Lepas Resah

rofenaa
9 min readMay 10, 2022

--

Semakin mencoba memejamkan mata, semakin pula bayang Adibya menjadi nyata. Malam Minggu bahkan sudah berlalu beberapa menit yang lalu. Najmi sampai berulang kali menatap tanggal di layar ponselnya yang kini telah berganti hari. Dari Sabtu ke Minggu, pukul satu tak kunjung turu.

Balik kiri, balik kanan, geser tipis, putar sedikit, telentang, tengkurap, sampai guling-guling di atas kasur pun sudah Najmi lakukan sejak tiga jam terakhir. Pikirannya melayang-layang entah kemana. Prasangka buruk yang ia coba usir jauh-jauh tetap saja masih bersemayam dalam hatinya yang resah. Sebab, jika Najmi pikir lagi, dia hanyalah seonggok Bunga Tahi Ayam yang berani tumbuh pada hamparan luas Marigold Prancis.

Ibaratnya, di antara puluhan rumpun yang tumbuh di taman bunga, Adibya si lebah pencari nektar malah hinggap pada Najmi si Bunga Tahi Ayam yang mencolok dan berbau tidak sedap. Menurut pemikiran Najmi yang masih cetek perihal asmara ini, Adibya itu berhak untuk mendapatkan bunga yang lebih indah dan lebih wangi dibanding dirinya yang jauh dari kata sempurna. Sebab, jika bicara cantik dan pintar, tentu saja Puja adalah pemenangnya. Pula jikalau bicara dewasa dan berkarisma, wanita tadi siang lah yang mungkin akan bertahta di hati Adibya. Dia ini bukan apa-apa. Tak ada alasan kuat untuk Adibya bertahan di sisinya yang tidak ada apa-apanya.

Najmi pun mengucek matanya yang sedari tadi sudah perih menahan bulir kegundahan. Tidak rela, namun otaknya selalu berkata, “Udah lah, gak perlu digalauin kali! Adibya juga nggak pantes buat lo. Dia itu cowok brengsek. Cowok apaan sih yang taruhan perempuan cuma gara-gara astrea jadul? Gila! Kayak orang miskin gak disekolahin aja!” namun hatinya tetap menolak mentah-mentah.

“Perempuan tadi pasti juga gebetan dia! Lo itu bukan satu-satunya, Najmi! Lo itu cadangan kesekian yang cuma modal nyali sama duit bokap lo doang! Adibya gak bakalan mau sama lo! Sadar dong!”

Dan masih banyak lagi suara-suara negatif yang mengahantui Najmi. Mirisnya, suara itu malah tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Tercipta karena pikiran yang sudah terkontaminasi oleh prasangka buruk. Tak dapat dikontrol, tak dapat dihindari lagi.

Meski tak dapat dipungkiri, bahwa Najmi dapat mengacungkan dua jempol terhadap usaha Adibya yang ingin berbaikan kembali dengan dirinya. Seperti selalu mengirimkan pesan selamat pagi, bertanya berangkat magang dengan siapa, mau makan siang dimana, sampai mengirimkan makanan yang ia masak sendiri pun telah Adibya lakukan untuk Najmi.

Padahal, ia sendiri tahu, bahwa Adibya pasti sedang bingung dua belas putaran sebab dirinya yang mendadak menjadi pribadi pendiam dan cuek. Lelaki itu pasti tidak mengerti kenapa Najmi bisa tiba-tiba jadi begini. Namun apa daya, hanya itu yang dapat Najmi lakukan disaat rasa percaya dan bahagianya berubah menjadi ramuan amarah yang begitu pekat. Pula ekspektasinya yang terlalu tinggi, malah menimbulkan kekecewaan yang begitu mendalam.

Harusnya, Najmi tidak senekat ini dalam menaruh hati. Keberanian dan rasa percaya dirinya membawa pada badai masa lalu yang merusak asmara masa kini. Najmi cukup sakit hati.

“Jadi gini rasanya galau gara-gara laki?” gumam Najmi mencoba menghibur dirinya sendiri. Ia terkekeh pelan dengan durasi yang cukup lama. Namun kekehan tersebut berangsur berubah menjadi tawa yang cukup menggelegar.

“Anjing!” umpatnya kemudian, entah kepada siapa. Pukulan acak bahkan Najmi hantarkan pada guling yang ada dalam pelukannya.

“Kenapa harus taruhan?”

“Kenapa harus Puja?”

“Kenapa harus Ghandi?”

“DAN KENAPA HARUS ADIBYA?!”

Akhirnya, di dalam kamar yang sudah menjadi singgasana Najmi selama ini pun menjadi tempat pelampiasan segala kekesalannya. Amarah yang sudah mengendap selama satu minggu dalam dirinya itu pun keluar tanpa halangan apapun. Dadanya naik turun. Sarung guling dan sprei bahkan sudah tak lagi berbentuk akibat ulahnya sendiri.

Namun, seolah semesta tak mengerti kebingungan hati Najmi, netra gadis itu menangkap setoples cookies yang bertengger tenang di atas meja belajar. Pada akhirnya, makanan tersebut dapat ia selesaikan tadi sore, dengan Shiddiq yang paling banyak membawa pulang. Pula seloyang brownies varian red velvet dengan topping oreo tersebut masih terbungkus apik di dalam kotaknya. Makanan tersebut masih belum mau Najmi serahkan pada yang dituju. Sebab, dia baru mengingat bahwa Adibya tidak bisa mengonsumsi makanan yang terlalu manis. Ya walaupun ini sudah ditakar Septian agar tidak semanis biasanya, tetap saja, Najmi urung memberikannya pada Adibya. Amarahnya belum reda, wahai pemirsa.

“Kasain banget Si Lela, barang haram.” Entah terjepit saraf bagian mana, tiba-tiba Najmi malah berkata demikian sembari menghempaskan guling yang tak bersalah itu ke lantai. Gadis tersebut memilih untuk turun ke dapur demi mengambil air putih dingin. Kerongkongannya kering kerontang akibat bicara sendiri tanpa henti selama puluhan menit.

“Astaghfirullah!!!” Saat menghidupkan saklar lampu dapur, jantung Najmi rasanya hampir copot hingga ke mata kaki. Sosok yang duduk menghadap meja makan itu benar-benar mengguncang peredaran darahnya.

Dengan raut wajah tanpa dosa, Ghandi yang tengah menikmati Indomie rasa Kari Ayam dengan topping telur separuh matang tersebut tertawa. Namun langsung bungkam saat melihat wajah Najmi yang kembali berubah datar bak jalanan yang baru saja diaspal.

“Kenapa belum tidur?” tanyanya memberanikan diri. Sementara adiknya itu sudah sibuk membuka kulkas, lalu mengambil sebotol air mineral dingin untuk ditenggak habis.

Bukannya menjawab, Najmi malah kembali sibuk mengubek-ubek isi kulkas yang sekiranya bisa untuk ia kunyah.

“Lo laper?” Namun lagi-lagi Najmi tak mau menjawab. Ia masih saja mencari-cari apa yang ia inginkan malam ini. “Kalau laper, sini, makan mie yang ini aja. Gue bisa bikin lagi nanti.” Tepat setelah Ghandi berkata demikian, pendirian Najmi langsung goyah. Gadis itu menoleh meski sedikit enggan.

Padahal, dalam hatinya masih gengsi setengah mati. Namun cacing di perut ini sudah meronta-ronta minta diberi makan. Terlebih aroma mie yang sangat kuat untuk menggugah selera, membuat Najmi sedari tadi sudah susah payah meneguk ludahnya. Mau bikin sendiri, dirinya terlalu malas. Cari makanan cepat saji yang sekiranya bisa dipanaskan dalam microwave, malah tak kunjung ketemu. Jadilah, tawaran Ghandi menjadi pilihan terakhir.

Ghandi tersenyum lega. Meski tak mejawab, Najmi yang dengan santai meraih sendok dan mengambil posisi untuk duduk di samping Ghandi, berhasil membuat perasaan lelaki itu mulai membaik.

Usai menggeser mangkuk mie yang baru usak dua sendok tersebut, Ghandi pun berdiri untuk membuat mie yang baru untuknya.

Baru saja hendak melangkah, Najmi sudah menahan pergerakan Ghandi. “Satu berdua aja,” ucapnya singkat, datar, dan ringkas. Namun dapat menimbulkan sebuah buncahan rasa bahagia yang begitu besar. Adik kecilnya itu mulai terbuka kembali setelah tujuh hari tak sudi saling menyapa.

Ghandi tentu tak dapat menetupi rasa bahagianya. Meski tak kentara, lelaki itu mengacak pelan rambut pendek sang adik yang jarang dikuncir. “Nggak bakalan cukup. Itu buat lo aja, gue biar bikin yang baru,” sahutnya dengan senyum penuh ketulusan.

Kemudian lengang. Najmi yang tadi masih berteman rasa gengsi pun hanya diam. Sementara Ghandi sudah mengepalkan tangannya sekuat tenaga. Menahan selebrasi atas pertanda bahwa dirinya akan segera berbaikan dengan sang adik.

“Uda,” panggil Najmi setelah menyicipi dua sendok mie buatan Ghandi.

“Hm?” sahutnya langsung menoleh, mengabaikan air yang belum mendidih di dalam panci kecil. Sedang Najmi malah sibuk mengaduk-aduk mie di hadapannya. Tapi tak masalah. Yang penting, panggilan tersebut kembali menyapa rungunya.

Padahal baru seminggu, tapi rasanya Ghandi sangat senang saat mendengar Najmi kembali memanggil dirinya demikian. Menurut Ghandi, panggilan itu sangat spesial. Selain dulu dicetuskan oleh mendiang Mami untuknya sebagai abang dan anak sulung, Ghandi merasa tak banyak orang yang dapat memanggil dirinya sefasih Najmi dan keluarga Mami di Sumatera Barat. Logat dan intonasi yang berbeda, membuat Ghandi merasa menjadi satu-satunya manusia istimewa di pulau Jawa.

“Da Ghandi,” panggil gadis itu lagi. Ghandi yang masih belum berbalik ke arah kompor pun masih memperhatikan punggung kecil sang adik . “Kenapa?” sahut Ghandi pelan.

“Padahal rasanya sama-sama kari ayam. Tapi kenapa mie buatan lo selalu mirip sama mie buatan Mami?”

Ghandi benar-benar tak dapat menduga bahwa Najmi akan berkata demikian. Padahal, menurutnya, mie itu ia buat seperti biasa. Didihan air matang yang diberi sedikit irisan bawang merah, saledri dan daun sop. Lalu masukan telur rebus ceplok. Tak ada yang spesial menurut Ghandi. Namun Najmi benar-benar hapal setiap detail masakan mendiang ibunya. Dan meski Ghandi hanya bisa masak air, nasi, dan mie, masakan ini sangat mirip dengan buatan sang Mami yang telah dijemput oleh Sang Pencipta bertahun-tahun lalu.

“Gue kangen Mami.” Bohong rasanya kalau Ghandi tak turut merasa sendu. Terlebih saat mendengar suara Najmi yang berubah parau. Gadis itu bahkan susah payah menahan tangisnya. Untuk menelan saja rasanya sangat sulit. Sedihnya semakin bercampur aduk tanpa ampun. Hatinya benar-benar amburadul tak berbentuk.

Terkadang, pada malam-malam tertentu, Najmi bertanya pada langit-langit kamarnya. Kira-kira, bagaimana ya asyiknya berbagi cerita kehidupan dengan sang bunda? Bercerita apa saja. Entah itu cinta pertama kala remaja, sampai permasalahan yang muncul saat sudah bekerja.

Najmi menyesal rasanya dahulu tak pernah terbuka pada keluarga. Hari-hari yang ia lalui di sekolah berteman bully dan sepi, dijauhi karena merupakan seorang anak orang kaya yang selalu mendapat nilai tinggi, sampai terkunci di dalam kamar mandi pun pernah Najmi alami. Namun satu pun tak ada yang mau ia bagikan pada mereka. Seolah ceritanya hanya akan menambah masalah yang lebih besar nantinya.

Desahan penuh penyesalan pun mengudara. Menguar bersama oksigen malam hari yang menemani. Apa daya, toh, nasi sudah jadi bubur. Penyesalan pun selamanya hanya akan menjadi gumpalan keras yang menghantam dada. Tak ada yang bisa diperbaiki lagi selain Najmi merubah diri. Terbuka pada keluarga adalah jalan yang paling tepat setelah ia sadari.

“Gue kangen rendang buatan Mami,” lanjut gadis itu. “Gue kangen dibeliin mukena baru setiap lebaran.” Semakin ia bicara, semakin pula genangan memenuhi pelupuk mata. “Gue juga kangen suara cempreng Mami yang marah-marah waktu gue selalu ngabisin duit jajan buat beli novel.” Najmi ingat sekali. Saat SMP dulu, hampir tiap dua hari sekali ia pulang terlambat karena mampir ke Gramedia. Membawa pulang satu novel Karya Tere Liye yang sangat ia sukai sampai dimarahi sang Mami.

“Gue kangen Mami, Da Ghandi.”

Tak butuh arahan dari siapa pun, Ghandi langsung mendekap sang adik dari belakang. Dapat ia rasakan bahwa Najmi mulai bergetar dalam dekapan tipisnya. “Mami nggak bakalan marah ‘kan, kalau kita sebentar lagi punya mami baru?” gumam Najmi bertanya dalam sesaknya.

Entah kemana rasa gengsi yang begitu tinggi tersebut. Entah hilang kemana pula tembok es yang Najmi bangun sejak seminggu lalu itu. Semuanya seolah lenyap tanpa sisa. Gadis itu telah meruntuhkan segalanya hanya karena semangkuk Indomie Kari Ayam buatan Ghandi.

“Mami pasti ngerti, kok. Gue yakin,” sahut Ghandi mengusapkan pipi kirinya pada puncak kepala sang adik. “Gue kadang juga kangen sama Mami. Kata Papi, kata Pak Ustadz juga, kalau lagi kangen orang tua yang udah gak ada itu, kita bisa kirim doa.” Begitu sambungnya.

“Udah, jangan nangis lagi,” ucap Ghandi setelah Najmi mulai kembali tenang. “Mie-nya dihabisin, ya? Gue mau masukin telor dulu. Airnya udah mendidih.” Dekapan pun ia longgarkan, kemudian mengecup puncak kepala Najmi seklias, namun penuh dengan kasih sayang seorang kakak pada adik satu-satunya.

Kemudian kembali lengang. Tak ada lagi yang berbicara. Dua-duanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Najmi yang sibuk menghabiskan setengah mangkuk mie lagi, pula Ghandi yang mulai memasukan sebungkus mie ke dalam panci yang sudah lengkap dengan semua bumbu.

Saat asyik mengaduk pelan mie di dalam panci, Ghandi kembali dikejutkan dengan Najmi yang tiba-tiba memeluknya dari belakang. Persis seperti dirinya tadi memeluk Najmi. Bedanya hanya posisi mereka saja.

“Maaf…. ” ucap Najmi kemudian. Gadis yang tingginya hanya sebatas bahu Ghandi itu pun menyenderkan pipinya di punggung pria tersebut. “Maafin gue yang udah ingkar janji. Padahal mintanya cuma dua hari, tapi malah keterusan sampai seminggu.”

Ghandi terkekeh, lalu menyahut tenang. “Gak apa-apa. Lo juga berhak marah,” ucapnya sembari berbalik. Otomatis, pelukan Najmi pun terlepas. Ghandi usap pipi sang adik yang masih meninggalkan bekas air mata.

Beberapa detik berselang, Ghandi balas memeluk adiknya erat. “Maafin gue juga. Maaf udah nutupin hal sebesar ini dari lo. Maaf kalau gara-gara gue, hubungan lo sama Adibya juga ikutan renggang.” Najmi hanya mengangguk pelan dalam sandaran dada sang kakak.

“Gue cuma gak mau adek sematawayang gue pulang ke rumah yang salah. Gue takut lo kecewa, gue takut lo bakalan ngerasain sakit yang gue gak tau gimana cara nyembuhinnya. Maaf…. ”

Tak dapat lagi dihindari, tangis Najmi kembali pecah. Ghandi sampai sulit bernapas kala Najmi benar-benar erat saat memeluknya. Namun ia tetap membalasnya hangat sembari menenangkan.

“Udahan ih, meluknya, tar mie gue malah bertransformasi jadi naga lagi!”

Pukulan cukup keras pada punggung pun Ghandi terima dari tangan Najmi yang mengepal. Ia meringis, namun sekaligus lega saat gadis itu akhirnya melepaskan pelukannya. Lalu dengan lekas, Ghandi mewadahi mie-nya yang mulai kembang. Mau tak mau, ia harus tetap memakannya. Tidak boleh mubazir!

Setelah itu, karena kebetulan besok masih hari libur, Najmi pun menghabiskan waktu sampai pukul tiga dini hari dengan mendengarkan detail cerita dari Ghandi tentang taruhan remaja di ujung masa pubertas kala itu.

Pada dasarnya, mau bagaimana pun, Najmi yang benar-benar menaruh percaya besar pada anggota keluarga pun termakan cerita versi Ghandi Desra. Tanpa hasutan, tanpa bisikan. Kesimpulan dan keputusan bahkan sudah mulai terbentuk jelas dalam otaknya. Padahal, Najmi sendiri belum pernah membahas hal ini dengan lelaki tersebut. Najmi belum pernah mendengarkan bagaimana kisah cinta yang telah lama usai versi Adibya. Namun mengapa dirinya semudah ini dalam mengambil keputusan? Ia malah tega memikirkan berbagai macam spekulasi buruk dan prasangka tanpa bukti pada sosok Adibya Lofarsa.

Padahal, di bawah langit yang sama, ada yang tengah melangitkan namanya di sepertiga malam. Di hamparan sajadah yang selalu menjadi tempatnya bersujud, Adibya berdoa untuk dilancarkan segala urusannya. Pemuda itu, meski imannya tak sesempurna lelaki sholeh di luaran sana, ia tetap sadar, bahwa takdirnya ada dalam kuasa Sang Pemilik Alam Semesta. Sebab, dia bukanlah apa-apa tanpa Tuhannya.

Jikalau Najmi adalah jodohnya, maka dekatkanlah. Namun jikalau tidak, ia hanya bisa berdoa agar Sang Pencipta kembali menyembuhkan lukanya. Tolong berikan keikhlasan dan ketabahan kala melepas adalah kata yang selama ini sulit untuk Adibya terka maknanya. Sebab, ia masih belum siap untuk menghadapi sebuah kehadiran yang begitu berarti malah berujung tragedi lagi di dalam hidupnya ini.

“Najmi Desra, semoga takdir memihak kita.” Begitu harapnya.

Narasi 16 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet