Kebenaran

rofenaa
8 min readJan 27, 2022

TW // Kenakalan remaja

Sesampainya di ruang BK, lagi, Arsaka sudah mendapati Alvaro dan Yusuf yang duduk berseberangan. Namanya Yusuf Ridho, juara tiga di kelas unggul 12 Bahasa 1. Tentu saja juara pertama dan kedua diduduki oleh Immanuel dan Ratu.

Di sana, selain mereka bertiga, ada Pak Jeriko, wakil kesiswaan, dan wali kelas masing-masing. Pembina asrama juga ada di sini sebagai penanggungjawab lokasi kejadian.

“Sekarang Bapak mau mendengar suara dari kalian.” Jeriko menghentikan putaran rekaman cctv yang ada di laptop. Ditatapnya bergantian Alvaro dan Yusuf. Sebab ia sudah mewawancarai Arsaka dua puluh menit yang lalu. Meski Arsaka adalah anak angkatnya, kalau di sekolah tetaplah menjadi seorang siswa. Tak ada sama sekali Jeriko berniat untuk membeda-bedakan perlakuan terhadap muridnya. Begitupula dengan para guru lainnya.

SMA Garuda Pancasila, mereka sekolah swasta nan sangat bergengsi. Tentu para pengajarnya harus memiliki kualifikasi pendidikan yang tinggi dengan kecakapan di atas rata-rata. Bukan hanya ilmu, tapi mereka juga mengajarkan moral kepada siswanya. Guru itu bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik dan membimbing anak muridnya.

Jika di sekolah lain dapat ditemukan adanya pembedaan perlakuan siswa terhadap satu sama lain oleh oknum guru ataupun jajaran petinggi sekolah serta karyawan, maka akan dipastikan bahwa di SMA Garuda Pancasila tidak ada yang demikian. Tak ada si kaya dan si miskin. Satu-satunya perbedaan yang sangat kentara hanyalah murid yang sangat pintar dengan murid pintar lainnya.

Kelas unggul. Itu satu-satunya perbedaan yang bergengsi di sini. Kecerdasan intelektual yang dipandang. Namun meskipun demikian, hak siswa tetap terpenuhi dan terbagi sama rata. Sistem yang dibuat demikian tentu bukan hanya sembarang tujuan. Banyak hal yang telah dipertimbangkan secara matang. Dan sistem ini buktinya berjalan efektif hingga sudah sepeluh tahun lamanya bertahan.

Kembali pada Alvaro dan Yusuf, dua orang itu terlihat sangat berbeda dengan rautnya. Jika Alvaro bersikap tenang tanpa beban, maka ada Yusuf yang terlihat resah dan gelisah.

“Bapak mau dengar dari Yusuf dulu,” tutur Jeriko pelan, “Gimana, Yusuf? Kalau Bapak boleh tau, tadi pagi, kamu ngapain masuk ke arah dapur?” lanjutnya bertanya. Yusuf pun terdiam cukup lama.

“Saya ambil minum pak,” jawabnya pelan. Jeriko pun mengangguk paham. Namun kepalanya menoleh saat mendengar suara kekehan Alvaro yang duduk di samping Arsaka.

“Yakin lo cuma ambil minum?” Alvaro bertanya dengan manaikkan alis camarnya, mentap penuh arti pada si pemilik nama yang sangat mulia tersebut.

Rekaman cctv yang ditunjukkan tadi hanyalah rekaman dari ruang tengah asrama menuju dapur. Sebab katanya, di dapur memang tidak dipasang kamera pengawas tersebut.

Yusuf menelan ludahnya sebentar. Seketika senyum aneh itu terpancar dari wajah Yusuf. “Setelah saya minum dan hendak pergi, saya lihat Alvaro masuk ke dapur dan aduk-aduk bubur buatan Arsaka, Pak.”

Arsaka yang mendengar itu hanya menghela napasnya pelan. Sementara Alvaro yang tak terima dituduh demikian pun menatap nyalang dan menggebrak meja. “GAK USAH MEMUTAR BALIKKAN FAKTA DEH LO!!” bentak Varo sembari menunjuk kidal lelaki berwajah pongah tersebut.

Semua yang ada di sana tentu terkejut mendengar amukan Alvaro yang tiba-tiba meninggikan suara sembari menggebrak meja. Terlebih, anak itu adalah siswa terbaik di sekolah ini. Alvaro selalu terlihat berwibawa dan pendiam. Tapi siapa sangka, karena perihal ini, mereka dapat melihat sisi lain dari seorang Alvaro Marfellio.

“Alvaro... ” Arsaka mendesis pelan. Bahkan ia dengan berani menarik lengan seragam Alvaro agar kembali duduk bersandar di punggung sofa sebagai tanda peringatan.

“Maaf, Pak, Buk.” Arsaka merendahkan tubuhnya tanda permintaan maaf mewakili Alvaro yang tengah emosi. Sedang Pak Jeriko hanya mengangguk dan menghela napasnya berat. Menatap sedikit kecewa pada salah satu muridnya.

Tampaknya ini memang harus diselesaikan saat ini juga. Agar tak ada lagi nama yang menjadi korban atas tindakan kaum remaja yang seolah tak berpendidikan ini. Dengan begitu, Jeriko pun kembali mengotak-atik laptopnya. Lalu ia putarkan rekaman lain yang belum dilihat oleh ketiga siswa tersebut.

Betapa terkejutnya Arsa saat melihat bahwa memang Yusuf lah yang berbuat hal jahat itu. Hal yang membahayakan nyawa teman-temannya. Arsa mungkin tak terlalu peduli jika namanya tercoreng karena sudah dianggap sebagai tersangka utama. Tapi tidak dengan keselamatan tiga temannya itu. Arsaka sungguh tidak akan rela jika ada yang sampai meregang nyawa.

Alvaro tersenyum penuh kemenangan. Karena sejatinya, kebenaran akan selalu bersama orang-orang yang jujur.

Lihat saja rekaman video itu terputar. Meski tidak jelas, di sana terlihat Yusuf yang memasukkan sesuatu ke dalam seperiuk kecil bubur buatan Arsaka yang masih bertengger di atas kompor dapur asrama. Rekaman itu berasal dari kamera pengawas yang mengarah ke bagian taman belakang asrama. Cctv itu memang tidak secara langsung menyorot dapur secara tepat. Tapi tentu sekolah sudah merancang ini dari awal. Mereka tentu melakukan penjagaan ketat terhadap berlian dan permata mereka. Kenyamanan dan keselamatan adalah nomor satu. Tapi siapa sangka, yang mereka kira para siswa akan mendapatkan gangguan dari luar, nyatanya malah serangan dari dalam. Musuh dalam selimut rupanya.

Untung saja, kamera itu diletakkan pada sudut yang tepat sehingga dapat menangkap kegiatan di dapur meski tidak terlalu jelas.

Yusuf bungkam. Wajahnya memerah akibat malu. Bibirnya juga pucat karena mungkin merasa takut dan was-was terhadap hukuman yang akan diberikan sekolah untuknya. Tangannya yang cukup gemetar itu ia sembunyikan dengan menautkan keduanya untuk dikepal.

“Jadi, apa alasan kamu melakukan hal itu?” tanya Pak Jeriko pada Yusuf. Sedangkan guru lainnya masih diam karena ini masih ranah tanggungjawab Jeriko. Pembicaraannya masih belum usai.

Yusuf gelagapan. Ia ditatap dengan tatapan penuh selidik. Namun berbeda dengan Alvaro. Tatapannya seolah menghunus dan menghujam seluruh tubuh Yusuf. Ingin sekali ia eksekusi remaja nakal ini. Berani-beraninya mencelakai teman-teman Garuda Melegenda.

Alasan jajaran guru tersebut tidak ada satupun yang memarahi Alvaro saat menggebrak meja tadi, ya, itu, mereka sudah tahu faktanya bahwa Alvaro tidak bersalah. Yusuf lah yang berbohong.

“Yusuf, sekali lagi Bapak tanya, kenapa?” Jeriko mengulang pertanyaan sebab Yusuf yang masih munutup rapat mulutnya.

“Karena saya, Pak.” Tiba-tiba seorang siswi yang membuka pintu ruang BK itu berbicara demikian.

“Anya!” Yusuf menoleh dan bersuara. Lelaki itu menegur si perempuan. Tapi gadis bernama Anya itu memilih tak peduli. Dia malah melanjutkan langkahnya ke dalam ruangan.

“Lo—” ucap Alvaro tertahan. Ia ingat gadis ini. Mereka pernah satu kelas saat kelas sepuluh dulu.

Dia, Anya Kinanti, siswi rangking 25 yang harus lengser dari kelas unggul karena kehadiran Arsaka di kelas mereka.

“Kamu kembarannya Yusuf, kan?” tanya Pak Jeriko pada Anya. Gadis itu mengangguk gusar. “Iya, Pak. Saya kembarannya. Saya yang lebih tua,” jawab Anya tanpa ragu.

“Kalau Bapak dan pihak sekolah mau menghukum Yusuf, maka hukum saya aja, Pak. Karena memang saya yang menyuruh Yusuf melakukan hal itu.” Anya mencoba meyakinkan pihak sekolah agar percaya pada ucapannya.

“Anya,” Yusuf menegur kembarannya itu. “Enggak, Pak. Saya melakukan hal itu atas dasar inisiatif sendiri.” Yusuf tampaknya tak mau Anya menanggung hukuman dan memperkeruh suasana.

Sementara Arsa, dia hanya bisa mengamalkan tangannya. Kepalan itu menguat saat Yusuf berkata dengan jujur sebab sakit hati melihat Anya yang selalu menangis karena dimarahi oleh kedua orangtua mereka. Itu semua dikarenakan Anya yang lengser dari kelas unggul tanpa pernah lagi bisa menjadi bagian dari duapuluh lima siswa yang terpilih. Semua hasil usahanya selama ini dianggap sampah oleh mereka. Tentu Yusuf tak terima.

Hampir dua tahun Anya demikian. Dan menurut Yusuf, itu semua karena Arsaka. Saudaranya jadi menderita. Yang Yusuf mau, Arsaka menjadi jelek namanya. Yang Yusuf ingin, Arsaka menjadi semakin dibenci oleh Garuda Melegenda, si penguasa markas sekolah mereka.

Arsaka hanya diam. Ia menunduk dalam-dalam. Rasanya sangat iba saat mengingat begitu banyak orang yang menderita karena prestasinya. Ya Tuhan, haruskah Arsa merasa kecewa pada dirinya?

Saat itu, bahkan ia menyaksikan Alvaro ditampar dan ditendang oleh ayahnya sendiri. Hari setelahnya, Arsaka menyaksikan Irvan yang harus pergi ke sekolah menggunakan motor karena mobilnya yang disita sebab rangking merosot. Dan kini, ia tahu, bahwa ada yang lebih menderita karena prestasi dirinya selama hampir dua tahun ini.

“Kalau gitu ceritanya, Arsa betul-betul minta maaf ke Anya sama Yusuf. Demi Allah, Arsa gak pernah ada niat apapun untuk membuat orang-orang di sekitar Arsa menderita.”

“Maaf banget kalau gara-gara prestasi Arsa, Anya sama Yusu— mphh!?

Semuanya lumayan melotot saat Alvaro tiba-tiba menyumpal mulut Arsa dengan telapak tangannya yang lebar. Kalau dengan senggolan dan injakan sepatu tak membuat Arsa berhenti, maka tidak ada cara lain bagi Alvaro selain membungkam mulut Arsa dengan tangan kanannya sendiri.

Sungguh, Alvaro benci kata maaf yang keluar dari mulut Arsa. Kata maaf itu harusnya mereka terima dari Yusuf dan Anya, kenapa malah jadi Arsa yang meminta maaf?

“Bukan salah lo karena dia yang lengser! Dan juga bukan salah lo kalau orangtua mereka yang gak bisa terima! Paham?!” Alvaro menatap berang pada obsidian coklat gelap milik Arsaka. “Jadi gak usah minta maaf!” Bungkaman itu pun terlepas dari bibir Arsaka. Alvaro mengelapkan tangannya ke celana sebab liur pria itu yang menempel di telapaknya karena sempat terkena gigi Arsa saat hendak membungkam.

Apa yang dikatakan Alvaro memang benar. Hal itu tentu diluar kendali Arsaka. Bukan kuasanya kalau sudah begitu. Yang jelas, Arsa sudah memberikan hasil terbaiknya. Dia bersaing secara sehat dan berkualitas. Bukan bersaing secara murahan dan sampah seperti yang dilakukan Yusuf kepadanya.

“Malu woi sama nama! Malu-maluin pejuang agama aja lo!”

“Alvaro!” Jeriko menegur agar Alvaro tidak melebihi batas. Tapi apa daya? Alvaro itu meski pendiam, dia jago berdebat.

“Lho, kenapa Pak? Apa saya salah? Saya yang non muslim aja tau kisah Nabi Yusuf, Pak.” Semua terdiam. “Beliau dikenal sangat penyabar dan memiliki hati mulia. Wajahnya tampan 'kan Pak, seperti yang selalu diceritakan guru PAI?” Alvaro ada benarnya.

“Nama tuh doa. Harusnya lo bertanggungjawab sama nama lo sendiri. Kalau rasanya gak sanggup mencontoh, paling enggak ya malu sama role model lo. Gak malu apa orangtua lo ngasih nama se-mulia itu tapi kelakuan anaknya malah begini?”

Alvaro tak habis-habisnya mendebat Yusuf. Tapi lelaki itu hanya bungkam. Sebab apa yang Alvaro ucapkan adalah benar adanya.
“Alvaro, udah,” tegur Arsa yang tak mau Alvaro semakin membandingkan Yusuf yang ini dengan Nabi Yusuf yang terdahulu. Yang mana beliau adalah pilihan Allah dalam menjalankan perintah-Nya. Tentu sangat berbeda level mereka. Terlebih, yang Arsa tahu, Alvaro juga bukan pemeluk agama Islam seperti dirinya. Alvaro itu Katolik. Sama seperti Nuraga. Tapi toleransinya sungguh luar biasa.

Dan pada akhirnya, setelah hampir dua jam berdebat dan saling berbagi pendapat serta bernegosiasi, keputusan pun diambil.
Mau bagaimana pun Yusuf dibela oleh Anya, lelaki itu tetap mendapatkan hukuman diskors selama satu minggu dan dipanggil orangtuanya hari ini atau paling lama besok. Hal itu juga termasuk sebagai tindakan dari sekolah untuk memperbaiki hubungan antara anak dan orangtua Yusuf-Anya.

“Boleh saya minta salinan videonya, Pak?” tanya Alvaro pada Pak Jeriko. “Untuk apa?” sahut Jeriko balik bertanya. Tentu video ini tidak sembarangan untuk disebarluaskan. Berbahaya jika jatuh ke tangan orang yang salah.

“Ada satu dua kesalahpahaman yang terjadi dalam pertamanan saya gara-gara dia.” Alvaro melirik malas pada Yusuf yg masih duduk tertunduk. “Mereka gak bakal percaya kalau gak ada bukti,” sambung Alvaro.

Pak Jeriko tersenyum. “Kalau mereka gak percaya, suruh mereka mendatangi Bapak. Pintu ruangan ini terbuka lebar. Karena untuk video, Bapak tidak bisa membagikannya sembarangan.”
Alvaro hanya diam mendengarkan. Ia mengerti. Lalu setelahnya, Arsaka dan Alvaro pun berdiri karena urusan mereka dirasa sudah selesai. Hanya Yusuf dan Anya yang akan mendapatkan bimbingan konseling lanjutan setelah ini.

“Oh iya, Pak, Buk. Saya gak sudi sekamar lagi sama dia di asrama. Jadi harap kebijaksanaannya. Entah dia yang keluar, atau saya yang dipindahkan ke kamar lain. Terimakasih.”

Kemudian lengang. Alvaro sudah terlebih dahulu melangkah meninggalkan ruang BK. Arsaka pun membuntutinya dari belakang.

“Astaghfirullah!!! Kaget... ” Arsa menghela napas sembari memegang dada kirinya saat Alvaro tiba-tiba berbalik dan menatapnya penuh kesal.

“Bego!” Setelah mengatakan itu dan mendorong pelan jidat Arsaka dengan telunjuknya, Alvaro kembali melanjutkan langkah lebarnya dan meninggalkan Arsaka. Ia masih kesal karena pria itu meminta maaf atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat.

Bahu itu merosot pelan. Arsa hela napasnya berat. Sulit sekali menjadi manusia yang mudah merasa bersalah terhadap orang lain.

Aliansi Garuda Melegenda
By Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet