Sepulang sekolah dan usai mengirimkan pesan pada Jeriko, lima pemuda tersebut dengan lekas menuju tempat yang menjadi tujuan mereka. Sementara Senan, pemuda itu benar-benar tidak dapat bergabung karena urusannya di rumah sakit. Sebab, mau bagaimana pun ia menolak, Windi adalah kelemahannya. Ia tak nyaman kala wanita kesayangannya itu memohon dengan teramat sangat. Toh, kalaupun ia nanti benar-benar akan menemui gadis itu, Senan bisa memakinnya sesuka hati. Akan ia lampiaskan semua amarah dan emosinya ini pada sosok Tiara nantinya. Begitu pikir Senan.
“Lo sering ke sini, Sa?” tanya Nuel saat mereka baru memasuki kawasan rumah baca dengan berjalan kaki. Sebab, Grab Car yang menjadi kendaraan mereka tadi hanya bisa mengantar sampai depan gang.
Mungkin Arsaka memang sudah terbiasa dengan tempat ini, tapi tidak dengan empat pemuda lainnya. Tempat ini jauh dari pijakan tapak kaki mereka selama hidup. Jangankan kawasan kumuh, ke pasar tradisional saja enggan sekali kakinya untuk melangkah. Namun entah mengapa, takdir seolah menunjukkan bahwa kehadiran Arsaka benar-benar membawa mereka ke jalan yang lebih terang. Tanpa sengaja, pemuda itu menunjukkan berbagai sisi kehidupan manusia yang ada di sekitar mereka.
“Iya, hehe. Maaf ya kalau kamu nggak nyaman.” Setelah mendapat jawaban yang tentunya diiringi raut tak enak hati dari Arsaka, Nuel pun hanya mencebik. “Lo kalau jadi tokoh politik nih ya Sa, terus nyari suara atau kampanye, kayaknya bakalan menang banyak deh karena sering blusukan ke sini dan ngambil hati mereka, hahaha…. ”
Alhasil, setelah Nuel berkata demikian, Nuraga spontan menendang kecil kaki Nuel dari belakang. Pemuda yang berjalan di depannya itu nyaris tersungkur kalau saja Lino tak langsung menahannya.
“Anjing lo, Ga!” umpat Nuel yang tentu saja tidak terima. “Kalau gue nyungsep gimana, hah? Becek gini anjing!” lanjutnya kesal sembari melayangkan kepalan. Tak benar-benar mendarat. Hanya mengambang di udara sebagai gertakan sebalnya saja.
Semua hanya tertawa melihatnya. “Ya lagian sih…,” sahutnya. “Arsa mah bukan bokap lo kali!” Lalu tawa Nuraga semakin menguar menghiasi sepanjang gang kecil yang tampak sempit dan kumuh. Bersama Irvan, tawa lelaki itu semakin keras menyapa telinga Nuel.
“Sialan,” umpatnya sinis. Tangan yang tadi sempat tidak berniat ingin memukul, kini ia layangkan untuk menggeplak kepala Nuraga dengan cukup keras.
Tak lama, setelah berjalan kaki sekitar lima menit, mereka pun telah sampai di halaman rumah baca yang tak terlalu besar. Di teras, sudah terbagi sekitar tiga pos yang terbuat dari gabungan dua meja pada masing-masingnya. Operasi kali ini sudah berjalan sejak jam 9 pagi. Panitia dan beberapa relawan sudah menyebar untuk membagikan paket sembako yang terbungkus dalam plastik hitam besar.
Semuanya telah diatur sedemikian rupa. Pos 1 dihuni oleh dua orang relawan yang mengurus pakaian bekas layak pakai. Mereka membagi sesuai dengan fungsi dan jenis. Pos ini sendiri seutuhnya tidak turun ke lapangan untuk membagikan pakaian. Melainkan hanya stay di rumah baca. Sebab, pakaian ini akan dibagikan pada orang-orang yang belajar di tempat ini. Dibagi secara adil dan rata. Sementara pos 2, mengurus sembako. Ada lima relawan yang mengurusnya, mengingat banyak yang harus dilakukan dalam tugas ini. Tiap paket sembako sendiri berisi 250 gram gula pasir, seliter minyak goreng, dua kilogram beras, empat bungkus mi rebus, empat bungkus mi goreng, sebungkus garam halus, dan sebotol kecap ukuran kecil. Terkahir, pos 3. Pos ini diurus oleh dua orang relawan. Pos tersebut bertugas untuk mengawasi jalannya acara.
Setiap yang sudah mendapatkan bantuan, tangan mereka akan dicap dengan stempel rumah baca. Tinta berwarna biru keunguan itu akan menjadi alternatif mereka dalam menandai siapa saja yang menerima bantuan.
“Weh, Sak! Baru dateng lu?” sapa seorang lelaki yang sepertinya berumur dua puluh tahunan. Wajahnya tampak bersinar. Mungkin sering beribadah, begitu pikir Nuel.
“Iya, Bang. Ini juga bawa temen-temen mau lihat kegiatan kita sama mau sedikit membantu,” sahut Arsaka. “Maaf ya, Bang, kita telat banget. Soalnya enggak bisa izin sekolah juga karena lagi sibuk sama persiapan masuk universitas.” Garukan dikening pun menandakan bahwa Arsaka sedang tidak enak hati.
Namun lelaki itu terkekeh, “Gapapa kali! Kan lu juga dari awal udah izin. Mana bantuan dari sekolah lu lumayan banyak.”
“Gimana, Bang?” bingung Arsaka.
“Yang dateng jam sebelas tadi bantuan dari sekolah lu pan?” Relawan lain ikut menyahuti percakapan mereka.
Sementara, empat pemuda lainnya hanya diam menyimak. Mereka tengah asyik menyaksikan interaksi antara Arsaka dengan dua pria dewasa.
“Oh, itu bukan dari sekolah Saka sih, Bang. Tapi dari mereka,” jawab Arsa seraya menunjuk sopan pada teman-temannya menggunakan jempol. “Dari temen-temen Arsa semua. Berenam. Tapi dua lagi enggak bisa dateng ke sini. ”
Lelaki itu sontak membulatkan mulutnya. Ia kira, bantuan sebanyak satu mobil pick up itu berasal dari sekolah Arsaka. Namun ternyata hanya berasal dari sejumlah pemuda yang berada di hadapan mereka.
“Buset, makasih banyak ini mah!” Dua orang itu pun dengan lekas menjabat tangan mereka satu per satu. “Semoga segala urusannya dilancarkan ya!” ucap pria berbaju koko itu mendoakan. Pun pria bertato turut lekas mengaminkan bersama teman-teman Arsaka.
Lalu setelahnya, mereka disuruh masuk ke dalam terlebih dahulu. Sedangkan dua lelaki itu sudah kembali disibukkan dengan kegiatan lain.
“Itu daftarnya pakai KK, kan? Yang dari jauh-jauh hari kegiatan ini udah dikasih tau ke warga sekitar sama orang kelurahan?” Itu Nuel. Lelaki yang cukup hapal dengan sistem kegiatan ini bersuara. Setahunya, dari apa yang ia perhatikan dari kegiatan sang ayah selama ini, kalau ada bantuan-bantuan atau donasi, kelurahan akan ikut ambil bagian.
Arsaka yang sudah lama mengenal tempat ini pun bersuara, “Sebenernya, orang-orang di sekitar sini susah buat ngurusin pendaftaran KK ke kelurahan dari jauh hari, El. Mereka sibuk ngais rejeki. Berangkat mulung dari subuh, nanti pulangnya maghrib. Yang ngamen pun juga belum tentu sempat.”
Lima pemuda itu kini sedang duduk di dalam rumah baca. Mereka disuruh menunggu gerobak motor yang akan mengangkut sembako yang masih belum dibagikan. Sebab, stok sembako yang disediakan untuk diambil penerima bantuan di sini sudah sold out. 500 bungkus sudah dijemput, sementara 200 bungkus lagi belum dibagikan. Panitia memang memisahkan sembako untuk mereka bagikan ke kecamatan seberang. Sembako itu akan dibagikan secara random pada orang-orang yang membutuhkan. Dan itu, sekitar dua kali putaran lagi, mungkin akan selesai. Mereka memang sudah terlambat untuk datang membantu. Tapi setidaknya, niat baik itu tetap dihargai oleh orang-orang di sini.
“Lagi pula, bukannya mau suudzan, tapi kita juga enggak bisa menutup mata kalau terkadang orang kelurahan banyak yang curang. Bukannya disalurkan ke yang membutuhkan, malah tersalurkan ke sanak famili mereka. Paham nggak maksud Arsa?”
Sebenarnya mereka juga tidak terlalu paham. Para pemuda ini mana pernah menerima bantuan dalam bentuk apapun. Ekonominya bagus. Mereka tidak pernah kekurangan apapun. Semua kebutuhannya terpenuhi, baik primer maupun skunder.
“Ya kalau mereka mau dapet bantuan, pasti bakal diurus kok itu pendaftaran KK. Kalau nggak pakai identitas keluarga, ntar jatohnya malah nggak adil. Iya kalau jujur, kalau curang, gimana? Harusnya dapet satu per KK, eh malah dapet tiga.” Nuel masih belum mau menyerah. Menurutnya, sistem ini perlu diperbaiki. Namun, yang diberitahu hanya tersenyum tipis. Ia tetap mendengarkan protes dari kawannya.
“Hal itu udah diantisipasi panitia kok, Nuel. Mereka tetap pakai KK waktu pengambilan sembako di sini. Udah dikasih tau juga dari jauh hari kalau jumlahnya terbatas. Cuma, kita enggak minta bantuan kelurahan buat menyalurkan, melainkan kita sendiri yang turun tangan. Gitu.”
“Oh, jadi tetep pake KK ya? Terus setelah dapet, tangannya dikasih stempel, plus masuk data laptop?” Nuraga bersuara. Sepenglihatannya tadi, ada salah satu panitia yang sibuk di depan laptop. Mungkin untuk memastikan setiap Kartu Keluarga hanya bisa mendapatkan satu bungkus bantuan.
“Nah, iya bener,” sahut Arsaka. Mereka pun kemudian hanya mengangguk-angguk.
“Panggilan lo sebenernya siapa sih?” Itu Irvan. Disaat yang lain fokus dengan sistem pembagian sembako, dia malah sibuk memikirkan panggilan Arsaka oleh orang-orang di sini. Bahkan saat baru sampai tadi, banyak anak kecil yang memanggilnya dengan nada gembira.
Bang Saka! Bang Saka! Begitu panggil mereka.
Arsaka terkekeh malu. “Dulu, ada anak kecil yang enggak bisa ngomong huruf R. Dia enggak bisa panggil namaku, Arsa, dengan lurus. Jadi ya aku suruh dia panggil Saka aja. Eh, semuanya malah ikutan manggil begitu. Jadi semenjak itu, namaku lebih dikenal sebagai Saka di sini. Bukan Arsa.”
Irvan mengangguk paham. Sementara Lino, ia juga baru tahu bagaimana asal muasal panggilan tersebut.
“Pan,” panggil Nuel pada Irvan. Lelaki yang tak suka huruf V pada namanya diubah menjadi P pun melirik sinis. “Gimana kalau kita manggil lo Ir aja? Haha, pasti lucu juga tuh. Ntar jadinya Koh Iir, biar keliatan softie!”
Respon yang diberikan Irvan pun sesuai ekspektasi. Pemuda itu melempar Nuel dengan spidol yang ada di dekatnya. “Ogah!!!” tolaknya.
“Yeu, padahal cute!” sahut Nuel yang berhasil menghindar.
“Apaan, bagusan juga dipanggil Ipan. Ye kan, Pan?” Nuraga malah ikut-ikutan mengungkit panggilannya selama ini. “Ipan for better life! Biar idup lo berasa kaga kaku-kaku amat!” sambungnya.
Irvan yang jengah pun tak mau lagi menggubris ucapan mereka. Ia sibuk memperhatikan anak-anak yang langsung mencoba pakaian yang mereka dapat. Rautnya cerah bukan main. Bahagia sekali mendapat baju baru meski bekas pakai orang lain.
“Bang Saka!” Semua lantas menoleh kala suara itu menjadi pusat perhatian mereka berlima.
Itu Adit. Lino pun tentu masih ingat dengan anak itu. Anak yang pernah mengatakan bahwa “Masih pahitan nggak bisa makan daripada pahitnya kepala ikan.”
“Eh, Dit. Udah pulang nyari?” sahut Arsaka mengusak rambut Adit. Anak itu mengangguk dengan senyum yang sedari tadi tidak lepas.
“Ada Bang Lino juga!” lanjut Adit menyalami mereka semua. Nuraga sampai terenyuh melihatnya.
“Temen Bang Saka semua, ya?” tanyanya kemudian. Arsaka pun mengangguk. Namun matanya masih mematri pada baju kaus yang dikenakan oleh Adit saat ini. Anak itu tengah mencoba pakaian yang ia dapat dari hasil pembagian panitia tadi.
Kemudian, anak itu berucap, “Lihat, aku baju baru, Bang!” pamernya pada Saka. “Bajunya bagus!”
Irvan, dia tidak pernah berpikir bahwa barang bekas itu dapat menimbulkan raut bahagia pada orang lain. Meskipun itu bukan bajunya, tapi Irvan dapat melihat, di sekitarnya, ada satu dua anak lain yang pula tengah mencoba pakaian baru mereka. Salah satunya ada baju Irvan di sana.
“Kamu suka?” tanya Lino menimbrung.
“Suka banget! Aku dapet tiga! Bajunya bagus-bagus dan harum!” jawab Adit seraya menunjukkan satu baju dan satu celana lagi yang berada dalam kantung plastik.
Arsaka tertawa pelan. Kemudian menepuk bahu Adit dengan lembut. “Alhamdulillah, kalau kamu suka.”
Dalam hati, Arsaka langsung berucap, “Varo, lihat. Adit lagi pakai baju pemberian kamu. Dia suka sama baju kamu.” Rasanya, Arsaka ikut senang hati dan bangga. Andai saja Alvro bisa lihat raut bahagia yang Adit pancarkan, mungkin temannya itu akan tersenyum lebar. Namun sayang, faktanya, Alvaro masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit sana.
Arsaka tahu betul kalau yang dipakai Adit ini adalah baju milik lelaki itu. Sebab, sebelum membawanya kemari, ia sudah memeriksa terlebih dahulu. Mematri barang yang sekiranya memang lelaki itu ingin donasikan.
“Semoga, orang yang dulu punya baju ini, umurnya panjang ya, Bang? Rejeki dan urusannya selalu dilancarkan!” ucap Adit yang kemudian berdoa untuk sang pemilik baju terdahulu. Ah, anak itu tahu saja kalau sang pemilik sedang tidak baik-baik saja.
“Aamiin,” sahut Arsaka lalu menoleh ke arah pintu. Seseorang sudah memanggilnya.
“Sak ayo berangkat! Gerobak motornya udah dateng!!!”
“Iya, Bang. Sebentar.” Lalu, mereka pun bersama-sama menuju ke luar setelah berpamitan dengan anak-anak.
Irvan mengerut sedikit tidak suka. “Seriusan kita naik ini?” tanyanya memastikan. Sebab, gerobak motor ini mirip dengan transportasi pengangkut sampah yang biasa berkeliling di sekitar kompleknya.
“Iya, emang kenapa, Van?” tanya Arsaka yang hendak melangkah membantu menaikkan berbungkus-bungkus sembako ke atas dak gerobak motor. Begitu pula dengan Lino yang sudah hendak ikut membantu Arsaka.
Namun Irvan hanya menggeleng. Mau mengutarakan keengganannya dalam hal ini, dirinya juga sungkan. Jadilah, ia hanya memilih diam sembari kini membantu orang-orang mengangkut sembako.
“Gue sama Nuel, Irvan sama Nuraga bareng lo. Gimana?” Itu Lino. Ia memberi saran pada Arsaka untuk memecah kelompok. Namun lelaki itu hanya memandang satu per satu pada temannya. Meminta pendapat masing-masing demi mencapai kesepakatan bersama.
“Gimana?” tanyanya kemudian pada mereka.
“Ya udah, gue sih oke-oke aja,” sahut Nuraga. Ia tak masalah mau dibagi atau tidak, mau dengan siapapun atau sendirian, no problem.
“Gue sama lo deh,” ucap Irvan meminta agar dirinya bersama Lino. Mau bagaimana pun, ia masih canggung berat dengan Arsaka. Apalagi di sana ada Nuraga, bisa-bisa dia di-roasting habis-habisan oleh temannya itu. Padahal, dulu mereka itu partner.
“Oh, ya udah. Berarti gue, lo, sama Nuel sekelompok. Arsaka sama Nuraga. Fix, kan?” Lino pun menarik kesimpulan.
Kebetulan, Nuel juga sedang malas dengan Nuraga. Teman baiknya itu sedang mode menyebalkan hari ini. Maka dari itu, ia tak banyak protes. Toh, lagian yang pergi bukan cuma mereka. Melainkan ada relawan senior yang ikut bersama mereka.
“Ya udah, ayo naik!” Mereka semua pun naik ke atas dak gerobak motor. Bersiap untuk membagikan paket sembako putaran terkahir ke arah yang berbeda.
“Nanti ketemunya di sini lagi, ya?!” sorak Arsaka sebelum mereka benar-benar berjarak. Dua gerobak motor ke arah kanan, sementara dua lagi ke arah kiri. Tempat tiga orang temannya itu hendak menjalankan tugas kemanusiaan.
Lino, Nuel, dan Irvan pun mengacungkan jempolnya pertanda paham dan setuju. Kali ini, untuk pertama kalinya, mereka mencoba untuk menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat miskin. Semoga, perbuatan baik mereka kali ini bisa membawa takdir ke arah yang jauh lebih baik. Huru-hara dalam kehidupan hendaknya perlahan terusir agar mereka bisa lebih tenang dalam menjalani hari-hari berikutnya. Begitulah harap para pemuda.
Pukul 16.00, mentari masih terasa sangat menyengat. Yang mereka kira membagikan sembako semudah membagikan brosur, nyatanya salah besar. Tak jarang bahkan ada yang berebut dan meminta lebih. Kecurangan tetap saja terjadi mengingat ekonomi begitu sulit dalam hidup mereka. Nuel sampai kewalahan bukan main dibuatnya.
Namun untung saja relawan senior itu dapat mengatasi keadaan yang mulai ricuh. 100 bungkus sembako itu tentu harus dibagi pula menjadi empat. Yang mana setiap pemberhentian mereka, hanya 25 bungkus saja yang akan dibagikan. Irvan yang langsung kena mental tertarik ke sana kemari pun kini hanya memilih duduk di atas dak. Menjaga 50 bungkus sembako yang belum terbagikan. Di sini ia duduk berteman si pengendara gerobak motor. Hanya sesekali percakapan terjadi di antara mereka. Sementara, sepuluh meter di depan sana, Lino, Nuel, dan relawan senior itu sudah hampir selesai membagikan 25 bungkus sembako di wilayah ini.
Di lain sisi, kegiatan Arsaka bersama Nuraga berjalan tenang. Sangat berbanding terbalik dengan keadaan yang di hadapi oleh Lino, Nuel, dan Irvan. Orang-orang di tempat mereka bahkan lumayan tertib sebab mengenal Arsaka dan mendengarkan instruksinya. Kata pemuda itu, yang tidak tertib tidak akan mendapatkan bantuan. Jadilah, semua orang memilih berbaris demi mendapatkan bantuan sembako.
Dan saat sampai pada titik wilayah terakhir, akhirnya Nuraga menghela napas lega. Ya meskipun sedari tadi dirinya hanya menurunkan sembako dan menyerahkannya pada Arsaka, tetap saja rasa lelah itu mendera. Sementara Arsaka Laksana, dia sibuk bersuara tegas mengarahkan jalannya kegiatan.
“Permisi, Bang?” Langkah Arsaka yang hendak menaiki dak gerobak motor tersebut terhenti. Ia tolehkan pula wajahnya pada sumber suara. Begitu pula dengan Nuraga dan dua orang lainnya.
“Iya, kenapa?” tanya Arsaka menunduk. Ternyata yang ada di hadapannya ini adalah gadis kecil yang memegang sekarung botol plastik bekas. Perkiraan umur gadis itu mungkin kisaran sembilan atau sepuluh tahun. Terlihat sedikit kumal, tapi tidak masalah. Arsaka tidak pernah merasa jijik.
Dengan wajah malu dan takut-takut, gadis itu pun berbicara. “Anu, Bang…. Sembakonya masih ada nggak? Saya belum kebagian.”
Arsaka menahan napasnya. Bagaimana ya cara menjawab pertanyaan anak ini? Sembakonya sudah kandas. Ludes tak bersisa. Ia terlambat.
“Udah nggak ada, Dek. Kamu telat. Lain waktu ya!” sahut salah satu relawan senior yang kemudian mengajak Arsaka dan Nuraga untuk naik. Namun Arsaka sendiri masih enggan untuk bergerak meski barang sesenti.
Dapat ia lihat, bahwa pundak gadis kecil yang tadi tampak kokoh mulai mengendur. Sepertinya dia sedikit kecewa. “Oh, gitu. Ya udah Bang kalau memang udah habis, hehe…. Mungkin emang belum rejeki saya.”
Bukan hanya Arsaka yang iba mendengarnya. Melainkan juga Nuraga yang masih tak lepas menitikkan pandangan dan telinganya pada interaksi mereka berdua. Kemudian, ia dapat melihat, bahwa Arsaka kini sedikit menunduk sembari meraih tangan gadis itu. Ia tampak memberikan sesuatu setelah merogoh saku.
“Maaf, ya? Sembakonya udah habis, jadi Abang cuma bisa kasih itu. Enggak apa-apa, kan?” Arsaka berbisik saat menyampaikannya. Otomatis, gadis kecil yang merasakan tangannya menggenggam dua lembar uang pun menatap kertas tersebut.
Matanya membulat. Mata uang berwarna biru yang jarang sekali tersentuh oleh tangannya kini berada dalam genggaman. Arsaka memberikannya seratus ribu rupiah.
“Eh, makasih banyak, Bang! Makasih! Ini bisa beli beras sama lauk buat ayah di rumah nanti!” ucap anak itu gembira. Ia reflek menyalami tangan Arsa dengan perasaam yang begitu sangat membuncah. Tak masalah kalau dirinya tak mendapat sembako. Yang penting, ayahnya yang tengah sakit di rumah bisa makan malam dengan uang ini. Ia juga bisa membeli obat untuk ayahnya pula meski hanya obat warung.
“Sama-sama,” ucap Arsaka kemudian mengusak kepala sang gadis kecil sejenak.
Lalu lengang. Mereka telah berpisah dengan pemandangan yang dapat Nuraga lihat bahwa anak itu tengah berlari dengan sangat gembira menjauhi mereka. Mungkin pulang ke rumahnya, begitu pikir Nuraga.
“Lu mah baik bener, Sak, jadi orang!” ucap salah satu relawan senior pada Arsaka. Sedang pemuda itu hanya bisa tersenyum.
“Lagi ada rejeki lebih, Bang,” sahut Arsaka tanpa berminat melanjutkan percakapan ini. Matanya hanya memandang ke jejeran rumah reot yang berada di kawasan kumuh ini. Sementara gerobak motor mereka sudah mulai berjalan. Membuat Arsaka yang duduk dengan arah berlawanan itu hanya bisa melihat tempat tersebut semakin jauh dari jarak pandangnya.
“Ternyata lo emang sebaik itu ya? Gue jadi ngerasa berdosa banget ada di samping lo, Sa.” Nuraga membatin. Dirinya benar-benar merasa bersalah kala mengingat dulu dirinya seringkali meledek Arsaka tentang perihal apapun. Bahkan ia dulu turut menghasut orang-orang agar ikut mengerjai lelaki itu. Parahnya lagi, ia turut menertawakan status orang tua Arsaka. Padahal, Arsaka tak pernah berbuat salah. Dirinya yang terlalu tidak mau menggubris gangguan lah yang menggangu Nuraga. Ia begitu iri dengan kesabaran tingkat tinggi yang dimiliki oleh seorang Arsaka Laksana.
Sadar diperhatikan sedari tadi, Arsaka pun menoleh pada Nuraga. Netra mereka bersirobok. Ada sirat keterkejutan yang ada dalam mata lelaki itu. Namun Nuraga menutupinya dengan sebisa mungkin. Ia tak mau ketahuan bahwa sedang mengagumi kepribadian seorang pemuda di sampingnya.
“Nuraga merhatiin Arsa?” Posisi Nuraga yang memang duduk bersandar di dinding kiri membuat keadaan lelaki itu tampak memperhatikan Arsaka yang tengah menyampinginya. Pemuda itu masih setia duduk menghadap belakang. Memperhatikan orang-orang dan pejalan kaki yang kadang juga menatap ke arahnya.
“Dih, pede banget lo? Orang gue ngeliatin uban lo noh! Masih muda kok udah ubanan aja?” Nuraga tentu mengelak. Ia tak mau ketahuan bahwa sedari tadi memang mematut raga pemuda itu.
Arsaka langsung gelagapan mengusak rambutnya percaya. “Masa sih? Sebelah mana?” tanyanya mendekat pada Nuraga. Lelaki itu minta dicabutkan saja helai rambut berwarna putih itu.
“Banyak nggak?”
“Kaga tau, tapi satu doang deh kayaknya,” balas Nuraga yang terpaksa malah memegang kepala Arsaka demi berpura-pura mencabut uban.
“Tolong dicabutin aja ya, Ga.” Dan bodohnya, Nuraga malah menurut saja. Apa boleh buat? Dirinya sudah terlanjur berbohong. Jadi, mau tak mau, ia harus melakukannya.
“Udah.” Sahutnya setelah mencabut sehelai rambut Arsaka secara acak. Yang warna hitam tentu saja. Arsaka tak punya uban. Nuraga memang sepenuhnya tengah berdusta.
“Makasih, hehe…. ” Arsaka pun hanya cengengesan sembari menjauhi kepalanya dari genggaman Nuraga. Sementara, pemuda yang sudah merasa lihai dalam aksi berbohongnya itu pun sudah susah payah menahan tawa. Dalam hati, ia menertawakan dirinya sendiri. Pula menertawakan kebodohan Arsaka yang dengan gampangnya dikibuli.
Padahal, Nuraga tidak tahu saja, kalau Arsaka itu sangat pandai membaca raut wajah dan sorot mata. Ia tahu mana yang tengah berbohong mana yang tidak. Ia pandai menilai. Itulah yang menjadi salah satu alasan kuat mengapa dirinya dapat terpilih menjadi orang-orang yang Jihan andalkan dalam menjalankan tugas Aliansi Garuda Melegenda.
Dalam hati, Arsaka sendiri juga tengah menahan tawa. Gelitik dalam hatinya tengah membuncah luar biasa hebat. Sebab, ia sangat tahu, bahwa kawannya itu tengah berbohong. Tapi karena tak mau menjatuhkan harga diri Nuraga dan gengsi lelaki itu, akhirnya Arsaka hanya mengikuti alur. Ia lirik mata bulan sabit itu yang kini mengedip acak.
“Kenapa sih?” dengus Nuraga saat mulai risih diperhatikan balik oleh Arsaka. Namun pemuda itu hanya terkekeh pelan, kemudian menggeleng.
“Gapapa, lucu aja.”
“Dih, najis banget lo!” Bukannya merasa sakit hati, tawa Arsaka akhirnya malah terlepas. Bersatu dengan angin jalan, namun begitu merdu menemani perjalanan.
“Sumpah, lo aneh banget anjir!” kesal Nuraga sedikit menendang pelan paha lelaki itu dengan kakinya yang masih menggunakan sepatu. Yang ditendang pun hanya melanjutkan tawanya.
Melihat mata bulan sabit itu kian menyipit, membuat hati Arsaka semakin terasa hangat. Perlahan, satu per satu, temannya itu bisa menerima keadaan dan kondisi mereka masing-masing. Berjalan mencapai tujuan, diiringi ikhlas demi menjalani masa depan.
Ya kira-kira gambaran mereka tuh naik itu yaa tapi yang gede
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
@ ebbyyliebe