Hukuman

rofenaa
6 min readJan 27, 2022

Deraian air mata tak kunjung berhenti. Isak tangis yang terdengar saling bersahutan, kini memenuhi ruangan tersebut. Masing-masing mereka bahkan memegang pisau kater.

“Semua—hssrp gara-gara lo berdua—hssrp,” ucap Senan pada Irvan dan Arsaka sembari menarik air di hidungnya agar tidak menetes. Sebab, sudah hampir maghrib, hukuman mereka semua masih saja belum selesai.

Nuel berulang kali merengek tak terima karena ikut terkena hukuman. Tak terhitung berapa kali dia menyebut bunda dalam hukumannya itu. Kesal iya, marah pun juga iya. Tapi ia juga tak bisa melawan ketegasan para utusan sekolah tersebut.

“Kerjain aja buruan,” ucap Alvaro yang juga menahan perih pada matanya. “Ini harus kelar sebelum adzan maghrib,” lanjutnya kemudian mengusapkan wajah pada bahu kanan dan kiri secara bergantian. Sebab kalau menggunakan tangan, sama saja mencari mati.

“INI KAPAN KELARNYA YA ALLAH...” Nuel melemparkan segenggam bawang merah yang belum terkupas. Kesal, sedari tadi tidak kelar-kelar.

Ya, mereka semua memang mendapatkan hukuman yang sama dari Tristan. Yaitu mengupas dan meracik bawang merah. Dan itu semua harus selesai sebelum adzan maghrib berkumandang.

Masing-masing mereka diperintahkan untuk mengupas dan meracik dua kilo bawang. Kalau tidak selesai dalam kurun waktu yang ditentukan, maka bawang yang akan dikupas dan diracik akan ditambahkan sebanyak dua kali lipat dari berat awal. Mungkin hukuman ini tidak berat bagi orang yang sering ke dapur. Tapi bagi mereka si anak manja yang tak pernah menyentuh alat dapur dan bumbu masak, ini adalah siksaan dan hukuman yang begitu luar biasa berat.

“Berisik lo, ah!” ujar Lino menyahuti.

“Heh, liat noh mereka berdua,” sambung Nuraga melirik pada hukuman yang dihadapi Arsaka dan Irvan. “Masih ada bawang bombai sama rawit yang bakal mereka hadepin,” lanjutnya bergidik ngeri. Terlebih melihat onggokan bawang merah milik Irvan yang tak kunjung selesai. Sungguh mengerikan sekali.

Arsaka hanya meringis saat mengingat mereka semua menjadi tersiksa begini karena keputusannya. Ini salah Arsaka. Lebih baik dari awal ia dengarkan perintah Tristan untuk tidak berkelahi. Dengan begitu, mungkin teman-temannya tidak akan dihukum dengan cara mengupas dan meracik bawang seperti ini.

“Tidak usah banyak protes, Immanuel. Kerjakan saja, dan kutip kembali bawang punyamu.” Itu Tatang. Dia lah yang menjadi pengawas lima orang tersebut. Sementara si dua biang kerok, diawasi oleh Yudhistira. Gerakan mereka dipantau. Makanya sedari tadi tak ada yang berani kabur dari hukuman.

Nuel yang melempar segenggam bawang merah tersebut pun berakhir dengan mengutipnya kembali di lantai ruang tengah.

“Iris yang benar. Itu akan disumbangkan ke pabrik bawang goreng,” ucap Yudhistira menambahkan. Bawang hasil hukuman ini tentu tidak akan dibuang sia-sia. Akan mereka sumbangkan pada pabrik bawang goreng di dekat sini.

Decakan dan protes pun silih berganti mengudara. Namun Tatang dan Yudhistira memilih tidak peduli. Hukuman ya hukuman. Tak ada keringanan. Harus segera diselesaikan jika tak mau diberatkan.

Irvan sudah berkali-kali meringis saat tangannya hampir teriris pisau saat meracik. Belum lagi setelah ini harus mengupas bawang bombai dan memitil cabai rawit. Sungguh, rasanya Irvan ingin berteriak sekeras-kerasnya. Ia sangat tak suka berurusan dengan bumbu dapur.

Sementara Arsaka, meskipun juga ikut berderai air mata, tentu dia yang paling santai dalam menjalani hukuman. Sebab sedari dulu, dia sudah terbiasa mendapat piket bagian memasak saat di panti. Sampai sekarang pun, ia sering memasak untuk dirinya sendiri saat di kontrakan. Mengupas dan meracik bawang adalah hal yang sangat biasa. Bahkan, kini ia sudah memasuki tahap akhir mengupas lima kilo bawang bombai. Setelah ini, hukuman terakhirnya adalah memtil cabai rawit. Sedangkan teman yang lainnya masih saja tak kunjung selesai mengupas bawang merah.

Setengah jam pun berlalu. Arsaka baru saja selesai dengan tugasnya. Begitu pula dengan Senan, Lino, dan Nuel. Meski banyak merengek, nyatanya pria itu dapat menyelesaikannya lebih cepat dari Alvaro dan Nuraga. Mereka bahkan sudah memasuki kamar dan memilih baju untuk segera mandi. Menghilangkan bau bawang dan perih pada mata.

“Selamat berjuang Aga dan Varo...” sorak Nuel saat meninggalkan ruang tengah. Bahkan ia sempat meledek Tatang dengan wajah konyolnya.

Tatang mendelik sebal melihat kelakuan anak pejabat yang satu itu. Kurang akhlak pula dia rupanya.

“Irvan, mau dibantu?” bisik Arsaka pada Irvan. Membuat Yudhistira memicing tak percaya. Bisa-bisanya anak angkat Jeriko itu masih berbaik hati menawarkan bantuan setelah babak belur. Biasanya, remaja di umur mereka ini, akan sulit untuk saling memaafkan. Gengsinya terlalu tinggi. Contohnya seperti Irvan. Namun, Arsaka tidak sama sekali. Meski lebam dan sakit yang tentu mendera, ia jalani hukuman dengan ikhlas. Bahkan ia juga rela ingin membantu Irvan yang tak kunjung menyelesaikan kupasan bawang bombai.

Dalam peraturan hukuman yang disebutkan, memang tak ada larangan untuk membantu yang belum selesai. Maka dari itu lah, Arsaka berani menawarkan bantuan.

Kali ini, Irvan masih memilih diam. Gengsi. Harga dirinya terlalu tinggi. Tapi tak marah pula saat Arsaka meraih satu kilo cabai rawit milik Irvan untuk ia pitili.

Nuraga menyenggol lengan Alvaro. Bawang mereka tinggal beberapa butir lagi. “Apa?” tanya Alvaro membuka suara. Hidung dan matanya sudah merah menahan perih.

“Gue berani taruhan,” bisik Nuraga menatap ke arah dua orang yang duduk sedikit terpisah dari mereka. “Dalam dua kali dua puluh empat jam, pasti nanti mereka udah baikan,” lanjut Nuraga penuh keyakinan.

“Yakin lo?” Alvaro agak sangsi. Pasalnya Irvan itu orangnya memang sulit memaafkan dan sedikit pendendam.

“Liat aja besok,” jawab Nuraga kembali fokus pada racikan bawangnya di atas talenan.

“Akh! Sshhh...” Ringisan itu terdengar dari Nuraga. Akibat terlalu asik bergunjing, kater tajam itu malah tak sengaja menyayat ujung telunjuknya hingga cukup dalam.

Darah segar seketika mengalir begitu saja. Membuat Tatang berdecak dan membawa Nuraga untuk segera mencuci tangan.

“Selesaikan bawang temanmu,” titah Yudhistira pada Alvaro.

“Lah, kok saya?” protesnya.

“Kalau tidak mau ya tidak masalah.” Yudhistira menggidikkan bahu. Atensi ketiga pemuda itu fokus kepadanya. “Tapi setelah maghrib kalian harus kembali menjalani hukuman ini.”

Alvaro membulatkan mata. Begitu pula dengan Arsaka dan Irvan. Sebab hukuman mereka lah yang akan paling berat nantinya.

“Jangan Pak, biar Arsa aja yang selesaikan.” Arsa merasa ini salahnya. Maka harus dirinya pula yang selesaikan.

“Tidak boleh. Kamu sudah membantu Irvan. Biar kali ini Alvaro yang membantu Nuraga,” jawabnya tegas.

“Tapi—”

“Tidak ada bantahan, Arsaka Laksana."

Ia pun menatap Alvaro dengan tatapan tidak enak hati. Sebab, selain Irvan, Alvaro adalah satu-satunya orang yang tahu bahwa perkelahian ini adalah hasil ajakan Arsaka.

“Gara-gara lo,” kesal Alvaro tanpa suara. Dan ini juga gara-gara Nuraga yang ceroboh. Tahu begitu, mending ia lukai saja tangannya sejak awal.

Adzan Maghrib pun berkumandang tepat saat bawang terakhir milik Alvaro terselesaikan. Pria yang biasanya berada di posisi satu Garuda Pancasila itu, nyatanya sangat lelet dalam urusan dapur. Sementara Irvan yang dibantu oleh Arsaka, hukumannya usai lima menit lebih dulu dari Alvaro.

“Sekarang kalian mandi. Ambil baju yang telah disiapkan di ruang tamu. Paper bag itu sudah ada namanya masing-masing.” Tatang memberitahu. Alvaro pun langsung berjalan sedikit tertatih saat menuju ruang tamu. Kakinya keram sebab duduk terlalu lama.

“Kalian berdua,” Tatang menatap Arsaka dan Irvan. “Setelah mandi, obati luka kalian. Saya sudah sediakan P3K dan kompres air hangat di kamar masing-masing.”

Arsaka mengangguk dan berterimakasih. Sementara Irvan hanya diam mendengarkan. Memang, habis beradu kekuatan tadi, benar-benar menguras tenaganya. Sakit sekujur badan. Dan dapat dipastikan, bahwa besok badan mereka akan terasa remuk redam.

“Jangan lupa, jam delapan kurang, kalian harus berkumpul di ruang belajar.” Yudhistira menambahi.

“Gak ada istirahat gitu?” tanya Irvan sengit.

Yudhistira tertawa. “Tidak ada, bocah. Yang cari penyakit dan lelah itu kalian sendiri. Jadi ya tanggung sendiri. Saya tidak peduli,” jawabnya lalu berjalan bersama Tatang meninggalkan Irvan yang bersungut-sungut.

Pria itu menaiki tangga dengan perasaan kesal. Ia abaikan Arsaka yang masih berdiri di ruang tengah tanpa ucapan terimakasih. Toh, Arsaka juga tak mengharapkannya.

Tak lama, orang-orang yang tak Arsa kenal terlihat membersihkan bekas kerjaan mereka. Beberapa terlihat mengemasi bawang hasil racikan. Satu dua mengemasi cabai rawit dan bawang bombai. Selebihnya mengemasi sampah kulit bawang dan tampuk cabai. Pokoknya ruangan ini harus bersih seperti semula.

Arsaka menghela napas sedikit lega. Setidaknya, mungkin rasa kesal Irvan pada Arsaka sudah agak berkurang.

“Aduh!” Arsaka menggeram. Jari kakinya terjepit saat hendak menutup pintu kamar.

“Ya Allah, sakit banget...” ringisnya kemudian langsung mengusap jari yang terjepit.

“Astaghfirullah, lupa! Kan belum cuci tangan...” Ia kembali meringis dan segera berdiri. Jangan sampai kakinya terasa ikutan panas.

Arsaka pun segera berjalan terseok ke arah kamar mandi dengan sakit yang harus ia tahan di sekujur badan. Setelah ini, ia harus membersihkan diri, mandi, dan Sholat Maghrib. Tak boleh ia lupakan kewajibannya itu.

Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet