Jejak Saka

rofenaa
11 min readMay 27, 2022

--

Omelan tak sabaran itu memenuhi gendang telinga Lino. Irvan dan Nuel tak ada habis-habisnya mengeluh pada lelaki tersebut. Sebab, mereka sudah berjalan kaki sejak sepuluh menit yang lalu. Gerobak yang mereka tumpangi itu bannya bocor.

“Kalian tunggu di sini aja, ya?” Begitu ucap relawan senior itu saat meninggalkan mereka di pinggir jalan kecil yang sepi ini. Mau beli minum dulu, katanya.

Namun sudah lima belas menit berlalu, ia masih tak kunjung datang. Membuat Irvan yang tak bisa kepanasan pun sudah memerah bak kepiting rebus. Kulit putih bersihnya sudah tak lagi tampak seperti susu. Bahkan jas seragamnya pun sudah ia lepas sejak bermenit-menit lalu demi memberi ruang udara pada kulit.

Namun sayang, di sekitar sini tidak ada tempat berteduh.

“Udahlah, kita pesen grab aja buruan. Badan gue udah nggak tahan!” Irvan mengipasi tubuhnya dengan lengan jas sekolah miliknya itu.

Hari memang semakin petang. Namun mentari masih saja betah memancarkan sinar ultravioletnya yang begitu menyengat. Entah sedang dalam fenomena alam apa yang tengah terjadi, tapi tampaknya memang akhir-akhir ini cuaca lebih panas dari biasanya.

Lalu, karena sudah tak mau lagi berdebat, Lino pun menyanggupi. Ia raih ponselnya untuk memesan taksi online menuju rumah Irvan. Sebab, lelaki itu maunya demikian. Ia tak mau kembali ke rumah baca. Badannya sungguh benar-benar butuh obat yang biasa ia konsumsi disaat-saat seperti ini.

Namun, lagi-lagi tampaknya nasib sial masih setia mengerubungi kelompok mereka. Sebab, baru saja Lino hendak mengeluarkan ponsel, dua orang preman bertato dengan tubuh cukup kekar itu berjalan menghampiri mereka. Tindik yang tertancap diberbagai macam tempat pada tubuh mereka itu menambah kesan menyeramkan.

Ah, sial! Di antara mereka tidak ada yang terlalu jago berkelahi kalau preman itu bermacam-macam. Ada sih, Irvan. Tapi dia sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

“Widih, anak sultan nyasar nih kayaknya?” Salah satu mulai bersuara. Lino, Nuel dan Irvan otomatis merapatkan tubuh mereka bertiga. Mengambil ancang-ancang kalau orang tersebut hendak bermacam-macam.

“Ngapain lu pada di mari?!” Yang satu lagi bersuara. Mematri badan mereka dari atas sampai bawah tanpa terlawat barang sesenti.

Dari ujung kaki sampai ujung kepala, terlihat elite. Meski dipenuhi peluh dan wajah sedikit lecek, tetap saja, aura orang kaya tidak akan pernah lepas dari para pemuda tersebut. Terlebih, dengan seragam yang tampak berbeda dari sekolah pada umumnya itu, mereka memang menjadi target paling tepat untuk diperas dan dipalak.

“Bagi duit, dong! Asem nih mulut gua!” Namun satupun masih belum ada yang menanggapi. Mereka semua masih terdiam dengan berbagai macam ancang-ancang dalam pikiran.

“Woi! Budek apa lu pada?!” kesal pria bertato yang berbadan paling besar.

“Ya kalau asem, kenapa minta duitnya ke kita?” jawab Lino memberanikan diri. “We are not your mom!” sambungnya. Meski ia tahu, bahwa kalimat terakhirnya kemungkinan besar tidak akan dimengerti oleh orang seperti mereka. Tapi bisa ia lihat, bahwa dua orang itu mulai tampak semakin menyeramkan karena mendapati Lino yang berani menjawab. Mereka tidak senang.

“Oo, lu berani sama kita?!” bentaknya hendak meraih kerah seragam Lino. Namun belum sempat dicengkeram, pemuda itu sudah memberi sorak pada kedua temannya.

“LARI!!!” Kemudian, tiga pemuda itu berhasil lari pantang-panting tanpa arah. Yang penting, mereka bisa segera kabur dari dua preman tersebut.

Di depan, Nuel yang paling kencang larinya itu pun memimpin. Ia hanya berlari sesuai langkah kakinya mengarah. Melalui warung yang sudah tutup, rumah reot, dan gang-gang kecil. Sedang di belakangnya, Lino dan Irvan juga berlari secepat yang mereka bisa. Nuel tak tahu pasti, tapi sepenglihatannya yang hanya sepersekian detik menoleh kebelakang, Lino menarik lengan Irvan agar tidak tertinggal dari pelarian mereka. Sementara, tak jauh di belakang sana, dua preman tersebut masih saja tampak mengejar.

“Anjing, Lin! Gue udah nggak sanggup!” Dengan napas yang sudah satu-satu dan dada begitu sesak, Irvan mengeluh pada temannya itu.

Dalam langkah seribunya, Lino menoleh pada Irvan. Dan benar saja, wajah Irvan semakin memerah karena merasa tubuhnya kian memanas akibat berlari tanpa arah seperti ini.

“LINO INI KITA MAU KEMANA LAGI ANJING?!!” Nuel di depan sana juga bersorak. Ia memimpin pelarian, namun tak tentu kemana jalan ini mengarah. Setidaknya, mereka harus tiba di pemukiman yang banyak penduduknya. Dengan begitu, mereka bisa meminta bantuan dan perlindungan pada orang-orang yang masih memiliki rasa kepedulian dan kemanusiaan.

“WOI, LU KAGA BAKALAN BISA KABUR DARI KITA!” Di belakang sana, preman itu bersorak. Membuat kaki Lino seolah dipecut agar berlari kian kencang. Tak lupa, tetap ia tarik lengan Irvan agar tetap tak tertinggal.

“Anjing, Lin! Kalau tau jadi begini mending tadi gue gak usah ikutan bangsat!” Irvan, meski sedang sekarat, dia masih tetap mengumpati nasib mereka saat ini. Rasanya ia mau berhenti saja. Namun ia juga tak mau habis ditangani oleh para preman tersebut.

“BANG, LEWAT SINI!!!” Tiba-tiba, entah datang dari mana, suara tersebut seolah menjadi penyelamat nyawa mereka di tengah desakan keadaan.

Lelaki yang mungkin tak jauh berbeda umurnya dari mereka itu bersorak dari sisi gang sebelah kiri yang lebih kecil. Karena tak ada pilihan lain, Nuel pun berbelok tajam diikuti oleh Lino dan Irvan. Di depan mereka, pemuda dengan seragam putih abu-abu itu menuntun ke arah yang mungkin lebih jelas. Empat pasang kaki itu melesat melewati parit, lubang jalanan, tumpukan kayu, dan rintangan lainnya.

Napas Irvan semakin terengah-engah. Paru-parunya sudah sangat sedikit menerima asupan oksigen. Pula langkah kaki yang tak lagi kuat kian gemetar, sampai membuat Irvan rasanya mau mati.

“Lin, gue nggak sanggup lagi!” Langkah Irvan melambat, membuat Lino turut melambatkan kecepatan larinya pula.

“Dikit lagi, Van! Sumpah, dikit lagi! Lo jangan pingsan dulu!” Irvan tau lelaki itu sedikit bercanda. Tapi sungguh, badannya sudah panas luar biasa.

“Woi!” Lino yang akhirnya paham kalau Irvan benar-benar sudah tidak sanggup pun bersorak memanggil Nuel dan pemuda penolong tersebut.

Mau tak mau, dua pemuda itu berbalik. Akhirnya, sebisa mungkin mereka bertiga memapah Irvan dengan kecepatan lari yang tak begitu cepat karena terhalang pergerakan.

Syukurnya, dua menit kemudian mereka telah memasuki pemukiman yang ramai. Orang-orang pinggiran telah mulai pulang ke rumahnya masing-masing. Namun ada pula yang masih menggendong hasil mulung mereka untuk segera di jual agar bisa dijadikan uang guna membeli beras dan keperluan lainnya.

“Gus, kenapa nih?!” Dia Marbun, si Penguasa Jalanan yang pernah Senan temui bersama Arsaka dulu.

“Ini Bang, ada yang ngejer abang-abang ini tadi di Gang Bakti II.” Sembari mendudukkan Irvan di sofa yang sarungnya sudah kucel, pemuda bernama Gus itu menyahut demikian.

“Anjrit, siapa yang ngejer?!” kesal Marbun yang tidak suka kalau ada preman yang mengganggu orang lain. Bahkan, dia sendiri, sebagai kepala preman dari seluruh wilayah pinggiran dan pasar tradisional, terminal, sampai ke seberang kota sana, pun, tak pernah sekalipun ia mau mengganggu. Terlebih, dengan para siswa yang berseragam sama dengan milik orang yang pernah menyelamatkannya, Marbun sungguh tak suka.

“Terus ini kenapa?” tanya Marbun saat melihat Irvan tampak sekarat. Lelaki itu menggelinjang sesak dan kepanasan. Wajah dan telinganya bahkan sudah hampir menyerupai wayang Cepot, alias sangat merah. Lino yang panik bersama Nuel pun segara melepas dasi Irvan dan membiarkan seragam kemeja yang sudah basah dengan peluh itu terbuka. Semua kancingnya sudah dilepas hingga hanya menyisakan singlet berwarna putih pula.

“Gus, panggil Iwan buruan! Pinjem mobilnya buat bawa ni orang ke rumah sakit. Keburu mati ntar kalau dibiarin di sini!” Lantas, pemuda itu segera belari. Entah kemana, Lino dan Nuel tak tahu. Yang jelas, napas mereka yang masih ngos-ngosan dengan kaki begitu lemas ini masih mengkhawatirkan keadaan Irvan.

“Van, lo masih denger gue, kan?” tanya Lino setengah panik. Sesekali, Irvan terbatuk, lalu mengangguk kecil. Ia masih mencoba menikmati kipasan Lino dan Nuel pada tubuhnya. Bermodal kertas koran dan triplek kecil, setidaknya ia sedikit merasa sejuk meski tak banyak membantu. Sebab, yang ia butuhkan saat ini adalah oksigen dan obatnya. Bukan hanya angin dan udara segar.

Marbun menoleh ke arah dari mana pemuda ini tadi berlari. Tapi tak ada yang tampak menyusul. Mungkin orang itu tahu, bahwa ini adalah markas besar Marbun dan kawan-kawan. Orang dengan kepribadian buruk itu tidak akan berani memasuki wilayah mereka.

Tak selang berapa lama, pemuda bernama Gus itu sudah datang bersama pertolongannya.

“BANG!” panggilnya begitu.

Marbun pun segera mengangkut tubuh Irvan ke dalam mobil. Tubuh kekar dan tegap itu tak butuh bantuan Lino dan Nuel. Ia hanya sendirian menggendong Irvan agar segera dibawa ke rumah sakit terdekat.

“Abang yang berdua, buruan sini!” Gus memanggil Lino dan Nuel agar segera naik. Dan tiga orang itu pun kini berakhir dengan duduk di dak belakang mobil sayur tersebut. Tak ada pilihan lain, sebab kalau memakai taksi konvensional pun tidak akan mungkin. Tempat ini jauh dari jangkauan transportasi tersebut. Sedang di depan sana, Irvan, Marbun dan Iwan duduk di dalam. Mereka segera menuju ke rumah sakit.

Lima menit berlalu. Lino yang akal sehatnya baru bisa menalar setelah terdesak oleh keadaan, ia pun melepon Arsaka. Memberitahu pria tersebut bahwa mereka dalam situasi yang begitu di luar ekspektasi.

Di seberang sana, Arsaka yang memang sedang menunggu kedatangan tiga temannya itu dengan lekas memberitahu Nuraga agar turut lekas menyusul mereka ke rumah sakit. Situasi ini benar-benar di luar ekspektasi mereka semua.

“Makasih, ya? Lo udah nolongin kita banget.” Nuel pun membuka percakapan kala Lino masih sibuk bertukar suara dengan Arsaka dan Nuraga.

“Sama-sama, Bang,” jawabnya dengan senyum yang tersungging. Lalu, mata Nuel turun ke arah sepatu lawan bicaranya. Di tengah hembusan angin senja dan padatnya jalan raya, Nuel tak lagi peduli kondisi mereka.

Namun, sepasang sepatu itu menarik perhatiannya. Pemuda yang sedari tadi dipanggil Gus tersebut menggunakan sepasang sepatu yang Nuel tahu bahwa harganya lumayan mahal. Ia tentu hapal mana barang asli dan mana barang palsu.

Namun, karena tak mau berlama-lama, Nuel kembali mengarahkan pandangannya pada tubuh pemuda itu. “Nama gue Nuel. Nama lo siapa?”

Lino yang saat itu baru saja selesai menutup telepon, pandangannya langsung tertarik saat mendapati Nuel yang kini mengulurkan tangannya pada pemuda penolong tersebut. Perlu diingat, bahwa temannya itu termasuk ke dalam orang-orang yang jarang mau mengajak orang lain berkenalan. Maka dari itu Lino sampai heran.

“Agusman, Bang. SMA 8,” jawabnya menyambut uluran tangan Nuel. Lelaki itu mengangguk. Pantas saja sedari tadi dia dipanggil Gus, begitu batin Nuel kira-kira.

“Gue Lino.” Kini Lino lah yang ikut berkenalan di tengah perjalanan mereka. Agus pun mengangguk dan meyambut uluran Lino pula.

“Anak Garuda ya, Bang?” tebak Agus kemudian.

Lino mengangguk, “Iya, Garuda Pancasila.” Hampir semua orang tahu bahwa seragam yang tengah ia pakai saat ini adalah milik SMA Garuda Pancasila.

Agus pun mengangguk. Ia cukup senang setiap melihat seseorang menggunakan seragam sekolah tersebut. ”Kenapa? Lo ada kenalan di sana?” tanya Nuel membaca gerak-gerik Agus.

Agusman hanya diam. Namun setelahnya, ia pun mulai berbicara. “Beberapa bulan yang lalu, ada orang baik yang ngasih sepatu ini ke saya.” Lino dan Nuel turut menunduk kala Agus menatap sepatu yang kini tengah terpakai apik di kakinya. Tampak cocok dan pas.

“Saya nggak kenal dia siapa, tapi tiba-tiba, di satu gang yang sering saya lewatin tiap pergi dan pulang sekolah, hari itu dia ada dia di sana. Nungguin saya dengan sepedanya yang nampak gagah. Nggak jauh beda juga sama parasnya.” Mereka pun mulai mendengarkan cerita Agus dalam perjalanan menuju rumah sakit.

“Awalnya saya nggak tau dia siapa. Tapi saya tau betul sama seragam yang dia pakai. Saya pikir, semua anak Garuda itu cuma berisi orang-orang kaya yang sombong dan angkuh. Tapi setelah bertemu dia hari itu, pandangan saya berubah.” Agus menepuk pelan sepatunya yang sedikit kotor. Sepatu yang telah menemaninya untuk menjadi sosok yang lebih berbudi dan berani itu tak boleh rusak. Dia sangat berharga.

“Namanya Saka.” Lino dan Nuel langsung tersentak. Apa Saka yang dimaksud Agus adalah teman mereka? Arsaka Laksana? “Dia udah kasih sepatu ini secara cuma-cuma buat saya yang hanya orang asing. Tapi setelah hari itu, saya nggak pernah ketemu dia lagi. Padahal saya belum sempat berterimakasih dengan cara yang benar.”

Lino dan Nuel semakin penasaran setengah mati. Benarkah dugaan mereka saat ini?

“Jadi, setiap saya lihat ada orang yang pakai seragam Garuda, bawaannya senang. Seolah-olah, saya lagi lihat pahlawan yang sudah melepaskan saya dari ledekan teman sekolah karena masih pakai sepatu bolong waktu itu. Makanya, waktu tadi saya nggak sengaja lihat abang-abang bertiga lari pontang-panting, saya tolongin. Anggap aja, selain memang rasa kemanusiaan yang masih saya punya, saya juga mau balas budi sama Bang Saka. Itu aja.”

Nuel dan Lino hanya bisa terpaku. Otak mereka masih sama-sama berprasangka pada satu orang.

“Abang-abang kenal dia nggak ya kira-kira? Saya cuma mau ketemu lagi sama dia. Mau berterimakasih banyak.” Padahal hanya sepatu. Tapi siapa yang tahu, kalau pemberian itu benar-benar menjadi berkah untuk kehidupan orang lain.

“Nama panjangnya siapa?” tanya Lino memastikan.

Namun Agus menggeleng. “Saya nggak inget. Padahal waktu itu saya baca name tag-nya. Mungkin karena hari itu terlalu senang, saya jadi lupa.”

“Dia cuma bilang, namanya Saka. Itu aja,” sambung Agus.

Nuel yang tak mau mati penasaran pun segera mengeluarkan ponselnya. Menggulir layar sentuh tersebut sampai akhirnya ia menemukan sebuah foto yang pernah diambil kala pengasingan dulu.

“Yang ini bukan orangnya?” tanya Nuel memperbesar foto tersebut. Agus yang melongokkan kepala ke arah ponsel Nuel itu pun menatap cerah. Ia mengangguk begitu gusar dengan raut yang tampak begitu bahagia.

Akhirnya, setelah sekian lama mencari, dan menanti takdir agar segera kembali mempertemukan mereka, Agus pun kini mendapat harapan untuk bisa menemui lelaki baik hati itu. Lewat orang yang tak sengaja ia temui saat pulang sekolah ini, ia akhirnya bisa bertemu dengan sosok Arsaka Laksana, pahlawannya.

“JADI BENER YANG INI?!” Lino dan Nuel begitu kaget kala dugaan mereka benar-benar akurat. Agus pun demikian. Sebenarnya ia juga sedikit kaget kala mendapati bahwa orang ini bahkan tampaknya adalah teman dekat Bang Saka.

“Iya, Bang. Bener.” Begitu jawab Agus menutup percakapan. Sebab, di depan sana, mereka sebentar lagi mamasuki gerbang UGD.

Ah, Arsaka Laksana. Namanya itu tak hanya tenar di kawasan sekolah dan kalangan para wanita. Tapi ia juga begitu tersohor di kalangan masyarakat menengah ke bawah seperti ini. Membuat Nuel dan Lino jadi semakin penasaran, hal baik apa saja yang pernah ia tebarkan pada setiap sudut wilayah ini? Mengapa seolah-olah begitu banyak orang yang tampak menyayangi lelaki tersebut?

Kalau saja hari itu Arsaka tidak memberikan sepatu pada Agus, mungkin ia tidak akan pernah mau menolong mereka. Namun hanya karena satu kebaikan Arsaka, siapapun orangnya, apalagi berasal dari SMA Garuda Pancasila, pasti akan Agus bantu semampu yang ia bisa.

“Arsa, kenapa kebaikan lo kayak nggak ada celah?” suara hati Nuel ikut ambil peran. Sembari menunggu Irvan ditangani di dalam ruangan tersebut, otaknya masih saja dikuasi ribuan pertanyaan.

Kenapa orang sebaik itu pernah ia benci? Kenapa anak malang itu pernah berhasil membuatnya iri setengah mati? Padahal, perlakuan semesta tampak begitu tidak adil kepadanya. Tapi tetap saja, pemuda itu menerima segalanya dengan lapang dada.

“Lu kenal Saka kaga?” Tiga pemuda itu menoleh cepat. Bahkan Agus pun tidak tahu kalau lelaki yang dulu pernah menyelamatkannya dari pemalakan, ikut terkaget. Selama ini ia benar-benar tidak tahu kalau Marbun mengenal nama tersebut.

“Gue manggilnya Saka Anak Garuda. Orang-orang di terminal sama pasar juga manggilnya begitu. Kali aja lo kenal ama dia. Konco gua soalnya!” Mereka dibuat kian terkaget-kaget. Arsaka yang selalu sabar dan tenang dalam menghadapi segala keadaan itu nyatanya berteman dekat dengan orang-orang yang mungkin citranya tampak buruk oleh orang dari kalangan atas. Termasuk orang-orang seperti mereka.

“Duh, itu anaknya bae bener asli. Siapa aja dibantu. Heran gue ama tu orang.” Bahkan orang yang terlihat sangat menyeramkan itu tengah memuji-muji kebaikan Arsaka.

“Kalau bukan nginget dia pernah nolongin gua sama temen-temen lain, beuh, mungkin gua juga kaga mau repot-repot bantuin lo pada. Untung lo pake seragam Garuda, jadi gua bisa makin yakin buat bantuin. Tapi kalau kaga, mungkin gue kudu mikir lima kali buat bantuin lu pada.”

Tampaknya, secara tidak langsung mereka harus berterimakasih banyak pada jasa Arsaka yang meninggalkan begitu banyak jejak baik untuk diikuti.

Hal-hal kecil yang pernah ia beri dan hadiahi, harus diapresiasi dan dihargai. Maka dari itu, tampaknya Lino dan Nuel harus melakukan hal itu. Terlebih, mereka harus memberitahu pada Irvan. Sebab, yang tengah dipertaruhkan nyawanya ada di dalam sana. Kalau temannya itu selamat, berarti secara tak langsung pula, Arsaka telah menyelamatkan nyawa Irvan dari segala kemungkinan terburuk.

Aliansi Garuda Melegenda

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet