Kilas Balik Masa Lampau

rofenaa
12 min readJun 23, 2022

--

Tentang Najmi, dan pahitnya masa lalu.

Sejauh mata memandang, langit gelap yang menggantung di atas sana terlihat bersih tanpa corak. Hanya ada bulan bungkuk tanpa kawan-kawannya. Sebab, khusus untuk hari ini tampaknya kelap-kelip satelit lah yang akan menjadi satu-satunya partikel penghuni langit — selain bulan dan awan tentu saja.

Malam ini, ribuan bintang memang tak bisa turut menemani sepasang kawula muda itu menghabiskan menit-menit kebersamaan dengan berboncengan di atas motor jadul tersebut. Namun semakin mereka menyusuri ruas jalan sembari menikmati perbincangan kecil, beberapa gumpalan bak kapas itu malah turut memberi tanda bahwa sebentar lagi ia akan mencapai titik jenuh dan menumpahkan keberkahannya di beberapa titik.

Cukup gelap, dan lumayan dingin. Membuat Adibya mulai resah karena sudah membawa Najmi keluar dengan kondisi cuaca yang berada di luar ekspektasinya, bahkan setiap orang.

“Najmi, ini kita tetap mau ke SMP Nusantara?” Adibya bertanya memastikan, lagi. Sebab ini sudah ketiga kalinya ia menanyakan hal yang sama. Lokasi itu cukup memakan waktu sekitar sepuluh menit lagi dari tempat mereka. Namun Najmi tetap kokoh. Tujuannya harus terlaksana hari ini.

“Katanya mau cerita tentang kamu di ‘hari itu’, tapi kenapa malah ngajak ke sana?”

“Nanti aku ceritanya di sana. Sambil ngerasain pahitnya Nusantara.” Najmi menjawab tanpa berpikir dua kali. Adibya yang tidak mengerti pun hanya bisa mengerut heran, namun tetap mengendarai motornya dengan baik dan benar.

“Najmi, saya izin nambah kecepatan, ya? Takut nanti keduluan sama hujan.”

Sang gadis tertawa kecil. “Iya, silahkan!” sahutnya dengan hati yang kurang lebih menjadi sedikit lebih tenang. Sebab, baru kali ini pula ada laki-laki yang sekedar untuk meninggikan tali gasnya saja, ia harus meminta izin terlebih dahulu pada Najmi.

“Kamu pegang jaket atau bahu saya aja, enggak apa-apa.”

“HAH?!” Najmi tidak mendengar ucapan Adibya barusan karena sebuah motor dengan knalpot menyalahi aturan tersebut melintas cepat melewati mereka. Membuat telinganya dan para pengguna jalan lain turut pengang, lalu melontarkan sumpah serapah.

“Mas Adib bilang apa tadi?!” ulang Najmi mempertanyakan kalimat Adibya sebelumnya.

“Kamu pegang jaket atau bahu saya aja, enggak apa-apa!” Begitu ulangnya.

“Oh, oke!” Setelah dirasa Najmi memperketat kemanannya di atas motor, barulah Adibya berani untuk menaikkan kecepatan hingga 80 Km/Jam. Sebab, mau bagaimanapun, yang sedang ia bawa ini adalah seonggok raga bernyawa yang teramat berharga. Bukan keranjang kosong.

Tangan kanan Najmi ia gunakan untuk meremat jaket di pinggang Adibya. Sementara tangan kiri, gadis itu letakkan pada bahu kiri si lelaki pula. Ia menuruti dua instruksi sekaligus. Hingga tak butuh waktu lama, tempat yang telah bertahun-tahun lamanya sengaja tak lagi mau ia lewati itu, kali ini dengan lapang hati ia datangi.

Malam ini, Najmi benar-benar mengambil langkah untuk keluar dari zona super nyamannya. Demi, membagi luka dan cerita lama pada sosok Adibya Lofarsa.

“Ini ‘kan?” tanya Adibya memelankan laju motornya saat telah mendapati plang besar bercahaya terang dengan tugu yang berada di tengah-tengah bagian halaman terdepan sekolah menengah tersebut. SMP Nusantara.

“Iya, di sini,” jawab Najmi sangat pelan. Adibya yang semakin bingung pun menepikan motornya tepat di depan gerbang sekolah yang dihiasi lampu. Sekolah ini tak remang-remang seperti sekolah kebanyakan.

“Sebenernya kita mau ngapain ke sini? Kamu enggak beneran mau ngajak saya uji nyali ke dalam ‘kan?” Gadis yang ditanyai hanya terkekeh, lalu turun dari motor sembari membuka helm bogo milikya. “Nggak, lah. Aku doang yang uji nyali.”

“Maksud kamu?” Adibya langsung menahan pergelangan Najmi agar gadis itu tak sungguhan berlaku macam-macam. Kemudian, setelah mematikan mesin, ia turunkan standar motornya agar bisa ikut berdiri di samping Najmi. Sebab hari ini, gadisnya aneh.

“Ada apa?” tanya Adibya bingung saat Najmi mengajaknya berjalan, tepat ke arah tengah-tengah gerbang sekolah. Posisinya, mereka dua meter dari jarak pagar besi yang sangat tinggi di gerbang utama itu.

“Kenapa di sana?” Adibya bukan tipe yang parnoan. Ia tipe manusia yang masih percaya bahwa makhluk halus itu ada, dan manusia spesial yang bisa berinteraksi dengan ‘mereka’ pun juga pasti ada. Tapi ia sama sekali tidak pernah kepikiran kalau Najmi adalah termasuk ke dalam ‘orang istimewa’ tersebut. Sama sekali tidak.

“Najmi, kenapa?” Adibya tak henti-hentinya bertanya pada Najmi yang masih memilih bungkam dengan tatapan kosong ke arah seberang jalan. Ia sampai merangkul tubuh Najmi dari belakang agar tangan kanan gadis itu bisa turun dan berhenti menunjuk ke satu titik. Sebab, untuk kali ini, Najmi benar-benar berhasil membuatnya meremang dan bergidik ngeri.

“Najmi, kita pulang, ya?” bujuk Adibya mencoba menarik pelan tubuh Najmi untuk mendekat ke arah motor. Namun gadis itu masih enggan. “Udah gelap banget, mau hujan.” Dan hasilnya tetap saja. Gadis itu bahkan menggeleng tegas.

“Mas Adib,” “Iya?”

“Mas Adib mau tau kenapa hari itu aku bisa kayak orang ketakutan setengah mati?” Najmi kembali membuka suara dengan membahas tujuan utama mereka sejak awal.

Namun karena Adibya masih dilanda bingung yang tak berkesudahan, ia hanya memilih diam untuk mendengarkan kelanjutannya.

“Di sini, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, aku pulang sekolah.” Suara itu terdengar berat. Kentara sekali bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja. Adibya sampai mempererat pegangannya karena khawatir dengan kondisi Najmi saat ini.

“Tepat di mana sekarang aku berdiri, aku menyaksikan hal yang kalau aja bisa untuk aku tolak, maka pasti akan aku tolak mentah-mentah tanpa perlu berpikir dua kali saat itu.”

“Najmi, udah, ya? Kita lanjut ceritanya di tempat lain aja. Oke?” Sebab, selain mendung dan kawasan yang cukup sepi, yang membuat Adibya cemas bukan main adalah, ada orang lain yang tengah mengawasi mereka dari jauh. Karena kembali lagi, yang paling Adibya takuti selain Tuhan bukanlah makhluk halus, melainkan manusia jahat yang tidak punya adab.

Namun sialnya, gadis itu lagi-lagi menolak. Ia seolah memakukan raga di tempat dirinya berdiri saat ini tanpa memikirkan kekhawatiran yang tengah Adibya hadapi.

“Mas Adib mau tau apa yang dulu aku lihat dari sini?” tanya Najmi kemudian dengan nada yang kian serak. Gadis itu seperti menahan tangisnya.

Namun karena tak mau berlama-lama dalam kondisi genting, Adibya pun menyahut cepat. “Apa?”

“Mami.”

Hening, dan semakin hening. Adibya tak lagi berani menyahut setelah Najmi mengucapkan satu kata tersebut. Namun matanya masih tetap awas memperhatikan perkembangan keadaan sekitar. Fokusnya boleh saja terpecah, tapi insting dan rasa pekanya tak boleh hilang. Ada Najmi yang raganya juga harus ia jaga di sini.

“Hari itu, Sabtu, 8 September 2012, jam satu siang lewat sepuluh menit.” Najmi menjeda sepersekian detik demi menarik napas dalam agar bisa melanjutkan kalimatnya. “Tepat di depan mata kepalaku, di hari ulang tahunku yang ke-14…,” ucapan itu kembali terpotong karena Najmi tiba-tiba tercekat karena sesak yang selama ini masih setia menemaninya, semakin muncul tanpa dapat dikontrol.

“Di seberang sana… di seberang sana, mami pergi. Mamiku, mami yang waktu itu tahu aku masih belum bisa nyebrang jalan, pergi. Mami pergi karena aku — ”

Bruk!

Kini, tubuh gadis itu tak lagi menghadap ke seberang jalan. Melainkan bersatu dalam suatu dekapan erat yang begitu hangat.

“Udah. Udah, jangan dilanjutin lagi, ya?” Rengkuhan itu erat sekali Adibya berikan pada perempuannya. Ia paham betul bagaimana rasanya kehilangan ibu. Ia paham sekali bagaimana hari-hari penuh duka itu berlalu. Tapi kenapa proses kehilangan yang Najmi rasakan bisa sesakit ini? Lebih pedih dan perih daripada apa yang pernah ia rasakan dahulu.

Seolah luka yang sudah koyak berdarah, malah diberi perasan air jeruk nipis. Sakitnya, sungguh tak tertolong.

Adibya yang belum tahu bagaimana kronologinya saja, sudah mengerti. Ia sekarang mengerti kenapa Najmi selalu bermasalah dengan jalan raya. Ternyata, apa yang pernah ia lalui di masa lampau bukanlah suatu hal yang main-main.

Mami pergi, katanya.

Tapi Adibya tahu bahwa itu adalah kata paling halus yang sudah Najmi pilih agar ia tak terdengar terlalu gamblang dalam menjabarkan kematian sang ibu pada orang lain.

“Sakit. Sakit, Mas Adib! Sakit….” Najmi yang berada dalam dekapan Adibya pun semakin sesak sembari meremat sweater-nya. Sesekali, gadis itu memukul dadanya sendiri karena tak tahan dengan apa yang ia rasakan. Tenggorokannya bahkan sudah sangat sakit karena masih menahan tangis agar tidak meledak.

“Iya, pasti sakit. Enggak apa-apa. Nangis kalau kamu mau nangis sekarang. Keluarin semuanya, Najmi. Nangis sekeras dan sepuas yang kamu mau. Ada saya. Ada saya di sini.”

Namun Najmi tak kunjung bisa melepaskan tangisnya. Sesak itu sulit untuk dikeluarkan. Dan sekarang, Adibya sungguh benar-benar menyesal karena secara tak sengaja sudah membuat perempuannya semakin tersiksa sebab rela membuka luka lama.

“Hei, lihat saya. Lihat!” Adibya merenggangkan pelukannya, kemudian ia raih wajah Najmi untuk saling menatap lekat. Lalu tangan itu turun pada kedua bahu sang gadis, mencengkeramnya hangat dan menyalurkan keyakinan.

“Tarik napas kamu yang dalam. Tarik.” Adibya tak sanggup rasanya melihat Najmi sesak napas seperti ini. Gadis itu benar-benar memiliki trauma yang sungguh luar biasa menakutkan, bagi dirinya sendiri.

“Tarik yang bener, Najmi!” Sang gadis yang sudah kacau jalan pikirannya itu, tak lagi bisa fokus. Untuk menarik napas saja rasanya ia kesulitan.

Itu lah, yang menjadi salah satu alasan mengapa tadi Ghandi sangat melarang dan menahan kepergian Najmi. Namun adik kecil tercintanya itu malah tidak mau mendengar. Padahal, itu karena Ghandi yang mengawatirkan nyawanya. Bukan karena apapun.

“Lihat saya, Najmi. Lihat. Tarik napas kamu dalam-dalam, terus buang. Oke? Biar dadanya enggak sesak kayak gini.” Adibya berulang kali mengucapkan kalimat yang sama dengan gestur tubuh selalu mencontohkan bagaimana cara bernapas yang baik dan benar untuk keselamatan Najmi saat ini.

Sesekali, ia mengusap punggung Najmi demi memperlancar dan meyakinkan bahwa gadis itu pasti bisa. Adibya juga tak lepas menggenggam tangan kanan Najmi untuk ia elus demi memberi sentuhan nyaman.

“Ulang. Tarik lagi yang dalam…, buang.”

Hingga lima menit berlalu hanya untuk mengatur napas Najmi, Adibya pun mulai merasa lega kala deru napas gadis itu sudah tak sesesak tadi. Mereka bisa menanganinya dengan cukup baik.

“Tarik napas lagi, Najmi. Yang dalam…, terus buang.” Adibya masih saja menginstruksikan Najmi agar tetap mengikuti perintahnya. Gadis itu masih butuh pasokan oksigen lebih banyak untuk paru-parunya.

Lalu, kini kembali ia dekap sang gadis dengan lembut dan penuh kehati-hatian agar tidak menyulitkan. Ia rapikan pula rambut sang gadis yang sedikit berantakan tersebut.

“Kenapa lukamu separah ini, Najmi?” batin Adibya ikut tersayat. Sementara, Najmi sudah merasa di ujung ambang kesadaran. Gadis itu memang lemah kalau sudah sampai terhanyut dalam kenangan masa lampau yang menyakitkan ini.

Anak di belahan Bumi mana yang tidak runtuh kala dunianya direnggut paksa secara tiba-tiba? Anak belahan Bumi mana yang tidak hancur kala ibunya meninggal secara tragis di depan mata? Dan anak belahan bumi mana yang tak merasa bersalah kala hal itu terjadi sebab dirinya?

Dia, Najmi Desra. Satu dari ratusan juta anak Indonesia yang menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian sang ibu kandung, Ariesa Ibra Khairani.

Padahal, itu jelas-jelas bukan salahnya. Sama sekali bukan kesalahan seorang Najmi Desra. Tidak pandai menyebrang jalan, bukan berarti itu adalah kesalahan yang dibuat oleh dirinya. Khaffa dan Ghandi selalu meyakinkan hal itu kepada si bungsu. Namun karena kejadian itu langsung menyerang hati, otak, mental ,dan psikis Najmi, gadis itu selalu berpikiran bahwa semua yang terjadi bermula dari ketidakmampuannya.

Kalau saja hari itu dia telah mampu menyebrangi jalan sendirian, maka dapat dipastikan bahwa hari ulang tahunnya itu bukanlah menjadi hari kehilangan paling berat. Kalau saja hari itu ia tak memaksa Mami agar menjemputnya karena alasan tertentu, maka pasti tidak akan ada laka lantas yang terjadi di depan mata saat ia pulang sekolah. Semua, disebabkan oleh dirinya. Mami pergi, karena dirinya. Begitulah isi pikiran Najmi selama dua tahun penuh setelah kejadian tersebut.

“Mas Adib,” panggilnya serak memecah keheningan malam.

“Iya, Najmi. Saya di sini.” Adibya menyahut dengan suara yang begitu menenangkan. Sementara, Najmi semakin berderaian air mata. Bulir itu masih setia mengalir, kemudian terhapus karena pipinya yang bergesekan dengan jaket Adibya.

Entahlah, rasanya dekapan Adibya sangat berbeda dari dekapan lainnya. Bahkan dekapan laki-laki paling nyaman yang ia terima selama ini dari sang Papi dan Ghandi, agaknya perlahan akan bergeser dan diduduki oleh oknum yang sedang merengkuhnya dengan teramat penuh kasih seperti sekarang.

“Mas Adib,” gumamnya, lagi. Bahkan ini sudah terhitung lima kali gadis itu memanggil namanya tanpa melanjutkan kalimat apapun. Sekedar memanggil. Namun Adibya selalu menyahuti bahwa dia ada di sini. Semakin mengeratkan dekapan, dan menyandarkan pipi kirinya di pucuk kepala sang gadis.

“Mas Adib.” Najmi memanggilnya lagi, dengan serak yang semakin dalam. Adibya pun membuang napasnya pelan, kemudian menyahut dengan tulus dan penuh kesabaran. “Iya, Sayang. Saya di sini.”

Kalau saja saat ini mereka tidak dibalut sendu, mungkin keduanya telah bersemu malu. Sebab sebelumnya, Adibya tak pernah memanggil Najmi dengan sebutan itu. Hanya gadis tersebutlah yang kerap kali menjahilinya. Panggilan ‘cantik’ saja membuat Najmi menggila usai video call-an kala itu. Apalagi sampai mendengar Adibya yang memanggilnya dengan sebutan barusan. Rasanya, mungkin Najmi akan menjadi penghuni baru di rumah sakit jiwa.

Bukan. Bukan karena traumanya. Melainkan karena Adibya Lofarsa yang nyatanya bisa romantis terhadap sosok gadis yang berada dalam dekapannya, Najmi Desra.

Gadis itu tersenyum tipis. Sangat tipis. Namun energinya seolah tersedot habis karena rasa bersalah yang kembali muncul, dan bertahan di benaknya.

“Glad to have you here.” Adibya mengangguk kecil, mengerti. Sebab, kalimat itu, pada akhirnya muncul dari mulut Najmi yang sedari tadi hanya memanggil namanya saja.

“It’s you and will always be you. I’m yours, Najmi. You deserve to be love. Nothing can break our relationship except God and his will,” balas Adibya dengan nada yang begitu dalam. “Because I’m the pieces in your life as well as the peace in your heart.” Kemudian, entah keberanian dari mana, Adibya mengecup singkat puncak kepala gadis itu.

“You’re going to be okay.” Pelukannya pun kian dipererat oleh sang pemuda. Mendekap raga yang rapuh, dan kian melemah tanpa berniat untuk melepaskan selama beberapa menit ke depan.

Hening. Tak ada lagi yang terdengar kecuali deru napas mereka dan desingan beberapa kendaraan yang lewat di ruas jalan yang tak terlalu besar tersebut.

Namun karena merasa Najmi semakin berat besandar pada dirinya, Adibya tersadar. Gadis itu tidak lagi dalam kuasa dan kendali tubuhnya. “Najmi?” panggil Adibya mencoba menolak duga.

“Najmi?!” Dan benar saja. Gadis itu sudah kehilangan kesadarannya. Persis seperti hari itu. Hari di mana gadis itu tidak sengaja menabrak gerobak nasi goreng hingga terbalik.

“Astaga, Najmi?!” Adibya cukup kalut saat mengingat bahwa yang ia bawa saat ini adalah Si Lela. Bukan Bape, si jagoan hitam Pajero yang sering ia pakai ke mana-mana.

Tanpa melepaskan barang seinci, Adibya pun langsung menelpon ambulans untuk segera menuju lokasi ini. Kemudian, ia gendong tubuh Najmi di depan dengan cengkraman yang cukup kuat.

Rasanya, Adibya ingin mengumpat kepada alam semesta yang malam ini seolah ikut tidak bersahabat dengan mereka. Sebab, awan jenuh di beberapa titik yang disebutkan tadi, kini berada di atas mereka. Gumpalan itu mulai menuangkan satu per satu isinya. Menambah kalut dari dalam diri Adibya, dan menyapa wajah Najmi yang juga tengah mengadah ke atas sana. Dengan begitu, Adibya pun langsung menyembunyikan paras gadis itu ke arah dadanya. Ia tak mau Najmi merasa kesakitan dalam ketidaksadaran.

Kemudian, sorot lampu dari sebuah mobil yang sedari tadi telah mengawasi mereka tersebut menyala. Itu, adalah mobil yang sedari tadi Adibya maksud. Orang lain yang tengah memantau mereka ada di dalam sana.

Adibya kian kalut. Sial sekali dia hari ini!

TIIINN TIIIINN!!!!

“WOI, DIB! CEPET NAIKIN!”

Alam semesta, maaf. Adibya sungguh tak jadi mengumpat untukmu. Sebab nyatanya, penghuni di dalam mobil itu adalah Ghandi dan Jafar. Mereka lah raga yang sengaja mengawasi mereka dari belasan menit yang lalu dari kejauhan.

Sebagai sulung yang tak didengarkan oleh si bungsu, Ghandi tak ada pilihan lain selain mengikuti pasangan tersebut. Ia khawatir hal-hal yang tak diinginkan betulan terjadi. Dan ya, bisa dilihat, bahwa dugaannya seratus persen benar.

Tak hanya diam, Jafar selaku adik tiri yang sebentar lagi namanya akan tertulis di dalam satu KK yang sama dengan Najmi pun turut membantu. Remaja itu turun dan langsung membukakan pintu belakang agar Adibya bisa lekas menaruh tubuh Najmi ke dalam mobil.

Tanpa berlama-lama, Adibya pun dengan gesit bergerak. “Rebahin aja, Dib!” titah Ghandi saat Adibya telah berhasil mendudukkan Najmi di jok belakang.

“Enggak, Ghan. Jangan, bahaya!” sahut Adibya sembari menarik seatbelt dan memasangkannya untuk sang gadis.

Merebahkan penumpang di jok belakang dalam keadaan tidak sadar tanpa teman dan pengaman, adalah suatu tindakan yang sangat berbahaya. Dan Adibya tak mau mengulang hal itu lagi saat pernah membawa Najmi demikian beberapa bulan yang lalu. Hari itu, boleh saja ada Nabila, namun kini hanya ada mereka.

Ghandi mengerang kesal. Menurutnya, kalau duduk begitu, yang ada Najmi terombang-ambing karena kecepatan kendaraan yang akan ia lesatkan ini melebihi rata-rata. Ia tak setuju dengan tindakan Adibya.

“Mas Adib naik aja, udah! Biar aku yang bawa motor!” Jafar yang ikut panik itu pun mendorong bahu Adibya untuk segera ikut naik ke dalam mobil.

“Tapi ini mau hujan deras, nanti kamu kehujanan. Di motor saya enggak ada mantel!”

“Halah, chill ini mah! Hujan air doang, bukan hujan batu!” Lalu, Jafar menutup pintu kiri tersebut setelah mendapati Adibya telah duduk tenang di dalam. Lelaki itu masuk tanpa perlu memutari badan mobil. Caranya? Ya dengan melangkahi paha Najmi.

“Hati-hati, Jaf!” Ghandi memperingati adik tirinya sebelum menancap gas menuju rumah sakit. Remaja itu pun mengacungkan jempol setelah bersorak menyahuti.

Selama perjalanan, Adibya dan Ghandi sama sekali tidak terlibat percakapan. Yang satu fokus mengemudi, yang satu sibuk menelepon ambulans sembari menjaga keseimbangan tubuh Najmi yang ia tumpukan pada bahu kanannya. Ia memberitahu pihak tersebut bahwa pasien telah dibawa dengan mobil pribadi dan sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Kemudian, Adibya memejam. Ia hembuskan napas palan sembari merapalkan doa yang begitu banyak di dalam hatinya. Lelaki itu bahkan tak mau melepas genggamannya pada tangan kanan milik Najmi.

Pikirannya berisik. Hatinya masih terasa panik.

“Ya Tuhan, tolong sembuhkan perempuan saya. And please let me be the one who heal her wounds.” Pada akhirnya, kalimat itu menjadi pengharapan paling besar dalam benak seorang Adibya Lofarsa.

Ya, untuk perempuannya, Najmi Desra.

Narasi 25 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet