“Jangan Rubuh, Nanti Saya Runtuh.”

rofenaa
7 min readFeb 25, 2023

--

Riuh suara didih kuah sup ayam membuat Adibya sadar bahwa masakannya sebentar lagi akan matang. Maka panci berukuran sedang yang berisikan potongan ayam, wortel, kentang, dan kol pun diaduk sebentar, lalu ia sambil kegiatannya dengan mewadahi sambal terasi. Tak lupa, lelaki itu juga memindahkan nasi dari rice cooker ke bakul kecil yang biasa Najmi gunakan. Mereka akan makan siang meski waktunya sudah jauh dari waktu siang itu sendiri.

Selama menyiapkan itu semua, Adibya bukan tidak memikirkan apa pun. Ia bukan tidak mengkhawatirkan kondisi Najmi yang sampai sekarang nyatanya masih diam membisu. Bahkan ketika sampai di rumah, ia seolah tak mempedulikan Adibya.

Pun, bukannya langsung memasuki kamar mereka, Najmi malah berbelok ke kamar Abbas. Entah karena ia yang sudah terbiasa demikian setiap baru sampai rumah, atau karena memang betul-betul merindukan sosok Abbas dan tak mempercayai bahwa anaknya telah tiada, Adibya bingung harus menelaahnya bagaimana. Yang jelas, Najmi Desra sedang tak baik-baik saja.

Bungkam bibirnya mengundang resah. Kosong tatapnya mengandung luka. Gerak raganya yang seperti biasa membuat Adibya kian bertanya-tanya, apa istrinya akan baik-baik saja? Bahkan Najmi sama sekali tidak gentar kala melihat mobil. Ia tak takut untuk duduk di dalam benda sejenis yang telah merenggut nyawa sang anak. Jalanan seolah terlihat biasa di mata perempuan tersebut.

Rasanya … Najmi Desra benar-benar berbeda. Ia adalah Najmi yang tak sama saat menghadapi duka di kala remaja.

“Sayang, ayo makan dulu.” Untungnya, kamar Abbas tak dikunci oleh Najmi. Maka Adibya pun bisa dengan mudah memasuki.

Najmi yang bermenung dalam ringkuknya itu mulai perlahan bangkit. Meski sedang dalam kondisi yang mengawatirkan, ia tak pernah sama sekali menentang ataupun mengabaikan permintaan Adibya. Ia selalu menuruti beberapa hari ini. Karena, Najmi sedang terlalu malas untuk bersuara.

Maka ketika langkah berjalan beriringan menuju ruang makan, Adibya sama sekali tak melepas genggaman tangan mereka. Ia bawa Najmi secara perlahan ke ruangan yang sebenarnya memiliki banyak kenangan bersama Abbas.

Dan hal itu terbukti, ketika Najmi sampai di dekat meja makan bundar milik mereka, ia masih berdiri kaku. Najmi terpaku memandangi satu bangku yang kosong. Bangku itu biasanya diisi oleh raga mungil Jagoan mereka.

Sakitnya lagi, yang disajikan di atas meja makan kini pun hanya 2 mangkuk sup. Bukan 3 seperti biasanya, seperti hari-hari yang telah Najmi jalani selama bertahun-tahun.

Tak ada celoteh Abbas yang banyak tanya. Tak ada hebohnya Abbas yang memuji masakan Najmi ataupun Adibya. Tak ada Abbas yang meminta maaf ketika ia masih tak menyukai sayur. Tak ada Abbas yang membicarakan anak-anak jalanan yang sering ia lihat di lampu merah. Tak ada Abbas yang memuji koleksi mainan Jafar. Tak ada Abbas yang salah sebut panggilan Daddy Ghandi di depan Adibya.

Tak ada. Abbas benar-benar telah tiada.

Maka ketika Najmi menyuapkan sup ayam buatan Adibya, air matanya membendung. Tangisnya masih ia coba tahan sekuat mungkin. Najmi benar-benar tak ingin lagi membuat suaminya menaruh cemas. Tapi, saat tenggorokannya kian sakit, dan kerongkongannya yang hampit berhasil menelan seluruh kunyahan, Najmi tersedak.

Ia terbatuk berulang kali saking sakitnya menahan tangis kesedihan ketika sedang makan. Belum lagi dengan memori yang berkeliaran di rumah mereka, membuat Najmi rasanya kian susah untuk bernapas dengan bebas. Ia seolah dicekik oleh kenyataan.

Lantas, ketika Adibya yang kalang kabut menyodorkan segelas air untuk Najmi teguk, ia dengan lekas menerima. Ia masih ingin menikmati dunia meski hidup pun rasanya tak seindah dulu. Adibya masih membutuhkannya. Adibya masih mencintainya, dan akan selalu begitu.

Perih pun perlahan pudar. Dan Najmi berhasil menahan tangisnya agar tidak tumpah. Derainya tak boleh lagi membuat Adibya merasa muak dan kecewa. Dan itulah yang menjadi alasan terbesar Najmi diam membisu. Ia merasa sungkan menyusahkan suaminya. Ia takut Adibya jenuh. Ia takut Adibya pergi meninggalkannya karena terlalu cengeng. Ia takut, Adibya menalaknya karena Najmi Desra terlihat seperti orang gila.

“Makannya Mas suapin aja, ya? Mau?” Najmi tak mengangguk. Tapi diamnya perempuan itu pertanda bahwa ia juga tak menolak.

Maka pada suapan demi suapan pun Adibya hantarkan untuk Najmi. Sesekali ia juga menyuapkan sup tersebut ke mulutnya sendiri. Suami istri itu makan dengan satu sendok, seperti yang sudah biasa mereka lakukan setelah menikah.

“Habis ini mandi, ya? Nanti Mas bantu siapin air hangatnya.” Najmi hanya diam. Sebenarnya mandi setelah makan adalah kegiatan yang sangat ia tentang. Tapi karena sekarang adalah Adibya yang memberi perintah, ia tak akan menolak. Najmi akan menuruti apa kata sang suami.

Dalam geraknya, Adinya diam-diam membatin lirih. “Makan sambil nahan tangis itu, sakit banget ya, Dek.”

Kalimatnya bukan hanya untuk Najmi, tapi juga untuk dirinya sendiri.

Usai Maghrib berjamaah, Najmi kembali memasuki kamar Abbas. Tak lupa, ia taruh sepasang sepatu yang tak sempat anaknya itu pakai.

Hadiah ulang tahun terakhir darinya untuk sang anak, ternyata semenyakitkan ini, ya? Hidup pun Abbas, benda pemberiannya juga tak akan pernah terpasang di kaki si Jagoan. Karena anaknya tak lagi mempunyai itu. Ia tak lagi sempurna, kalau nyawa tetap setiap bersama raga. Tapi nyatanya, anak hebat itu memilih pergi. Ia seperti tak mau melihat Najmi yang hari-harinya akan bersedih diri.

Pula dengan drum set yang datang di hari pemakaman Abbas tiga hari lalu, kian memberi duka. Bahkan dari mereka belum ada yang berani mengeksekusi paket tersebut.

Maka, ketika malam telah larut, nyatanya pasangan tersebut belum ada yang berani terpejam. Najmi dengan baju tidur kesayangan Abbas yang ia peluk erat, lagi-lagi hanya bisa menahan tangis. Sakit pada tenggorokannya tak hilang-hilang. Sesak pada dada tak pudar-pudar. Sebab terlalu banyak hal dan bayang-bayang memori yang menghantui pikirannya.

Begitu pula dengan Adibya.

Bahkan, sesaknya seolah bertambah setiap detik. Karena Najmi Desra, yang biasa tidur dan lelap dalam dekapan, sekarang memunggunginya. Perempuan dengan tampak punggung yang rapuh itu masih tak mau bicara dengan Adibya. Bahkan untuk menatap mata pun, Najmi hanya akan memandangnya tak lebih dari dua detik. Lalu diputuskan begitu saja dalam keheningan yang mencekam di antara mereka.

Maka tak ada cara lain. Satu-satunya penghilang resah dan obat tidurnya adalah merengkuh Najmi. Adibya merapatkan tubuhnya dengan sang istri. Dada bidang tersebut benar-benar ia satukan dengan punggung sempit Najmi. Lengan pun tak ia siakan. Dipeluknya pinggang dan perut perempuannya denga erat. Tak lupa, wajah pun ia sembunyikan di tengkuk Najmi. Aroma almond lily masih menguasai raga istrinya ini.

“Maafin saya, ya. Maaf kalau saya udah bikin kamu kecewa.” Adibya bergumam. Nada lirihnya kali ini tak ia sembunyikan. Ia tunjukkan pada Najmi sebab rasanya sudah terlalu sakit melihat perempuannya diam membisu. Adibya juga sungguh begitu takut kalau diamnya Najmi dikarenakan dirinya. Ia merasa bersalah sudah membuat sang istri kecewa saat di pemakaman waktu itu.

Adibya tahu, Najmi belum tidur sama sekali. Ia juga tahu bahwa istrinya itu sedikit terkejut saat dipeluk secara tiba-tiba. Tetapi, nyatanya Najmi Desra masih bungkam. Seolah ia tak lagi sudi berbagi suara dengan dirinya.

Padahal, Najmi sendiri juga bingung harus bagaimana. Ia takut, kalau sekalinya bicara, tangis yang sudah dibendung akan pecah dan tumpah ruah. Ia sungguh takut kalau kesedihannya membuat Adibya jenuh.

Mereka, sama-sama takut. Takut menyakiti perasaan pasangannya dengan tindak-tanduk mereka. Padahal, dengan seperti ini, nyatanya akan berujung sama-sama sakit. Dua-duanya terluka dengan hal dan poin yang berbeda meski maksudnya adalah sama.

“Mas Adib.”

Maka, katakan pada alam raya beserta isinya. Bahwa Adibya tak pernah merasa segemetar ini ketika dipanggil. Ia tak pernah meremang ketika Najmi bersuara hanya karena memanggil namanya dengan begitu pelan.

“Iya, Sayang …” Adibya kian mengeratkan peluk. Debar jantungnya bahkan dapat Najmi rasakan saking kencangnya organ itu berdetak.

Adibya sedikit lega, setelah mendengar Najmi akhirnya bersuara.

Maka hening yang tercipta selama belasan detik itu kemudian kembali ditebas oleh suara Najmi. “Kalau kehilangan ibu disebut piatu, dan kehilangan ayah disebut yatim … lalu kita disebut sebagai apa?”

Adibya membeku. Dadanya lagi-lagi bak dibidik ribuan anak panah. Lelaki itu tak pernah menaruh sangka bahwa Najmi akan bertanya sedemikian putus asa.

“Kenapa nggak ada, Mas, sebutan buat orang tua yang kehilangan anaknya?”

Yang ditanya masih bungkam. Ia juga tengah mencari-cari jawaban yang paling tepat untuk menebas keingintahuan istrinya ini. Meski Adibya sendiri sadar, bahwa ia juga tengah kebingungan setengah mati.

There is no word for a parent who loses a child … ya karena kita tau, bahwa kehilangan anak nyatanya memang semengerikan ini. Sakitnya nggak bisa didefinisikan. Sedihnya bahkan tak terbilang, Dek.”

Posisi Najmi masih memunggungi. Sementara Adibya tetap bersuara tak jauh dari telinga sang istri. Ia berbisik sendu, namun Najmi Desra tentu setuju.

Bahwa, orang tua yang kehilangan anak itu tak ada yang dapat menggambarkan sakit yang mereka rasakan. Seperti yang Adibya katakan barusan. Tak terbilang.

Lantas bibir pun ia gigit demi meredam kepedihan yang kian menggores hati. Adibya mengapa bisa setenang ini dalam menganggapi?

“Mas Adib, apa kamu nggak capek pura-pura kuat kayak gini?” Seorang istri yang tak lagi tahu harus bagaimana menjalani hidup, bertanya putus asa terhadap suaminya. Lelaki yang tak pernah mau tunjukkan derai air mata di hadapan Najmi akhir-akhir ini, nyatanya benar-benar remukkan hati.

“Saya bukan pura-pura kuat, Najmi. Saya ini harus tegar demi istri saya yang sedang rapuh.” Maka tolong sampaikan pada alam raya, sesungguhnya Adibya tak seperti apa yang Najmi kira. Mereka sama-sama kacau, namun waras tetap harus kuasi seluruh badan. Sebab nurani keduanya akan selalu berharap tentang sebuah kesembuhan.

Maka tak ada yang tahu bahwa raungan Najmi akhirnya berhasil pecah setelah berhari-hari. Ia lekas berbalik badan demi merengkuh raga Adibya dengan begitu erat. Najmi redamkan urai tangisnya pada dada bidang sang suami. Ia benar-benar bersedih diri.

Sekarang Najmi sadar, bahwa tak pernahnya Adibya terlihat kacau apalagi menangis, memanglah dikarankan dirinya yang lebih mementingkan keadaan Najmi.

Padahal, mereka sama-sama rapuh. Namun mengapa Adibya selalu bertindak untuk selalu kuat demi istrinya.

“Jangan rubuh, nanti saya runtuh.”

Lantas di tengah kecamuk tanya Najmi Desra dalam kepala, Adibya dengan lekas berbisik beri jawaban. Bahwa … jikalau nanti Najmi benar-benar hancur, maka ia akan lebih parah lagi hancurnya. Adibya bisa lebih terpuruk dan tak waras apabila terjadi apa-apa dengan istrinya ini.

Maka, ketika malam larut dengan rembulan yang kian tampak terang, Najmi dan Adibya akhirnya berbagi peluk di tengah ranjang. Mereka habiskan liarnya remang kamar dengan berjanji dan meminta maaf satu sama lain.

Kalau sakit, ya harus diberi tahu. Jangan bungkam, jangan sungkan. Dan yang paling utama, tiap-tiap mereka harus berani untuk memulai semuanya dengan hati yang lebih tabah. Mereka harus menerima keadaan.

Meski dalam hati, Adibya diam-diam masih berharap besar bahwa semua yang terjadi beberapa hari ini hanyalah sebuah mimpi. Ia benar-benar sudah muak dengan bunga tidurnya ini.

Das Sein by ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet