Namanya Abbas Tenov Lofarsa, jagoan kecil yang nyaris mahir kuasai dua bahasa, lahir atas dasar ikatan cinta. Hadirnya di dunia sebab hubungan sah antara Najmi dan Adibya.
Calon penerus bangsa tersebut pertama kali sapa alam raya tepat pada tanggal 10 November, hari di mana Indonesia selalu memperingatinya sebagai Hari Pahlawan. Selain itu, tanggal tersebut merupakan hari paling bersejarah dalam hidup orang tuanya (Najmi dan Adibya).
Bertahun-tahun lalu, ada begitu banyak tragedi yang dua insan itu lalui. Rumitnya peraduan yang hendak mereka ciptakan, bahkan berulang kali dihantam badai kehidupan. Namun siapa sangka, hari itu tetap berlalu. Belok tikung dan segala rintangan yang menghadang, berhasil mereka bumi hanguskan. Segala upaya yang pernah alam raya lakukan demi akhir perpisahan, bahkan tak maju barang semili. Dua insan tersebut mampu pertahankan cintanya yang begitu hebat. Dipegang erat, hingga merapat di pelabuhan yang tepat.
Jagoan kecil yang tak lama lagi akan menginjak usia 6 tahun tersebut tampak sumringah memasuki rumah. Dia berlari dengan riangnya sembari angkat sebuah kertas berponten. Anak itu baru saja pulang sekolah. Ia menduduki Taman Kanak-kanak yang dipilihkan oleh Adibya dengan berbagai macam pertimbangan. Ia ingin buah hatinya tersebut bersekolah di lingkungan yang berkualitas.
“Hey, Boy! How was your day? Happy banget nih Mama lihat?” Wanita karir yang tadi tengah sibuk dengan iPad-nya di ruang tengah tersebut tentu menyambut kepulangan sang anak tak kalah riang. Ia bahkan memeluk ringan dan mengecup kedua pipi gembil Abbas yang menghampirinya dengan gemas.
“Mama, I’ve got five stars!” serunya dengan lima jari kecil yang diangkat setinggi wajah. Khas cara bicaranya bahkan tak mampu menahan Najmi agar tak tertawa. Anaknya itu terlalu lucu dan ekspresif.
Meski lidah Abbas masih belum terlalu lancar berbicara bahasa Inggris, Najmi tetap mengakui bahwa pelafalan sang anak patutlah diacungi jempol.
Maka dengan sama meriahnya, Najmi pun kembali menanggapi. “For real?!” sahut sang Mama yang pasang raut begitu bangga. “How amazing you are! Pinter banget, ih, anak Mama!” puji Najmi lantas mengusap kepala Abbas dengan penuh kasih dan rasa bangga.
Ibu dan anak tersebut kini duduk menatap sebuah kertas bergambarkan tiga sosok. Abbas yang duduk dalam pangkuan Najmi pun menjelaskan siapa saja yang ada pada gambarnya tersebut. “Ini waktu kita jalan-jalan ke Amsterdam, Ma. Look, kincir anginnya Abang bikin di pinggir.”
Abbas, dengan segala sifat Najmi yang menurun kepadanya, punya kecerdasan di atas rata-rata anak lainnya. Kepintaran dan daya pikir antara Najmi dan Adibya bersatu padu hingga hasilkan anak pertama yang jenius seperti ini. Bahkan saat umur yang masih bisa dibilang sangat muda, Abbas dapat mengingat dengan jelas hal apa saja yang terjadi pada dirinya semenjak 2 tahun terakhir. Jagoan kecil tersebut mampu mengutarakan dengan jelas apa yang tengah ia rasa, amati, dan saksikan.
Padahal orang bilang, genetika kepintaran sang anak menurun dari ibu. Sedang untuk paras, dari ayah. Namun bagi Abbas, tak sepenuhnya berlaku demikian. Sebab ia menyabet dan mewarisi kepintaran kedua orang tuanya sekaligus.
Dalam gambar tersebut, Abbas menjelaskan bahwa momen yang ia torehkan di sana adalah saat sang Papa menggendongnya di pundak. Kaki yang melingkar pada leher Adibya, dengan kondisi kedua tangannya yang digenggam erat tinggi ke atas oleh sang Papa, membuat Abbas benar-benar mengukir senyum lebar. Dadanya hangat sekali saat mengingat momen tersebut. Ia merasa sedang diajak terbang tinggi oleh sang Papa.
Sedang di samping mereka, gambar Najmi tampak tersenyum lebar. Warna pada bibir sang Mama bahkan Abbas pilihkan sesuai apa yang sering dipakai perempuan itu.
Najmi tersenyum bangga. Sebab ternyata, bakat menggambar yang ia punya dan andalkan hingga saat ini benar-benar menurun pada Jagoan Kecilnya.
“Pokoknya Abang suka banget waktu kita keliling Belanda!” tutup Abbas mengusaikan penjelasan. “Nanti kalau Mama sama Papa punya waktu luang, ayo kita jelajahi tempat lain! Let’s make another experience, ya?!” sambungnya penuh semangat yang menggebu-gebu.
Najmi tertawa pelan. Lalu merengkuh anaknya kian gemas dari belakang. “Iya, Abang. Nanti kalau Papa udah nggak sibuk, kita jalan-jalan lagi. Okay?!”
“Okay!” Abbas turut membalas gestur jemari Najmi pertanda ‘OK’.
Lantas setelah beberapa saat bersenda gurau, Najmi pun menurunkan anaknya dari pangkuan. “Yuk, ganti baju dulu. Nanti kita bakal makan siang bareng Papa,” ucap Najmi sembari menggandeng Abbas menuju kamar anaknya itu. Sebab sebentar lagi sang suami pasti akan pulang. Ia sudah dapat memastikan bahwa Adibya sedang dalam perjalan menuju rumah.
“Abang udah bisa ganti baju sendiri, kan? Nggak perlu dibantu lagi?” Abbas tentu mengangguk semangat penuh bangga. Ia sudah bisa melakukan hal tersebut sejak lama.
“Oke, kalau gitu Mama biar ambil bajunya Abang di lemari dulu, oke?”
“Oke, Bos!” balasnya sembari beri gestur hormat bak sedang upacara. Hal itu ia pelajari dari sang Papa yang sering menanggapi ucapan Mamanya dengan demikian.
Misal saat Najmi yang minta tolong Adibya untuk bantu angkat jemuran atau mencuci wajan, Adibya selalu berikan respon yang demikian. Abbas sampai mencontoh tanpa henti dibuatnya.
Sementara Najmi yang ambilkan baju ganti, Abbas terlihat menaruh pakaian kotornya ke tempat yang sudah disediakan. Sekarang tinggal lah dirinya yang hanya kenakan singlet beserta celana dalam berwarna coklat. Makhluk lucu tersebut lantas berterimakasih saat sang Mama memberinya kepercayaan untuk mengenakan baju tanpa dibantu.
“Jangan kebalik, ya, makenya!” ucap Najmi memperingati. Lantas setelahnya ia pamit terlebih dahulu menuju dapur demi menata meja makan.
Jika bersama Najmi banyak tertawa, maka menghabiskan waktu dengan Adibya akan terlihat sangat serius. Bapak beranak satu itu, meski santai pun ia masih terlihat begitu tegas. Abbas yang masih kecil saja sampai terciprat pancaran pesona seorang Adibya Lofarsa. Rautnya bahkan tak jauh beda jika terlibat sebuah konversasi.
Abbas bilang, setiap Najmi bertanya anaknya itu sedang membicarakan tentang apa dengan sang Papa, ia akan selalu menjawab dengan kalimat yang sama. “Kita lagi bahas tentang penguasaan dunia 2050, Ma,” guraunya yang bahkan tak buang dari selera humor Adibya. Sorot mata serius yang turut terpampang jelas pada Abbas itu berhasil membuat Najmi geleng-geleng kepala.
“Abbas jangan kamu ajak diskusi Pencerahan Hukum Hari Ini, ya, Mas! Apalagi sampai kamu tanyain poin-poin pembahasan di KTT Presiden! Dia masih anak TK, bukan mahasiswa kamu di kelas.”
Adibya tahu betul bahwa istrinya itu tengah menyindir. Tentu pula ia tidak akan pernah membahas hal berat seperti itu disaat Abbas saja belum menginjak bangku sekolah dasar. Ia paham benar di mana harus menempatkan pertanyaan-pertanyaannya.
Kini, meja makan bundar yang dihuni oleh keluarga kecil tersebut sudah terhidang seperiuk nasi dengan 2 lauk dan 1 macam sayur. Suasana ruangan yang tercipta saat ini bahkan terlihat begitu hangat. Najmi menyendokkan nasi ke piring sang suami dan anaknya sesuai porsi makan masing-masing.
Namun, saat ia terlanjur menyendokkan sayur bayam pada piring Abbas, jagoan itu pun melayangkan protesnya. “Abang nggak mau sayur, Ma. Maaf.”
Najmi yang kemarin-kemarin juga hampir pasrah membujuk Abbas untuk makan sayur pun diam saat menangkap Adibya yang beri isyarat dengan mata. Seolah ia tengah berkata, “biar saya aja yang urus,”.
Adibya pun kemudian terlihat menyuapkan sayur bayam beserta nasi dan cuminya ke dalam mulut. Sementara Abbas, sosok yang ditatap tak lepas oleh orang tuanya itu hanya bisa menundukkan kepala sembari menyingkirkan sayur bayam ke pinggir piring. Ia benar-benar tak mau memakan tumbuhan berserat tersebut.
“Abang.” Yang dipanggil dengan lembut lantas mendongak. Sorot sendunya beradu dengan milik sang Papa yang tampak teduh namun tetap terlihat tegas. “Iya?” sahut Abbas dengan nada hati-hati.
“Papa mau denger dong alasan Abang kenapa sampai nggak pernah mau makan sayur.” Adibya itu tengah beri kesempatan pada anaknya untuk mengukuhkan pilihan. Karena menurutnya, bertanya seperti ini, secara tak langsung akan membuat Abbas mengerti bahwa eksistensi Hak Kebebasan Berpendapat itu memang nyata adanya. Ia ingin jagoan kecil tersebut berbicara dan sampaikan apa yang tengah dirasa.
Najmi lantas tersenyum kecil. Walau hampir menginjak usia pernikahan yang ke-7 tahun, ia masih tak menyangka bahwa Adibya Lofarsa adalah sosok yang melebihi kata sempurna. Parenting Adibya memang sering sekali membuatnya terkagum-kagum. Caranya bicara dan hadapi segala rintangan kehidupan pernikahan, bahkan sungguh membuat Najmi bersyukur jutaan kali. Contohnya saja saat ini. Alih-alih langsung membujuk dengan berbagai macam rayuan, Adibya lebih memilih cara lain. Ia punya jalannya sendiri tiap mengajarkan anaknya tentang nilai-nilai kehidupan.
Bagi Adibya, dengan bertanya demikian dapat memberikan kesempatan pada Abbas untuk berpendapat dan berpendirian sejak dini, terlebih atas apa yang ia sendiri pilih. Sebab, membungkam suara anak adalah hal paling fatal yang akan berakibat pada pribadi anak tersebut di masa depan.
“Abang … nggak suka, Papa. Nggak enak.” Sorot mata Abbas terlihat merasa sangat bersalah saat menatap Najmi. Ia takut sekali menyakiti hati Mamanya sebab secara tak langsung sudah berkata masakan perempuan hebat itu tidaklah enak. Namun apa boleh buat? Ia selalu diajarkan untuk berkata jujur. “Maaf, Ma.” Begitu tambahnya yang kemudian kian tertunduk.
“Hey, it’s okay, Boy!” Meja makan yang bundar memudahkan Najmi untuk mencolek lengan anaknya. “Lagian Mama juga mau denger nih kenapa Abang nggak mau makan sayur sampai sekarang?”
Abbas lantas menoleh demi temukan lagi raut Najmi. Senyum lebar dan begitu cerah yang terpampang jelas pada wajah tersebut berhasil membuat hati Abbas merasa sedikit tenang. Ia pun ikut tersenyum kecil saat mendapati elusan pada rambut ikalnya yang gondrong.
“Hmm …” gumanan Adibya pun menjadi pusat perhatian. “I wanna ask you something, apa boleh?” tanyanya yang sudah selesaikan suapan ke-7.
Abbas mengangguk. “Sure, Papa. Mau tanya apa?”
“Abang tau dari mana kalau sayur itu rasanya enggak enak? Even setahu Papa, Abang aja enggak pernah mau nyoba, kan, tiap disuruh makan sayur sama Mama?”
Yang ditanya terdiam cukup lama. Ia mencerna pertanyaan sang Papa sembari menarik memori ingatannya kembali. Sementara, Najmi dan Adibya masih setia menunggu jawaban anak mereka.
“Jelek, Papa. Loyo gitu bentukannya. Jadi Abang nggak suka.” Bukannya marah, sepasang suami istri tersebut malah terkekeh mendengar jawaban Abbas yang di luar ekspektasi mereka.
“Ya namanya juga dimasak, Nak. Kalau nggak loyo berarti masih mentah bayemnya. Memang Abang mau makan yang masih seger?”
Abbas menggeleng gusar mendengar ucapan sang Mama. “Abang bukan kambing, Mama.”
Lantas tawa Adibya malah semakin menguar akibat jawaban anaknya yang lagi-lagi tak bisa dibantah.
“Eh, tapi lalapan itu makannya mentah lho, Bang. Sayur yang masih seger. Papamu, tuh, yang suka makan. Jadi bukan hewan aja yang bisa.” Najmi yang kembali memberi pencerahan pun menjadikan Adibya sebagai bukti nyata. Lelaki tersebut memang suka berbagai macam sayuran. Mungkin bisa dibilang, sosok Adibya Lofarsa itu termasuk ke dalam tipe manusia yang cenderung vegetarian. Beda sekali dengan Najmi yang seperti kebanyakan manusia, ia pemakan segala.
“Berarti kalau kita makan sayur, kita temenan sama kambing, dong?”
“Ya nggak temenan juga, Ganteng!” Najmi menghela napasnya pasrah. Abbas ini persis sekali seperti dirinya dan Adibya yang suka mendebat sebuah penjelasan yang dirasa kurang relate.
“Gini, Jagoan …” Adibya tampak menyamankan posisi sebelum turut memberi pencerahan. “Hewan bisa aja makan sayur yang dimakan manusia. Tapi, manusia enggak bisa makan apa yang hewan makan. Contohnya aja rumput. Abang pernah lihat nggak, ada orang yang makan rumput?” tanyanya yang dapati gelengan kepala Abbas. “Nah, enggak, kan? Jadi kita nggak bisa langsung dibilang temenan sama hewan cuma karena makanannya mirip. Abang paham, kan?”
Abbas mengedip. “Terus kalau kucing gimana, Pa? Dia ‘kan juga makan daging kayak kita? Daging ayam, daging ikan, daging sapi, semua dia makan kayak apa yang kita makan.”
Ujian terberat menjadi orang tua Abbas adalah ini. Makhluk kecil peranakan dua manusia berotak pintar tersebut benar-benar bikin pusing. Bahkan, jikalau Abbas telah bergabung dalam perkumpulan para sepupunya, tak ada yang sanggup meladeni seluruh pertanyaan dan rasa keingintahuannya selain Eden, anak pertama Mbak Arsyi dan cucu pertama keluarga besar Lofarsa yang sebentar lagi lulus SMA.
“Udah, ih! Nanti disambung lagi ya pembahasannya? Mending Abang makan dulu itu nasinya. Keburu dingin ntar.” Najmi pun terpaksa berucap demikian demi menengahi perdebatan yang sebentar lagi pasti akan terbangun dengan sengit. Ia hapal sekali watak Adibya. Lelaki itu begitu senang setiap melihat jiwa kritis Abbas yang terpancing.
Ck, bahkan anak itu sudah miliki jiwa kritis yang begitu kental sejak dini. Membuat Najmi tak heran lagi bahwa karakter Adibya juga pasti menurun pada anaknya tersebut.
Adibya yang tentu juga paham Najmi, pun, terkekeh dan mengangguk setuju. “Ya udah, Bang. Makan dulu, ya? Nanti kita sambung lagi pembahasannya.”
Abbas mengangguk lalu raih sendoknya demi menyuapkan nasi dan lauk. Namun saat melihat sang anak yang kembali kesusahan memisahkan sayur ke pinggir piring pun membuat Adibya mengulurkan tangan. “Siniin sayurnya kalau Abang enggak mau. Biar Papa aja yang makan.” Piring pun diangkat oleh Abbas dengan kedua tangannya. Ia berikan dengan senang hati sayur tersebut.
“Emm! Sayur masakan Mama ini memang tiada tanding!” ucap Adibya yang hampir usai menelan kunyahan sayurnya.
Sementara, Najmi yang tahu bahwa suaminya itu sengaja berucap demikian pun ikut tersenyum. Sebab secara tak langsung, pancingan yang ia lakukan agar rasa penasaran Abbas terhadap sayur terbangun, Najmi merasa ia juga tengah dipuji. Masakannya tiada tanding, Adibya bilang.
Saat nasi di setiap piring telah kandas, Adibya yang sedang mengupas jeruk itu pun kembali memulai percakapan dengan Abbas.
“Abang mau tau nggak, alasan kenapa Papa suka makan sayur?” Yang mengunyah pisang lantas menatap penuh minat. Karena sungguh, ia benar-benar penasaran mengapa Papanya tersebut suka sekali makan sayur. Bahkan saat ia dan sang Mama makan malam dengan nasi, Papanya selalu makan salad sayur atau beberapa buah saja.
“Mau, Papa. Tell me, please!” sahutnya semangat.
Maka sebelum memulai, Adibya sempatkan terlebih dahulu menyuapi jeruk ke mulut Najmi. Ia selalu demikian setiap kali selesaikan suapan pertama saat memakan buah. Bahkan saat mengonsumsi sebuah pisang pun, usai gigitan pertama, maka Adibya akan berikan gigitan kedua kepada istrinya. Gigitan ketiga dan keempat miliknya, lalu gigitan kelima sampai habis adalah milik Najmi. Ah, romantisnya mereka sebagai suami istri.
“Abang tau ‘kan kalau Papa ini tiap hari kerja bahkan kadang bisa sampai malam?” Abbas mengangguk serius mendengarkan Adibya. “Nah, supaya Papa tetap sehat dan bugar kayak gini, Papa harus banyak makan sayur sama buah yang banyak.”
“Demi apa? Ya demi kesehatan Papa. Baik itu untuk tubuh yang sehat ataupun mental yang stabil, Papa harus makan sayur. Karena manfaat dari kita makan sayur itu banyak banget, lho!” Adibya ini, memang pandai sekali mencuri fokus. Gelagat dan rautnya bahkan terlihat sangat asyik saat menjelaskan hal ini kepada Abbas.
“Abang mau tau nggak apa aja manfaat makan sayur?” sambung Adibya bertanya. Yang ditunggu responnya lantas hanya mengangguk.
Adibya pun mengembangkan senyumnya. “Yang pertama, makan sayur itu bisa memperlancar buang air besar. Misal kalau abang ooknya keras, makan sayur bisa jadi solusi utama. Jadi kalau Abang males makan sayur, nanti pup-nya bisa nggak lancar. Keras, sakit.”
Abbas yang belum selesai habiskan pisangnya pun mencebik. Pencernaannya akhir-akhir ini memang juga tidak lancar. Oleh sebab itulah Najmi tidak pernah mau menyerah membujuk anaknya untuk makan sayur yang banyak.
“Selain itu, makan sayur juga bermanfaat buat jaga kesehatan mata. Misal nih, kan Abang sekarang tuh sering belajar baca, ya, sama Mama? Nah, biar matanya nggak sakit karena terlalu sering baca buku, Abang harus makan sayur. Misal kayak mengonsumi wortel, rimbang, brokoli, sama sayur bayam yang dimasak Mama tadi. Makanya Papa yang sering baca berkas dan duduk di depan laptop ini juga harus banyak makan sayur!”
Najmi yang sedari tadi memperhatikan, diam-diam mengangkat ponselnya. Ia merekam kegiatan tersebut karena memang ingin mengabadikan perkembangan dan pertumbuhan anak pertamanya. Terlebih dengan cara Adibya yang bertindak seolah-olah bak ahli gizi, membuat Najmi tak habis-habisnya melempar senyum.
“Abang udah pernah coba makan wortel mentah belum? Itu rasanya kayak manis sama gurih gitu tau! Papa sering makan itu dari kecil biar mata Papa tetap sehat.”
Abbas tampak mengerut. “Papa makan wortel mentah kayak Winnie Minnie?”
“Oh, here we go again …” batin Najmi yang menggeleng pasrah saat Adibya dan Abbas semakin berlarut-larut dalam pembahasan sayur-mayur, hewan dan manusia.
Sementara itu, Winnie Minnie yang dimaksud Abbas adalah Kelinci Himalaya yang dipelihara oleh Adibya. Jumlahnya ada sepasang. Kelinci hias yang harganya hampir menyentuh angka 4 juta rupiah per ekor itulah yang diancam Najmi akan diombre bulunya saat Adibya iseng kemarin hari.
Das Sein, by ebbyyliebe