Pendar cahaya bulan yang kemerahan di atas sana tampak seperti tak biasanya. Sebab, keseluruhan penampang bulan tertutup oleh bayangan bumi. Planet kehidupan itu tengah menghalangi cahaya matahari sehingga cahayanya tidak sampai kepada sang rembulan. Orang-orang menyebutnya sebagai fenomena langka, super blood moon.
Deburan ombak pun memenuhi rungu. Hamparan laut di depan sana tengah mengalami pasang karena dipengaruhi oleh gerhana bulan total yang sedang terjadi. Namun sang gadis sama sekali tak gentar. Netranya menatap lantang pada gemuruh air yang memecah karang. Seolah bibir pantai yang sangat dekat dengan keberadaannya saat ini tak akan dapat menggetarkan jiwa.
Dadanya kembang kempis menahan sesak. Linangan pun hanya menggenang di pelupuk mata, lalu kembali surut kala egonya datang mendominasi, lagi. Gadis itu tetap enggan untuk mengeluarkan bulir tersebut. Sebab menurut sang puan, air matanya terlalu berharga. Maka lelaki manapun tak berhak untuk merenggut derainya. Hal itu tak akan pernah ada dalam sejarah asmara seorang wanita bernamakan Najmi Desra.
Tapi itu tadi, sekitar belasan menit yang lalu. Sebab kala sudut paling luas dalam pikirannya mengingat aroma kasturi, ada sosok Adibya yang setia menghuni di sana. Menghujam tiap ingatan, mengenang segala kenangan, mengisi kekosongan. Ia, sedang bersedih hati. Ada emosi tersendiri yang tak terkendali. Berakhir pergi tanpa memikirkan sang tuan yang mungkin kini tengah sibuk mencari.
Bening itu akhirnya jatuh mengenai pipi, namun segera ditepis agar lekas pergi. “Brengsek!!!” umpatnya menguar mencemari udara malam. Pun, ada debur ombak yang suaranya harus ia tandingi.
Lantas, kepalan tangan kembali mengerat kala momen tadi siang menghantam ingatannya. Harga diri Najmi serasa dikoyak habis-habisan. Wajahnya direnggut paksa untuk diinjak-injak. Nama baiknya telah direndahkan secara tidak langsung. Sebab siang tadi, dengan mata kepalanya sendiri, sang puan menyaksikan bahwa hangatnya hubungan ‘perselingkuhan’.
Terik itu Najmi memang menggeram. Tak ada sama sekali niatnya untuk menghilang dan meninggalkan kota tempat ia mencatat ribuan romansa bersama Adibya. Melainkan ia ingin melalap habis seorang wanita yang tiba-tiba memeluk sosok lelakinya terlebih dahulu dengan begitu erat. Wanita itu juga membubuhkan kecupan gemasnya pada kedua pipi sang lelaki, cepika-cepiki. Tentu Najmi naik emosi.
Namun, kala dada yang bergemuruh hendak menghampiri, langkahnya yang terburu itu dihentikan secara paksa. Sebab netranya menangkap Adibya yang malah tertawa dan membalas pelukan sang wanita. Sakit sekali hatinya. Melihat betapa mesra mereka di depan mata, menyaksikan Adibya yang tampak bahagia dalam pelukannya.
Geramannya kian tersulut. Namun rasa percaya dirinya teredam dan berakhir menciut.
Harga diri Najmi, benar-benar direnggut paksa. Jiwanya seolah pergi meninggalkan raga, kala ingatannya kembali pada hari-hari sebelumnya. Apa waktu yang telah mereka habiskan bersama, hanya momen indah yang fana? Tidakkah berarti apa-apa bagi Adibya? Maka, Najmi masih mencari jawabannya.
Gadis itu merasa, rasa sayangnya pada Adibya terbilang sia-sia. Bibirnya yang dua kali pernah mengecup manja belah sang pemuda mendadak menjadi penyesalan yang mendera. Serendah itukah ia? Yang sudah rela menyerahkan bibir sucinya pada sang pemuda, nyatanya diselingkuhi tanpa pernah sama sekali ia kira.
Najmi sungguh malu. Meski pada nyatanya ia tidak tahu bahwa itu hanyalah salah paham, siapa yang tidak akan kalut dan sakit hati kala melihat calon suaminya terlihat mesra dengan wanita lain?
Najmi ingin sekali siang tadi langsung menghampiri. Membubuhi keduanya dengan tamparan tangan kiri. Karena katanya, ia pernah mendengar bahwa tamparan tersebut meski tak sakit, bagi yang tahu pasti akan merasa sangat terhina. Tapi perasaan takutnya itu lebih mendominasi dibandingkan amarah. Karena sang puan nyatanya sangay takut kian dikecewakan. Najmi sungguh belum siap untuk terluka sedemikian rupa. Sebab Adibya masih sosok yang memiliki singgasana paling luas dalam hatinya.
Oleh karena itu, tanpa tedeng aling-aling, sang gadis memutar arah. Perjalanannya memanggil taksi secara tak sengaja malah tak dapat tertangkap oleh kamera pengawas. Kepergiannya untuk meninggalkan Adibya seolah didukung oleh alam raya.
Bali, tujuannya. Cukup jauh bukan? Tapi itu lah yang menjadi satu-satunya tempat spontan yang gadis itu pikirkan kala memesan tiket pesawat ketika dirinya berada di dalam taksi. Keberangkatan yang ia ambil pukul 1 siang. Menunggu 2 jam dari apa yang ia saksikan, tak masalah. Setidaknya, Najmi bisa segera menjauh dari tempat ini.
Untungnya, sang gadis selalu menggunakan dua gawai dengan fungsi yang berbeda. Satu untuk bisnisnya, yang satu lagi ia gunakan untuk keperluan sehari-hari. Maka, kala getar selalu terasa dari salah satunya, ia matikan daya ponsel tersebut tanpa berpikir dua kali. Ia tak peduli jikalau mereka kalang kabut mencari keberadaannya.
Begitulah detail cerita versi Najmi, kira-kira.
Kini, ia sudah kembali ke penginapan. Gerhana bulan total telah usai puluhan menit yang lalu. Maka, ia lepaskan seluruh perca yang melekat pada tubuhnya kala air dalam bathub hendak menelan hampir seluruh permukaan. Sebab, badannya terasa sangat lengket. Pun, Najmi merasa dengan berendam air hangat beraroma bisa sedikit menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
Selesai berendam dan membersihkan diri, Najmi melekatkan pakaian yang sempat ia beli sore tadi. Pun, malam ini, tak ada skincare rutin. Sebab, seluruh perlengkapannya masih tertinggal di hotel sana. Najmi benar-benar pergi dengan modal ponsel, dompet dan baju yang melekat pada badan saja.
Saat menelentangkan badannya di atas ranjang yang empuk, benak Najmi kembali diingatkan tentang rentetan kejadian yang telah ia lalui selama hampir sepuluh bulan bersama Adibya. Dengan pemuda itu, begitu banyak pencapaian hidup yang telah Najmi lalui. Dan selama kenal, Adibya selalu ada kala senang dan sedihnya.
Mungkin, menurut sebagian orang, pertemuan mereka masih terbilang singkat untuk mencapai jenjang pernikahan yang telah direncanakan. Namun, tidak bagi keduanya. Waktu tak bisa mengukur kedalaman cinta seseorang. Mau itu cepat atau lambat, rasa yang tumbuh tetaplah memiliki arti penting. Tergantung komitmen pribadi masing-masing.
Tengah malam telah terlewati. Sayup-sayup mata Najmi mulai tertutup. Deru napasnya yang menggebu sudah terdengar normal. Tarikan dan embusannya terlihat nyaman. Namun ketika otak yang belum sepenuhnya tidur itu tiba-tiba berpikir, “gimana kalau gue cuma salah paham lagi kayak yang waktu itu?”
Lantas, kantuk tersebut seketika sirna. Matanya terbuka lebar menatap langit-langit penginapan dengan gerak gelisah. Maka, overthinking pada dini hari pun di mulai. Debaran jantung Najmi bahkan lebih kencang dari belasan jam sebelumnya. Ketakutan yang lebih besar telah menyapa, mengguncang jiwa raga sang gadis hingga fajar menjelang.
Dua insan itu, di bawah naungan langit pulau yang berbeda, nyatanya sama-sama tak bisa terlelap dengan tenang. Ada resah pada diri masing-masing yang mengganggu waktu tidur mereka.
“Saya pamit, Najmi. Maaf karena pada akhirnya saya yang menyerah dan meminta mundur.”
Sang gadis terperanjat. Tubuhnya menegang kala kalimat itu benar-benar terasa begitu nyata. Najmi, baru saja terbangun dari tidur singkatnya. Ah, sial sekali! Padahal ia baru tertidur dua jam, tapi sudah disuguhi mimpi yang begitu buruk.
Sang gadis mengerang. Matanya sakit, kepalanya pening, dadanya pun terasa sesak sampai ia kesulitan untuk bernapas. Karena kalimat Adibya yang ada dalam mimpinya itu, benar-benar menusuk hingga relung hati yang terdalam.
“Gimana kalau Mas Adib beneran mau pisah sama gue?” Najmi membatin dengan semua kecamuk yang melanda. Sementara, mentari di luar telah tinggi.
“Bodo amat, anjing!” Lantas, Najmi bangkit dan meraih ponselnya untuk kembali dihidupkan. Pertarungan emosional dalam diri Najmi sejak malam nyatanya pagi ini telah dimenangkan oleh rasa takut kehilangan Adibya.
213 Panggilan Tak Terjawab
Najmi termangu. Yang mana sebagian panggilan tersebut didominasi oleh kontak bernamakan Si Paling Titik. Dia, adalah Adibya Lofarsa. Sementara panggilan lainnya berasal dari Ghandi, Nabila, Jafar, Bunda, dan terakhir kali ada Khaffa.
Pun notifikasi chat dan panggilan dari beberapa aplikasi turut menyerbu masuk kala sang gadis menghidupkan data selulernya. Dan yang menjadi chat paling terbanyak, tetap dari tunangannya itu. Meski pesan terakhirnya memang sekitar pukul 6 pagi, nama itu akan tetap menjadi yang paling teratas karena najmi menyematkan ruang obrolan mereka.
Namun, kala ponselnya beberapa kali bergetar menampilkan nama ‘Sumber Uang’, tubuh Najmi menengang. Dada itu sungguh berdebar kala jempolnya bergetar menyentuh ruang obrolan itu.
Adibya masuk rumah sakit. Lelakinya sudah seperti orang gila karena telah mencarinya kemana-mana. Dan yang panggil mengguncangkan dunianya, sang Papi memang berpotensi untuk merubah Penangguhan Rencana Pernikahan menjadi sebuah Pembatalan. Sebab katanya, Adib deserves better.
Deru napasnya memburu. Sesaknya kian hebat kala setelahnya Najmi malah memilih untuk membuka ruang obrolannya bersama Ghandi.
Mereka…, salah paham. Lagi.
Maka, persepsi tentang air mata yang diharamkan untuk lelaki kembali Najmi patahkan. Karena pada nyatanya, yang ia tangisi bukanlah sosok brengsek. Melainkan pemuda tak bersalah yang lagi-lagi ia kecewakan karena rasa curiga.
Dugaannya semalam ternyata benar. Wanita itu, adalah salah satu kakak Adibya yang belum pernah bertemu langsung dengan dirinya.
“Bego, bego, bego! Najmi bego!!!” Lantas, sang gadis pontang-panting bangkit dari ranjang untuk menuju kamar mandi. Setidaknya, sebelum pergi ia harus mencuci muka dan gosok gigi. Tak masalah jika tak mandi. Ia masih wangi.
Namun, karena langkahnya yang terlalu terburu-buru, kaki yang beralaskan sandal penginapan itu malah membawa petaka. Ujung belakang sebelah kiri malah terinjak dengan kaki kanannya. Maka, pintu kamar mandi yang terbuat dari kayu jati itu menyambut dengan senang hati. Bahwa, kening Najmi menghantam bagian bawah permukaan pintu dengan begitu kencang.
Lantas, tangisnya semakin menjadi. Gadis itu meraung keras karena kesakitan luar dalam. Belum lagi dengan pergelangan tangan kirinya yang terkilir karena sempat menahan bobot tubuh, membuat gadis itu kian menderita di pagi hari. Jatuh dengan posisinya hampir tersungkur memang sangat merugikannya.
Namun karena rasa bersalah, khawatir, dan tak ingin berpisah dari Adibya, Najmi harus tetap berdiri dengan sisa tenaga. Berjalan terseok ke dalam kamar mandi demi membersihkan diri.
Ditatapnya pantulan pada cermin. Di sana, refleksi wajahnya yang begitu memprihatinkan terpampang jelas. Rambut kusut, kening yang berdarah di tengah-tengah, dark sircle, hingga mata merah akibat kurang tidur dan menangis kencang itu menggambarkan betapa kacaunya gadis tersebut.
Sebab di sini, bukan hanya Adibya yang terluka. Melainkan juga dirinya. Walaupun memang besar kemungkinan adalah salah sang gadis, tetap saja, pada akhirnya, ia menyesal begitu dalam.
“Mami, sakit…. ” Najmi merengek dalam isakannya. Bahkan kebiasaan setiap bersedih selalu memanggil sang ibu tak pernah hilang. Karena sungguh, luka pada keningnya kali ini begitu perih. Belum lagi pergelangan kiri yang bergetar menahan ngilu itu membuat Najmi berulang kali meringis kesakitan. Tangannya itu begitu sulit untuk digerakkan.
Mungkin, ini balasan alam raya untuk dirinya yang telah mengecewakan sang pemuda. Sebab jauh di kotanya sana, Adibya juga pasti merasakan sakit karena dihantam oleh Ghandi berulang kali.
Tangisan Najmi yang terdengar pilu itu menggema. Ia semakin tergugu kala rambutnya sulit sekali untuk disisir. Sial beribu sial! Ini akibat semalam dia terlalu malas untuk menyisir rambut pendeknya tersebut setelah mandi. Maka saat kering di pagi hari, kusut ini membuat buruknya mood Najmi semakin menjadi-jadi.
Belum lagi dengan kegiatannya yang memesan tiket pesawat untuk segera pulang itu harus menggunakan satu tangan, membuat gadis 24 tahun itu mendadak cengeng karena kesal akibat mengetik terlalu lama. Pun, saat tangan kiri dicoba untuk berbuat sesuatu, rasanya sangat ngilu. Maka terpaksa lebih baik didiamkan saja tanpa digerakkan sedikitpun.
Najmi lagi-lagi rasanya ingin mengeraskan tangisnya. Karena satu-satunya penerbangan Bali menuju Jakarta yang tersisa adalah jam 2 siang nanti. Selebihnya nanti jam 7 malam. Sementara, waktu yang diberikan sang Papi hanya sampai sore. Maka, risau Najmi kian menjadi. Mau tak mau, ia terpaksa tetap memesan penerbangan tersebut. Ia harus pulang hari ini juga. Karena ketika ia mengingat bahwa besok adalah hari keberangkatan Adibya ke Belanda, Najmi sungguh tak mau didera penyesalan yang begitu besar.
“Da Ghandi…, ”
Yang di seberang sana tentu tersentak ketika untuk pertama kalinya Najmi menelepon, ia malah mendengar suara tangis adiknya yang begitu sesak.
“Najmi, lo kenapa?!” Bukannya menajawab, Najmi malah semakin menangis sejadi-jadinya. Dadanya bahkan terasa begitu sesak sampai ia kembali kesulitan dalam bernapas.
“Najmi, lo kenapa nangis?!!” Ghandi yang sabarnya setipis benang itu meninggikan suara kala mendengar Najmi yang bergetar hebat.
“Papi mana? Gue mau ngomong…, ”
“Papi nggak di sini. Dia ke rumah sakit nganterin Adibya.”
Najmi malah meraung. “Mas Adib gapapa, kan?” tanyanya di tengah isakan. Namun yang ditanya tak menyerahkan jawabannya.
“Lo di mana?” Dia balik bertanya. “Jawab dulu, Mas Adib nggak apa-apa, kan?!”
Ghandi menghela napasnya cukup berat. “Gapapa,” jawabnya. Mungkin, sambung Ghandi dalam hati. Setidaknya, Najmi bisa cukup tenang dengan jawabannya ini.
“Lo di mana?”
“Bali.”
“Astaga, Najmi…. ” Ghandi geram sendiri. Pantas saja Adibya mencari sampai keliling kota pun tak dapat ditemukan. Ternyata malah lari ke Pulau Dewata.
“Tapi sekarang gue nyesel, Ghandi. Gue akui gue salah. Pokoknya semua salah gue. Gue juga nyesel terbang ke sini. Flight balik ke sana jam 2, Ghan. Sementara Papi nunggu gue cuma sampai sore. Gue harus apa? Gue nggak mau dipisahin sama Mas Adib. Gue nggak mau, Ghandi. Nggak mau!”
Rasa bersalah Ghandi tentu ikut tersulut. Ia juga iba terhadap nasib adik kesayangannya. “Iya, sorry. Ini juga salah gue karena udah bikin situasi makin rumit sampai bikin Adibya masuk rumah sakit.” Ghandi memang benar-benar menyesal. “So, what should I do?” tanyanya kemudian.
“Tolong susul Papi. Bilangin ke Papi kalau gue beneran nyesel. Gue pengen cepet-cepet pulang dan minta maaf sama Mas Adib dan semua orang karena udah kekanakan dan bikin khawatir. Tapi jarak Bali ke Jakarta nggak main-main, Ghandi. Gue nggak mungkin naik bus ke sana yang bakalan makan waktu lebih lama.”
Ghandi hanya mengiyakan. Ia akan menuruti permintaan sang adik. “Tapi lo oke, kan?”
“Gue oke. Jangan khawatir,” Padahal, dia sedang tidak baik-baik saja. Najmi bahkan sangat yakin, kalau ia tidak segera membawa diri ke rumah sakit, pergelangan tangan kirinya pasti akan membengkak dan lebam. Pasti ada yang salah dengan persendiannya itu. Pun, luka di tengah jidat yang hanya dibasuh tanpa diberi obat apapun pasti akan berakhir sama. Membengkak, lebam disekitar luka, atau bahkan bisa berakhir infeksi.
Lalu, dengan lutut kiri yang mungkin akan ikut lebam, Najmi tetap berjalan cepat meninggalkan penginapan. Ia harus segera check out, lalu menuju rumah sakit. Pegawai resepsionis sampai bertanya berulang kali apakah tamunya ini baik-baik saja atau tidak. Maka, sebagai bentuk kepedulian, salah satu dari mereka membantu Najmi memesankan Grab Car menuju rumah sakit terdekat.
Setelah berterimakasih berulang kali, Najmi melesat pergi dibawa kendaraan roda empat tersebut. Di dalam itu, kentara sekali sang penumpang tengah menahan tangisnya. Bagaimana tidak? Najmi sedang membaca puluhan pesan dari Adibya, yang seluruh isinya adalah kekhawatiran sang pemuda.
Hantaman itu kian keras menyerang dadanya. Genangan di pelupuk mata bukan lagi sekedar genangan. Melainkan sudah membentuk sebuah bendungan. Ramai sekali derainya mengucur keluar. Namun bedanya, kali ini ia tidak meraung. Melainkan menangis tanpa suara. Karena ia juga tak mau sang supir merasa tak nyaman karena suara tangisnya yang begitu besar.
Lima menit perjalanan, sang supir nyatanya lebih merasa tidak nyaman karena melihat Najmi yang menahan tangisnya. Gadis itu begitu terlihat sesak jika diperhatikan dari spion tengah.
“Daripada ditahan bikin sakit dada sama tenggorokan, mending dilepasin aja, Dek. Gapapa. Job desc saya hari ini ‘bersedia mendengar kesedihan penumpang ’, kok.” Lantas, karena sudah mendapat izin yang demikian, Najmi yang sedihnya sedang tak terbilang, kembali menangis kencang.
Kalian boleh menyebutnya super cengeng. Namun pada nyatanya, apa yang tengah Najmi rasa memang benar-benar luar biasa sakit. Penyesalan dan rasa khawatirnya menjadi satu. Tercampur aduk dengan ketakutannya tentang kehilangan Adibya dalam satu waktu. Belum lagi dengan pesan-pesan yang pemuda itu kirimkan untuknya, dera penyesalan kian bertubi-tubi datang menyapa.
“Makasi, Om.” Yang diucapkan demikian hanya mengangguk ketika ia dengan berbaik hati membantu Najmi dengan cara membukakan pintu mobil.
“Oh iya, sebentar.” Sang supir pamit menjorokkan tubuhnya ke dalam mobil. Lelaki itu mengambil sebuah masker yang sengaja disediakan satu kotak di dalam kendaraannya ini. “Pake ini, Dek. Biar nggak keliatan banget wajah sembabnya.” Lantas, Najmi kembali berterimakasih sebanyak-banyaknya. Ia memang membutuhkan sebuah masker demi menutupi separuh wajahnya.
“Adeknya punya kacamata, nggak? Kalau nggak ada, pakai kacamata hitam punya saya aja. Biar matanya nanti nggak kelihatan merah dan bengkak.”
Tapi itu saran yang buruk. Bukannya mengurangi perhatian orang, yang ada Najmi malah semakin diperhatikan karena menggunakan kacamata gaya berwarna hitam ke rumah sakit.
“Gapapa kok, Dek. Saya belinya juga murah di toko oren. Cuma tiga belas ribu.” Rasanya, Najmi ingin menjawab. Kacamata bagus yang disodorkan oleh lelaki itu sungguh cuma tiga belas ribu? Padahal benda itu mirip sekali dengan miliknya yang ia beli dengan harga 300 ribu di optikal langganannya.
“Nggak usah, Om. Saya punya kacamata photocromic, kok.” Najmi baru ingat, kalau di dalam sling bag-nya ada dua kacamata. Satu kacamata hitam seharga 300 ribu itu, yang satu lagi adalah kacamata minus lengkap dengan lensa anti radiasi dan photocromic miliknya. Benda itu sering ia pakai kala sedang banyak beraktivitas di luar ruangan, menggunakan ponsel, latpop, televisi ataupun komputer. Karena memang pada rencana awalnya kemarin mereka akan berhadapan dengan matahari, maka Najmi yang telah berjaga-jaga dari rumah itu membawa kacamata tersebut. Dan ternyata, meski tak jadi digunakan untuk berlayar di atas kapal, setidaknya benda tersebut berguna untuk saat-saat yang seperti ini.
Bahkan, jika diingat lagi, ia membeli bingkai beserta lensa kacamata itu dengan nominal yang hampir menyentuh angka dua juta rupiah. Sementara kata Nabila, ia hanya kena 400 ribu saja. Padahal mirip bentuknya. Entah kualitas yang dibeli Najmi memang asli dan lebih bagus, atau gadis itu saja yang kena tipu, tak ada yang peduli. Yang jelas, fungsinya sama. Sama-sama untuk kepentingan dan fashion.
“By the way, jangan panggil ‘Om’, Dek. Saya masih dua puluh sembilan.” Lantas, Najmi yang baru saja hendak menyerahkan dua lembar uang merah pada sang supir pun terkejut.
“Eh, iya. Maaf, Bang.” Ia pun lekas meminta maaf karena mungkin sudah membuat sang supir merasa tak nyaman.
“Selooww,” jawabnya sembari merogoh saku demi mencari kembalian untuk Najmi. Namun gadis itu menolaknya. Anggap saja tips karena supir tersebut sudah menyediakan fasilitas khusus dan bersikap menyenangkan selama perjalanan menuju rumah sakit.
Tak berselang lama, Najmi duduk di bangku tunggu usai mengambil antrian. Gadis dengan masker berwarna putih dan kacamatanya itu, duduk menggetarkan kaki tak tenang. Ia dikejar waktu.
Setengah jam menunggu, akhirnya Najmi mendapat penanganan serius. Lengannya yang mulai mengalami pembengkakan itu bahkan melalui proses rontgen untuk mengetahui kondisi lebih lanjut. Namun untung saja, bahwa sendi pergelangan tangan kirinya itu hanya bergeser sedikit. Sehingga tidak perlu menggunakan gips atau semacamnya seperti orang yang patah tulang.
Mulai dari telapak dan punggung tangan sampai setengah lengan bawahnya itu tertutupi oleh balutan perban khusus. Tujuannya adalah untuk mengembalikan persendian yang bergeser agar kembali seperti semula. Dan dokter bilang, ini akan menghabiskan waktu sekitar tiga minggu untuk pemulihan.
Sementara, luka pada tengah kening yang hampir mendekati anak rambut Najmi itu, diberi kasa. Lukanya telah diobati dengan beberapa olesan cairan yang Najmi tak tahu namanya apa. Yang jelas, itu perih sekali. Jidat mulusnya itu berakhir bengkak di sertai luka cukup lebar, sesuai perkiraan. Tapi jujur, ini memangs sedikit memalukan. Sebab, kain kasa yang melekat itu tepat di tengah-tengah kening. Belum lagi kala dokter menanyakan penyebab timbulnya luka, Najmi cukup malu kala menjawabnya.
Pukul 12.48 WITA. Najmi dengan terburu memesan Grab Car menuju Bandara Ngurah Rai, Bali. Ia harus bersiap diri demi penerbangan ke Bandara Soekarno Hatta pukul 2 siang nanti.
Namun lagi-lagi, Najmi harus kecewa. Karena cuaca yang buruk membuat sang gadis harus kembali menunggu dengan perasaan resah. Pesawatnya delay setengah jam.
Lantas, ketika ia memutuskan untuk kembali menelepon sang Papi, yang ia dengar hanyalah deru napas kecewa. “Bukannya Ghandi bilang kamu dapat flight jam dua? Dan Papi rasa di sana udah lewat jamnya, terus kenapa kamu masih bisa telpon Papi?” Khaffa bertanya dingin. Membuat Najmi kian risau dan ketakutan tanpa henti.
“Pesawatnya delay. Nanti aku berangkat setengah tiga.”
“Kenapa nggak langsung terbang ke Korea aja biar ketemu ‘pacar-pacarmu’ di sana? Nanggung banget kamu kaburnya. Kurang jauh.” Sang Papi jelas menyindir anaknya sendiri. Sementara Najmi hanya bisa terdiam menahan tangis. Rematan pada loose pants berwarna sage green yang ia gunakan pun kian mengerat. Khaffa masih dalam mode marah.
“Keadaan Mas Adib gimana, Pi?” Najmi malah memberanikan diri untuk bertanya. Membuat orang yang di seberang sana hanya tertawa datar.
“Masih peduli memangnya kamu sama Adib?” Namun bukannya menjawab, Najmi malah terisak di tengah kacaunya dia hari ini.
“Nggak usah nangis. Ini kesalahanmu, dan air matamu juga nggak bakalan berarti apa-apa. Nggak ada yang bisa dirubah. Orang-orang yang sudah kamu buat khawatir dan kecewa, nggak akan semudah itu melupakan kesalahan yang udah kamu bikin.” Dan tanpa disangka, setelah itu Khaffa malah memutuskan panggilan tersebut secara sepihak. Meninggalkan Najmi yang kian tertunduk menahan tangisnya di tengah hiruk pikuk kesibukan bandara.
Di bangku ini, Najmi hanya bisa menyesali semua perbuatannya. Semua yang terjadi, tak bisa diulang kembali.
Narasi 38 ; Lofarsaa
Karya Rofenaa
by ebbyyliebe