Kelam Sempurna

rofenaa
5 min readMar 5, 2023

--

Adibya sudah mencoba untuk menerima alur kehidupan yang dipersembahkan oleh alam raya untuknya. Ia selalu belajar ikhlas atas segala yang telah terjadi. Hikmah di balik hal buruk menjadi fokusnya. Mau seberapa sakit hatinya, Adibya akan tetap berusaha mengerti, bahwa segala yang dibebankan padanya pasti bisa dihadapi. Karena Tuhan, tidak pernah salah dalam memilih pundak.

Tetapi untuk kali ini, segenap jiwa raganya merasa lelah. Sukmanya letih membendung segala sesak. Sembuh dari yang lalu saja belum, namun kini malah dihadapkan dengan Najmi yang tak kunjung ditemukan.

Ia yang pagi tadi harus ke kampus dan memenuhi panggilan Dekan fakultas hukum, terpaksa kembali membatalkan kelas siang mahasiswanya hari ini. Semua Adibya lakukan demi Najmi yang berduka namun kembali memilih menyembunyikan lukanya.

Seisi kota sudah ia susuri. Daerah pinggiran yang menjadi tempat mereka sering berbagi rezeki, pun, Adibya tak dapat menemukan perempuan terkasihnya itu.

Sang pria pun menghela napas beratnya berulang kali. Namun mau bagaimana pun, frustasi tak boleh menguasai diri. Sebab saat ini, yang paling penting adalah menemukan Najmi. Tak peduli dengan gemetar raganya. Tak peduli dengan berisiknya isi kepala. Adibya harus bisa menemukan istrinya sebelum petang.

Ia benar-benar takut. Adibya Lofarsa sungguh menaruh khawatir yang luar biasa. Ia tak sanggup kembali hancur apabila terjadi yang tidak-tidak pada Najmi Desra.

Perempuan yang miliki trauma di kala remaja, apa sungguh berani mengendarai benda yang paling ia takuti selama ini? Apa ia tak gentar saat mengingat bahwa anak sematawayang mereka meregang nyawa karena benda yang sama? Meski itu sudah pasti bukan mobil yang Eden kendarai, tetap saja, kan, Najmi pernah dikuasai oleh ketakutan terhadap benda yang sama?

Tetapi, kala jingga mulai membentang, Adibya yang nyaris pupus akhirnya menemukan berlian permata yang dicari-cari. Lilhatlah perempuan itu kini. Istrinya, ibu dari Abbas Tenov Lofarsa yang berpulang di hari ulang tahun itu sama sekali tak terlihat takut. Gemetar pada setiap langkah dan uluran tangan tak Adibya tangkap dalam geriknya.

Najmi Desra, benar-benar berhasil melawan trauma masa lalu yang ia punya. Atau apakah dia hanya sedang berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja?

Adibya tak mengerti.

Yang jelas, ia sangat tahu, bahwa perempuan terkasihnya itu memang suka berbagi. Tetapi kenapa harus di saat yang seperti ini? Ia tampak tersenyum tulus setelah membagikan nasi kotak pada orang-orang yang dilewati. Entah berapa jumlah totalnya Adibya tidak tahu. Yang pasti, dari jarak yang tak terlalu jauh dari tempat ia memperhatikan, Najmi sudah menuju mobilnya. Perempuan itu telah usai dengan kegiatannya.

Adibya tentu berhasil tercengang. Najmi-nya sungguh baik-baik saja akan hal itu? Raut sendunya bahkan tak gentar kala memasuki mobil. Bahkan Adibya sendiri rasanya masih tak bisa menaruh percaya bahwa Najmi sungguh-sungguh mengendarai mobilnya sendirian.

Lelaki itu lagi-lagi tak habis pikir, bahwa Najmi sempat berhenti dan memborong semua roti dari seorang pedagang keliling yang mengayuh sepeda. Tapi yang ia bawa hanya beberapa, selebihnya diamanahkan pada si pedagang untuk membagikan pada orang-orang lewat.

Lantas ketika mobil yang istrinya kendarai mulai melesat, Adibya juga dengan lekas menarik tali gas motornya. Ia harus tahan mengikuti Najmi secara diam-diam agar tidak ketahuan. Sebab ia pun paham, bahwa Najmi juga butuh waktu sendiri untuk melampiaskan luka basah pada hatinya.

Maka, kala semburat jingga telah resmi menguasai belahan bumi yang mereka pijak, Adibya turut menepi saat Najmi memasuki area parkir sebuah taman.

“Najmi …” Adibya bergumam resah kala menyadari taman mana yang istrinya itu sambangi.

Tempat Kejadian Perkara.

