Lingkar Kehidupan

rofenaa
17 min readMay 22, 2022

--

Seperti yang diucapkan oleh Immanuel pada Twitter-nya, Arsaka memang pribadi yang mudah tersenyum dan murah hati. Jadi wajar saja kalau suatu saat berpapasan dengan lelaki tersebut, tarikan yang begitu menarik untuk dipandang pasti akan terpancar dari wajahnya. Terlebih kalau orang lain yang terlebih dahulu menyapa. Arsaka akan menanggapinya dengan sangat luar biasa baik. Tak jarang, anggukan yang spontan ia berikan membuat para siswi histeris dan sedikit menggila.

Arsaka itu memang ramah sejak dulu, makanya banyak orang yang menyukai eksistensi lelaki itu meskipun identitasnya sebagai anak panti sudah menyebar luas hingga ke sudut-sudut sekolah. Tapi, ramahnya bukan seperti lelaki friendly yang suka menggoda perempuan dan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Kalau saja bisa dibilang, mungkin, Arsaka merupakan tipe lelaki yang jarang berinteraksi dengan perempuan. Dia hanya akan membicarakan hal-hal yang penting saja. Kalau ditanya, ya dijawab secukupnya. Topik yang ia gubris juga selalu berkaitan dengan pelajaran, ujian, buku di pustaka, rencana kuliah, dan pengalaman olimpiade. Lebih dari itu, ia tak mau ambil pusing. Entah ada yang confess, mengirim surat cinta, memberi cokelat, sampai ajakan hangout bareng di hari weekend pun tak akan Arsaka gubris barang sesenti.

Kalau saja hal ini terjadi pada Immanuel dan Nuraga, mungkin akan berbeda cerita. Jomblo dari jurusan Bahasa dan IPS itu sering mengeluh akan status mereka. Bukannya tak ada lagi yang disuka, tapi tipe yang menarik perhatian mereka sudah punya pacar semua. Pun, pilihan lain yang menjadi sasaran mereka sukanya malah pada sosok Arsaka Laksana dan Lino Cakrawala. Bukan pada Immanuel dan Nuraga. Selain mereka juga bagian dari Garuda Melegenda — yang namanya selalu dielu-elukan dan terkenal di seluruh penjuru Garpa — orang-orang banyak yang merasa tidak sepadan dengan mereka. Toh, siapa yang akan percaya kalau tampang-tampang seperti Nuraga dan Immanuel sama sekali tidak punya pacar maupun gebetan? Padahal memang benar tidak punya. Tapi apa daya, kita tentu tak dapat mengontrol pikiran orang lain.

“Arsa,” panggil seorang gadis yang sedari tadi tampaknya sudah menahan buncahan rasa penasaran. Namanya saja jam kosong, tapi kelas mereka bahkan tidak sempat untuk berbincang santai. Ambisius, seperti biasa.

Lelaki yang baru saja kembali dari pustaka dan menaruh buku pinjamannya itu ke dalam tas pun, lantas menoleh. Meski bel istirahat sudah berkumandang, niatnya untuk ke kantin bersama teman-teman yang lain pun ia urungkan sejenak. “Iya, kenapa?” jawab Arsaka pada sosok Arunika.

“Lo tau nggak Alvaro kenapa nggak dateng? Soalnya gue chat dari Senin sore juga nggak dibales,” ucapnya kemudian. Namun belum sempat Arsaka menjawab, Senan sudah memotong percakapan mereka terlebih dahulu.

“Lo serius gak tau keadaan cowok lo sekarang?” tanya Senan dengan pandangan yang mengintimidasi. Tatapan sinis yang dia layangkan membuat si gadis kebingungan. Arunika yang sama sekali tak paham pun hanya bisa mengerutkan dahi. Memangnya dia salah bertanya demikian? Toh, kalaupun Alvaro sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, apa Arunika wajib untuk tahu terlebih dahulu? Sementara dirinya saja tidak mendapatkan informasi apapun tentang lelaki itu. Dia bukan peramal.

“Maksud lo?” tanya Arunika kemudian. Ia tetap tidak paham kenapa raut Senan tampak begitu tidak suka dengan pertanyaannya barusan. Namun bukannya menjawab, Senan malah berdecih dan melangkah keluar kelas. Tak ia pedulikan sosok Arunika yang kini turut memandang tidak suka.

“Apaan sih tuh orang, nggak jelas!” sebalnya.

Arsaka hanya bisa garuk-garuk kening karena melihat tingkah teman-temannya ini. “Lo tau nggak, Sa?” ulang Arunika lagi. Arsa pun mengangguk pelan. Sedikit ragu untuk memberitahu, tapi gadis ini berhak untuk tahu.

“Tapi kamu jangan syok, ya?” pintanya pada Arunika.

Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam. Firasatnya mendadak merasakan bahwa jawaban yang akan disampaikan Arsaka setelah ini adalah kabar yang tidak mengenakkan hati.

“Senin kemarin Alvaro kecelakaan tunggal.”

Lutut Arunika mendadak kehilangan kekuatan. Ia lemas seketika. Jantungnya seolah diremat begitu kuat saat mendengar suara lembut Arsaka yang terselip kesedihan di dalamnya.

“Operasinya Alhamdulillah lancar. Tapi sampai sekarang Alvaro masih belum siuman,” sambung Arsaka membuat tangis Arunika pecah tanpa mempedulikan suasana kelas yang masih cukup ramai. Keduanya bahkan menjadi pusat perhatian hingga menimbulkan bisik tanya. Mengapa Arunika menangis di hadapan Arsaka? Suaranya memang tidak keras, tapi isakan gadis itu begitu kentara menusuk telinga.

Arsaka yang bingung harus apa, pun, hanya bisa memberikan kata-kata penenang bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.

Namun masalahnya, Arunika bukan sekedar sedih karena Alvaro kecelakaan. Tapi juga tentang hal-hal yang pacarnya itu lalui beberapa waktu terakhir ini. Mulai dari rangking paralel, tuduhan bullying, tidak lulus eligible, lebam yang Arunika tidak tahu penyebabnya, kepergian ibu Alvaro, sampai lelaki itu koma seperti sekarang membuat Arunika benar-benar merasa sakit dan iba. Pasti berat sekali menjadi sosok pemuda itu, pikirnya.

“Udah, jangan nangis. Nanti kalau Alvaro tau, dia pasti juga enggak bakal suka dan sedih.” Arsaka tidak terlalu pandai bagaimana menenangkan seorang gadis. Terlebih dia adalah pacar temannya sendiri. Selain memang cukup kaku, dia tak mau ada desas-desus lain yang bermunculan jikalau ia menepuk pelan pundak gadis itu.

“Gue boleh tau Alvaro dirawat di mana?” tanya Arunika kemudian. Tapi ia tak kunjung mendapatkan respon yang diharapkan dari sosok yang ada di hadapannya itu. “Sa?” bingung Arunika sembari mengusap air matanya.

“Besok. Besok Arsa kasih tau.”

“Kenapa harus besok? Lo tinggal ngasih tau gue sekarang.” Arunika tentu tidak mengerti apa alasan Arsaka menjawabnya demikian.

“Situasinya enggak kayak yang kamu lihat, Arunika. Besok kalau situasinya dirasa udah tepat, Arsa kasih tau,” jawabnya sedikit tidak enak hati.

“Tapi kenapa? Gue butuh penjelasan.” Namun Arsaka hanya diam. Bukannya tak mau menjawab, tapi ia hanya menjalankan apa yang kemarin Jihan pinta padanya. Ia juga tak tahu kenapa Jihan meminta untuk tidak memberitahu orang lain lagi di mana Alvaro dirawat, dan bagaimana kondisinya secara pasti. Hanya sampai besok. Jihan akan pastikan itu. Setelahnya, Arsaka ia perbolehkan menjawab pertanyaan tersebut dengan bebas.

“Arsa enggak bisa jawab pertanyaan kamu yang ini. Maaf.” Kemudian tanpa menunggu jawaban Arunika, lelaki itu mulai melanjutkan langkahnya. Di luar sana Senan sudah bersorak tidak sabar. Perutnya yang sudah cukup lapar tak lagi sanggup untuk berdiri menanti Arsaka di luar kelas.

“Permisi.” Lalu lengang. Arunika tak tahu harus mengatakan apalagi. Rasa penasaran dan kesalnya menjadi satu. Bercampur aduk dengan rasa khawatir dan risau.

“Alvaro, semoga kamu nggak kenapa-napa,” harapnya dalam hati meski takut setengah mati. . Rasa takut kehilangan pun kini benar-benar menghantuinya.

Pemuda itu, meski tidak pernah bersikap romatis layaknya pacar pada umumnya, Arunika tetap mencintainya sepenuh hati. Persetan dengan pendapat orang dewasa yang mengatakan cintanya hanyalah cinta monyet, Alvaro tetap lelaki yang telah sepenuhnya menguasai relung hati Arunika. Mencuri warasnya, memenuhi setiap sudut dalam otaknya.

Lantai putih mengkilap dengan dinding yang juga berwarna senada tersebut sesungguhnya masih tak dapat menutupi kotornya jiwa dan hati seorang Fadel. Pria yang telah gagal menjadi pemimpin itu berdiri dengan kedua kakinya yang kokoh. Menatap sang anak yang kini tengah terbaring lemah tak berdaya karena ulahnya. Dengan raut dingin dan tatapan datar, Fadel mengulurkan tangannya untuk menjelajahi wajah sang anak yang bengkak dan berhiaskan beberapa luka.

Tanpa ada rasa bersalah yang terbesit di hati, pula tanpa ada rasa belas kasih yang terselip dalam sentuhannya, Fadel malah berdecak kesal. Pikiran gila dan pengaruh setan tampaknya benar-benar telah menguasai seluruh kendali raga pria tersebut. Demi Tuhan, kalau saja orang lain dapat membaca pikiran manusia yang satu ini, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan segera menghajar Fadel saat itu juga. Terlebih kalau orang itu adalah Jeriko, sampai Fadel mati di tangannya pun ia akan rela. Sebab, dalam pikirannya yang sangat tidak beradab ini, bisa-bisanya ia menyayangkan bahwa Alvaro masih dapat menghirup oksigen di atas muka bumi ini. Yang lain dan tak bukan adalah, Fadel sangat menginginkan kabar kematian Alvaro lah yang datang kepadanya. Bukan sekedar kabar bahwa anaknya mengalami kecelakaan dan telah usai melaksanakan operasi jantung saja.

Iblis, memang. Tapi itulah karakter Fadel yang sesungguhnya. Manusia yang tidak pernah bersyukur dan tak tahu diuntung ini ingin sekali menjadi satu-satunya ahli waris dari seluruh harta kekayaan yang dimiliki Jihan dan keluarga perempuan tersebut. Yang Fadel mau, Alvaro mati. Maka semua kekhawatirannya terhadap segala aset yang sudah diwarisakan untuk anak itu akan ia ambil alih tanpa pertumpahan darah dan perdebatan sengit yang hanya akan membuang-buang waktunya saja. Namun Fadel bisa apa? Semesta masih berpihak pada orang baik. Lelaki itu, tak lama lagi, pasti akan mendapatkan ganjarannya secara langsung. Dunianya akan diporak-porandakan hingga tak berbentuk. Jangankan sisa, kepingan pun Jihan bahkan tidak akan rela membiaraknnya tertinggal bersama pria brengsek tersebut.

Jihan bukannya tak tahu mengapa Fadel selalu memaksa Alvaro untuk melanjutkan studinya di bidang kedokteran. Ia tahu pasti. Bukan karena ia ingin anaknya menjadi dokter ataupun sesuatu yang berprofesi di bidang tersebut, tapi karena ia khawatir kalau Alvaro akan mendapatkan kekuatan tambahan dengan cara melanjutkan pendidikan di bidang manajemen bisnis maupun hal-hal yang mengarah pada social dan politik. Ia takut Alvaro akan mengetahui dasar berbisnis dan pola-pola penting dalam melobi hal-hal yang berkaitan dengan aset dan saham. Padahal, tanpa Fadel ketahui, Alvaro tidak sebodoh itu dalam membaca pola pikirnya. Lelaki itu memilki koneksi tersembunyi dengan orang-orang kepercayaan Jihan dahulu. Dan dari mereka lah Alvaro paham bagaimana cara membaca pasar saham dan berbagai macam teknik dalam berbisnis. Tak lupa, ia juga sering menanyakan satu dua hal pada konsultan pajak. Apa yang sebenarnya masih belum untuk Alvaro konsumsi di bangku SMA, dirinya telah mengetahui sebagian materi perkuliahan mahasiswa semester 5. Dia hebat bukan? Bertindak seperti orang bodoh adalah hal yang selama ini paling menarik Alvaro jalani.

“Kamu tau Alvaro…. ” ucap Fadel tiba-tiba bersuara sembari mengecek cairan infus yang menggantung dengan tatapan datar. “… brengseknya saya belum ada apa-apanya sama laki-laki itu.” Entah apa maksud Fadel berucap demikian, Jihan hanya bisa mengerutkan dahinya dengan serius dari ruangan lain. Penyadap suara dan kamera tersembunyi yang sudah di pasang hampir di setiap sudut ruangan ini tentu menangkap dengan jelas semua ucapan dan gerak-gerik lelaki tersebut. Jihan bersama orang-orang yang paling dipercayainya telah mempersiapkan ini semua dari semalam. Dan di sini lah Jihan kini berada, di sebuah ruangan yang kemarin hari baru Arsaka tinggalkan. Ruangan yang selama ini menjadi tempatnya berbaring selama proses penyembuhan dulu.

“Anak haram.” Datarnya lalu mulai meninggalkan ruang ICU. Jantung Jihan bahkan seolah berhenti berdetak kala mendapati earphone ini menghantarkan suara tersebut ke dalam rungunya.

Tristan yang juga diberi akses dan kepercayaan di tempat ini pun turut mengerut dalam. “Anak haram?” bingungnya. Mengapa Fadel tiba-tiba berkata demikian pada raga Alvaro yang tengah terbaring lemah?

Lalu, tanpa aba-aba, Jihan pun melepaskan sepasang earphone-nya itu dengan cara dihempaskan begitu saja. Kepalan pada tangan kanannya mengeras sebab menahan amarah dan emosi. Apa-apaan maksud Fadel barusan mengatai anak sematawayangnya dengan kata yang tak begitu pantas seperti itu?

“Brengsek!” umpat Jihan kemudian menelepon Jeriko untuk mempertanyakan kesiapan rencana mereka esok hari. “Kamu cek anak saya sekarang,” perintahnya kemudian pada Tristan. Lelaki itu pun menurut dan segera berjalan keluar ruangan. Sekaligus, ada beberapa hal yang masih ia urus dalam menyelesaikan tugas sebagai salah satu orang dengan pangkat tinggi di organisasi rahasia ini.

Di lain sisi, setelah Arsaka mengantarkan semangkuk soto dan sepiring nasi ke ruangan Jeriko, lelaki itu kembali duduk bergabung dengan teman-temannya di kantin. Tak lupa pula, tadi ia sempatkan diri untuk menyeduhkan teh hangat untuk lelaki yang sangat berjasa dalam merubah garis perekonomian dirinya. Dapur yang disediakan khusus untuk guru dan jajaran staff sekolah pun menjadi tempat pemuda itu untuk menyalurkan bakti pada orang yang benar-benar sudah ia anggap sebagai orang tua. Arsaka begitu senang rasanya melakukan hal-hal seperti ini. Rasanya, ia benar-benar hidup. Disaat anak-anak lain mungkin berdecak sebal karena disuruh melakukan pekerjaan rumah oleh orang tua, maka berbeda cerita dengan sosok Arsaka Laksana. Sebab, sedari kecil, di bawah lindungan atap panti asuhan, ia selalu membayangkan bagaimana rasanya hal sesederhana itu terjadi pada dirinya yang malang ini.

Contohnya saja, bagaimana ya rasanya disuruh ibu membeli bahan dapur ke warung? Melangkah menyusuri ruas jalan kecil sembari menghapal apa saja yang ingin dibeli, lalu lupa setelah sesampainya di warung tersebut. Dan berakhir dengan momen melihat raut kesal ibu yang padahal sudah kebelet masak. Lalu, bagaimana pula rasanya disuruh bapak menyiram bunga? Diberitahu berbagai macam jenis tumbuhan, memandikan sepeda, dan lain sebagainya. Sesederhana itu rasa penasarannya dalam memiliki orang tua. Tapi tak apa. Meskipun Tuhan tak memberitahu Arsaka bagaimana rasanya, setidaknya dahulu Bu Aisyah dan Pak Umar selalu menjadi dua sosok yang sangat berjasa dalam merawatnya hingga terbentuk karakter yang seperti ini. Mereka adalah dua orang yang tak akan pernah Arsaka lupakan jasa dan budi baiknya.

“Bengong aja lo, dimakan tuh makanannya. Mahal!” Begitu sindir Nuraga pada sosok Lino yang sedari tadi belum menyentuh makan siang mereka. Arsaka yang ikut tersindir pun turut membuyarkan lamunannya.

“Mikirin apaan lagi?” tanya Irvan sembari menyuap makanannya. Lino hanya menggeleng tak menjelaskan. Membuat teman-temannya mendengus sebal. Namun pandangan Arsaka masih tak lepas sama sekali dengan gelagat resah pemuda yang satu ini.

“Masih mikirin jurusan SNMPTN?” tanya Irvan memastikan lagi. Padahal, setelah sempat tertunda, mereka akhirnya sudah membicarakan hal ini. “Kan udah gue bahas semalem? Mikirin apa lagi? Lo pilih aja apa yang sekiranya emang itu keputusan lo, Lin.”

Kalau Lino boleh jujur, dengan bercerita pada Irvan mungkin memang dapat melapangkan dan melegakan hatinya. Namun tidak dengan mengurangi beban. Rasa mengganjal yang ada dalam relung dan pikirannya beberapa hari ini semakin bertambah berat. Desakan dari papa dan mamanya membuat tidur Lino tidak pernah nyenyak beberapa hari ini. Keinginan Lino berkuliah di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta masih berlawanan keras dengan perintah mama dan papa. Pilihan mereka masih jatuh pada STIN dan Fakultas Ilmu Politik atau Ilmu Hukum Universitas Indonesia. Lino benar-benar tidak diizinkan untuk melanjutkan pendidikan yang sesuai dengan kemauan dan bakatnya. Ditambah lagi, kartu debit dan kartu kreditnya sudah diblokir sementara oleh mereka. Uang simpanan yang pernah ia kuras beberapa waktu lalu, hanya itu yang menjadi pegangannya saat ini. Entah bagaimana cara Lino nanti membayar SPP sekolah yang begitu mahal sampai empat bulan ke depan.

“Bukan cuma sekedar keputusan dan kemauan hati. Efek jangka panjang sama dunia kerjanya juga jangan lupa dipikirin,” Senan ikut menimbrung. Lelaki yang biasanya tidak terlalu banyak omong itu kini rautnya berubah serius. “Gue awalnya emang kayak lo, Lin. Gue bahkan tahun lalu udah bulet mau ambil FSRD di ITB karena gue emang suka menggambar. Tapi balik lagi, gue sadar kalau itu cuma hobi. Obsesi semata yang gue punya, hasrat untuk ingin lebih yang juga susah buat dikontrol.” Mereka semua masih memasang telinga demi mendengarkan petuah Senan kali ini.

“Gue bukan mau menganggap remeh hobi gue, hobi lo, atau hobi siapapun di luar sana. Kuliah dimana pun itu, nggak ada salahnya. Mau lo di ISI ampe Oxford sekalipun, terserah. Yang penting itu ilmunya terpakai dan bisa dipergunakan dengan sangat baik. Tapi lo juga harus mikirin, prospek kerja jurusan yang mau lo ambil itu gimana? Tamat kuliah, lapangan pekerjaan dari lulusan fakultas lo nanti banyak nggak? Kira-kira kalau di negara kita ini, lo bisa raup berapa digit selama satu bulannya? Lo harus realistis. Hidup di tengah-tengah kondisi ekonomi yang serba melejit kayak gini, anak bini lo mau dikasih makan apa nanti?”

“Buset, udah nyampe anak bini aja?” potong Nuraga tak dapat menahan kekehannya. Namun Senan hanya mendengus. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah Lino.

“Gue tau rejeki udah ada yang ngatur. Setiap kita juga punya masing-masing takdirnya. Kalau hobi mah hobi aja. Bahkan lo bisa jadiin hobi lo itu hiburan disaat negara api menyerang. Gue yakin, kalau lo masuk ke sana dengan nggak adanya restu dari orang tua lo, semuanya bakalan susah, Lin. Hal yang lo sukain pun bisa perlahan berubah jadi hal yang bikin lo kesel, bahkan ampe stres. Contohnya aja kayak tugas besar, praktek, dan hal-hal yang sebelumnya nggak pernah lo lakuin seserius itu cuma buat hobi lo doang. Paham nggak sih maksud gue?” Senan menghirup napas banyak-banyak setelah berbicara sepanjang itu.

Lino yang diberi petuah pun hanya memainkan sendok yang ada di piringnya. Tidak mengangguk, juga tidak menggeleng. Arsaka yang mendengar Senan telah selesai berbicara pun tersenyum lembut. Mindset Senan memang tidak bisa pula untuk dibantah. Lelaki itu benar. Jangan jadikan hobimu menjadi sesuatu yang membuatmu susah. “Tapi kalau menjalaninya sepenuh hati, semua pasti bakalan berjalan lancar.” Begitu sambung Arsaka menambahi pendapat Senan. Kini pandangan pun berfokus padanya. Raut Arsaka memang menandakan bahwa dirinya belum usai berbicara.

“Apapun jurusannya, apapun masalahnya, kalau dijalani dan dihadapi dengan hati yang lapang, percaya deh, enggak bakalan ada yang terasa susah. Mau itu tentang hobi, pendidikan, masalah keuangan, keluarga, pertemanan, atau apapun itu, semuanya bakalan terasa ringan kalau kita menerima dan ikhlas.”

Nuel yang sebenarnya tidak terlalu suka percakapan serius seperti ini hanya bisa mencoba membetahkan diri. Konferensi meja makan saat di rumahnya beberapa waktu lalu seolah kembali terulang pada meja kantin. Namun apa daya, ia hanya bisa mendengarkan kalimat-kalimat panjang dari rekannya tersebut. Sebab, tak ada lagi yang harus ia pikirkan. Ia sudah diizinkan untuk berkuliah sesuai dengan minat dan keinginannya.

Kemudian kekehan kecil dari Lino terdengar oleh rungu mereka. “Ngomong doang emang gampang banget, Sen, Sa. Tapi semuanya gak sesederhana itu.” Semua bahkan terdiam saat Lino berkata demikian. “Implementasinya susah buat orang kayak gue,” sambungnya.

“Emangnya udah nggak bisa dibicarain lagi?” tanya Nuraga turut prihatin.

Lino menggeleng. “Bahkan gak ada yang bisa gue bicarain lagi, Ga. Keputusan bokap gue udah mutlak dan gak bisa diganggu gugat. Sekarang aja semua kartu debit sama credit card udah diblokir karena gue masih keras kepala mau ke ISI. Gue bingung. Hati gue sama sekali nggak ngadep ke politik ataupun hal-hal yang berbau hukum. Dan bokap gue gak bakalan mau ngeluarin uang sepeserpun kalau gue kuliah di kampus dan fakultas yang gak sesuai sama pilihannya.”

“Serem amat,” komentar Nuraga kehabisan kata. Ada ya orang tua yang sampai segitunya?

Lino hanya menghela napas berat. Namun rangkulan yang tiba-tiba hinggap di bahunya membuat Lino menoleh seketika. “Biar gue yang kasih lo uang jajan!” ucap Irvan dengan nada ceria-mencoba menghibur kawannya yang tengah bersedih.

Nuel dan Nuraga sampai tergelak dibuatnya. “Yang ada, keluar dari penjara bokap nyokap lo malah bangkrut ntar!” sahut Nuel dengan tawa khasnya yang lumayan cempreng. Namun lekas bungkam saat mendapat tatapan peringatan dari Arsaka.

“Sialan!” Dahi mulus Nuel bahkan sampai mendapat kecupan manja dari sendok yang Irvan jitakan sebagai tanda tak sukanya. Ia tak suka Nuel membawa-bawa orang tuanya dan menjadikan mereka sebuah candaan. Ya walaupun dulu ia lebih parah melakukan hal seperti ini pada Arsaka, tapi itu kan dulu. Sekarang Irvan sudah mulai sadar.

Tak mau menambah beban pikirannya lagi, Lino pun berinisiatif mengalihkan pembicraan dengan cara bertanya siapa saja yang mau ikut dengan dirinya bersama Arsaka ke rumah baca nanti. Dan ternyata mebuahkan hasil. Nuel memakan umpannya dengan sangat cepat. Pria itu bahkan sudah mulai berceloteh tentang ketidaksabaran melihat kegiatan bakti social yang Lino ceritakan beberapa waktu lalu.

Tak berlangsung lama, bel pun berbunyi. Menandakan seluruh siswa harus segera kembali ke dalam kelas demi melangsungkan PBM (Proses Belajar Mengajar).

Saat berjalan beriringan keluar kantin nan luas, Arsaka pun memilih untuk berjalan di samping Lino. Sebelum berpisah di koridor depan, ia harus menyempatkan diri untuk berbicara dengan rekan baiknya itu. “Lin,” panggilnya sembari menyenggol lengan Lino dengan siku. Yang merasa jalannya terganggu pun menoleh bingung. “Kenapa?” tanya Lino kemudian.

Namun yang ia lihat hanya senyum lembut yang menghiasi wajah pemuda tersebut. “Kenapa sih lo?” heran Lino dengan bibir yang ikut menahan tawa. Arsaka itu, selain memang baik dan suka senyum, dia terkadang juga super aneh. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang sekarang.

“Kamu udah punya pacar?” Dengan raut polosnya, pemuda itu pun bertanya.

“ANJING?!” umpat Lino dengan alis yang menukik tajam.

Bukan Cuma Arsaka yang kaget mendengar sahutan Lino barusan, melainkan juga Nuraga, Irvan, Senan, Nuel, dan gerombolan orang yang berjalan di koridor. Suara Lino barusan memang begitu menarik perhatian. Namun beberapa detik kemudian orang-orang kembali tidak mempedulikannya.

“Kamu kenapa tiba-tiba ngatain aku?” tanya Arsaka heran. Lino sampai melotot mendengarnya.

“Ya maksud lo apaan nanyain gue kayak begitu?!” jawab Lino dengan suara yang terdengar mendesis kecil. Gigi atas dan bawahnya sampai merapat sangkin ngerinya dengan pertanyaan Arsaka. “Lo masih di jalan yang lurus, kan?” sambungnya ngeri-ngeri sedap.

Arsaka yang langsung paham kalau percakapan mereka ambigu pun langsung beristighfar dan mengurut dada. “Astaghfirullah, Lin. Bukan itu maksud Arsa!” Lelaki itu langsung memukul pelan bahu sang lawan bicara. Yang benar saja Lino menduganya tidak normal?

“Ya terus apaan?” sewotnya.

Arsaka pun menghela napas kecil, lalu menyerahkan selembar kertas yang terlipat hingga menjadi persegi. “Apa lagi nih?” heran Lino semakin curiga.

“Aku tadi nemu ini keselip di buku persiapan UTBK tahun lalu yang ada di pustaka,” ucap Arsaka usai merogoh saku celananya. “Kayaknya ada yang ngebet banget sama kamu.”

“Dih?” Lino langsung speechless saat menatap lipatan kertas buram yang biasa dibagikan pengawas saat mereka ujian itu dikeluarkan oleh Arsaka dari dalam sakunya. Kertas yang biasa ia pakai untuk pencari jawaban dari butiran soal hituangan tersebut membuatnya bertanya-tanya. Tapi yang lebih membuat dirinya tidak menyangka, ternyata Arsaka juga tipe yang tidak terlalu kaku dan monoton perihal asmara. Mau tak mau, setelah terkekeh kecil, ia ambil barang tersebut untuk dibuka dan dibaca. Tak perlu diraba maupun ditrawang seperti uang.

Mulai dari banyaknya angka yang tercatat, gambar abstrak, babi kecil, sampai bunga yang biasanya sering menggelinding di Kota Bikini Buttom, Lino perhatikan sembari berjalan beriringan dengan Arsaka. Dan beberapa kalimat yang tersebar pada kertas itu lah yang kini sangat menarik perhatian Lino. Kumpulan kalimat yang meskipun kebanyakannya hanyalah keluhan, Lino tetap membaca satu persatu di setiap sudutnya.

Gue udah enek bgt ngadepin soal latihan TPA!!! Kalau bisa dimuntahin, mungkin gue udah muntah angka kali ya?! Mana akhir-akhir ini gue jarang ketemu ayang Lino, hiks. Tapi gpp deh, gue harus tetep semangat dan happy kiyowoooo, rawr!

Lino berdecih geli, lalu menoleh pada Arsaka. “Lo geli gak sih baca ini?” tanyanya kemudian. Lelaki itu pasti sudah membaca setiap kalimat di kertas ini sampai berani memberikannya pada Lino. Namun Arsaka hanya mengedikkan bahunya sembari tersenyum. “Kurang kerjaan banget lo mungutin kertas beginian,” sambungnya.

“Bukan mungut, tapi itu Arsa enggak sengaja ketemu di buku persiapan UTBK yang Arsa pinjam waktu jamkos tadi, Lino…. ” Arsaka mempertegas jawabannya. “Dan siapa tau kertas itu bisa jadi salah satu penyemangat kamu buat jalanin hari-hari selanjutnya. Ya, kan? Dari sana kamu sadar, bahwa masih ada orang lain yang kagum dan sayang sama keberadaan kamu.”

Ya, seperti yang sudah ditebak, Arsaka itu selalu positive vibes. Tidak ada yang tidak bermanfaat dari setiap lakunya. Tutur katanya saja selalu tertata dan enak untuk didengar. “Thanks,” ucap Lino seraya menunjuk pada kertas yang ia pegang dengan sorot matanya.

ICH LIEBE DICH, LINO CAKRAWALA!!!

SOSIOLOGI FOR BETTER LIFE! SHSHSH SOON KITA BELAJAR BARENG YA! GA SABAR BANGET LIAT LO MENTORIN GUE (temen-temen lain juga maksudnya hehe). SEMOGA NILAI UN KITA NANTI DI ATAS RATA-RATA SEMUA!

ILYSM DECH…. MUACH!!!

“Anak IPS juga?” batinnya menerka. Meski begitu, Lino tak lagi dapat menahan tawa gelinya. Ia tidak pernah mendapatkan surat cinta seamburadul dan se-absurd ini. Ya walaupun tidak bisa dibilang surat cinta, tapi Lino tampaknya harus turut berterimakasih pada sang pemilk kertas buram karena sudah membuatnya tertawa selepas ini di tengah kegundahan yang ia hadapi.

“Ngapain sih lo berdua?” tanya Nuraga kembali menoleh heran. Namun yang ditanya malah tak menggubris kekepoannya sama sekali. Nuraga yang merasa tak dipedulikan pun berdecih sebal. Ia lanjutkan pula ceritanya dengan Nuel sebelum mereka juga berpisah di ujung koridor sana.

“Gitu dong, ketawa.” Arsaka pun kemudian ikut tersenyum lega sembari merangkul pundak Lino. Kemudian, Lino lanjutkan kegiatan membacanya pada sudut lain yang ada pada kertas berwarna abu-abu tersebut.

The no. 1 hidden Lino’s supporter, JB (bukan Justine bieber).

Bohong besar kalau Lino tidak semakin terbahak sekaligus kian merasa geli bukan main. Semua kata-kata yang ada pada kertas ini sungguh mengundang ribuan kupu-kupu bermunculan di perutnya. “Apaan sih?” herannya dengan tawa yang masih belum habis.

Namun setidaknya, hari ini ia jadi merasa lebih baik hanya karena sebuah kertas buram. Bukan berarti petuah dari teman-temannya tadi tidak ia hiraukan. Hanya saja, Lino merasa ia cuma butuh untuk didengarkan. Lagi pula, mindset Senan cukup berbanding terbalik dengan dirinya. Segala sesuatu itu malah akan berjalan kian lancar jikalau disukai sejak awal. Mau seberat apapun nanti rintangannya, pasti akan terlewati. Tapi kalau kita menjalankan sesuatu dengan setengah hati dan tidak sesuai keinginan, pasti akan berjalan kacau nantinya. Percayalah.

“Thanks for found this paper,” ucap Lino kembali berterimakasih sembari melipat kertas tersebut . Lalu, ia masukkan kertas tersebut ke dalam kantung celananya dengan apik. Setelah ini, selain kontrakan Arsa yang menjadi tempat pelariannya, mungkin kertas tersebut akan menjadi sumber penenang lain untuk seorang Lino Cakrawala.

Dalam hati, diam-diam ia berharap bisa menemukan kertas serupa dari penulis yang sama. Bagaimana wujud asli perempuan ini, Lino masih belum berminat. Ia hanya butuh penyemangat.

“Nanti kalau udah abis kelas, kabarin ya, Lin!” Begitu tutup mereka sebelum berpisah menuju jurusan masing-masing.

“Sip!” sahut Lino, lalu menghilang di balik tembok.

“Bentar, berarti Arsa minjem buku UTBK Soshum?” batin Lino baru sadar dengan ketidaksengajaan pria itu dalan menemukan kertas tersebut. Kalau pemilik kertas ini anak IPS, maka tidak mungkin sekali dia membahas soal UTBK Saintek tahun lalu. “Ah, tapi mungkin-mungkin aja sih.” Begitu lanjutnya memutuskan tak mau ambil pusing. Masalahnya sudah terlalu banyak. Maka dari itu Lino tak mau memikirkan hal-hal kecil yang tak penting seperti ini.

Aliansi Garuda Melegenda

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet