Redup lampu kamar menjadi payung yang menemani malam. Jagoan yang dalam hitungan hari akan segera bertambah usia tersebut tengah berada dalam dekapan Najmi Desra. Kondisi tubuh yang tak sebugar biasanya membuat tidur Abbas menjadi tak lelap. Sehingga apa yang tengah ia pikirkan sejak pulang sekolah siang tadi malah menjadi sebuah gumam rengekan dalam pejaman.
Sekarang sudah hampir pukul 11 malam. Namun satu pun dari mereka belum ada yang merajai alam mimpi. Adibya sebagai pemimpin keluarga ini pun turut menenangkan sang anak. Ia usap-usap secara pelan punggung jagoannya yang berada dalam rengkuhan sang istri. Suhu badan Abbas normal, namun tidurnya tak tenang seolah menanggung resah yang begitu berat.
“Mama … ” panggil Abbas perlahan membuka mata sayunya.
“Kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” Najmi tentu menyahuti tak kalah lembut. Meski bukan pertama kalinya Abbas jatuh sakit seperti ini, pada nyatanya perempuan itu tetap menaruh khawatir.
Abbas pun memberi gelengan. Pertanda bahwa ia tidak merasa ada yang sakit pada tubuhnya ini. Karena sungguh, saat ini ia hanya bingung, kenapa rasa takut dalam dadanya terasa begitu menyesakkan?
“Mama umurnya berapa?” tanya Abbas yang tentu saja membuat Najmi reflek milirik sang suami. Namun belum sempat perempuan itu jawab, Abbas sudah kembali melanjutkan ucapannya. “Mama jangan tua dulu, ya. Abang masih mau dipeluk Mama kayak gini.”
Najmi kelabakan. Air matanya mendadak hadir dan membendung penuhi pelupuk. Hatinya begitu terenyuh kala mendapati sang anak berkata demikian kepadanya. Permintaan Abbas selalu di luar perkiraan. Adibya yang posisinya di punggungi sang anak pun merapatkan tubuh. Turut ia peluk keduanya dalam rentang tangan kanan yang membentang. Sedang kepalanya dibiarkan bertopang pada tangan kiri agar dapat melihat anak istri dari posisi yang sedikit lebih tinggi.
“Mau Mama tua sekali pun, kalau Abang mau dan butuh pelukan Mama, Mama pasti peluk Abang kok saat itu juga.” Tak ada yang tahu bahwa sebenarnya Najmi berat sekali bejanji. Sebab ia takut, jika apa yang telah ia lontarkan tak dapat Abbas dapatkan dam buktikan.
Umur itu … rasasia Tuhan.
“Jagoannya Papa kenapa tiba-tiba nanya umur Mama?” Itu Adibya, yang turut ambil peran dalam percakapan, lalu mengusap kepala sang anak dengan penuh kasih.
Bukannya merubah posisi dan menghadap sang Papa, Abbas malah kian mengeratkan peluknya pada Najmi Desra. Seolah Mamanya akan hilang malam ini juga apabila tak ia rengkuh seerat mungkin.
“Abang takut Mama sama Papa jadi tua.” Abbas bergumam lirih. Wajahnya yang bersembunyi di bawah tulang selangka Najmi, membuat suasana kian terasa haru biru.
Adibya lantas tersenyum meski sudah dapat ia pastikan bahwa Abbas tak dapat melihat tarikan tulusnya. “Nak, menjadi tua itu udah prosesnya manusia. Enggak ada yang perlu Abang takutin kalau Mama sama Papa bakalan bertambah usia. Karena mau Papa atau Mama sampai jadi kakek nenek sekali pun, kita bakalan tetap sayang sama Abang.”
“Tapi Abang tetap takut kalau suatu saat Mama sama Papa tidur di tanah.”
Hening. Bahkan Adibya tak lagi dapat melanjutkan petuahnya pada sang anak. Karena memang pada nyatanya, tiap-tiap yang bernyawa pasti akan kembali pada Sang Pencipta.
Najmi meringis menahan tangis. “Sayang …” ucapnya yang kehilangan seribu kata. Ia juga mendadak bingung harus meredam ketakutan Abbas dengan kalimat yang sepeti apa. Sebab malam kali ini kembali dikuasai oleh suasana yang menyentil perasaaan.
Sementara Adibya seolah deja vu. Konversasi mereka kali ini tak jauh beda dengan apa yang ia dan Najmi bicarakan pada malam-malam sebelumnya. Mereka ini acapkali berbagi andai, namun tak pernah sekalipun menyangka bahwa Abbas akan menimang hal ini bersama-sama. Anak itu begitu berani, menyinggung pembahasan tentang rasa kehilangan, dan siapa yang terlebih dahulu akan pulang.
“Jangan tidur di tanah ya, Ma.” Abbas mempertegas permintaan. “Papa juga,” sambungnya yang kemudian berbalik dan turut peluk Adibya.
Rengkuh disambut dekap. Erat dan hangat bersamaan lelaki itu berikan untuk jagoannya. Putra sulung dan masih menjadi satu-satunya anak di dalam rumah tangga ini ia biarkan perlahan mengurai tangis. Sebab ia pernah berucap, bahwa laki-laki juga punya hak untuk menangis.
“Menangis itu bukan pertanda Abang lemah, tapi karena Abang punya hati yang lembut.” Begitu ucap Adibya yang selalu diingat oleh sosok Abbas hingga saat ini.
Sang pemimpian berbisik, “doain Papa sama Mama panjang umur ya, Nak. Ibadahnya juga harus lebih rajin lagi biar doa-doanya cepet dikabulin.” Rengkuh pada sang anak kian dieratkan. Kecup ringan pada puncak kepala pun turut ia hantarkan. Sebab Abbas yang seperti ini berkali lipat lebih menggemaskan. Anak itu berhasil menghadirkan haru yang bersatu padu.
“Maaf ya, Nak, kalau Papa sama Mama enggak bisa janji sama Abang tentang hal ‘nggak bakal tidur di tanah’. Karena Bang … setiap manusia itu pasti bakalan dijemput Tuhannya untuk pulang. Jadi mau Papa, Mama, atau Abang sekali pun, suatu hari nanti bakalan tetap berisitirahat di sana. Di rumah terakhir kita.”
Lantas tak ada lagi yang harus Abbas pertahankan. Bendung air matanya dibiarkan terurai dan berderai. Ia lepaskan tangis yang begitu sesak, lalu meraung dalam dekapan sang Papa. Sementara di ujung ranjang, Najmi sudah terisak tanpa suara. Sesak pada dada, dan perih pada tenggorokannya kian terasa sakit akibat menahan desakan raung yang hendak bergaung.
Adibya yang sebenarnya juga tengah dikuasai 1001 rasa pun menatap sang istri dengan teduh. Diulurkannya tangan kanan demi meraih Najmi agar kembali bergabung dan merapatkan rengkuhan.
“Don’t cry,” bisik Adibya tanpa suara, yang sempatkan diri demi mengusap air mata sang istri.
“Aku sedih … ” rapal Najmi yang balas hanya dengan gerakan bibir. Tanpas suara, persis seperti apa yang Adibya lakukan tadi. Ia takut tangisnya menjadi sesuatu yang membuat Abbas semakin bersedih hati.
“Panjang umur, ya.” Itu pinta terakhir Adibya pada istrinya. Ia tak minta apa-apa pada alam raya dan Tuhannya selain agar mereka punya umur yang panjang. Tak lebih.
Selang beberapa lama, lelap pun mulai berkuasa. Dua raga yang berada dalam rengkuh Adibya sudah berserah diri pada alam mimpi. Lantas sang pemimpin di rumah ini pun menyempatkan bibirnya mengecup puncak kepala dua orang tersayang dalam hidupnya itu.
Bergerak pelan, Adibya pun menarik selimut untuk mereka bertiga. Suhu AC kamarnya ia naikkan sedikit lagi. Sebab lelaki ini tak mau anak istrinya merasa kedinginan dalam lelap.
Maka kemudian, usai membenarkan posisi agar tak terlalu sempit, ia pun mulai kembali memejamkan mata. Dalam panjat doa sebelum mimpi menyapa, ia langitkan pula nama Najmi Desra dan putranya agar selalu dalam lindungan Yang Mahakuasa. Semoga, alam raya tak berani macam-macam pada keluarganya.
Das Sein by ebbyyliebe