Langka

rofenaa
10 min readJan 27, 2022

Harshword, adegan tidak untuk ditiru!

Kicau burung di sore hari itu bersahutan. Kepakannya pun juga masuk ke dalam rungu sang pemilik nama, Arsaka Laksana. Sudah dua menit dihabiskan untuk menanti kedatangan orang yang ia tantang kekokohannya itu. Irvan, dia memang sekali-kali harus diberi pelajaran secara nyata. Bukan hanya pendidikan karakter, namun sudah sepantasnya Irvan juga mendapatkan hal yang semestinya telah Arsaka berikan sejak lama.

Meremehkan, menjatuhkan, dan merendahkan orang lain adalah hal yang sangat buruk. Sangat tidak dibenarkan jikalau kita berlaku demikian. Terlebih, terhadap teman sejawat. Tercela sekali akhlaknya karena bersikap demikian.

Selang beberapa saat, dehaman berat pun terdengar. Irvan telah datang dengan raut datar dan netranya yang menatap tajam. Rahang pria itu terlihat keras dari biasanya. Mungkin, Irvan sudah tak sabar untuk segera merealisasikan tujuannya datang kemari. Lihat saja, tangannya sudah mengepal cukup kuat. Siap untuk menghantam lawan pada bagian tubuh manapun.

Atensi mereka beradu, saling bersitatap dengan sorot yang berbeda. Jika Irvan menatap dengan sorot penuh kebencian, maka ada Arsaka yang menatap dengan biasa saja. Ya meskipun dalam hatinya sempat berdoa bahwa perkataan Alvaro hanyalah gurauan semata.

Meskipun Arsaka sudah sabuk hitam dalam seni bela diri karate, tentu cara bermain petinju akan sangat berbeda dengan cara bermain atlet karate yang biasanya ia hadapi saat latihan dan ujian kenaikan sabuk selama ini. Ditambah lagi, semenjak kelas dua belas, Arsaka sangat jarang berangkat latihan untuk mempertahankan kecakapannya. Arsaka sungguh sangat sibuk karena harus belajar, belajar, dan belajar. Tak cukup waktu untuk datang latihan di setiap sabtu sore tersebut. Jadwalnya yang padat sebagai siswa teratas Garuda Pancasila, membuat Arsaka harus merelakan beberapa kegiatan yang ia suka sejak kelas satu tsanawiyah.

“Gak usah pake basa-basi lagi, tangan gue udah gatel pengen nonjok muka sok polos lo itu.” Irvan benar-benar sangat tak sabaran rupanya.

Arsaka terkekeh pelan. “Sebentar, kamu memang mau langsung adu jotos aja? Gak mau bicara berdasarkan kemanusiaan dulu gitu?” Pertanyaan yang mengandung unsur ajakan berdamai itu malah menyiratkan kesan pengecut menurut Irvan. Arsaka pasti tengah ketakutan sekarang, pikirnya.

“Gak ada kata kemanusiaan di antara kita,” sahut Irvan yang tiba-tiba menarik kerah baju kaus milik Asraka. Ia seret si pemancing emosi tersebut ke tengah taman belakang penginapan yang cukup luas. Ternyata Arsaka memilih tempat yang memang jarang untuk disinggahi dan didatangi oleh penghuni penginapan sendiri. Buktinya, taman ini sepi sekali.

Bugh!

Kepalan keras milik Irvan mendarat tepat di pelipis kanan Arsaka. Dia yang dihantam tanpa aba-aba itu pun memicing dan limbung. Pandangannya seketika menggelap saat satu pukulan lagi melayang di pipi kiri. Arsaka meringis bukan main. Kalimat Alvaro nyatanya sungguh tak main-main.

“Ck, mana anjing?! Segini doang kemampuan lo?” ledek Irvan semakin menarik kerah sang lawan. “LEMAH!!!” bentaknya tepat di hadapan wajah Arsaka.

Dug!

“Sorry,” ucap Arsaka saat membalaskan pukulan telak pada Irvan. Ia memilih untuk melayangkan pukulannya pada bagian dagu lawan. Sehingga, yang paling menyakitkan bagi Irvan sendiri adalah, lidahnya tergigit oleh giginya sendiri dengan sangat kuat. Bahkan, rasa asin dari darah pun dapat ia rasakan saat itu juga.

Irvan mengumpat, “Anjing!” dan kemudian meludah. Ia tatap Arsaka dengan penuh kebengisan.

Arsa lagi-lagi meringis. ”Maaf,” gumamnya saat satu tendangan ia arahkan pada tangan Irvan yang hendak menghatam wajahnya kembali.

”Akh!” Irvan kemudian mendesis geram. Ia tak menyangka, bahwa tanpa disangka, sang lawan nyatanya memiliki kemampuan berkelahi yang cukup handal.

Dua jenis bela diri yang mengandalkan kekuatan berbeda itu beradu kembali. Karate yang mengutamakan tendangan, dan boxing yang mengutamakan pukulan. Mereka saling menghantam, menyerang, dan menghindar satu sama lain. Melindungi diri bersamaan dengan pemberian serangan.

“Taruhan yuk? Tar yang kalah kudu traktir Starbucks satu bulan.”

Plak!

Nuel meringis protes saat Nuraga malah memukul kepala belakangnya begitu saja. Ya, Nuel dan Nuraga, mereka yang sedang asyik menikmati angin sore dari balkon kamar penginapan pun malah berakhir menyaksikan hal langka yang sedang terjadi di taman belakang sana.

“Gak usah ngada-ngada,” ucap Nuraga yang kembali fokus pada pemandangan mereka.

Arsaka dan Irvan, mereka tengah adu hantam. Dilihat dari sini, *skill* milik ‘Si Anak Panti’ tampak mendominasi. Kakinya berulang kali melayang pada tubuh sang lawan. Satu dua terlihat pula Irvan yang menghantam perut Arsaka dengan pukulannya.

Jatuh bangun keduanya, mereka saksikan tanpa berkedip mata. Belum ada niat untuk menghentikan pertikaian anak cucu adam tersebut. Menyaksikan dua orang yang jarang main tangan, memang merupakan suatu hal langka yang harus mereka abadikan dalam memori.

Sementara Alvaro, ia menyaksikan perkelahian itu tak sejauh jarak Nuraga dan Nuel menyaksikan.

Alvaro menonton tanding otot ini sembari berdiri di teras belakang. Tangannya bersedekap di depan dada. Menunggu siapa yang akan tetap berdiri hingga akhir permainan nanti. Namun, Alvaro geram sendiri saat menangkap gerakan Arsaka yang beberapa kali terlihat mengalah dan sengaja tidak menghindari serangan Irvan.

“Brengsek!” Irvan kembali menghantam rahang Arsaka. Pria itu tampak menahan sakitnya yang begitu luar biasa. Tangan yang dominan ia gunakan untuk melindungi diri dari serangan Irvan itu sebenarnya tengah sakit. Semalam sempat teradu dengan kaki meja saat Alvaro mengumpatinya yang muncul dari bawah.

Kondisi Irvan dan Arsa tak jauh berbeda. Sama-sama berantakan dan kacau. Irvan begitu sangat bernafsu untuk menghadiahkan pukulan demi pukulan pada Arsaka. Berkali-kali meringis, berkali-kali pula serangan balik Arsaka hantarkan. Mulai dari bahu, dada kanan, perut kiri, hingga rahang kanan, semuanya sudah Arsaka balaskan dengan tendangan.

Namun, jauh dari itu, Arsaka tahu, bahwa disetiap pukulan Irvan, ada emosi yang ia coba lepaskan. Sorot amarah yang ia layangkan, Arsaka tahu bahwa Irvan tengah membendung segala kesedihan. Temannya itu, sebenarnya butuh orang yang benar-benar bisa menyayanginya tanpa rasa kasihan.

“Gara-gara lo,” gumam Irvan di tengah sesak. “SEMUA GARA-GARA LO ANJING!!!”

Bukkhh!!!

Arsaka merunduk dalam. Irvan sungguh tega menghantam hidungnya hingga cairan berwarna merah itu seketika mengalir.

Padahal, sejak awal, bisa saja Arsaka langsung menyerang titik-titik kelemahan lawan. Namun karena ia tak ingin menyakiti, jadilah Arsaka hanya menyerang pada titik yang umum untuk diserang. Tapi siapa sangka, Irvan malah menyerang hidungnya begitu telak. Semoga saja sampai tidak retak.

“ARSA!!!” Lino, dia tentu juga menyaksikan hal tersebut. Kebetulan saat dua orang itu saling hantam, ia sedang berada di dapur. Salah satu sisi dinding dapur yang interiornya menggunakan kaca tembus pandang pada halaman belakang tersebut membuat semuanya terlihat jelas. Bahkan, Senan yang dikenal tak suka keributan dan kekerasan pun ikut panik saat menyaksikan hal tersebut dari jendela kamarnya.

“WOI!!!” Alvaro yang sudah berjaga-jaga sejak awal itu pun berlari mendekat saat mendapati Irvan hendak menghantam tengkuk Arsaka dengan sikunya. Ia tahan gerakan Irvan dengan cara menarik Irvan agar menjauh dari tubuh Arsaka.

“IRVAN ANJING, LO GILA HAH?!!” Umpatan dan bentakan itu berasal dari Lino yang juga langsung berlari menghampiri Arsaka. Bahkan, segelas minuman berperisa jeruk telah tumpah di atas meja dapur akibat dirinya terlalu panik. Hal yang dilakukan Irvan sungguh berbahaya. Terlebih, kalau telat sedikit saja Alvaro menahan pergerakan Irvan yang ingin menghantam tengkuk Arsa, mungkin pria itu bisa berakhir kehilangan kesadaran saat itu juga.

“Lepas!” Irvan menggeram kesal saat Alvaro begitu kuat menahan langkahnya menuju Arsaka yang mencoba untuk berdiri tegak.

“LEPAS ANJING!!!” Bentakan kekesalan pun jelas terdengar mendengung di telinga Alvaro. Suara Irvan benar-benar dapat merusak gendang telinga. Besar, dan keras sekali.

Bugh!!!

Semua terdiam. Langkah cepat milik Nuraga, Nuel, dan Senan bahkan ikut kaku saat Lino melayangkan bogeman telak pada pipi kiri Irvan.

“LO KALAU KECEWA SAMA ORANG LAIN, GAK KAYAK GINI CARANYA, ANJING!!!”

Deru napas memburu terdengar bersahutan. Semua semakin diam terpaku saat Lino membentak Irvan dengan suara menggelegar. Amarah yang menyiratkan rasa kecewa terdengar lantang, menusuk hingga lubuk hati Irvan yang paling dalam.

Irvan, teman yang dari awal telah menemaninya sejak masa orientasi dulu, kini bukan lagi temannya. Lino merasa temannya itu telah berubah. Padahal, Irvan adalah satu-satunya orang yang mau mengajak Lino berbicara saat MOS dulu.

Saat itu, orang-orang tampak enggan untuk bertegur sapa. Tapi Irvan, dengan senyum yang begitu cerah, datang menyapa dirinya yang tengah bermenung diri. Namun kini, Irvan tak lagi sama. Sikapnya tak seramah dulu. Semakin hari, pribadi dan perkataannya semakin toxic dan menyakiti hati orang lain. Lino benar-benar kehilangan sosok Irvan yang dulu.

Sementara itu, Irvan sendiri, ia merasa bahwa Arsaka telah merebut Lino dari sisinya. Mengambil pria itu tanpa berniat untuk mengembalikannya seperti sedia kala. Irvan, dia juga kehilangan karibnya. Lino yang selalu setia berada di sisinya, kini tak lagi ada untuk mendampingi. Lino yang selalu ia ledek dengan berbagai macam ejekan, nyatanya itu hanya alibi belaka. Ia hanya ingin Lino selalu berinteraksi dengan dirinya. Meski semakin hari ia semakin membuat kesal Lino kesal, nyatanya Irvan senang, ketika Lino juga datang untuk menghampirinya saat malam di *rooftop* sekolah. Tapi lagi-lagi, hanya Arsaka yang kini memenuhi garis pertemanan Lino. Sedangkan Irvan, telah jauh tertinggal.

“Gue kecewa sama lo, Van,” gumam Lino kemudian. Sorotnya yang menatap kecewa tak kalah jauh dengan milik Irvan.

Ah, Arsaka akhirnya mengerti kenapa Irvan bisa sebenci ini pada dirinya. Kenapa Irvan denial terhadap segala usaha dan kepeduliannya. Itu semua, selain karena masalah yang tengah menimpa, dari awal Irvan telah merasa kehilangan sosok orang terdekatnya, Lino.

Ya Allah, kenapa ia baru sadar sekarang? Sebab memang kalau diperhatikan, sebelum Arsaka semakin dekat dengan keenam pemuda tersebut, Irvan memang paling dekat dengan Lino meskipun terlihat sering beradu pendapat. Sementara Nuraga dan Nuel, mereka yang sudah berteman dari lama memang tak lagi dapat terpisahkan. Sedang Alvaro dan Senan, sejak awal mereka sudah saling mengetahui rahasia hidup setiap masing-masingnya.

Arsaka menghela napas berat. Ia gosok hidungnya yang merah karena darah, ia bersihkan secara acak dengan baju yang tengah ia pakai. Kini dunianya telah terlihat normal dan biasa saja. Tidak gelap seperti tadi. Tapi jujur, ini memang sangat menyakitkan. Irvan juga pasti tengah merasakannya. Namun, Arsa pikir, sakit dalam diri dan hati Irvan mungkin lebih dahsyat lagi daripada sakit di hidungnya ini.

“Irvan, maaf...” ucap Arsaka yang menatap lurus pada Irvan. Namun atensi Irvan sama sekali tak beralih dari Lino yang menatapnya muak. “Sekarang Arsa ngerti kenapa kamu semarah ini,” lanjutnya.

“Kamu bukan hanya kecewa pada orangtuamu. Kamu juga bukan cuma kehilangan kepercayaan pada dirimu sendiri,” Arsaka bergumam pelan. Namun semua masih dapat mendengar. Bahkan tatapan Irvan sudah mulai beralih pada Arsaka. “Tapi kamu juga kecewa karena kehilangan sosok orang terdekat di waktu yang bersamaan.”

Irvan hanya diam.

“Kamu kecewa, dan kamu juga kehilangan sosok Lino Cakrawala. Teman kamu, kan?”

Rahang Irvan mengeras. “Gak usah sok tau!!!”

“Tapi gue juga tau,” potong Lino cepat. “Akhirnya gue tau gimana bisa lo jadi sebringas ini.” Tatapan kecewa terpancar jelas dari mata Lino.

Alvaro yang menahan Irvan dengan kedua tangan yang dibekuk ke belakang pun masih memilih diam. Ternyata inti masalahnya ini, toh?

Kehilangan teman nyatanya memang lebih menyakiti hati dan harga diri Irvan. Alvaro jadi marasa sedikit kasihan. Sebab, Irvan sendiri merupakan anak tunggal. Mungkin selama ini ia merasa kesepian? Seperti dirinya. Apalagi, setelah merasa kehilangan Lino yang biasanya memang perhatian terhadap teman, Irvan benar-benar merasa sepi dan sendirian.

“Denger ya,” Irvan membuka suara, “gue gak butuh belas kasihan dari lo semua.” Ia masih saja membantah. Ya meskipun pada dasarnya Irvan memang tidak suka dikasihani, sesungguhnya ia memang merasa sepi. “Terutama lo, Arsaka,” ucapnya menekankan.

Arsaka hanya bisa menghela napasnya lagi. Irvan memang paling keras kepala dan keras hati.

“LEPAS, BRENGSEK!!!” Irvan kembali memberontak saat Alvaro yang tak kunjung melepaskannya. Hingga pada akhirnya, setelah menahan sekuat tenaga, Irvan pun terlepas jua.

Lino langsung berdiri di depan Arsaka. Melindungi keberadaan pria itu dari terjangan Irvan jika ia mengamuk lagi.

Bugh!!!

“Buat lo!” desis Irvan membalaskan pukulannya pada Lino hingga pria itu tersungkur.

Siapapun dibuat meringis ngeri. Terlebih Nuraga. Sudah terbayang seberapa sakitnya pukulan Irvan. Pasti akan meninggalkan jejak biru keunguan hingga beberapa hari ke depan.

Saat Arsaka masih kaget melihat Lino di tanah,“HEI, BOCAH!!!” tiba-tiba suara menggelegar dari sosok lain terdengar memecahkan keheningan.

Tuk! Tuk!

Sentilan keras yang mendarat di jidat pun Arsaka terima dari sosok tersebut. Begitu pula dengan sosok Irvan. Mereka berdua sama-sama meringis dan mengusap jidat.

“Apa-apaan kalian? Mau jadi jagoan?!” omelnya dengan tatapan memicing. Tangannya bertengger di pinggang. Persis seperti bapak-bapak yang memarahi anaknya.

Lihatlah, dua pemuda itu sudah babak belur. Yang satu berantakan, yang satunya lagi tak kalah jauh pula berantakannya.

Irvan menatap benci. Dari semalam ia tak suka dengan sosok ini. Yudhistira, namanya. Rambut gondrong, galak, dan sangat tidak ramah itu juga malah ikut campur terhadap urusannya saat ini.

“Memang susah diatur ya kamu?” Yudhistira kembali membuka suara. Kali ini ia menatap Irvan dan Arsaka secara bergantian. “Kalian dibawa ke sini itu untuk diamankan. Bukan untuk membuat keributan, paham?!”

Semua hanya diam. Pada dasarnya, mereka memang tidak memiliki jiwa pembangkang. Terlebih pada yang lebih tua. Kalau melawan orangtua kandung, mungkin beda cerita. Seperti Alvaro, contohnya.

“Ini juga, temen berantem bukannya dipisahin malah jadi penonton.” Yudhistira mengedarkan pandangannya pada sosok Alvaro, Nuraga, Nuel, dan Senan. “Kamu berdiri,” titahnya kemudian pada Lino. Pria itu pun berdiri dibantu Arsaka.

“Kamu gapapa?” bisik Arsa yang masih saja sempat mengkhawatirkan orang lain. Lino mengangguk. Kondisi Arsaka tentu lebih parah. Bekas darah di hidung belum sepenuhnya hilang dan dibersihkan.

“Kamu, ikut saya.” Yudhistira menunjuk Irvan untuk segera mengikutinya. “Arsaka, kamu bersihkan darah di hidungmu itu, lalu temui Tristan.”

Arsaka hanya mengangguk menuruti. Sementara Irvan semakin menatap tak suka. Kenapa pula ia harus menuruti perintah mereka?

“Dan kalian semua, ke ruang tengah sekarang.” Pada akhirnya, mereka semua akan menerima hukumannya masing-masing.

Yudhistira akan menangani Irvan untuk ia didik. Sementara Arsaka akan berhadapan langsung dengan Tristan sebab telah melanggar larangannya. Sedangkan lima orang lainnya akan berhadapan dengan Tatang.

“Awas lo!” Irvan sempat-sempatnya melotot pada Arsa yang mulai melangkah pergi untuk membersihkan darah. Ia harus bersih sebelum menemui Tristan di tempat tadi malam pria itu membawanya.

Tak lama, Yudhistira pun pergi membawa Irvan. Sementara Alvaro hanya bisa menatap kepergian dua orang tersebut yang meninggalkan taman belakang. Lino dan yang lain pun kemudian mengikuti langkah Arsaka menuju kamar. Ia membuntuti pria yang akan membersihkan darah dan mengganti baju tersebut.

“Sakit ya?” tanya Nuel saat Arsa meringis sebab tak sengaja sedikit keras mengusap hidungnya dengan air hangat. Rasa mau patah indera penciumannya itu.

“Ya sakit lah goblok, pake nanya lagi lo!” sahut Nuraga yang menjawab pertanyaan Nuel. Ia berbaring di ranjang. Kamar ini dipenuhi oleh lima orang pemuda.

Sementara Alvaro sudah berada di ruang tengah. Kali ini ia hanya ingin terlihat netral. Jika ia tak bisa menemani Irvan, maka ia tak perlu juga melihat Arsaka di dalam sana.

“Eh, gue mau ikut lo dong, Sa.” Senan membuka suara saat Arsaka telah selesai membersihkan darah di hidungnya.

“Jangan, kamu ke ruang tengah aja.”

“Tapi gue penasaran,” jawab Senan. “Hubungan lo sama Pak Tristan emangnya apaan sih?” lanjutnya.

Arsaka terkekeh. “Gak ada apa-apa. Kamu tenang aja. Arsa bukan teroris.”

“Yeeeuu, lo pikir gue lagi becanda?!” Senan malah menggeplak kepala Arsa seenak jidatnya. Menambah derita si pemilik kepala yang tengah kesakitan.

“Ehh, sorry-sorry, reflek.” Senan langsung mengusap bekas pukulannya pada kepala Arsaka. Lino hanya bisa geleng-geleng kepala sembari mengompres pipi kirinya yang menjadi sasaran Irvan tadi.

Lino juga berkali-kali mengumpat saat Nuraga dan Nuel dengan tega menjahilinya saat tengah mengompres pelan lebam tersebut. Mereka sungguh tidak berakhlak sama sekali, sebab menekan tangan Lino yang tengah mengompres, membuat lukanya tertekan dan semakin terasa nyeri.

Bukannya merasa bersalah, Nuraga malah tertawa puas bersama Nuel. Senang sekali tampaknya melihat Lino meringis dan mengumpat. Sementara Arsaka, yang luka dan lebamnya lebih banyak, belum sempat untuk mengompres. Ia harus segara menemui Tristan saat ini juga.

Hukuman untuk Arsaka, kini telah menanti di depan mata.

Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet