Kala gurat jingga tak terlihat saat Senja, detik itu pula Senan masih bergumul di dalam gundahnya. Kebetulan, hari ini Windi telah selesai dinas. Shift-nya telah usai sejak jam dua siang tadi. Kini, wanita itu tengah menghabiskan waktu di dapur—memasak untuk makan malam mereka berdua.
“Bengong aja,” tegur Windi saat menyadari anaknya itu duduk termenung di ruang tengah dengan keadaan TV yang tidak menyala.
Senan yang langsung sadar kala rungunya menangkap suara sang Ibu pun segera menoleh. Lalu ia berikan senyuman yang begitu lebar pada wanita berharganya itu. “Udah siap, Bu, masaknya?” Senan memperbaiki duduknya. Memberi ruang pada Windi agar bisa duduk dengan nyaman di sampingnya.
Windi mengangguk. “Udah.”
“Bujangnya Ibu lagi mikirin apa sih? Dari pulang sekolah Ibu perhatian mukanya kusut banget?” Windi tentu tahu kalau anak semata wayangnya itu tengah banyak pikiran. Dia hapal betul sifat Senan. Wanita itu rangkul bahu anaknya sebentar, agar kepala sang anak dapat bersandar di pundaknya.
“Bukan apa-apa,” jawab Senan saat kepalanya telah bersandar sempurna di bahu Windi. Rasanya nyaman sekali. Gundahnya perlahan bahkan mulai ternetralisir kala surainya diusap pelan oleh sang Ibu.
“Kalau ada masalah tuh cerita, Nak. Kamu cuma punya Ibu. Dan Ibu cuma punya kamu. Kita berdua harus saling terbuka. Apapun yang terjadi, harus cerita. Biar sama-sama tau duduk permasalahannya gimana.”
Senan terdiam cukup lama. Mungkin di mata orang lain, bisa saja dirinya dicap sebagai anak manja. Tapi jauh dari hal itu, nyatanya Senan sangatlah mandiri. Bahkan ia dapat tumbuh dengan baik tanpa ada sosok ayah yang mendampinginya sejak kecil.
Windi berperan ganda. Dia seorang ibu yang merangkap jadi ayah untuk sosok Senan. Wanita itu yang melahirkannya, merawatnya, dan membesarkannya sendirian. Windi pula yang tunggang langgang mencari nafkah, menyekolahkan Senan di tempat terbaik, memberinya makanan-makanan sehat dan bernutrisi, dan mendidiknya dengan sangat tegas.
Kadang, Senan merasa bersalah karena pernah menaruh kesal pada Windi yang sibuk bekerja. Padahal, wanita itu sendiri bekerja tanpa kenal waktu ya untuk menghidupi dirinya. Maka dari itu, Senan tak mau lagi banyak mengeluh. Windi sudah cukup menderita selama ini. Perjuangannya begitu besar dalam membesarkan Senan.
“Ibu nggak mau nikah lagi gitu?” Tiba-tiba saja Senan bertanya demikian. Alam bawah sadarnya bekerja dengan spontan.
Windi terkekeh. “Kamu tau, bagi Ibu, pernikahan itu cuma sekali. Dan kegagalan yang pernah Ibu hadapi, nggak akan mau Ibu ulang luka lama itu untuk yang kedua kali.”
“Tapi kan Ibu belum coba. Nggak semuanya laki-laki itu brengsek kayak dia.” Senan menegakkan kepalanya demi menatap Windi.
Gelengan tegas dapat ia tangkap dari sang Ibu. “Kamu nggak boleh kayak gitu. Mau bagaimana pun, dia tetap Ayah kamu.”
Senan mendengus sebal. “Lebih baik aku dikatain yatim daripada harus punya ayah kayak dia.”
Pukulan kecil Senan terima di paha. Windi tidak suka putranya itu berkata demikian. “Kan bener, lagian bentar lagi juga mati.”
“Apa kamu bilang?”
Senan bungkam. Dia kelepasan dalam berbicara. Karena, ya, apalagi yang membuatnya resah selain pesan-pesan tadi siang yang ia terima?
Namun belum sempat Windi mendapatkan jawaban, bel rumah mereka berbunyi. Menandakan bahwa ada seseorang yang datang.
“Biar aku yang buka.” Senan yang mendapat kesempatan untuk lari dari pertanyaan Windi pun segera beranjak. Ia melangkah cepat menuju pintu utama.
“Siapa sih yang dateng hujan-hujan begini?” Meski begitu, Senan masih berdumal. Kondisi di luar masih hujan. Suaranya saja sampai terdengar dari dalam rumah. Lalu, siapa yang rela menembus tangisan semesta tersebut?
Pintu pun segera ia buka. Rumah Senan memang tidak semewah milik Alvaro ataupun Irvan. Tidak pula seperti rumah Nuraga yang hampir menyerupai istana. Rumahnya tampak sederhana, namun masih terkesan mahal dan mewah.
“Suruh masuk aja, Pak!” sorak Senan pada satpam yang memegang payung di dekat pagar. Suaranya mencoba mengalahkan bunyi hujan yang jatuh.
“Siap, Den!” Dengan segera, satpam tersebut membuka pagar.
Dan terpampang lah, seorang perempuan dengan baju yang basah kuyup kini mulai berjalan memasuki halaman rumah.
“Waduh, kok ndak pake payung sih, Nduk?” Satpam tersebut tentu kaget saat mendapati tamu yang ada di luar pagar ini ternyata hujan-hujanan. Semuanya basah. Tak ada yang tampak kering sama sekali. Lekas, pria itu payungi gadis ini.
Mungkin pacar anak majikannya. Begitu pikir pria tersebut.
Namun, langkahnya menimbulkan tanya. Senan mengerut dalam saat netranya asing menatap raga tersebut. Ia tidak mengenal gadis itu—yang tentu bukan Ratu.
“Cari siapa ya?” Senan pun melayangkan pertanyaan dari tengah teras. Sementara gadis itu masih berdiri dengan payung yang tadi diserahkan satpam. Pria itu telah kembali ke pos jaga.
“Siapa yang datang?” Belum sempat gadis itu menjawab, Windi telah menyusul Senan keluar rumah. Wanita itu penasaran siapa yang bertamu ke rumahnya.
Semua terdiam di tengah berisiknya tangisan semesta. Tak ada satupun yang bersuara kala netra Windi bersirobok dengan mata sayu gadis tersebut. Namun tanpa disangka-sangka, gadis dengan raga yang kuyup itu berlutut di tempatnya. Bahkan untuk menginjak teras rumah saja ia tak berani. Takut sang penghuni rumah merasa jijik dengan kehadirannya.
Senan menatap terkejut. Pula dengan Windi yang mencoba memahami situasi.
“Tante Windi, aku mau minta maaf kalau sebelumnya aku nggak tau diri dan nggak tau malu karena udah lancang datang kemari.” Gadis itu kemudian berbicara. Suaranya bergetar, pula tubuhnya yang semakin menggigil sebab kedinginan. Sementara payung itu telah ia letakkan di sampingnya agar tak menghalangi pandangan saat berlutut seperti ini.
“Tapi aku mohon, Tan. Tolong bantu Ayahku yang lagi sakit-sakitan.”
Rahang Senan mengeras. Pula kepalan tangannya yang turut terkepal kuat saat menyadari siapa sebenarnya gadis ini.
Ternyata, sosok yang akhir-akhir ini mengirimkan pesan padanya itu adalah gadis ini. Dia Tiara, saudara tiri yang belum pernah ia temui seumur hidupnya.
Namun respon Windi diluar dugaan Senan. Wanita itu berlari maraih tubuh gadis itu untuk segera naik ke teras. “Cahyo kenapa?” tanya Windi kemudian.
Kan, ternyata tebakannya benar. Gadis itu adalah sosok yang mengganggunya akhir-akhir ini.
Senan menatap benci. “Oh, jadi elo yang namanya Tiara? Anak hasil dari perselingkuhan laki-laki brengsek itu?” Hujaman melalui lontaran perkataan tersebut menusuk relung Tiara. Ternyata Senan memang setajam itu dalam berbicara.
Entah karena terlalu baik atau terlalu bodoh, Senan tidak mengerti mengapa Windi malah menegurnya saat berkata demikian. Namun tentu ia mengabaikannya. Amarahnya telah menguasai hingga ubun-ubun.
“Tebel juga muka lo gue liat-liat,” ucap Senan melangkahkan kakinya mendekati Tiara yang berdiri di sebelah Windi.
Tatapan sinis dan penuh kebencian itu Senan layangkan tanpa pudar. “Pergi lo dari sini!!!” Dengan tarikan yang begitu kuat, Senan dorong gadis itu agar menjauh dari tubuh sang Ibu. Tidak pantas gadis itu mendapat rangkulan dan belas kasihan dari malaikat baiknya.
“Senan!” Windi kembali menegur anaknya. Dia tahu bahwa Senan memang membenci segala hal menyangkut Cahyono. Tapi Windi tidak membenarkan kalau anaknya malah menjadi manusia yang tidak berperikemanusiaan seperti ini.
“Pergi nggak lo gue bilang?!” Senan kembali mendorong Tiara agar segera menjauh dari teras rumahnya.
“GUE BILANG PERGI YA PERGI, ANJING!!!”
Raga yang lemah itu terpental. Jatuh tersungkur di teras bawah, dan kembali bergelut dengan derasanya cucuran atap.
“SENAN!!!” Windi menarik lengan putranya dengan begitu kencang.
“APA BU, APA?!!” Senan bertanya frustasi. Wajahnya sampai memerah karena emosi. “Ibu nggak inget gimana hari itu kita mohon-mohon supaya dia pulang? Apa Bu, yang kita dapet?! Bahkan pintu pun nggak dibukain sama dia!” Dada Senan naik turun. Napasnya begitu sesak saat mengingat kenangan masa kecil yang begitu pahit. Padahal, saat itu dirinya masih berumur lima tahun. Namun kenangan buruk tentang kebejatan Cahyono nyatanya melekat begitu erat hingga saat ini.
“Aku masih ingat Bu, gimana kita nangis-nangis kayak orang bodoh di depan rumah mereka!!!”
“Di kepalaku ini...,” Senan menunjuk kepalanya sendiri, “... semua tentang dia udah aku merahkan.”
“Akan aku ingat semua kenangan jelek yang dia kasih buat kita!” Senan menarik lengannya agar dilepaskan oleh Windi.
“Tapi lihat sekarang. Dengan nggak tau malunya, ANAK HARAM INI MALAH DATANG KE RUMAH KITA!” Nada suaranya kembali naik. Atensinya yang menatap penuh amarah tersebut menangkap Tiara menunduk dalam di bawah guyuran hujan.
“Mas Senan,” panggil gadis itu pelan. Suaranya yang lemah mencoba mengalahkan gemuruh yang turut ikut campur dalam suasana ini. “Aku nggak akan pernah membenarkan apa yang sudah Ayah sama Bundaku lakukan ke kalian berdua di masa lampau.” Tiara sadar, bahwa kedua orangtuanya telah salah pada Windi dan Senan. “Tapi aku mohon, untuk sekali iniiii aja, bantu aku. Ayah butuh biaya sekarang. Dia harus segera di operasi nanti malam. Sementara tabungan Ayah dan tabunganku udah habis untuk pengobatan selama ini,” jelasnya panjang lebar. Mata gadis itu memerah menahan air mata.
“Cahyo sakit apa, Tiara?!” Bahkan, Windi tahu dengan nama gadis itu. Apa selama ini dia masih sering terlibat dengan masa lalu?
“Meningitis, Tante.” jawab Tiara saat Windi telah kambali menariknya ke atas teras.
Windi membeku. Sementara Senan, rasa belas kasih itu sudah tak lagi ada. Rasanya telah pias. Ia tidak peduli apapun penyakit pria itu. Mau mati sekalipun, Senan bodo amat. Cahyono tak lagi penting dalam hidupnya. Rasa benci yang ia punya mengalahkan segala fakta bahwa Cahyono tetaplah ayah kandungnya.
“Terus kenapa kamu malah hujan-hujanan?”
Tanpa menghiraukan Senan yang murka, Windi membawa Tiara untuk masuk ke dalam rumah. Ia perintahkan gadis itu berganti baju terlebih dahulu. Windi pinjamkan satu stel pakainnya agar bisa dipakai oleh Tiara. Setelahnya, baru ia akan ikut bersama gadis itu ke rumah sakit.
“Ibu apa-apaan sih?!” Senan bersuara kesal. Namun Windi hanya diam. Mau bagaimanpun, dia tetaplah manusia yang memiliki hati. Meski pernah disakiti, nyatanya Windi telah lama berdamai dengan kisah pahitnya. Pula, etikanya sebagai dokter pun kini tengah menggebu-gebu. Cahyono sedang sekarat, namun biaya untuk operasi nanti malam sama sekali belum terlihat. Ia tahu, bahwa Tiara pasti sudah benar-benar buntu. Gadis belia itu mungkin sudah banyak menemui orang untuk meminta bantuan. Namun tak ada yang bisa. Maka dari itu, pilihan terakhir gadis itu adalah dirinya, mantan istri Cahyono Dika Ananto.
Perjuangannya ke sini juga bukan main-main. Meski sejak lama ia telah mengetahui alamat rumah Windi, baru kali ini lah dirinya berani menginjakkan kaki di sini. Dengan bermodalkan lima ribu rupiah, tadi ia naiki angkot yang melewati daerah komplek ini. Namun karena hujan tiba-tiba melanda, Tiara yang tidak membawa payung pun harus rela berlari dari gerbang komplek hingga sampai di kediaman orang yang ia segani. Dengan hujan-hujanan hingga kuyup sekujur badan, pada akhirnya, Tiara sampai di sini. Diterima oleh Windi yang begitu baik, dan dihina oleh sosok Senan Dika yang begitu membencinya.
PRANG!!!
Lemparan gelas tersebut Senan layangkan tepat di dekat kaki Tiara. Gadis yang baru keluar dari kamar mandi itu terkejut bukan main. Ia meringis saat serpihan kaca turut melukai kakinya.
“Astaghfirullahalazim, Senan!!!” Windi yang tengah membuatkan teh hangat untuk Tiara pun menjerit kaget. Anaknya itu benar-benar di luar kendali.
“SAMPAH!!!”
Lalu setelah mengatakan hal itu pada Tiara, Senan berjalan meninggalkan ruangan tersebut tanpa menghiraukan panggilan Windi. Dengan pakaian rumahnya, Senan meraih kunci mobil sang Ibu, lalu lekas menuju garasi.
“Senan! Kamu mau kemana, Nak?!” Windi mengejar sang anak. Namun Senan telah memasuki mobilnya. Mengeluarkan dari garase, tanpa lupa mengunci mobil ini dari dalam.
Ia tak peduli apa yang akan Windi lakukan setelah ini. Mau pergi pakai apa pun nanti, Senan tidak akan ambil pusing. Yang penting dia tak mau berurusan dengan pria brengsek penyakitan tersebut.
“Tanpa kamu sadari, kamu mirip dengan Cahyo, Nak.”
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe