Ku terpikat pada tuturmu
Aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
Caramu melihat dunia
Kuharap kau tahu bahwa ku
Terinspirasi hatimu
Ku tak harus memilikimu
Tapi bolehkah ku selalu di dekatmuRAISA — Jatuh Hati (wajib diputar pada saat membaca narasi ini)
Sore ini, sepulang magang, Najmi kembali dijemput oleh sang papi. Jika kemarin karena sedang berada di sekitar sini, maka sekarang beda cerita. Lelaki itu sengaja menjemput anak gadisnya.
“Padahal aku bisa pulang pakai Grab kali, Pi.” Perjalanan yang cukup macet menjadi pemandangan setiap orang. Khaffa yang merasa anaknya tengah protes pun menoleh, lalu mencebik.
“Ya kenapa sih kalau dijemput? Kan kamu tinggal duduk doang, lho? Bukan disuruh dorong mobil,” sahutnya.
“Ya bukannya apa-apa, tapi kalau Papi jemput aku, berarti Papi jalannya muter dong? Kantor kita kan nggak searah?”
“Gapapa lah, ‘kan sambil jalan-jalan sama anak gadis Papi. Bentar lagi kayaknya juga bakal melepas masa lajang. Kapan lagi kamu bisa Papi supirin?” Najmi pun membisu kala Khaffa berkata demikian. Lalu, dihelanya napas pelan sembari mematri wajah sang papi yang ternyata sudah mulai menua dan timbul keriput. Waktu memang berjalan begitu cepat.
“Iya deh, iya. Terserah Papi ajaaa,” sahut Najmi kemudian mengatur sandaran kursinya menjadi sedikit lebih rendah.
“Jum’at ini akad Papi ‘kan ya? Semuanya udah beres?” Dirasa telah nyaman, Najmi pun bertanya dengan tangan yang bersedekap di depan dada.
Khaffa menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Udah dong. Lagian udah tua begini mah nikahnya yang sederhana aja. Yang diundang juga cuma keluarga sama temen deket Papi. Terus bundamu juga begitu.”
“Ya iyalah emang harusnya kudu begitu. Kalau ntar mewah-mewah, yang ada dibilang nggak tau umur sama orang-orang!” Dengan diiringi tawanya yang cukup keras, Khaffa hanya bisa mendelik sedikit sebal. Namun pada akhirnya, ia tetap tertawa karena apa yang dikatakan Najmi barusan adalah sebuah analisis realita.
“Tadi Adibya juga udah kontak Papi,” tutur Khaffa melanjutkan percakapan.
“Oh ya?” Najmi yang penasaran pun lekas menegakkan punggungnya.
Khaffa bergumam, “Hm, Insya Allah nanti datang setelah maghrib sama ayahnya dia.” Pemuda itu memang telah menghubunginya demikian tadi siang. Sesuai janji dan kesepakata dua hari yang lalu, katanya.
“Padahal udah aku larang sih Pi, diundur aja. Soalnya dia ‘kan masih sakit.”
“Lho, sakit apa? Kok nggak bilang?” Khaffa bertanya heran. Sebab dirinya tidak tahu apa-apa perihal ini.
Najmi otomatis melotot horor. “Nggak bilang gimana? Orang kemarin aku udah bilang ke Papi.”
“Kapan?” tanya Khaffa heran.
“Itu, waktu kemarin aku pulang magang mau ke rumahnya si Adib, kan mau jengukin dia dulu. Tapi Papi malah— akh!” Najmi benar-benar meringis kala jidatnya disentil oleh Khaffa secara tiba-tiba. Padahal, ia belum usai dalam berkata.
“IH PAPI KOK NYENTIL AKUUU?” tanya Najmi histeris tak terima.
“Ya makanya yang sopan kalau nyebut nama calon suami. Si Adib si Adib…. kamu pikir kamu sama dia tuh lahirnya barengan?”
Ah, ternyata lagi-lagi perihal panggilan. Najmi berdecak dengan raut wajah yang ditekuk. Namun Khaffa tak kunjung menyelesaikan acara ceramahnya sore ini.
“Dia tuh lebih tua tiga tahun dari kamu, Najmi. Dia juga bukan laki-laki dari keluarga sembarangan yang bisa kamu sepelein gitu aja. Apalagi kita belum tau pasti gimana culture keluarga mereka. Lisan dan sikapmu harus dijaga. Paham?”
Namun bukannya mengangguk saja, Najmi malah mengajukan pertanyaan lain. “Papi tau darimana kalau dia bukan berasal dari keluarga yang sembarangan?”
“Ya dari ceritanya Bahar lah, siapa lagi? Orang dia cukup kenal sama bapaknya Adib.”
“Tapi Papi nggak kenal siapa bapaknya?” tanya Najmi lagi. Khaffa pun kali ini menggeleng. “Ah, padahal aku udah pernah ketemu calon mertuaku, haha….” sambung Najmi dengan tawa sumbang, membuat Khaffa menoleh tak percaya.
“Masa?” tanyanya dengan menaikkan satu alis.
“Lah beneran tau! Waktu hari Minggu kemarin pas Papi ninggalin aku di warung cendol!”
“Oh ya?” Masih dengan raut setengah percaya, Khaffa melirik anak gadisnya.
“Iya, Papiiiiii…. bawel ih!” kesal Najmi pada akhirnya. Namun sang papi hanya mencebik. “Tapi kayaknya oke-oke aja deh keluarganya. Easy going, ya walaupun agak kaku dan alot dikit sih, it’s okay. Nanti bisa diurus.”
Khaffa yang melihat tingkat kepercayaan diri Najmi di atas rata-rata pun meledek. “Semangat banget? Perasaan kemarin-kemarin ada yang minta dibatalin tuh perjodohannya,” sindir Khaffa.
“Dih? Siapa? Aku?” tanya Najmi berpura-pura lupa. Padahal, ia masih sangat mengigat kalau dahulu, ketika awal-awal, dirinya pernah ingin membatalkan perkenalan dengan Adibya. Pula, dua hari lalu, tentu momen yang tak akan pernah lekang dalam ingatannya, bahwa Najmi ingin mundur. Dia telah pamit. Meski pada akhirnya, tidak akan pernah diizinkan lagi untuk pergi.
Di lain sisi, di kediaman Lofarsa yang damai, tentram dan bersahaja itu, kini mendadak ramai hanya karena suara Arrisa yang nyinyir mewanti-wanti pada sang adik. Bahwa, Adibya sangat tidak diperbolehkan untuk melangkahinya dalam urusan pernikahan. Sebab, kala melihat Bapak telah berpakaian rapi di sore hari ini, membuatnya bertanya-tanya. Ternyata, hendak menemui calon besan lain, katanya.
“Pokoknya harus aku duluan yang nikah, baru kamu. Terus kalau kamu mau bikin acara lamaran, nantian aja, pas aku udah kelar nikahan dan balik ke Manado. Calonmu itu harus persiapan dulu.” Adibya lagi-lagi hanya bisa mengangguk dan mendengarkan ucapan sang kakak dengan sangat sabar.
“Iya, Mba Risa, iya.” Lalu setelahnya, Adibya berjalan ke arah ruang tengah demi mencari kunci mobilnya.
“Yuk, Pak. Kita berangkat sekarang. Nanti sholat maghribnya di masjid sekitar komplek Najmi aja, biar deket.” Bapak pun mengangguk setuju.
“Ya udah, ayo.” Mereka pun melenggang pergi menuju garasi. “Kamu jaga rumah, ya, Ris?” sambung Bapak sebelum benar-benar meninggalkan rumah.
“Iya,” sahut Arrisa menurut. Dosen bergelar master itu pun kemudian ikut mengantar Adibya dan Bapak hingga mobil tersebut hilang di balik pagar.
Petang itu menjadi saksi, bahwa meskipun Adibya masih belum sepenuhnya pulih, ia tetap dapat membuktikan kalau dirinya benar-benar serius dengan Najmi. Gadis yang termasuk masih baru dalam hidupnya itu, entah mengapa, rasanya sudah sangat cocok dengan dirinya yang awam akan asmara.
Nyaman mungkin bukan satu-satunya kata yang dapat Adibya gambarkan. Namun setidaknya, Najmi selalu memberikan rasa itu kepada dirinya. Bukan karena disengaja, tapi karena eksistensi gadis itu yang mungkin memang diciptakan demikian oleh Tuhan untuknya.
“Kamu sudah bilang belum sama Najmi, kalau untuk jadi menantu Bapak itu harus ada pelatihan dan evaluasinya dulu?” Dalam perjalanan, Aswin membuka suara. Bertanya akan hal yang selama ini menjadi syarat aneh dari dirinya.
Adibya menggeleng. “Harus, Pak?”
“Ya haruslah. Lagian yang Bapak tes itu bukan yang macam-macam. Tapi ini menyangkut keberlangsungan rumah tangga kalian nantinya,” sahur Aswin santai.
Adibya menghela napas. “Setiap orang itu ‘kan punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing, Pak. Kayak yang dari dulu Bapak bilang ke Adib.”
“Dib, kamu pasti paham tujuan Bapak yang selama ini selektif dalam memilih menantu. Kalau pun nanti Najmi enggak bisa di beberapa bidang, kan bisa belajar pelan-pelan sampai nanti benar-benar sah jadi istri kamu.” Bapak membuka suara, mencoba kembali membuka pikiran sang anak agar dapat memahami tujuannya.
“Toh, Bapak nggak bakalan minta yang macem-macem kok. Bapak cuma mau kamu dapat istri yang supel dan bisa semuanya.”
“Enggak perlu harus jadi perempuan yang bisa menguasai semua bidang dan pekerjaan rumah, Pak. Kalau sekarang aja Najmi udah kelihatan sempurna di mata Adib, semesta bisa apa?”
Bapak langsung memasang wajah speechless. Anaknya yang satu ini sungguh sedang dimabuk cinta. “Sudah kodratnya kali, Dib, perempuan pinter ngurus rumah dan dapur. Lihat kakak-kakakmu,” ujar Aswin kemudian.
“Pak, pekerjaan rumah itu bukan kodrat wanita. Menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui…, itu baru kodrat mereka yang enggak bisa dialihkan ke pihak laki-laki.” Adibya menyanggah argumen Bapak tentang kodrat. Sebab sedari dulu, ia sudah menanamkan hal ini dalam dirinya.
“Pandai dalam hal pekerjaan rumah dan pinter masak itu cuma skill, Pak. Perihal parenting, baru itu kewajiban dari kedua belah pihak. Jadi, jangan tuntut Najmi kayak yang lain ya, Pak? Jangan ukur kemampuan seseorang dan menyamaratakan keahlian yang satu dengan yang lainnya.”
Aswin tertawa renyah. “Oke, kamu lulus seleksi tahap pertama.” Lalu, ia kembali tertawa dan menepuk pelan dada sang anak dengan satu punggung tangannya.
“Maksudnya, Pak?” Adibya tentu bingung dengan sikap dan perilaku Bapak barusan.
“Dib, menikah itu bukan cuma perihal ijab kabul aja. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan dan dipertimbangkan. Kamu pasti tahu akan hal itu.” Adibya mendengarkan sembari mengemudi. Sesekali, ia menoleh demi mendapati wajah Bapak yang berbicara dengan raut serius.
“Dan sebagai orang tua, Bapak yang sudah berpengalaman selama puluhan tahun ini, sekarang cuma lagi ngetes kesiapan kamu dalam rencana membangun rumah tangga, Dib. Kamu pikir, Najmi doang yang bakal Bapak tes kesiapannya? Kamu juga lah! Ada anak gadis orang yang mau kamu ambil dari orangtuanya buat kamu hidupi, buat kamu nafkahi lahir dan batin. Dan kamu bertanggungjawab penuh atas kebahagiaan dia sampai ajal menjemput kamu.”
Adibya benar-benar bungkam kali ini. Bapak sungguh sosok yang bijaksana. Meskipun terkadang caranya selalu terlihat aneh dan membingungkan, tak apa. Nyatanya Bapak tetaplah menjadi superhero nomor satu kebanggaan Adibya sedari dulu.
“Nanti di sana, kamu sampaikan tujuanmu untuk serius dengan Najmi ke ayahnya dia. Karena hadirnya Bapak di rumah itu cuma sebagai penjamin dan pengantar. Kalau urusan restu, Bapak merestui. Siapapun pilihan kamu, kalau menurutmu dia yang terbaik, silahkan. Tapi balik lagi, jangan lupa kalau Bapak bakalan tetap menguji kesiapan kalian baik dengan cara terang-terangan ataupun tersembunyi.”
Petuah Bapak di penghujung hari ini mengalahkan bising kendaraan yang terdengar kian berisik di pendengaran Adibya. Ia mengangguk dan akan mengikuti cara main sang bapak dalam persiapan rencana membangun rumah tangganya.
Semoga, pertemuan nanti akan berjalan lancar, dengan Najmi yang menjawab pertanyaan Bapak sesuai harapan.
Desing kendaraan roda empat dan bunyi pagar yang terbuka membuat Najmi pontang-panting menyelesaikan pekerjaan menata piring di atas meja makan. Dengan lekas, ia rapikan rambut yang sedikit berantakan dan melepas jepitannya. Rambut pendek itu kini sudah terurai seperti biasa.
“Mbok, udah cantik belum?” Wanita yang lebih tua sepuluh tahun dari almarhum maminya itu tersenyum lebar, lalu mengangguk pasti. Ibaratnya, wanita itu adalah sepuh dari seluruh pekerja yang ada di rumah ini.
“Udah. Uni Najmi mah selalu cantik!” jawabnya dengan raut jujur. Najmi yang mendengar hal itu pun langsung mengibaskan sebelah rambutnya dengan bangga.
“Makasi, Mbok! Muach!” Setelah melakukan kiss bye, Najmi langsung ngebirit meninggalkan ruang makan. Tugasnya telah selesai. Maka kini, saatnya menyambut kedatangan tamu spesial.
“Eeeiitss! Mau kemana?” Itu Ghandi. Dia menghalangi sang adik yang hendak berjalan menuju teras depan dengan langkah seribu.
“Mau ke depan lah, apalagi?” Badan yang tadi menutupinya tersebut kini sedikit bergeser. Lelaki itu seolah menunjukkan kalau sang Papi kini telah berjalan masuk bersama dengan dua orang tamu yang dinanti-nanti.
Namun yang membuat mereka bertanya-tanya adalah, Khaffa terlihat sangat akrab sambil tertawa cukup besar saat memasuki rumah. Ditambah lagi, Khaffa dengan entengnya merangkul pundak dari lelaki yang tampaknya lebih tua tersebut.
“Mereka saling kenal?” bingung Ghandi yang kini sudah kembali menatap Najmi.
“Ya mana gue tau?!” balas Najmi menyingkirkan badan bongsor Ghandi agar segera beranjak dari hadapannya.
“Yuk, duduk-duduk…,” ucap Khaffa mempersilahkan tamunya untuk mencecahkan ekor di sofa empuk yang tersedia.
Pandangan Najmi langsung bersirobok dengan milik Adibya yang juga tengah menatap bingung atas pemandangan kali ini. Ia sungguh tak tahu kalau nyatanya orang tua mereka saling mengenal satu sama lain.
Ah, namun kini Najmi tak mau memikirkan hal itu terlebih dahulu. Sebab, wajah cerah dengan surai lembab itu, Adibya sungguh telah berhasil mencuri seluruh atensinya. Terlebih, saat lelaki itu duduk lalu menyugar rambutnya, demi apapun, dia sangat mempesona dengan kadar ketampanan yang bertambah ribuan kali lipat! Najmi sungguh ingin berteriak keras karenanya.
“Jangan lupa mingkem,” bisik Ghandi kemudian ikut duduk di sofa ruang tamu — meninggalkan Najmi yang menganga dan tak mengedip sedari tadi pun menjadi lekas sadar. Gadis itu merapatkan bibirnya, lalu mengerjap-ngerjapkan mata demi mengembalikan kewarasan yang hampir lenyap karena direnggut oleh pesona Adibya malam ini.
“Mi, buruan sini duduk!” titah Khaffa agar anak gadisnya itu duduk tepat di samping Ghandi. Sementara, Adibya dan Aswin duduk di seberang mereka dengan meja yang membatasi.
“Ghan, kamu inget nggak waktu Papi kehilangan dompet hari Jum’at kemarin?” tanya Khaffa pada si Sulung, membuat tiga orang anak-anak tersebut menatap heran. Kenapa tiba-tiba jadi membahas dompet yang hilang?
“Hah? Jum’at kapan?” Ghandi balik bertanya.
“Ya Jum’at kemarin.”
“Emang Papi kehilangan dompet?”
“Iya, yang waktu itu mau berangkat ke masjid.”
“Lah, mana aku tau. Orang kita beda masjid.” Khaffa langsung menepuk jidatnya pelan. Ia lupa kalau dirinya tidak bersama Ghandi saat hendak sholat Jum’at kemarin.
“Iya juga, ya? Lupa Papi,” ucapnya. “Tapi intinya mah, Bapak ini,” lanjut Khaffa menunjuk Aswin. “Beliau yang udah nemuin dompet Papi.”
Semua terdiam, termasuk Adibya. Ternyata, sebelum pertemuan ini, dua orang ayah tersebut telah bertemu dalam sebuah pertemuan yang tak pernah disangka. Dan kini, tanpa pernah diduga, mereka kembali dipertemukan dengan niat yang begitu baik dan mulia. Anak bungsu mereka nyatanya saling mengenal dengan hubungan yang akan dibawa ke jenjang yang lebih serius.
Tak lama, percakapan semakin dibuka dengan rincian cerita dari Khaffa dan Aswin yang asyik mengulik pertemuan berkesan mereka. Waktu itu, Khaffa yang kehilangan dompetnya sudah sangat pasrah. Mulai dari uang tunai hampir satu juta rupiah, KTP, KIS, ATM, dan barang penting lainnya ia coba ikhlaskan saat hendak memasuki masjid. Ia rela jikalau setelah ini harus sibuk mengurus dan melapor kehilangan. Namun siapa sangka, bahwa orang yang waktu itu berdiri satu shaf, dan berada tepat di sampingnya tersebut adalah orang yang menemukan dompet Khaffa. Katanya, ia menemukan dompet tersebut masih di sekitar kawasan perumahannya. Yang berarti, Aswin satu komplek dengan Anggun — calon istri baru Khaffa. Sebab, waktu itu, Aswin ada sebuah keperluan demi membahas kelangsungan akad mereka Jum’at depan.
Selama bercerita, Adibya turut mendengarkan dengan senyum dan tawa tipisnya. Senang kala rasanya dua orang tersebut mudah akrab dan satu frekuensi. Sementara Najmi, bodo amat perihal dompet. Rekah bibir dan raut Adibya lebih menarik untuk ia patri. Senyum dan tawanya yang begitu memikat hati, membuat Najmi senang sendiri hingga melayang tinggi.
Membayangkan ia akan menghabiskan sisa hidupnya dengan lelaki itu, ah, sungguh Najmi semakin jadi tak karuan hanya karena memikirkannya saja.
“Mikir apaan lo?” tegur Ghandi pelan. Ia dapat melihat jelas bahwa Najmi dengan santainya menyender ke lengan sofa dengan posisi tangan yang menampung kepala sebelah kanan. Padahal, pipinya sudah memerah entah karena apa. Makanya Ghandi bertanya dengan volume suara yang hanya didengar oleh sang pelaku.
“Berisik,” sahut Najmi tanpa menoleh sedikitpun. Adiknya itu begitu terang-terangan menikmati pemandangan yang ada di depannya. Sungguh definisi tak mau rugi.
“Ekhem,” deham Aswin saat turut menyadari tingkah sang calon menantu. Sesi berceritanya dengan Khaffa telah usai beberapa detik yang lalu.
Namun Najmi tetap tidak peduli. Ia hanya ingin menikmati setiap pahatan yang tercipta pada indahnya sosok Adibya. Kenapa dia baru sadar kalau Adibya Lofarsa tampak begitu mempesona dengan kulit sawo matangnya?
“Heh!” Khaffa menarik tangan yang menumpu kepala Najmi. Membuat gadis itu oleng, dan hampir membuat kepalanya terantuk lengan sofa yang terbuat dari kayu jati tersebut.
“Papi, ih!” ucap Najmi dengan raut sedikit sebal. Acara menikmati pemandangannya jadi terusik.
“Ganteng banget, ya, Adib-nya?” Seolah deja vu, Najmi kembali mendengar pertanyaan yang hampir sama kala dirinya pertama kali bertemu Aswin di warung cendol dua hari lalu.
“Iya, Pak. Ganteng banget calon suami saya! Hehe….”
“Dih?!” Ghandi sampai malu sendiri mendengar penuturan Najmi barusan. Padahal Adibya belum bicara apapun, tapi adiknya itu sudah pede setengah mampus — sampai berani menjawab pertanyaan Aswin demikian tanpa rasa malu sedikitpun.
Khaffa saja sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. “Lihat, Pak Aswin. Anak saya emang udah nggak ketolong lagi ini mah. Pusing!”
Aswin tertawa kecil, lalu menoleh pada Adibya yang telinganya sudah memerah. Apalagi kalau bukan karena Najmi yang tadi berkata demikian?
“Gimana, Dib?” tanya Aswin sekaligus mengode bahwa anaknya tersebut harus mengambil alih percapakapan ini sekarang.
Adibya berdeham sejenak demi menetralkan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. Sebab, Najmi memang tidak ada habisnya menatap lekat. Nyali gadis itu begitu besar.
“Pertama-tama, terlebih dahulu saya mau meminta maaf secara langsung kepada Pak Khaffa atas kejadian dua hari lalu yang benar-benar di luar dugaan saya sendiri. Saya juga minta maaf karena enggak bisa menghindar dari apa yang Najmi lakukan waktu itu.”
Khaffa menangguk pelan. Namun Aswin yang belum tahu terkait tragedi kecupan singkat dari Najmi tersebut bertanya heran. “Kejadian apa memangnya?”
Ghandi yang bukan ditanya saja menggaruk kepala. Namun bisa-bisanya Najmi malah tersenyum malu sembari melirik Adibya. Sungguh, adiknya itu tampak terlihat seperti perempuan genit.
“Saya nyium bibir Mas Adib, Pak. Tapi abis itu langsung dirawit sama Papi sih, hehe….” Aswin sampai mendelik kala mendengar jawaban Najmi. Pula Adibya yang sedari tadi sudah berbicara dengan pilihan kalimat sebaik mungkin demi menghindari kata kecup atau cium, malah Najmi perjelas dengan sejelas-jelasnya.
“Bibir saya sampai jedir karena dirawit,” sambung Najmi melirik sang pelaku, alias Khaffa. Lalu matanya beralih menatap Adibya dengan nada suaranya yang tadi terdengar seperti mengadu. Namun pemuda itu hanya diam tanpa mau balik menatap intensnya sang gadis memperhatikan.
“Bagus dong! Emang kamu tuh kudu digituin, biar nggak sembarangan nyosor!” ucap Khaffa.
“Ya aku juga bersyukur sih, karena kejadian itu aku jadi bisa cepet-cepet nikah deh sama Mas Adib. Ya ‘kan, Mas?”
“Najmi!” Ghandi menyenggol adiknya itu agar tidak terlalu blak-blakan.
“Apaan sih? Orang bener. Pasti Mas Adib ke sini juga mau menyampaikan niat baik. Ya ‘kan, Mas?” Lagi-lagi, Najmi meminta validasi.
Adibya hanya tersenyum tipis. “Iya. Kedatangan saya ke sini juga mau menyampaikan niat baik saya terkait ketertarikan saya pada Najmi.”
Najmi pun merasa menang. Ia lirik Ghandi yang tadi menegurnya karena berharap sembarangan.
“Tapi mungkin karena kita masih baru banget kenal, saya mau minta sama Pak Khaffa untuk kasih saya waktu agar lebih bisa saling mengenal antara satu sama lain.” Adibya berbicara dengan raut seriusnya kali ini. Nada suaranya terdengar tegas tanpa tersirat keraguan sedikitpun.
“Berapa lama waktu yang kalian butuhkan?” tanya Khaffa kemudian. Ia menatap bergantian antara Najmi dan Adiya.
Sang pemuda diam. Ia masih menunggu jawaban Najmi untuk hal ini. “Kamu butuh berapa lama, Najmi?” Akhirnya Adibya mengeluarkan suara. Ia akan mengikut keputusan Najmi kalau menyangkut perihal ini.
“Bentar, ini bukan lamaran ‘kan ya? Sekarang cuma lagi pertemuan perdana buat ngebicarain niat serius aja ‘kan?” sahut Najmi memastikan.
Adibya mengangguk. “Iya,” jawabnya.
Najmi pun menghela napas lega, kemudian menarik oksigen sedalam-dalamnya. “Tiga bulan. Gimana? Lalu setelah itu, kalau dirasa semua udah siap dan matang, baru kita bicarain deh rencana acara pertunangan, pernikahan, dan segala macamnya.” Sang gadis mulai serius dan mengajukan penawaran.
“Saya ngikut kamu aja. Lagian, kita juga harus memperhatikan aspek-aspek yang perlu dan wajib ada di diri kita sebelum menuju jenjang yang lebih serius. Mulai dari finansial, mental, fisik, semuanya harus matang.” Najmi hanya manggut-manggut kala Adibya berucap demikian. Dia setuju dengan pendapat pemuda tersebut.
“Dan parenting juga jangan lupa,” sahut Aswin menambahi. Ia mengingatkan Adibya tentang apa yang anaknya tadi ucapkan padanya. “Kesiapan dan cara kalian dalam mendidik anak itu sangat penting. Jangan cuma mikirin senengnya aja. Nikah itu bukan cuma sehari dua hari, setahun dua tahun. Tapi buat bertahun-tahun ke depannya. Ada rintangan dan naik turun kehidupan yang pasti bakalan kalian hadapi.” Yang diceramahi manggut-manggut dan menyimak dengan serius.
“Dengerin, Mi. Jangan cuma mau ngebucin halal doang,” sahut Ghandi ikut menambahi. Sedang Najmi hanya melirik pada kakaknya tersebut tanpa minat.
“Kalau buat parenting, insya Allah udah lumayan oke, Pak. Soalnya saya sering nonton The Return of Superman, hehe. Jadi, konsepnya udah di luar kepala.” Tiga orang lelaki tersebut tak bergeming. Mereka tidak tahu maksud tontonan macam apa yang sedang dibicarakan sosok Najmi.
“Will-Ben tau nggak? Sam Appa? William, Bentely, Naeun?” tanya Najmi mengulik pengetahuan tiga orang tersebut terkait per-YouTube-an.
Namun karena melihat semua orang mengerut bingung, Najmi pun berinisiatif merogoh ponsel. “Yang ini lho, variety show Korea Selatan yang ngajarin cara ayah ngurus anak-anaknya.” Gadis itu menunjukkan layar ponselnya tersebut secara bergantian. “Pokoknya gitu deh, ntar cari aja variety-nya di YouTube!” lanjut Najmi menarik kembali benda pipih tersebut untuk diletakkannya di samping kiri tanpa berniat memasukkan lagi ke dalam saku.
“Saya juga tau kok, kalau nikah juga bukan cuma perihal cinta dan sah-sah doang. Tapi ada komitmen yang harus dipertahankan. Juga ada konsekuensi yang harus ditanggung setelah menikah. Mulai dari perangai asli yang selama ini belum kita ketahui, kebiasaan buruk, sampai bau jigong dan bau kentutnya juga pasti bakalan kita rasain tiap hari.” Rasanya, tawa Ghandi hampir meledak saat Najmi tiba-tiba membahas jigong dan kentut. Padahal dia sudah mulai serius dan kagum atas pola pikir adiknya itu. Namun karena tak ada yang tertawa, Ghandi tarik bibirnya ke dalam agar tak kelepasan terbahak. Ia tak mau harga dirinya tercoreng hanya karena perihal jigong dan kentut.
“Jadi ya, saya paham, kalau nikah itu bukan suatu hal yang main-main. Proses yang satu itu sakral banget buat ditempuh,” lanjut Najmi mengundang senyum kagum dari sosok Adibya. Lelaki itu mengangguk setuju. Pula Aswin yang menatap dengan binar terang. Najmi lolos seleksi tahap pertama, seperti Adibya. Mindset-nya patut diacungi jempol, pula speaking yang bagus dalam betata bahasa, membuat Aswin cukup puas dengan potensi calon menantunya.
“Kebetulan karena kita sedang membahas ini, saya juga mau bilang kalau Pendidikan Khusus Profesi Advokat saya bakalan selesai dua bulan lagi.” Najmi mengangguk. Sebenarnya ia juga tak terlalu tahu. Sebab yang ia ingat, selama setiap mimggu, ada dua kali Adibya selalu meluangkan harinya untuk bersekolah adovkat. Yaitu Rabu dan Sabtu. Maka dari itu, setiap hari Rabu, di jam sembilan pagi sampai dua belas siang, lelaki itu tidak ada di kantor. Pula setiap Sabtu siang sampai jam empat sore, dia sibuk dengan pendidikannya.
“Kalau perihal finansial, Pak Khaffa engggak perlu khawatir. Insya Allah nanti Najmi bakalan saya cukupi kebutuhannya.” Kini, Adibya berbicara pada ayah dari sang gadis. “Dan untuk fisik, mungkin nanti kalau setuju dan ada waktu, kita bisa ikut tes kesehatan di rumah sakit buat memastikan keadaan kesehatan masing-masing. Juga mental, selama tahap perkenalan, kita bakalan memperkuatnya dengan saling mendukung antara satu pihak dengan pihak lainnya.”
Dan percakapan pun berjalan serius selama dua puluh menit ke depan. Mereka larut dengan pembahsan penting atas rencana penyatuan dua keluarga besar.
“Tapi tiga bulan apa nggak kelamaan?” tanya Khaffa setelah percakapan ini hampir usai. “Papi khawatir kamu malah macem-macem,” tudingnya pada sang anak. Membuat Najmi mendelik sebal dan memasang wajah tidak suka.
“Waktu itu tuh aku cuma lagi ngerasa bersalah dan nggak tau harus bilang apa, Papi. Makanya dicium aja biar kelar.” Khaffa memijat pangkal hidungnya pasrah. Ada saja jawaban Najmi untuknya.
“Lagian tiga bulan tuh sebentar tau, Pi. Soalnya aku pasti bakalan sibuk banget melatih skill-ku buat ngerjain segala macemnya. Mulai dari nyapu, ngepel, nyetrika, nyuci, masang seprai, sampai masak pun, aku harus oke. Biar nanti Mas Adib bisa makin bangga sama calon istrinya. Ya, ‘kan, Mas?” Adibya hanya tersenyum tipis. Hatinya benar-benar menghangat kala Najmi begitu bersemangat untuk menjadi perempuan halalnya.
Walaupun gadis itu tidak bisa konsisten terhadap memanggil diri sendiri, tak masalah. Mulai dari saya, gue, aku, Adibya tak lagi mempermasalahkannya. Tapi ya kalau bisa, Najmi menggunkan aku-kamu saja kala dengan dirinya dan keluarga.
Lima menit pun kembali berlalu. Khaffa sudah mengajak dan membawa tamunya untuk makan malam bersama. Sudah etikanya begitu.
“Ini kamu yang masak?” tanya Aswin pada Najmi dengan sengaja.
Ghandi lagi-lagi hampir tertawa kala mendapati pertanyaan tersebut menyapa rungunya.
“Hah? Bukan, Pak. Hehe…, saya cuma bantu wadahin sama nata meja doang,” jawab Najmi saat hendak menyendokkan nasi untuk para lelaki.
Aswin mengangguk. Setidaknya, Najmi jujur dalam menjawab pertanyaannya tanpa ada niat mencari muka.
“Terima kasih,” ucap Adibya saat gilirannya yang menerima piring berisi dua centong nasi dari Najmi. “Cukup segitu?” balas sang gadis dengan tangan yang masih memegang piring. Dua tangan satu piring. Najmi yang memberi, Adibya hendak menerima. Lengan mereka sama-sama masih menggantung di udara.
“Cukup.” Lalu, baru Najmi serahkan piring tersebut sepenuhnya.
Makan malam pun berjalan hikmat. Mulai dari makanan pembuka sampai penutup, semuanya telah Najmi atur sedemikian rupa. Yang tersaji saat ini adalah makanan rendah kalori yang berprotein. Bahkan gadis itu rela singgah ke super market demi membeli lima kilo beras merah untuk dijadikan bahan pokok makan malam hari ini. Pokoknya, semua harus aman saat masuk ke dalam tubuh Adibya.
Dukh!
Najmi melotot saat Ghandi dengan sengaja menendang pelan kakinya. Kerena tak terima, ia pun membalas. Hingga terjadilah peperangan antara kaki dengan kaki lainnya di bawah meja sana.
“Kenapa sih?” tanya Khaffa yang merasa terganggu atas tingkah kedua keturunannya tersebut.
“Hah? Enggak, ini Najmi nggak sengaja nginjek kaki aku, Pi.”
“Dih, apaan? Orang dia duluan yang nyenggol!” sewot Najmi lalu menenggak air putihnya.
“Kalau makan tuh yang tenang. Table manner-nya mana?” Itu sindirian dari Khaffa. Sebab, mereka harus tampak lebih kalem di mata keluarga Lofarsa. Sebab, bisa saja ini masuk ke dalam kriteria penilaian calon menantu.
Sementara itu, Aswin tersenyum. Ia mulai berpikir bahwa sosok Najmi lah yang dibutuhkan oleh anaknya. Adibya itu sudah cukup kaku selama ini. Tapi, setelah hari-harinya diisi oleh gadis itu, dia tampak lebih segar dibanding biasanya. Maka dari itu, setelah ini, mungkin dirinya tidak akan terlalu ketat dalam mengadakan evaluasi kelayakan calon menantu. Akan ia biarkan sepasang anak muda ini menikmati waktu pendekatannya.
Semoga, Najmi dan Adiya lekas dipertemukan di atas pelaminan yang sama.
“Besok ngantor jam berapa?” tanya Najmi saat mereka sudah bisa bicara sedikit leluasa. Sebab, dua orang bapak-bapak tersebut masih melanjutkan acara pembicaraan mereka di ruang makan. Sudah macam bestie yang telah lama tak bertemu saja lakunya.
“Kayak biasa, mungkin sampai di kantor setelah zuhur.” Sebab, besok memang jadwalnya menimba ilmu Advokat. Lalu, Adibya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Jika dihitung, mungkin sudah belasan kali Najmi lihat lelaki tersebut melakukan hal yang sama. Namun karena ia tahu Adibya itu tipe yang gampang salting, maka Najmi biarkan saja lelaki itu menikmati waktu mereka dengan perasaan tersebut.
“Udah beneran sembuh memangnya?” Bukannya menjawab, Adibya malah terdiam membisu. Bagaimana tidak, gadis itu menempelkan telapak dan punggung tangannya secara bergantian di sekitar wajah Adibya hingga ke leher.
Pipinya yang tadi terasa dingin karena terkena angin malam, kini mulai memanas kala sentruman dari sentuhan Najmi begitu memompa jantungnya menjadi lebih kencang dalam berdetak. Ada buncahan yang tak biasa, yang diungkapkan hanya dengan sekedar kata-kata, pun, tak akan pernah bisa. Padahal dulu dirinya pernah mendekap raga gadis itu yang bergetar, namun rasanya kini kian berbeda. Semakin lama, ia kian merasa, setiap yang Najmi lakukan selalu berhasil menumbuhkan gelora cinta yang membara.
“Uhuk, uhuk!” Ghandi yang ditugaskan khusus oleh Khaffa untuk menjaga adiknya kala berdua dengan Adibya itu berpura-pura batuk. “Tangan!” tegurnya kemudian — membuat Najmi yang mau tak mau harus segera menyudahi acara modusnya.
Ah, sial sekali. Mengapa harus Ghandi yang menjadi obat nyamuk mereka?
“Waktu itu, beneran bibir kamu dirawit Pak Khaffa?” tanya Adibya mengalihkan suasana canggung. Yang bodohnya, ia malah menyenggol topik fatal. Bayangan sepersekian detik itu kembali menghantui pikirannya. Namun hebatnya, Najmi malah terlihat sangat biasa saja.
“Ya iya. Mas Adib, sih, keburu nge-block duluan!” jawab Najmi kesal saat mengingat Adibya yang memblokir semua sosial medianya secara tiba-tiba.
“Maaf,” ucap Adibya tidak enak hati. “Terus gimana? Sakit nggak?” sambungnya.
“Bukan sakit lagi. Tapi udah ampe jedir!” Dengan susah payah, Adibya tidak mau menatap ke arah bibir sang gadis. Ia benar-benar mengusir bayangan bagaimana belah rekah itu memerah dan bengkak hanya karena cabai rawit.
“Kenapa? Mau ketawa?” tuding Najmi melihat Adibya mengalihkan wajahnya ke arah lain.
Lelaki itu menggeleng cepat. “Enggak,” jawabnya.
“Nggak salah lagi maksudnya?” tanya Najmi dengan raut mengintrogasi. Namun Adibya masih saja kukuh untuk membantah penilaiannya. “Yakin?” Lelaki itu mengangguk.
“Tapi kok kumis kamu geter-geter? Mau ngetawain aku ‘kan? Ngaku deh!” Mau bagaimanapun Adibya menghindar, nyatanya Najmi tetap dapat membaca air mukanya.
“Iya-iya, maaf.” Tawa kecil lelaki itu menguar, bersatu dengan udara malam dengan ditemani ribuan bintang yang menggantung di atas sana. Adibya sampai tidak sadar, bahwa gerakan refleknya saat mengacak pelan rambut sang gadis, membuat Ghandi lagi-lagi membatukkan diiri.
“UDAHLAH ANJIR, MENDING LO BERDUA BURUAN NIKAH DEH! GEDEK GUE NGELIATNYA!” kesal Ghandi lalu menggigit brutal potongan apel yang tersedia di meja halaman belakang tersebut. Dia panas sendiri melihat dua orang itu malah bermesraan di hadapan dirinya yang masih terombang-ambing dalam hal asmara.
“Apaan si, sirik aja lo!” sahut Najmi kemudian tersenyum malu-malu pada Adibya.
“Ya elah, Mi. Gue bakar juga nih kebon lama-lama!” sambung Ghandi dalam kunyahannya.
Lagi-lagi, Adibya hanya tersenyum tipis dibuatnya. “Maaf kalau kita bikin kamu iri,” tutur Adibya yang kemudian mengundang delik ketidakterimaan atas pernyataan tak berdasar barusan.
“Dih, siapa yang iri?!” sahut Ghandi tak mau kalah.
Najmi merotasikan matanya. “Halah, iyain aja kenapa sih? Lo pasti nggak bisa kayak gini ‘kan, sama si onoh?!” sindirnya.
Skakmat.
Namun Ghandi tetap saja ingin menyelamatkan harga dirinya di depan Adibya. “SOTOY LO!” sanggahnya tak terima. Padahal Najmi dua ribu persen benar dalam berpendapat.
Huft, apa yang harus dia lakukan setelah ini, ya? Ghandi bingung tiga puluh tanjakan rasanya. Cinta pada Puja Larasati sungguh menguras energinya setiap hari!
Narasi 22 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
@ ebbyyliebe