Najmi Desra berani sekali menghampiri taman penuh luka dan duka yang menjadi tempat terlindasnya kaki anak mereka … sampai kehilangan nyawa.

Lantas dengan lekas ia parkirkan pula motornya demi mengikuti langkah Najmi yang mulai menjauhi mobil. Tetapi, lagi-lagi yang Adibya tak sangka-sangka, Najmi malah melangkah ke arah area terlarang. Garis kuning polisi bahkan masih menghiasi area tersebut.

“Pak, balonnya tinggal ini aja?” Adibya tentu turut berhenti kala Najmi sendiri sedang berkomunikasi dengan seorang lelaki tua penjual balon. Karakter kartun yang melayang di udara itu menjadi fokusnya.

Nemo. Tidak ada balon karakter Nemo yang Abbas sukai. Najmi pasti mencari karakter tersebut untuk ia beli demi menemani kesedihan.

Tetapi, yang Adibya lagi-lagi saksikan adalah … Najmi memanggil dua orang anak kecil penjual tisu. Raga kecil yang berada di sekitar permpuan itu ia panggil.

“Kamu mau balon nggak?” tawarnya dengan nada lembut. Tentu pada awalnya mereka bingung, tetapi saat Najmi menyambung kalimatnya, barulah dua anak kecil tersebut berani menatap. “Gratis, kok. Tante yang beliin. Mau yang mana?”

Lantas meski sempat waspada dengan Najmi, dua anak kecil tersebut kini tersenyum cerah dan berulang kali berterima kasih kala balon karakter pilihan mereka benar-benar sampai ke tangan secara gratis.

“Makasi, Tante. Makasi banyak.” Lalu lambaian tangan pun dapat Adibya tangkap dengan sangat jelas. Mereka saling melambaikan tangan setelah sempat berbicara dan memborong tisu dua anak kecil tersebut.

Najmi Desra, redakan rasa sedihnya dengan cara yang berbeda. Padahal ia tahu bahwa tisu mereka pasti lah masih banyak. Namun ia ikhlas membeli benda tersebut meski berawal dari rasa iba hati. Dan kini, yang Adibya perhatikan adalah seluruh sisa balon itu malah dipegang istrinya. Najmi berjalan menyusuri taman sembari membagikan balon-balon tersebut secara gratis pada anak-anak yang bergegas untuk pulang.

Dari jauh, Adibya dapat menangkap bahwa Najmi tampak cukup bahagia. Senyumnya mengembang saat anak-anak kecil memeluknya meski sekejap. Najmi bahkan terlihat sangat tulus saat mengusap setiap kepala raga-raga mungil tersebut.

Namun, setelah akhirnya balon tersisa satu dan tak ada lagi anak kecil yang terlihat di area taman, Najmi pun menyeberang.

Ia benar-benar melangkah menuju TKP.

Lantas belasan detik setelahnya, Adibya tahu bahwa Najmi pasti akan menangis. Semua yang ia bendung diluruhkan. Gemetar pundaknya ingin sekali Adibya rengkuh seerat mungkin. Namun lagi-lagi, ia masih memilih untuk memperhatikan istrinya dari ruas jalan yang berbeda. Mereka saling berseberangan.

Andai saja. Andai saja kala itu ia tak berhenti untuk membeli bunga, mungkin Abbas tak akan pergi meninggalkan mereka. Najmi memang kembali dikuasai rasa bersalah. Maka dari itu penyesalan-penyesalannya hanya bisa dilampiaskan melalui isak pilu. Tak sanggup lagi ia untuk berkata-kata. Sedihnya begitu hebat menyayat hati.

Maka, kala Adibya menangkap Najmi yang tak lagi sanggup bertumpu pada tungkainya sendiri, lelaki itu memutuskan untuk menghampiri. Ia sungguh tak tega melihat istrinya menangis tersimpuh sendirian di pinggir jalan.

Namun, entah mengapa, rasanya ia begitu menyesal sudah menaruh percaya pada alam raya. Adibya begitu benci kala rungunya mendengar suara klakson yang sangat kencang. Lelaki itu juga spontan merutuki dirinya sendiri yang tak berhati-hati. Ia telah lalai kala menyeberangi jalan demi menghampiri Najmi.

BRAK!!!

Najmi.

Hanya Najmi yang menguasai seisi kepalanya. Hanya Najmi yang Adibya khawatirkan akan bagaimana istrinya itu setelah ini. Sehancur apa Najmi Desra jika ia juga turut meninggalkan dunia?

Adibya Lofarsa, sungguh memohon maaf yang sebesar-besarnya.

“Mas Adib?”

Lantas gelap sudah dunia mereka. Kelamnya sungguh sempurna. Terima kasih alam raya, atas luka dan duka yang menimpa.

Das Sein, by ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet