Hamparan langit yang menggantung tak lagi sebiru tadi pagi. Ada awan kelabu yang kini ikut menghiasi bentangan di atas sana. Seraya menanti kehadiran Septian, Nabila pun memainkan ponsel miliknya. Mencari-cari referensi outfit dari berbagai macam orang yang dia ikuti di Instagram. Salah satunya adalah dari selebgram cantik sebaya Nabila. Senja, namanya. Kebetulan dulu gadis itu adalah teman satu sekolah Nabila. Ya walaupun hanya satu setengah tahun saja, itu cukup membuat Nabila lumayan mengenal Senja. Sebab, saat di pertengahan semester kelas sebelas, gadis itu pindah sekolah. Namun, siapa sangka, karir putri dari pasangan pengusaha kaya raya itu kini tengah melejit sebagai seorang selebgram.
“Piyuwit! Ayaaaang...,” panggilan tersebut pun mengalihkan fokus Nabila. “... hehe, nyampe nih!” sambung Asep yang sudah sampai di halaman rumah sang kekasih.
Si gadis berdiri. Ia raih tasnya, lalu disampirkan ke bahu. Senyum rekah pun terbit di wajah manis nan ayu milik Nabila. Septian atau lelaki yang kerap dipanggil Asep olehnya itu tak lupa pula untuk membalas senyum dari sang kekasih hati. Seperti biasa, saat garis bibir Septian tertarik, yang Nabila lihat bukan hanya senyum yang mempesona. Melainkan juga mata sipit yang berbetuk bulan sabit. Ah, Asep-nya begitu tampan dan rupawan. Mimpi apa ya Nabila bisa dibucini lelaki seperti ini?
“Ada Bang Yarli?” tanya Septian ingin mengetahui keberadaan kakak laki-laki Nabila. Sudah menjadi kebiasaan bagi dirinya untuk pamit pada orang di rumah. Sebab dulu, waktu pertama-tama pacaran, Septian pernah terlibat masalah dengan lelaki tersebut. Alasannya karena Yarli tak terima kalau adiknya diantar jemput oleh Asep hanya sampai di depan gang saja.
“Kaga. Belom pulang kerja die mah,” jawab Nabila dengan ciri khas Betawi yang lumayan kental. Kadang, dirinya sering kelepasan bicara demikian dengan Asep. Padahal, lelaki itu bertutur dengan sangat lembut dan bertata krama. Nada bicara Nabila saja yang terdengar ngegas dan sedikit judes. Padahal, jauh dari segalanya, Nabila benar-benar jatuh hati pada sosok Septian.
“Kalau Emak?” Asep masih belum selesai dengan acara introgasinya terhadap gadis itu.
“Emak lagi ada arisan di rumah Buk RT,” sahut Nabila. “Udah, ah. Kita berangkat aja. Keburu hujan.” Gadis itu pun segera menempatkan ekornya pada jok motor Vespa matic milik Asep. Pelindung kepala itu pun telah Nabila pakai demi keselamatan nyawa dan raga. Tentu, aspal tidak selunak jelly bukan?
Sepanjang perjalanan, tak ada habis-habisnya Nabila mengoceh tentang apapun yang ia lihat. Kedua tangan yang berada pada pinggang Asep tentu tak luput pula dari pandangan lelaki tersebut. Setiap naik motor, Nabila memang tidak pernah memeluknya. Mereka berpacaran tak seperti pasangan pada umumnya. Tapi bagi Asep, sungguh tidak masalah. Bahkan, dia lah yang terlalu ‘santri’ kalau menurut Nabila. Digombal dikit, salting. Dipeluk dikit, melting. Apalagi kalau sampai dicium olehnya. Mungkin Asep akan langsung ambil tindakan social distancing!
“Sep, ngebut Sep! Gerimis!” Tanpa Nabila bicara pun, sebenarnya Asep tahu dia harus apa.
Tarikan pada tali gas ia tinggikan. Melesat melewati jalanan, ruko, dan kendaraan yang ikut berpacu melawan rintik hujan yang mulai merapat.
Ah, harusnya tadi Asep mengendarai mobil saja. Biar puan jelita yang ia bawa jadi tak kehujanan seperti ini. “Kita ke sana aja ya, Nab? Mau ‘kan?” Lelaki itu menunjuk sebuah kafe yang berada di sebelah kiri jalan.
“HAH?!!” Karena motor masih melaju cepat, ditambah pula dengan angin yang menerpa mereka, pendengaran Nabila jadi kurang jelas. Ia tidak terlalu mendengar apa yang Asep ucapkan barusan.
“KE SANA!!!” Sang lelaki menunjuk sebuah bangunan yang sebentar lagi akan mereka singgahi. Nabila pun mengangguk saat menangkap maksud Asep. Mereka akan berteduh dan sekalian duduk di tempat tersebut.
Tanpa basa-basi, setelah memarkirkan motor, Nabila dan Asep pun berlari kecil menuju teras kafe. Gadis itu kepruk pula baju yang sedikit basah karena air hujan tersebut. Ia tatap Asep yang ikut mengibaskan denimnya sekilas.
“Maaf ya, kamu jadi kehujanan gini..., ” ucap Asep merasa bersalah. “... harusnya tadi aku nggak pakai motor.” Kemudian ia usap bahu Nabila pelan. Mengusir dingin sekaligus memberi kehangatan.
“Gapapa kali, gerimis doang. Kayak yang lagi nerjang badai aje.” Apa yang Asep harapkan dari respon seorang Nabila? Gadis itu selalu saja bisa membuatnya terkekeh geli. Bukan sakit hati! Sebab, karena hal itu pula lah yang membuatnya menyukai gadis ini. Dia terlalu to the point dan apa adanya.
Terlebih, selama ini Nabila adalah mood maker paling ampuh yang dapat membuat hari Septian menjadi cerah layaknya mentari terbit. Ada saja kelakuan gadis itu yang mengundang tawa. Mulai dari tragedi diseruduk kambing saat KKN, ketika sepedaan malah nyunsep di got, pulang beli ketumbar dikejar angsa, masak nasi salah colok kabel, sampai salah gandeng orang di mall pun Nabila sudah lalui semua itu. Selama berpacaran, Septian tentu tahu semua kebobrokan gadis tersebut. Nabila memang benar-benar sesuatu yang luar biasa.
“Mau pesan apa?” Septian alias Asep pun bertanya pada si manis. “Bandrek ada kaga sih?” jawab Nabila balik bertanya.
“Gak sekalian aja kamu nanya jamu kencur?” sahut Asep seraya membuka pintu masuk.
“Dih? Emang ada?” Gadis itu malah bertanya demikian.
Asep terkekeh. “Kamu mau?”
Nabila mengangguk. “Boleh dah, kalau ada,” jawabnya. Padahal, Nabila pun juga tahu. Kalau di sini tentu tidak akan ada minuman tradisional tersebut.
Kini, mereka sudah berdiri di depan wanita berseragam. Karyawan kafe ini tentunya. “Ada yang bisa dibantu, Mas, Mbak?” tanya wanita tersebut.
“Mau order, Mbak.” Septian menyahut.
“Take away kah?”
“Enggak, Mbak. Mau makan di sini aja.”
“Oh, kalau gitu Mas sama Mbaknya bisa duduk dulu. Nanti ada yang nyamperin ke sana.”
Nabila tertawa. Ternyata sistem order di kafe ini seperti rumah makan Padang. Bukan seperti Janji Jiwa ataupun Starbucks.
“Makasih, Mbak.” Nabila pun melangkah menjauhi meja tersebut seraya menarik lengan Asep pelan. Ia edarkan pandangannya untuk mencari tempat duduk yang kira-kira dirasa pas dan nyaman. Kebetulan, tempat ini sedang sepi. Jadi pilihan pun membentang luas.
“Duduk dimana ya, Yang?” Nabila memang jarang sekali menggunakan panggilan tersebut pada Asep. Meski dirinya sering menjametkan diri, Nabila bukanlah tipe yang suka menye-menye dan terlalu bucin. Tapi kalau sekalinya cemburu, gadis itu tak pandang bulu. Siapapun nanti pasti akan kena amukannya.
“Di sana aja. Gimana?” Asep pun menunjuk sebuah meja dengan dua buah kursi yang menghadap ke jendela kaca. Sepertinya asyik kalau nanti mereka duduk berdampingan sembari menatap dan menikmati air langit yang tengah turun kian deras di luar sana.
“Boleh, yuk!" Langkah kecil Nabila pun Asep imbangi. Genggaman pada lengannya masih belum dilepaskan.
Kursi berwana coklat tersebut Asep tarik demi mempersilahkan tuan putri untuk duduk terlebih dahulu. “Makasih,” ucap Nabila dengan senyum yang memabukan bagi Asep.
“Sayang,” panggil lelaki itu saat Nabila sibuk dengan ponselnya.
“Eh, iya, sorry. Kenapa?” Nabila langsung gelagapan saat Asep tiba-tiba memanggilnya.
Oh, ternyata pelayan sudah datang menghampiri mereka. Cadbury float dengan coklat panas pun menjadi pilihan minuman mereka. Sementara makanan, Nabila memilih menu yang asin sekaligus pedas. Seperti sadas dan cumi krispi. Sedangkan Asep, lelaki itu memilih kentang goreng dan blackforest cake.
Setelah pesanan mereka dicatat, Asep dan Nabila pun menikmati waktu tunggu mereka dengan saling berbagi cerita. Topik yang mereka comot pun beragam. Mulai dari judul skripsi yang dulu pernah Nabila ajukan ditolak hingga dua kali. Sampai pada yang ketiga, judul skripsinya pun diterima. Ternyata, mencari judul yang sesuai dengan syarat dan ketentuan fakultas itu tak segampang yang ia kira. Begitu pula dengan Asep. Lelaki itu membicarakan kesulitan dalam metode penelitian yang ia gunakan untuk bahan skripsi.
“Terus, kalau revisian kamu udah sampai mana?” tanya Asep pada Nabila. Pasalnya, gadis itu jarang mengeluh kalau perihal kuliah. Yang ia keluhkan selama ini pada Asep hanyalah barang-barang milik Bang Yarli yang tak sengaja ia rusaki. Gitar yang hancur dan kemeja kerja yang bolong contohnya.
“Itu, di bagian footnote sama daftar pustaka, aku masih kena. Bagian bab dua juga masih banyak typo-nya. Pusing banget.” Nabila pun mengutarakan kesulitannya dalam menyelesaikan skripsi. Septian Dwi Cahyo pun mengangguk paham. Ia mengerti kepelikan yang Nabila alami.
“Eh, Tian bukan?” Tiba-tiba percakapan mereka disalip oleh seorang perempuan yang tampaknya baru masuk ke dalam kafe ini. Mungkin ikut berteduh, atau memang tujuannya kamari, Nabila tak tahu. Dan juga, sepertinya gadis itu memang sengaja menghampiri Septian.
Lelaki itu menoleh. “Lho, Sarah? Yang satu tempat ngaji sama gue dulu bukan sih?” sahut Asep antusias. Bahkan ia langsung mengenali wajah si perempuan yang ada di hadapannya saat ini.
Wajah gadis itu terlihat cerah. “Hooh, bener!”
“Ya ampun, lo apa kabar, Sar? Sumpah udah lama banget gak ketemu.” Ya, memang tak ada yang spesial. Di mata Nabila, mereka hanya dua orang teman lama yang baru berjumpa lagi setelah bertahun-tahun.
“Pacar lo nih?” tanya gadis bernama Sarah itu sembari melirik Nabila.
Nabila tersenyum. Asep pun langsung mengiyakan pertanyaan Sarah. “Cantik,” pujinya.
“Kenalin, gue Sarah. Temen ngajinya Tian waktu SD.” Jabatan tangan pun terjadi. Nabila menerima uluran Sarah dengan senang hati.
“Nabila, jodohnya Asep,” balasnya. Tentu kerutan di kening Sarah tak dapat dihindari.
“Asep saha?”
“Septian Dwi Cahyo.” Jawaban Nabila langsung dapat dipahami oleh Sarah. Ah, ternyata panggilan itu masih saja melekat pada lelaki tersebut.
“Duh, maaf ya ganggu waktu kalian. Tapi boleh gak, kalau gue minta kontaknya Septian?” tanya Sarah kemudian. Nabila yang diajukan pernyataan demikian pun bingung. Kenapa pula Sarah harus bertanya demikian pada dirinya?
“Ya tanya Asep lah. Minta sama dia, ‘kan dia yang punya nomor. Ngapa jadi malah nanya gue?” Nabila menjawab santai. Sarah pun tertawa canggung, lalu mengangguk paham.
Sebelum mengetik nomor pada ponsel Sarah, Asep melirik Nabila yang tak lepas menatapnya sedari tadi. Setelah menyimpan, ponsel tersebut Asep kembalikan pada sang pemilik.
Karena tak mau menganggu waktu pacaran Septian dan Nabila, Sarah pun segera pamit mencari meja lain. Mungkin nanti di lain waktu ia akan berbincang dengan lelaki tersebut.
“Kenapa?” tanya Asep bingung. Nabila seolah tak berkedip memandangnya sejak tadi.
Gadis itu bergidik. “Gapapa.”
Suasana pun kembali seperti semula. Asep mulai kembali bercerita tentang kenangan yang berkaitan dengan hujan. Dan lagi, Nabila tentu akan selalu setia mendengarkan semua cerita dari kekasihnya ini.
“Kamu tau nggak, dulu, waktu aku masih SD nih ya, aku kira maksud hujan lokal tuh kayak hujan di dalam kelas gitu...,” kekehnya kemudian. “... eh, ternyata hujan dari atas langit juga. Tapi cuma di suatu tempat aja. Gak menyeluruh.” Suara tawa khas milik Septian pun menyapa gendang telinga Nabila. Terdengar mendayu meski kisah yang ia ceritakan hanyalah bagian memori masa kecil yang sederhana.
Gadis itu terkekeh pelan. “Bego, lu!” ledeknya. Asep pun semakin tertawa.
Sampai saat atensi Nabila teralihkan pada seorang kakek-kakek yang hendak menyebrang jalan menjadi penguasa netranya. Payung biru tua yang digunakan sang kakek menjadi pelindung dirinya dari deras hujan.
“Sebentar, ya?” Nabila tiba-tiba berdiri. “Jangan selingkuh!” sambungnya yang kemudian mendaratkan sebuah kecupan ringin di pipi lembut milik Septian untuk pertama kalinya.
Septian Dwi Cahyo terpaku. Apakah barusan Nabila sungguh mengecup pipi kanannya? Ya Tuhan, Septian mimpi apa semalam? Dan lagi, peringatan ‘jangan selingkuh’ juga membuat hatinya tergelitik. Apa tadi Nabila sempat cemburu pada Sarah?
Namun, saat Nabila sudah melangkah pergi, Septian segara menyadarkan diri dari rasa yang tengah menggebu-gebu di hati. “Eh, mau kemana?!” tanya Septian telat. Sebab gadis itu sudah berlari ke luar kafe untuk membantu sang kakek yang kesulitan menyebrang jalan.
Asep menghela napasnya pelan. Payung motif volkadot milik salah satu karyawan di sini telah menutupi kepala dan tubuh Nabila dari terjangan air hujan. Gadis itu meminjamnya.
Dari sini, Septian dapat melihat bahwa Nabila tengah menyebrangi orangtua nan renta tersebut di bawah guyuran gerimis rapat.
Puan cantik nan jelita itu, ah, sungguh pandai sekali mengobrak-abrik jiwa raga Septian. Hatinya bergetar kala menyaksikan Nabila menunduk sopan sembari tersenyum lembut saat setelah menyebrangi sang kakek. Tampaknya, orang tua tersebut berterimakasih pada gadisnya.
Nabila melambai. Ternyata, dinding kaca tempat mereka duduk menghadap jalan tersebut memang tembus pandang. Buktinya saja, Nabila dapat melihat lelaki itu tengah duduk sembari memandangi dirinya yang berdiri di pinggir jalan.
Dari sini, dapat Asep lihat, bahwa Nabila tengah merogoh ponsel yang berada di dalam sakunya. Gadis itu tiba-tiba saja tersenyum kian lebar setelah menatap pesan di layar ponsel.
Nabila kira, Asep akan benar-benar menyerahkan nomor ponselnya pada gadis lain tepat di hadapannya. Ternyata, dia salah. Septian benar-benar lelaki yang menjaga perasaan kekasihnya. Duh, membuat Nabila semakin jatuh cinta saja!
Gawai tersebut kini ia genggam. Dalam pikiran Nabila saat ini adalah, ia ingin menggoda Septian dengan ledekan sekaligus mengucapkan terima kasih pada lelaki itu karena sudah menghargai kehadirannya. Namun sayang beribu kali sayang. Karena terlalu sibuk dengan rasa bahagia, Nabila sampai lupa bahwa seharusnya ia masih harus berjaga-jaga.
Langkah penuh bahagia itu terhenti. Senyum rekah yang membentuk lesung pipi pun kini telah terganti. Pacu pada detak jantungnya tak lagi seperti biasa saat menjalani hari. Alam raya bukan milik Nabila, pula bukan milik Septian.
Pandangannya menggelap. Hantaman kepala mobil pick up tersebut menyambar tubuh Nabila yang kurus. Raganya melambung dan terguling. Nyeri bukan lagi kata yang dapat menggambarkan apa yang tengah Nabila rasa.
Gadis itu terbatuk. Dadanya sesak, dan kepalanya sakit bukan main. Aspal nyatanya memang sekeras itu. Tak ada toleransi untuk raga yang jatuh di atas hamparan jalan berwarna hitam keabu-abuan tersebut. Remuk. Jiwanya seolah melayang antara ingin tetap sadar atau memilih segera terlelap saja.
“Dingin,” gumam Nabila lirih. Rintik hujan kini menghujam tubuhnya tanpa belas kasih. Sebab, payung yang ia gunakan tadi sudah terbang entah kemana. Sedang ponselnya, masih setia dalam genggaman. Nabila mencengkramnya begitu erat.
Sementara tak jauh dari sana, ada raga yang melemah, ada jiwa yang merapuh. Siapa pula yang tak merasa kacau dan porak poranda saat menyaksikan yang dicinta celaka di depan mata? Hatinya terasa sakit. Matanya pun terasa perih. Tak ada suara teriakan selain nama Nabila yang Septian ucapkan. Langkah lebar nan terburu itu ia ayunkan secepat mungkin. Cantik-nya sedang terluka. Belahan jiwanya tengah diuji oleh Sang Pemilik Alam Raya.
Mungkin, setelah ini, kenangan tentang hujan yang akan Septian ceritakan bukan lagi tentang hujan lokal. Melainkan, tentang sebuah kekhawatiran yang melanda batinnya.
“Nabila, jangan pergi.” Rapalan itu, berulang kali Septian lantunkan saat hendak menghampiri sang kekasih hati, Nabila Putri.
Tuhan, jangan renggut semestanya, bisa? Kotak cincin yang ingin Septian serahkan pada Nabila, bahkan belum sempat gadis itu terima.
JANGAN PERGI
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe