Kontrakan Arsa

rofenaa
6 min readJan 28, 2022

Saat pertamakali menginjakkan kaki di sini, nyaman adalah kata pertama yang terbesit dalam hati mereka. Tempat tinggal yang diberikan Jeriko pada Arsa ini lebih dari kata lumayan. Tempatnya bagus. Halamannya juga cukup luas. Bisa dipakai untuk main pingpong atau bulutangkis. Bunganya pun terlihat beragam. Ya meskipun warna hijau mendominasi, nyatanya Arsa dapat mengurus tanaman tersebut dengan sangat lihai.

“Gimana, Pan, oke gak?” Lino yang pasalnya pernah menginap di sini pun bertanya sembari merangkul pundak Irvan. Ia penasaran bagaimana pendapat orang yang telah meledek Arsa selama ini.

Irvan hanya mencebik, lalu ia lepas rangkulan Lino. Dirinya sedang penat. Malas sekali ditempeli seperti ini.

Sementara itu, dengan tarikan tulus pada bibir, senyum nan amat cerah tersebut Jeriko pantulkan saat menyambut kedatangan para kawula muda. Begitupula dengan tiga temannya yang ingin ikut makan malam di sini. Kapan lagi bisa makan masakan Jeriko, gratis pula, katanya.

“Tangan sama kakinya dicuci dulu ya...” ucap Jeriko, “gantian aja. Yang lain boleh duduk dulu,” lanjutnya memberikan instruksi.

“Arsa, antar temanmu ke kamar mandi, ya?” Jeriko memberi titahnya pada Arsaka. Lelaki itu mengangguk, lalu menyalami Jeriko terlebih dahulu.

Arsaka pun mengajak Alvaro dan Nuel. Sementara Senan dan Irvan nanti saja bersama Lino. Ya, Senan. Dia berakhir di sini karena Windi ibunya ternyata mendapat shift malam hari ini. Satu-satunya yang tak ada di sini hanyalah Nuraga. Lelaki itu sudah diantarkan ke rumah sakit, tempat Dafitra dirawat.

Kemudian, Jeriko pun mengajak mereka yang tersisa untuk duduk bersila di atas karpet yang telah disediakan berbagai macam hidangan. Kali ini, mereka makan malam layaknya tengah hajatan.

“Kamu yang masak semua, Jer?” tanya Tatang takjub. Apalagi saat melihat acar gurame, menggugah selera sekali menu yang satu itu.

“Enggak, tadi aku dibantu Mbok Tati,” jawab Jeriko santai. Mbok Tati adalah orang yang sudah bekerja dengan Jeriko sejak lama. Meski sudah tua, Mbok Tati masih terlihat bugar. Makanya, ia dipercayakan Jeriko untuk mengontrol Arsaka dikala anak itu sibuk dengan dunia belajarnya.

“Gimana? Capek?” Jeriko mengedarkan pandangannya pada Lino, Senan, dan Irvan. Ia bertanya pada tiga pemuda tersebut. Namun yang menjawab hanya Lino dan Senan. Sedangkan Irvan masih memilih bungkam.

“Irvan, gimana, Nak? Bapak dengar semalam kamu sakit. Sudah sehat?”

Rasanya, hati Irvan bergetar. Tiba-tiba ia dilanda rindu yang menggebu-gebu. Bayang masa kecil yang selalu menghabiskan waktu sendirian bersama robot dan mobil mainan, membuat Irvan tersentuh saat Jeriko memanggilnya dengan sebutan ‘Nak’. Tulus sekali rasanya terdengar ke dalam rungu Irvan. Mendadak, ia menjadi iri. Beruntung sekali Arsaka punya ayah angkat seperti ini. Sedangkan orangtua kandung Irvan sendiri, rasanya tak pernah memanggil dirinya seromantis ini. Ia sering ditinggal sendiri. Kedua orangtuanya sibuk mencari materi duniawi.

“Irvan?” Jeriko kembali memanggil.

Lino pun menyenggol lengan pria itu. “Ditanyain tuh!” serunya.

Irvan hanya bisa tersenyum kaku. “Iya, Pak. Semalam meriang. Tapi sekarang udah lumayan enakan.”

Jeriko mengangguk-angguk. “Keren juga,” ucapnya sembari menunjuk lebam di wajah Irvan dengan menggunakan dagu. Tentu, itu hasil karya ciptaan tangan Lino Cakrawala dan Arsaka Laksana.

“Sakit?” lanjut Jeriko bertanya dengan nada penuh kepedulian.

Lino dan Senan malah tertawa. “Pasti sakit lah, Pak. Orang ampe meriang gitu,” ledek Lino. Padahal, dia adalah orang yang rela terjaga hampir sepanjang malam hanya untuk memastikan Irvan tidur dengan nyaman.

“Asal tidak akan menyesalinya, ya silahkan,” ujar Jeriko meraih piring untuk dibagikan satu-satu.

Senan meringis. Ia ingat sekali betapa menyesalnya mereka tidak melerai perkelahian itu. Coba saja kalau hal itu tak terjadi, maka tak kan ada sesi mengupas dan mengiris bawang yang akan masuk ke dalam ingatan memorinya. Sampai kapanpun, akan mereka ingat bagaimana perihnya mata saat berhadapan dengan bahan dapur tersebut.

Jeriko tertawa saat mendengar cerita Senan. Berulang kali anak itu menatap Tristan, Yudhistira, dan Tatang yang dengan tega menyuruh mereka melakukan hal tersebut. Cerita bahkan mengalir deras disaat baru duduk selama lima menit.

“Lin,” Arsaka memanggil Lino. Memberi kode untuk gantian mencuci tangan dan kaki.

Lino pun pamit berdiri diikuti oleh Senan dan Irvan. Kini giliran Arsaka, Alvaro, dan Nuel yang duduk bersila.

“Lo tau kamar mandinya dimana?” heran Irvan.

Lino tertawa. “Tau. Kan gue pernah nginep di sini.”

“HAH?!” Kaget Senan dan Irvan bersamaan. Kapan pula lelaki ini kemari?

“Kaget, ya? Hahaha... ”

“Kapan emangnya lo ke sini?” tanya Senan penasaran.

“Udah lama. Inget gak, waktu pagi gue berangkat sekolah bareng Arsa? Nah, malam itu, gue nginep di sini,” jawabnya menjelaskan.

“Yang waktu lo gak sengaja nabrak dia?” Lino pun mengangguk.

“Ngapain lo nginep di sini?” Irvan ikut penasaran. Seperti tak punya rumah saja temannya itu.

“Ya biasalah, lagi males di rumah,” sahut Lino tanpa berniat untuk menjelaskan detail cerita. Sakit hati saja kalau mengingatnya.

Hampir pukul sembilan malam, acara makan malam tersebut telah usai sejak bermenit-menit yang lalu. Khidmat, dan nikmat sekali rasanya hidangan yang disediakan oleh Jeriko malam ini. Kenyang semua perut mereka.

Kini, enam orang itu telah duduk dengan mengelilingi sebuah meja yang terbuat dari kayu di halaman kontrakan Arsa. Cuaca di sini sangat terang. Tak ada hujan deras, tak ada gemuruh dan petir. Bahkan, langit pun tampak indah. Bintang dan bulan bergelantungan di atas sana. Bunyi jangkrik turut menemani malam mereka.

“Nih, batu domino.” Jeriko menyerahkan sekotak benda tersebut. Para pemuda itu pun menyambutnya dengan dengan wajah yang begitu cerah.

“Eits!” Jeriko menarik ulur pemberiannya. “Tapi dua orang yang kalah, harus cuci piring.”

Wajah anak muda itu berubah masam. Kecuali Arsaka, Alvaro, dan Senan. Tiga pemuda itu sudah biasa mencuci piring. Arsaka terbiasa di panti, Alvaro terbiasa tinggal sendiri, dan Senan telah terbiasa karena ia sering membantu tugas rumah sang ibu yang bernama Windi. Sementara Lino dan Nuel, dia tak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tersebut. Apalagi Irvan. Malas sekali rasanya saat harus menyentuh piring kotor dan makanan sisa.

Namun, karena sungkan sudah diberikan makan malam gratis, mereka hanya bisa menekuk wajahnya saja. Pria tersebut bertekad untuk menjadi pemenang malam ini! Maka dari itu, dia akan terhindar dari hukuman tersebut.

“Oke, deal!” jawab Lino terlebih dahulu. Yang lain pun hanya manggut-manggut menyetujui.

Batu domino itu semua tertelungkup. Hanya warna hijau saja yang kini terlihat. Irvan dengan semangat mengacak benda tersebut sebelum permainan dimulai. Kemudian, ia bagi rata.

“Hompimpa alaiyyum gambreng!”

Suara mereka terdengar nyaring. Tujuan melakukan hal ini adalah untuk mencari urutan pemain.

“YESSS!!!” Lino bersorak gembira saat ia menjadi pemain pertama. Satu-satunya yang memberikan punggung tangan saat hompimpa tadi hanyalah dirinya.

“Mpok Ipeh pake baju ronggeng!”

Pemuda itu melanjutkan acara hompimpa. Yang paling keras suaranya adalah Arsaka, Nuel, dan Senan. Tiga lelaki itu hapal sekali mantra sebelum memulai permainan.

Sementara Alvaro, Irvan, dan Nuel hanya komat-kamit tidak jelas. Ia kurang hapal dengan tradisi ini. Alvaro yang masa kecilnya sebelas dua belas dengan Irvan itu, dulu tak punya teman. Begitu pula dengan Lino. Dia itu sulit bergaul dengan orang baru. Makanya dulu, masa kecilnya jauh dari kata bahagia. Terlebih, orangtuanya selalu mengutamakan Sandi. Terpaksa, Lino harus main sendiri.

Kaleng bekas rombeng-rombeng!”

Pemain pertama, Lino. Pemain kedua, Alvaro. Pemain ketiga, Irvan. Pemain keempat, Senan. Sedangkan pemain kelima dan keenam adalah Arsaka dan Nuel. Kini, saatnya memulai permainan.

Di bawah pohon kelengkeng yang tingginya tak seberapa itu, Jeriko terkekeh melihat kegiatan si anak muda. Ia tak ikut main. Ada Tristan, Tatang, dan Yudhistira yang masih berada di sini. Mereka duduk di sebuah pondok kecil yang juga ada di halaman kontrakan. Berteman kopi hitam yang mulai dingin, om-om itu pun saling berbagi cerita layaknya anak muda.

Ah, sepertinya nanti saja ia berbincang dengan kawula muda yang sesungguhnya. Biarkan mereka bersenang-senang terlebih dahulu dengan dunianya.

“Gimana sama plan selanjutnya?” tanya Yudhistira kemudian. Pembicaraan pun mulai berangsur serius. Mereka sama sekali tak takut kalau didengar oleh siapapun. Sebab, suara batu domino yang menghantam meja diiringi canda tawa para pemuda tersebut membuat perbincangan mereka tak akan menimbulkan tanda tanya pada siapa pun yang tak sengaja mendengarnya.

Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet