Jatuh Suka, Pesta Sederhana

rofenaa
12 min readJun 22, 2022

--

Ps : Broken english, kinda.

Ada begitu banyak hal yang Najmi senangi semasa hidupnya di muka bumi ini. Ada begitu banyak hal pula yang sering ia tertawakan meski sekalipun hal itu hanyalah sesuatu yang kecil dan bukan apa-apa. Namun tidak menutup kemungkinan pula bahwa hal kecil tersebut turut memberi siratan rasa pedih di dalamnya. Tidak ada yang tahu bahwa menurut orang lain itu adalah sesuatu yang sepele, maka mungkin bagi Najmi tidak. Sebagai contoh, kendaraan dan jalan raya.

Sesuatu yang pasti setiap hari akan masuk ke dalam indra penglihatannya itu, memilki banyak cerita. Dibaliknya, mulai dari suka sampai hari penuh duka paling dalam, pun, ada. Jangan tanya apa saja. Nanti pasti akan Najmi ceritakan lukanya itu kepada manusia yang-hanya-berhak untuk tahu. Adibya Lofarsa, salah satunya.

Hari ini, hari Jumat. Hari di mana yang katanya paling baik dan diberkahi, menjadi hari di mana Khaffa — Papi dari Desra bersaudara itu kembali mengucapkan janji suci setelah sepuluh tahun lebih menjadi duda beranak dua.

Balutannya terlihat sederhana, namun tetap saja kesan elegan tak bisa lepas dari keduanya. Kali ini, pasangan itu memilih tema berwarna biru lembut. Persis seperti warna yang tengah membalut tubuh mereka sebagai sepasang pengantin yang telah resmi menjadi suami istri hari ini.

Di halaman belakang yang luas milik keluarga besar Anggun alias Bunda itu, Najmi dan Ghandi berdiri berdampingan dengan Jafar. Mereka tersenyum lebar menyambut tamu usai acara akad. Namun Najmi sangat tahu, bahwa senyum lebar yang terpampang di wajah Ghandi itu, setengahnya adalah kepalsuan. Ia tahu bahwa Ghandi tengah risau karena keberadaan Puja yang sedari tadi masih berada di sini.

Gadis itu, dia datang bersama Bahar dan Adibya tepat dua menit sebelum berlangsungnya akad. Dan bisa ditebak, raut gadis itu, meski dia sudah tahu, tak menutup kemungkinan kalau wajahnya masih tetap tidak menyangka bahwa Najmi adalah adik dari seorang Ghandi.

Saat itu, Nabila yang juga menjadi tamu undangan special kali ini pun bersungut-sungut kala melontarkan pertanyaannya. “Anjir, itu jelmaan kuyang berani banget nongolin mukanya di mari?!” kesal Nabila tak dibuat-buat. Mengingat bagaimana Najmi sahabatnya mendapat semprotan pedas tak berdasar dari Puja saat malam itu, Nabila benar-benar naik pitam. Dua hari lalu, dia memang turut dikirimi Najmi tangkapan layar DM Instagram dari Puja untuknya. Maka dari itu, Nabila kebakaran jenggot. Apalagi saat melihat Adibya lah yang berjalan di depan gadis itu. Rasanya, Nabila rela menjadi semut merah hanya demi untuk menggigit gadis itu sepuas hati. Setelah itu, berubah lagi menjadi manusia. Tapi sayangnya, tidak bisa. Nabila bukan siluman atau penganut ilmu hitam dan aliran sesat.

“Itu kalau nggak ada urat mata, mungkin bijinya udah keluar kali ya karena ngeliatin lo mulu dari tadi?” Najmi mengajak Ghandi berbicara tanpa menyebutkan siapa yang ia maksud. Toh, lelaki itu pasti tahu objek mana yang tengah ia bicarakan. Sebab, si penguasa hati Ghandi selama beberapa tahun belakangan itu memang sama sekali tak lepas memandanginya sedari tadi.

“Masih speechless kali karena kita ternyata saudaraan,” celutuk Ghandi mencoba untuk tidak peduli.

Najmi mencebik. “Udah yakin banget mau move on?” tanyanya memastikan, lagi.

Ghandi hanya diam. Lalu melirik sekilas ke arah Nabila yang tengah terbahak-bahak bersama Pak Bahar. Jarak mereka berkisar sepuluh meter dari tempatnya. Gadis itu tampak sangat menikmati pesta singkat hari ini.

Aneh. Pikir Ghandi. Dari sekian banyak anak muda dan ibu-ibu, teman baik adiknya itu malah berbaur dengan bapak beranak satu. Berbagi tawa, entah apa yang mereka tertawakan. Padahal, di sana ada Adibya. Lelaki itu hanya tertawa sekedarnya. Tidak semenggelegar tawa keduanya.

“Temen lo emang se-freak itu, ya?” tanya Ghandi kemudian.

Najmi tertawa miring dengan memutar bola matanya malas. “Nggak usah ngalihin pembicaraan, deh. Nggak bakalan mempan. Nabila juga ogah kali sama lo. Cause Asep is always treat her like a queen everytime, and he’s better than you. Periodt.

“Masa?” Ghandi tak percaya.

Najmi yang menjadi penumpang kapal nomor satu Nabila Asep pun melotot. “You should know, kalau Asep tuh dulu, waktu kuliah, dia termasuk salah satu cowok paling ganteng se-fakultas teknik empat angkatan di Usakti!” Najmi tidak bohong kalau perihal ini.

Di universitas jaket biru tua itu, Septian Dwi Cahyo termasuk salah satu kaum adam yang tampangnya sungguh di atas rata-rata. Bahkan, banyak sekali orang yang sampai bertanya pada Nabila dengan candaannya seperti, “Pasang susuk di mana aja lo, Nab?” atau “Pake dukun mana, Nab? Manjur amat jampe lu.” tanpa tahu bahwa sesungguhnya kalimat itu benar-benar dapat membunuh rasa percaya diri yang Nabila punya.

Tapi sekali lagi, dia adalah Nabila. Yang mentalnya sekuat baja, yang rasa percaya dirinya melebihi Burj Khalifa. Tak ada yang dapat menggoyahkan gadis itu hanya dengan perkataan tidak menyenangkan yang sedemikian rupa. Toh, buktinya Asep lah yang tergila-gila. Dan lelaki itu pula yang selalu meyakinkan padanya, bahwa, “You’re so pretty, Nabila. You make me feel so glad for having someone like you by my side, and you deserve every single happiness in this world. You’re so fuckin’ precious even though salt looks like sugar, who the fuck care? I love you more than everything, and I will love you in every universe.”

Dan ya, sebagai sahabat yang sama sekali belum pernah dicintai sedalam itu oleh seorang laki-laki, membuat Najmi selalu kesurupan reog alias menggila. Dia saja salah tingkah bukan main kala mendengar pesan suara dari Asep yang diteruskan oleh Nabila untuknya kala itu. Lalu, bagaimana dengan Nabila? Mungkin gadis itu akan selalu ditemukan tidak berdaya di dalam kamarnya selepas Asep alias Septian kerap memberikan kata-kata indah dan pujian untuk sang kekasih hati. Lelaki itu selalu bisa meyakinkan Nabila untuk tetap percaya diri dan tidak kehilangan jati dirinya sendiri. Meski kadang dia harus menggunakan google translate terlebih dahulu demi mengartikan ucapan dan ketikan Asep, tak apa. Yang penting ia bahagia.

Maka dari itu, Najmi sangat mendukung hubungan sehat yang terjalin di antara keduanya. Tak akan ia biarkan kapal tumpangannya karam karena dimasuki oleh penyusup yang berniat untuk merusak. Tak terkecuali meski orangnya adalah Ghandi.

And for your information, dia juga sepupunya Mas Adib asal lo tau!” sambung Najmi dengan senyum aneh diiringi tarikan kedua alisnya yang serempak dinaik turunkan.

“Si Nabila?”

“Ya bukanlah! Asep-nya.” Tak terbayang oleh Najmi akan betapa canggungnya hubungan keluarga besar mereka nanti kalau Ghandi dan Nabila sempat bersatu dan direstui semesta. Septian ‘kan sepupunya Adibya!

Ah, khayalan Najmi terlalu jauh! Hubungnnya dengan Adibya saja masih belum terikat apapun kecuali komitmen masing-masing. Malah berani sekali otak gadis itu memikirkan yang tidak-tidak.

Ghandi mencebik. Ia masih saja mau terlibat dengan percakapan randomnya kali ini. “Katanya ganteng, tapi kok namanya jadul gitu?”

Najmi sungguh tak terima kala pacar temannya mendapat kritikan cukup pedas dari Ghandi. “Dih? Jadul-jadul gitu dia bermartabat! Daripada gaul dan modern, tapi akhlaknya keterbelakangan kayak tinggal di jaman Megantropus, buat apa?!” Lagi-lagi Najmi menyindir Ghandi. Lelaki itu tahu siapa maksud adiknya ini. Tapi tidak menutup kemungkinan pula bahwa memang banyak orang di luaran sana yang kadang akhlak dan namanya tidak sejalan.

“Udah deh, stop bahas Nabila Asep, bisa?” pinta Najmi kemudian. Padahal yang selalu mengagung-agungkan Asep dan Nabila sedari tadi adalah dia. Ghandi hanya bertanya.

“Lo nggak mau nyamperin dia apa? Ya… hitung-hitung say good bye before about all of your story with the one-and-only ‘princess’ yang will be finished… at the end, I guess? Katanya ‘kan mau move on?” sindirnya lagi.

Ghandi hanya merotasi enggan. Semalaman suntuk ia juga sudah memikirkan hal ini. Maka telah ia putuskan untuk tetap melanjutkan ajang move on-nya dengan ketegaran hati, dan pendirian jiwa yang kuat.

“Samperin dulu, sana. Mumpung dia lagi sendirian.” Tanpa pamit, gadis itu malah meninggalkannya terlebih dahulu. Ayunan kaki membawa Najmi menuju tempat di mana Adibya tengah menikmati makanan tradisional, kue basah. Mulai dari putu ayu, getuk lindri, bakwan, lemper, sampai berbagai macam kue pada beberapa tampah anyam itu memang terlihat menggugah selera. Namun karena dia harus menjaga pola makannya, Adibya jadi tidak bisa memakan makanan manis terlalu banyak. Toh, ia juga tidak terlalu suka.

“Hai, hehe…. ” Gadis itu cengar-cengir saat menghampiri Adibya yang tengah mengunyah lemper ayam.

Pemuda matang itu membalasnya dengan senyuman lebar beserta pipi kanan yang sedikit menggembung karena masih sibuk mengunyah. “Makan?” ucapnya kemudian menawarkan.

Pikrian jahil pun seketika muncul di benak Najmi. Gadis itu mengangguk semangat. “Mau yang mana?” balas Adibya dengan gelagat ingin mengambilkan.

“Mau yang itu,” sahut Najmi menunjuk onde-onde sebagai pilihannya. Adibya pun menyanggupi sembari mengambil sebuah piring kecil yang memang disajikan untuk menyantap kue tradisional. “Apa lagi?” tanyanya dengan tangan yang sudah selesai menaruh sebutir onde-onde.

“Sama putu aya aja, udah.” Adibya mengangguk, kemudian menyerahkan piring tersebut setelah mengambilkannya untuk Najmi. Padahal, yang menjadi tuan rumah saat ini adalah gadis itu. Tapi malah Adibya yang tampak sedang menjadi pemilik acara.

“Suapin.”

“Hah?”

“Suapin.”

Kedipan mata Adibya bergerak lambat. Menandakan bahwa ia tengah bingung dan terkejut dengan apa yang barusan Najmi ucapkan. Ia masih mencerna jalan pikiran gadis tersebut yang tiba-tiba malah minta disuapi di tengah ramainya keluarga dan kerabat yang bersuka cita.

Melihat wajah Adibya yang masih setia terpampang bingung pun akhirnya membuat Najmi melontarkan tawa kecil. “Candaaa!” ucapnya kemudian meraih piring pemberian Adibya.

Sial. Baru kali ini ada perempuan yang sengaja berani mengusilinya seperti ini. Melihat bagaimana santainya Najmi menelan kue basah tersebut, tak membuat Adibya mengalihkan pandangannya pada sang gadis. “Padahal tadi mau saya suapin beneran.”

Najmi tersedak. Kini gilirannya yang kaget karena ucapan tersebut terlontar dari mulut seorang Adibya Lofarsa. Padahal, tadi dirinya memang hanya sedang ingin bercanda. Mana mungkin Najmi berani pamer keromantisan di hadapan khalayak ramai begini? Ia masih belum punya nyali yang cukup tinggi!

“Mas Adib aja sini aku suapin. Mau?” Najmi pantang kalah. Dia malah mengambil potongan putu ayu yang telah dibagi dua menggunakan garpu kecil.

“Aaa!” Adibya masih mengunci mulutnya rapat. Ia masih bingung harus mangap atau tetap mingkam saja untuk kali ini. Namun tangan Najmi yang masih setia menggantung di depan mulutnya itu, membuat Adibya mau tak mau harus membuka mulut. Gestur mangap yang Najmi tunjukkan untuk segera membuatnya menerima suapan pun telah berubah menjadi pura-pura ikut mengunyah. Seperti menyuapi balita saja.

“Nyam, nyam, nyam… pinternyaaa….” ucap Najmi sembari mengusap lembut kepala belakang milik Adibya.

Najmi tidak tahu saja bahwa ada Ghandi yang menatap malas dengan sudut bibir kanan atas ikut dinaikkan cukup tinggi. Adiknya begitu cringe. Begitu pula di mata orang-orang yang juga tak sengaja memperhatikan. Tapi bisa-bisanya Adibya malah bersemu dengan ujung telinga yang memerah bukan main.

“Ah, payah!” ujar Nabila yang tak jauh dari tempat mereka berdiri, menyahuti kegiatan dua insan tersebut.

“Bung Adib lemah!” sambung Bahar ikut-ikutan. “Masa nggak disuapin balik?” candanya menggoda dua insan yang tengah dimabuk asmara.

Najmi pun hanya menanggapinya dengan tawa. Sementara Adibya hanya tersenyum canggung sembari mengusap tengkuknya. Tak lupa, putu ayu itu ia kunyah agar bisa tertelan meski rasanya susah karena cukup gugup.

Kalau saja orang-orang punya kemampuan mendengar bunyi infrasonik, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan protes sebab detak jantung Adibya yang terlalu berisik. Dia berdebar terlalu kencang. Namun bisa-bisanya Najmi malah terlihat biasa saja dengan candaan-candaan yang dilontarkan untuk mereka.

“Dah, yuk, Dib. Balik kantor.” Tiba-tiba saja Bahar mengajak karyawan yang berprofesi sebagai sekretarsinya itu untuk lekas kembali ke tempat kerja. “Nanti siap Jumat saya ada schedule sidang ‘kan?” sambung Bahar.

Adibya mengangguk membenarkan lalu merapikan kemeja batik berbahan dasar biru lembut dengan corak berwarna biru gelap tersebut. Najmi memang memberitahu lelaki tersebut tentang dress code yang ia pakai agar sesuai. Biar nanti kalau foto bersama, Najmi dan Adibya jadi tampak serasi.

“Cepet banget, Om?” tanya Najmi sedikit berat hati. Kalau di kantor panggil Pak, maka di luar itu ia tetap memanggil Bahar dengan sebutan Om. Toh, dia datang ke sini sebagai seorang sahabat. Bukan rekan kerja Khaffa.

“Cepet apanya? Udah satu jam kita di sini. Lagian acara papimu juga nggak bakalan lama-lama. Sebentar lagi bubar. Jumat, soalnya. Waktu pendek.” Bahar menunjuk jam pada pergelangan tangannya tersebut, memberitahu.

Padahal, Najmi masih mau berlama-lama untuk menghabiskan waktu dengan Adibya. Namun apalah daya, pekerjaan dan tanggung jawab masing-masing masih harus didahulukan.

“Nanti jangan lupa kirim foto kita yang ada di HP kamu, ya?! Om mau posting ke Facebook. Biar update!” pinta Bahar pada Najmi.

Pria itu memang sering membagikan kabar terbarunya di situs sosial media yang satu itu. Dia sangat aktif di sana. Apa saja diunggah. Mulai dari selesai sidang di mana hari ini, pertemuan apa yang sedang ia datangi, acara tokoh ternama siapa yang tengah ia hadiri, perkara apa saja yang telah ia menangkan, sampai cupang baru jenis apa yang akan bermukim pada akurium yang ada di dalam ruangannya pun turut diunggah tanpa keraguan. Selagi itu tidak merugikan pihak manapun, Bahar akan membagikan momennya di sana. Mengabadikan.

“Kalau gitu saya pamit dulu, ya?” Adibya pun ikut pamit pada Najmi sebelum mengikuti langkah Bahar yang berjalan ke arah di mana Khaffa dan Anggun duduk menyalami para tamu. Sementara, Jafar, yang kini menjadi bungsu di keluarga kecil itu sibuk berbicara dengan para sepupunya. Perlu diingat, bahwa ini memang ranah kuasa remaja tersebut. Ia telah belasan tahun hidup di rumah ini.

Najmi mengangguk pasrah, lalu mengikuti Adibya dan Bahar. Ia berjalan dengan Nabila yang mengikuti di sampingnya. Karena tak mau terlibat kegundahan hati, Najmi pun mengajak sahabatnya berbicara.

“Lo kenal Pak Bahar sejak kapan, Nab?” bisiknya bertanya penasaran. Pasalnya, ia tidak tahu pasti kapan Nabila bisa seakrab itu dengan sosok Bahar yang notabenenya adalah pengacara ternama. Setahu Najmi, Bahar memang sering berurusan membuat akta otentik dan surat-surat penting lainnya di kantor notaris milik Khaffa. Tapi ‘kan Nabila belum sampai empat bulan magang di sana. Mana mungkin hubungannya bisa sedekat ini!

“Udah lumayan lama dah. Beliau pan temen almarhum bokap gue.”

“DEMI APA LO?!” Nabila langsung menutup telinga kirinya karena suara Najmi yang sungguh menghantam koklea dengan sangat tidak ramah. Adibya saja sampai menoleh kaget akibat gelombang suara yang Najmi ciptakan.

Gadis itu meringis malu, lalu memberi gestur agar Adibya kembali melihat ke arah depan saja. “Bisa biasa aje kaga, njir? Nikah belum, udah budek aje nih ntar telinga gue gegara lo!” gerutu Nabila mengusap daun telinganya.

“Terus almarhum bokap lo temen bokap gue juga dong?” tanya Najmi mengabaikan gerutuan Nabila.

“Ya kaga lah. Emang semua temen Pak Bahar kudu temen bokap lo juga?”

“Ya…. nggak sih,” jawabnya kemudian.

Tak lama, mereka sampai di tempat Khaffa dan Anggun yang tengah bersuap-suapan nasi kuning. Mengundang candaan dari mulut Bahar dan Najmi yang merasa cukup iri. Lihat saja, nanti akan ia pastikan kalau acara pernikahannya dengan Adibya jauh lebih romantis dari akad kedua orang tua ini.

“Gua mau balik dulu, nih, Om!” pamit Bahar kemudian pada Khaffa.

“Kebelet amat, Om?”

Pertemanan dua manusia aneh ini, syukurnya telah dimaklumi oleh mereka sejak lama. Bestie dari zaman penjajahan itu memang saling memanggil Om antara satu sama lain.

“Biasalah, full schedule. Kan orang sibuk, Brader!” sahut Bahar berlagak dengan iringan tawa yang kemudian menguar.

“Sumpah, ternyata masih ada yang lebih prik daripada kita.” Itu Nabila, yang berbisik pada Najmi sahabatnya.

Gadis itu hanya terkekeh lalu mengalihkan pandangannya yang menangkap gerak Adibya menoleh pada sosok Ghandi. Lelaki itu, berjalan dengan raga yang masih belum termaafkan baginya, Puja. Mereka turut mendekat karena melihat gelagat perpisahan yang akan segera terlaksana. Tampaknya, Ghandi telah selesai berbicara.

Najmi hanya diam. Bahkan untuk menatap pun rasanya ia enggan. Maka dari itu ia memilih melengos dan menarik ujung baju Adibya. “Mas,” panggilnya pelan.

“Iya, kenapa?” responnya cepat. Namun tolehan yang mencari wajah Najmi untuk dilihat itu hampir saja menimbulkan tragedi, lagi. Rupa dua insan yang rupawan tersebut hampir beradu kala Adibya terlalu menunduk, dan Najmi yang terlalu dekat dengan sedikit mendongak.

Nabila yang melihat itu langsung menahan tawanya dengan memainkan lidah di dalam mulut hingga menimbukan gembungan pada pipi kanannya. Sementara Ghandi, dia langsung melirik ke arah Puja yang ada di sampingnya. Gadis itu, turut menyaksikan hal barusan.

“Maaf,” ucap Adibya lalu mundur satu langkah kecil. Dia tidak menyangka kalau akan sedekat itu jaraknya dengan Najmi. Sementara itu, Najmi mengangguk pelan demi menutupi salah tingkahnya.

Tak perlu waktu lama, acara salam-salaman sebelum berpamitan itu telah selesai. Namun belum benar-benar usai untuk seorang Adibya Lofarsa. Sebab, masih ada yang mau ia sampaikan pada sosok Khaffa.

“Pak,” panggilnya saat Bahar sudah terlebih dahulu jalan meninggalkan.

“Iya kenapa, Nak Adib?” Najmi yang memang dasarnya penasaran atas apa yang akan lelaki itu ucapkan pun ikut berdiri mendengarkan.

“Saya mau minta izin bawa Najmi keluar nanti malam, boleh?”

Bagai hidup di taman bunga, gadis yang disebut namanya oleh Adibya pun langsung mendadak mekar. Ada sesuatu yang meletup-letup dari dalam dirinya bak petasan. Jutaan kupu-kupu bahkan seolah tengah berterbangan di dalam perutnya.

Ah, baru kali ini rasanya dia diajak jalan namun dimintai izin langsung kepada sang papi. Najmi sungguh merasa dihargai dan dijaga setengah mati.

“Mau ke mana emang?” tanya Khaffa tak mau terlalu cepat memutuskan.

“Mau ajak Najmi keliling kota, sambil ngobrol sama saya.” Sekarang, Najmi mengerti. Ini tentang trauma yang belum ia ceritakan pada Adibya.

“Boleh, tapi pulangnya harus sebelum jam sembilan. Bisa?”

“Bisa, Pak.” Adibya menyanggupi, Khaffa pun menyetujui. Najmi yang berdiri hanya cengar-cengir dengan rasa yang tengah berbunga-bunga di hati.

Setelah benar-benar pamit pada Khaffa, Najmi pun mengantar Adibya hingga ke parkiran halaman depan. Bahar dan Puja telah menunggunya di dekat mobil.

“Sampai jumpa nanti malam,” bisik Adibya sebelum meninggalkan Najmi yang semakin bersemu. “Saya jemput jam tujuh, di rumah kamu.”

Lalu, lenyap. Najmi hanya melambai sekejap sebagai balasan atas klakson yang Adibya bunyikan sebelum benar-benar menghilang dari hadapannya.

Tuhan, jadi begini rasanya jatuh suka terlalu dalam? Pertemuan mereka memang singkat, namun keduanya saling memikat dan terikat.

Najmi dan Adibya, semoga harap mereka akan segera terkabul setelahnya. Tak apa perlahan, asal mereka akan tetap berakhir bersama, hingga selamanya.

Narasi 24 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet