Ringisan kepedihan melantun tanpa henti. Tamparan dan libasan yang ia terima sangatlah menyakiti diri. Pula ujung bibirnya terasa begitu perih akibat sedikit robek karena pukulan yang menimpa.
Kalau saja dirinya tidak diikat seperti ini, mungkin Alvaro bisa melawan dan mempertahankan dirinya. Tapi sayang, pergerakannya dikunci dengan kuat oleh seutas tali nan panjang dan kokoh. Ikatannya begitu kencang hingga turut melukai pergelangan.
“Harta ini milik Jihan kamu bilang?!” Tatapan jengah terlihat kentara pada sorotnya.
PLAK!!!
Tamparan yang begitu keras pun kembali menggagahi wajah Alvaro. Lelaki tua tersebut benar-benar tidak memiliki hati. Pada buah hatinya sendiri, dia bahkan tega melakukan hal ini.
“DASAR ANAK BODOH!!!”
PLAK!!!
Satu kalimat yang terucap dari mulut Fadel, maka satu tamparan pula untuk Alvaro setelahnya.
“NGGAK BERGUNA!”
Alvaro memejamkan matanya seerat mungkin. Pukulan yang ia terima begitu teramat kuat. Andai saja Jihan ada di sini, maka mungkin tidak akan pernah nasib buruk ini menghampiri dirinya.
Mata yang biasanya menatap tajam itu, kini terlihat sayu. Binar yang terdapat pada netranya, pula tampak redup. Dadanya sesak sekali. Ingin menangis, tapi ia tak mau tampak lemah di hadapan lelaki tersebut. Ingin berteriak, tapi tenaganya sudah tak lagi cukup.
“Kamu kira, selama ini saya cuma bisa diam?” tanyanya dengan sorot merendahkan. “Tidak, Alvaro. Bahkan saya bisa melakukan hal yang lebih dari ini.” Nyatanya, Fadel memang tak selunak apa yang Alvaro kira. Lelaki tua itu pendendam, persis seperti dirinya.
Lihat saja, setelah ini, setelah dirasa memiliki kekuatan dan kekuasaan, Alvaro pastikan dirinya akan melawan tanpa ampun. Akan ia robohkan segala tiang yang menjunjung tinggi keangkuhan Fadel. Tidak peduli meski lelaki itu adalah ayah kandungnya sendiri. Dendamnya sudah terlalu dalam, dan bencinya sudah terlalu jauh.
“Sekarang terserah kamu. Ingin tetap saya biayai sampai pendidikanmu selesai, atau saya cukupkan semua pengeluaran untukmu, termasuk pengeluaran untuk perempuan itu. Bagaimana?” Fadel mulai kembali menawarkan pilihannya terhadap sang anak yang sudah tertunduk layu tanpa tenaga.
“Kalau masih ingin dibiayai, berarti kamu harus tetap mengikuti perintah saya. Kedokteran UI, dan rangkingmu tidak boleh turun. Paham?!”
Alvaro hanya mengangguk pelan. Kali ini dirinya mungkin terlihat lemah. Tapi jauh dari yang Fadel kira, ada rencana akbar yang tengah dirinya persiapkan. Kalah, kemudian menjadi pemenang yang sesungguhnya adalah tujuan Alvaro. Akan ia jatuhkan lelaki tersebut di waktu yang tepat.
Dirasa puas dengan perbuatan dan jawaban yang ia terima dari Alvaro, Fadel pun memerintah orang bawahannya untuk melepaskan ikatan. Ia lemparkan kunci mobil tersebut pada Alvaro. Mini Cooper yang dulu Fadel berikan sebagai kado ulang tahun, yang sempat akan berpindah hal milik ke tangan Jeffan, maka kini ia kembalikan. Janjinya ia penuhi.
Derap langkah perlahan menghilang. Segala barang bukti seperti tali dan ikat pinggang telah dibawa pergi oleh orang suruhan Fadel. Pula kursi yang ada di ruang makan apartemen milik Alvaro pun telah dikembalikan ke tempat semula. Fadel ingin di ruangan ini seperti tidak ada kejadian apapun. Tak boleh ada yang tersisa kecuali luka yang ada pada raga Alvaro.
Dengan sekuat tenaga, dirinya yang terbaring pada karpet ruang tengah tersebut mencoba untuk bangkit. Perlahan Alvaro merangkak menuju sofa. Tapi rasanya, ia tak lagi kuat. Perutnya keram. Kakinya juga perih akibat libasan ikat pinggang. Tak lupa tangan yang luka akibat ikatan yang begitu mencengkram erat. Ujung bibir yang tampak merah, serta wajahnya yang perlahan dipenuhi lebam, kini benar-benar membuat Alvaro tak lagi bisa menangis. Bahkan untuk meringis pun, rasanya ia sangat sulit.
“Dunia nggak sebrengsek apa yang kamu kira, Alvaro. Ada begitu banyak ruang bahagia yang semesta berikan untuk manusia. Mungkin belum hari ini, tapi saya yakin, kelak, bahagia itu sendiri lah yang akan menjemput kamu.”
Entah mengapa, lagi-lagi ingatannya kembali pada dini hari di kontrakan Arsa. Percakapan dirinya dengan Jeriko kembali terngiang. Tak pula dapat ia pungkiri, bahwa kala itu hatinya menghangat. Bincang-bincang yang sebelumnya tak pernah ia rasakan, Jeriko berikan rasa nyaman itu pada diri Alvaro. Andai, Jeriko adalah ayahnya. Maka Alvaro Marfellio akan menjadi manusia paling beruntung di atas muka bumi ini. Tapi sayang, nyatanya, Jeriko hanyalah seorang ayah angkat dari sosok Arsaka laksana yang berprofesi sebagai guru BK di sekolahnya.
“Saya ini bukan sekedar guru BK biasa.”
Kalimat tersebut tiba-tiba menghantam otaknya. Alvaro kembali disadarkan oleh kenyataan. Kepalan tangannya pun kemudian kembali menguat. Siapakah Jeriko sebenarnya?
Pertanyaan demi pertanyaan pun menggagahi isi kepala. Pusingnya kian menjadi-jadi. “Gue nggak bakalan mati,” ucapnya dalam hati.
Alvaro sangat bertekad bahwa ia akan menuntut ketidakadilan ini. Akan ia tumpas semua kesenjangan yang ia terima. Pula tak lupa, ia pasti akan membalaskan rasa sakit Jihan dan dirinya ini pada Fadel beserta keluarga bajingannya tersebut. Pasti, tanpa kenal dengan kata ragu.
Lima menit sibuk dengan kecamuk polemik kehidupan, pandangan Alvaro pun semakin berkunang-kunang. Pikirannya melayang-layang. Mungkin sebentar lagi dirinya akan kehilangan kesadaran. Semoga, setelah ini ada orang yang datang mencari dirinya. Meski menurut Alvaro, hal tersebut bisa saja masuk dalam suatu ketidakmungkinan.
“VARO!!!” Entah untuk yang keberapa kalinya, Senan memanggil sembari menekan bel dan menggedor pintu apartemen Alvaro. Tapi tetap saja, bahwa hal tersebut tak memiliki hasil. Sepanjang panggilan, hanya deru napas dan detak jantungnya saja yang semakin terdengar keras.
“Sa, lo tunggu di sini.” Tanpa aba-aba, Senan meninggalkan Arsaka di depan pintu apartemen Alvaro.
“Eehhh, mau kemana?” tanya Arsa bingung.
“Ke bagian security-nya dulu, bilang aja urgent!” Tapi Arsaka dengan lekas mencekal lengan Senan. “Apalagi?” tanyanya.
“Arsa tau kata sandinya,” jawab lelaki itu sedikit ragu. Senan pun dibuat melotot tak percaya.
“SUMPAH LO?!”
Arsaka pun mengangguk. “Waktu belajar di sini, aku nggak sengaja liat Alvaro masukin pin apartnya. Kita balik dari mini market,” singkat Arsa menjelaskan.
Mendengar tuturan Arsaka yang demikian, sudah dapat dipastikan bahwa emosi Senan berada di puncak ubun-ubun. “KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI?!!” geramnya bukan main.
Arsaka sampai terperanjat sebab suara Senan yang begitu kencang. Telinganya ikut berdengung. Padahal, Arsaka hanya takut menjadi seseorang yang lancang sebab masuk ke rumah orang tanpa izin. Tapi tetap saja, Senan kesal. Apa lelaki itu bisa menepikan rasa sungkan dan attitude-nya itu terlebih dahulu? Ini dalam keadaan mendesak. Tentu Senan marah padanya. Ingin sekali lelaki itu acak-acak rambaut Arsaka dengan kuat. Namun urung, karena pintu apartemen kini telah terbuka.
Langkah tergesa kian terdengar jelas saat dua pemuda tersebut melihat sepatu Alvaro yang tergeletak tak karuan. Terlebih, sepatu itu hanya satu. Bukan sepasang.
“Astaghfirullahalazim, Alvaro!!!” Ucapan tersebut terdengar menyentak. Arsaka sangat terkejut melihat penampilan Alvaro yang tampak kacau. Seragam batik sekolah mereka bahkan masih melekat di badan lemah tersebut.
Dengan cepat, mereka segera mendekati raga Alvaro yang terbaring di dekat sofa. Senan ingin menepuk untuk membangunkan, namun urung saat melihat wajah dan sekujur tubuh lelaki itu tidak baik-baik saja.
“Sen,” Arsaka memanggil Senan dengan sorot penuh tanda tanya dan kebingungan.
Namun Senan yang sibuk memeriksa denyut nadi dan detak jantung Alvaro hanya diam tanpa suara. Tangannya sibuk bekerja. Deru napas Alvaro pun sangat lemah. Lelaki ini sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.
“Arsa, ambulans!” Senan tiba-tiba memerintah Arsaka dengan wajah panik. Bekal yang ia dapatkan selama menjadi ketua PMR di sekolah, serta ajaran dari ibunya yang berprofesi jadi dokter, membuat Senan langsung dapat membaca situasi darurat seseorang.
Tanpa banyak tanya, Arsaka langsung menelpon ambulans untuk segera datang ke lokasi. Resah pun kian melanda dirinya. Khawatir Alvaro kenapa-napa. Pula, bagaimana bisa pemuda itu jadi seperti ini? Kemana Alvaro yang kuat itu? Kemana Alvaro yang kokoh yang Arsa kenal? Kenapa lelaki ini bisa terbaring tak berdaya? Ada apa sebenarnya?
Selang beberapa menit, bunyi serine ambulans pun terdengar. Keadaan apartemen bahkan menjadi sedikit rusuh. Penghuni bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang sakit? Siapa yang darurat medis? Namun pertanyaan hanya tinggal pertanyaan. Raga Alvaro sudah masuk ke dalam ambulans bersama dua temannya pula.
“Bodoh! Kenapa kamu bisa kalah?!”
Tanpa aba-aba, ingatan Arsaka terseret pada hari dimana dirinya resmi mengalahkan Alvaro sebagai rangking satu parelel bertahan di Garpa. Hari itu, kalimat tersebut diiringi dengan sebuah tamparan telak. Bahkan Alvaro dengan tega ditendang oleh pria tersebut.
Mata Arsaka memanas. Hatinya sakit saat mengingat seorang ayah tega menyakiti anaknya sendiri. Kalau kali ini tebakannya benar, maka Arsaka tak bisa tinggal diam. Akan ia laporkan hal ini pada Pak Jeriko. Bukankah yang sangat mereka prioritaskan itu adalah Alvaro Marfellio? Maka, tak akan ia biarkan pemuda ini disentuh barang sedikitpun oleh orang jahat. Begitupula dengan pasukan Garuda Melegenda lainnya. Arsaka bersumpah, dirinya akan menjadi malaikat penjaga mereka semua.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe