengangguk setuju.

“Boleh sih, kebetulan saya masih ada dua somasi yang belum selesai. Biar sekalian ngajarin adik-adik magang,” sahut Jessi.

“Gimana, Dib? Kamu ada kerjaan lain kah dari Pak Bahar?” tanya Riyan yang kemudian menyesap kopi hitam miliknya.

“Duplik Ranti Citra sih, Mas. Tapi udah kelar kok. Kalau gitu biar saya aja yang antar surat gugatannya.” Adibya berdiri sembari merapikan jas miliknya. Kacamata minus yang bertengger di hidung lelaki itu ia perbaiki letaknya. Tak ada sama sekali kesan culun yang terpancar. Melainkan Adibya tampak semakin gagah, keren, dan terkesan pintar meski pada nyatanya memang sudah pintar.

Diskusi dan rencana dadakan pun mendapat putusan akhir. Dua pemagang tinggal di kantor, satunya lagi berangkat ke pengadilan negeri bersama Adibya. Satu di antara dua gadis itu pun kini harus Adibya pilih. Sebab, Riski memilih di kantor saja untuk hari ini. Mau belajar membuat somasi langsung, katanya. Jadilah, Adibya harus dihadapkan dengan situasi seperti ini.

Lalu, siapakah yang akan dipilih oleh Adibya? Najmi Desra putrinya Pak Khaffa, atau Puja Larasati ‘mantan kekasihnya’ kala remaja?

Harusnya bukan satu nama. Melainkan dua yang tidak asing.

Narasi 1 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet