Luka Duka Lara

rofenaa
5 min readFeb 24, 2023

--

Rautnya kusut, jiwanya seolah terbang diembus kenyataan. Sebab setelah diberi setitik harap, titik itu dirampas tanpa rasa iba. Bahkan di malam penuh luka ini, belum ada yang sempat terpejam. Tetapi berita buruk lagi-lagi datang menghantam. Lantas kemudian ia harus bagaimana setelah ini? Apa yang harus Adibya katakan pada Najmi-nya kala perempuan itu bangun nanti?

Ia tahu, semua sedang hancur. Remuk tiap-tiap hati ia pahami. Tapi mengapa rasanya bisa sesakit ini hingga untuk mengeluarkan air mata pun Adibya kesulitan. Ia bingung, harus menangis yang seperti apa agar dirinya bisa merasa lega?

Tak ada. Jawabannya tidaklah ada. Sebab mau menangis sekencang apa pun Adibya, mau berteriak sekeras apa pun dirinya, Abbas tetap tak akan kembali. Jagoan kecilnya bersama Najmi benar-benar telah pergi.

“Yang bener aja lo anjing! Udah siap operasi gini ponakan gue kenapa bisa komplikasi?!” Amarah Ghandi menggema di tengah malam. Hardik tak terimanya akan keadaan yang harus dihadapi ia hantarkan pada sosok dokter beserta perawat yang telah dipercaya untuk menangani Abbas.

Sementara, Adibya yang terdiam membisu itu tengah berperang dengan pikirannya sendiri. Kepalanya berisik. Bisingnya tak hilang-hilang. Begitu banyak kelebat memori yang tiba-tiba menghantam daya ingat raga lelah tersebut.

“Papa … Abang besar nanti bagusnya jadi apa, ya?” Tak ada yang tahu bahwa pertanyaan itu hanya akan menjadi andai-andai.

Besar nanti? Bahkan kesempatan yang diberikan Tuhan kepadanya untuk menikmati dunia saja hanya sampai usia 6 tahun. Tidak lebih.

Lantas pembicaraan mereka terkait cita-cita dan masa depan itu tentu berujung sia-sia. Angan-angan belaka mereka tak ‘kan mungkin lagi terwujud, sebab jiwa dan ruh telah resmi meninggalkan raga ringkihnya.

Adibya mencoba teguhkan hati. Ia kuatkan tungkainya agar tetap bisa berdiri dengan benar. Langkahnya tak boleh gemetar. Pundaknya harus tetap tegap. Pun, dadanya harus turut diperlapang. Sebab mungkin, hari-harinya setelah ini akan berjalan dengan sangat berat.

Ghandi di depan ruangan itu mengamuk. Siapa pun ia hardik karena merasa sangat sakit hati dan terkhianati. Pikirannya seribu cabang. Siapa dulu yang akan ia pedulikan dalam situsasi ini? Abbas yang sangat ia sayangi, Najmi yang sangat Ghandi lindungi, atau keluarga Arsyi yang harus ia hancurkan saat ini juga?

“Ghandi, kamu mau ke mana?!” Khaffa dengan gematar suara tuanya mencegah sang anak yang hendak pergi meninggalkan tempat penuh lara.

Namun langkahnya tak mampu dicegat. Lelaki itu berjalan penuh dendam. Tujuannya kini hanya satu.

Eden.

Anak itu harus mendapat ganjaran dan penyesalan yang luar biasa hebat. Ghandi tidak takut untuk membuat remaja tersebut sampai jadi gila hanya karena akan menghakimi dirinya sendiri. Menyalahkan atas segala yang sudah terjadi. Akan Ghandi buat kondisi Eden lebih buruk dari apa yang pernah Najmi lalui kala remaja. Tak gentar ia membuat Eden merangkak-rangkak, lalu bersujud memohon maaf dan ampunan kepada Najmi dan Adibya. Ghandi Desra tak bercanda. Ia punya potensi untuk hancurkan keluarga Arsyi Lofarsa. Seluruhnya, tanpa ada yang bersisa.

Dan kali ini, Adibya hanya memilih diam. Ia biarkan Ghandi yang penuh dendam itu pergi meninggalkan rumah sakit. Ia biarkan pula mertua dan adik iparnya menangis pilu bersama-sama. Menatapnya dengan penuh iba dan kecewa.

“Dib, kamu yang kuat, ya, Nak? Papi tau ini pasti berat banget buat kamu.” Kemudian raga itu dipeluk hangat. Khaffa mengurung Adibya dalam dekapan pupusnya.

“Nanti Najmi gimana, ya, Pi?” Hanya Najmi. Yang ada dalam otaknya sedari tadi hanyalah satu nama. Najmi Desra.

Bahkan Adibya sendiri merasa tak pantas untuk bersedih diri. Sebab ada istrinya yang masih tertidur lelap di tengah kekacauan. Ada Najmi Desra yang diam-diam pasti turut berdoa dan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Namun nyatanya, Adibya bingung harus berbuat apa jika nanti perempuan terkasihnya membuka mata. Melihat dunia yang tak lagi sama sebab Jagoan Kecil mereka telah kembali ke pangkuan Yang Mahakuasa.

“Adib … perasaan kamu itu valid. Jangan sangkal kesedihan dan air matamu hanya karena ada Najmi yang akan meraung dan paling berduka di antara kita.” Khaffa mengusap punggung menantunya. Seolah usapan itu menghantarkan energi penenang di tengah kalutnya manusia ini. “Jangan gini, ya, Nak? Papi jadi makin sedih lihat kamu yang sama sekali nggak bisa ngeluarin air mata kayak gini.” Dekapan dipererat. Khaffa tak dapat membendung tangisnya lagi sebab Adibya yang tak kunjung mengurai air mata bahkan setelah direngkuh hangat.

“Perasaan saya memang valid, Pi. Tapi Najmi … butuh saya. Saya harus tegar demi orang yang paling berduka di antara kita nanti.” Karena pada nyatanya, lelapnya Najmi Desra tentu belum mengetahui kabar duka yang menyapa keluarga mereka. Yang pagi nanti pasti akan banyak mendengar kalimat belasungkawa.

“Saya mau ketemu Abbas, Pi. Hari ini Jagoan kita ulang tahun.” Maka pecah sudah raungan tangis Jafar yang mendengar ucapan sang kakak ipar. Dipeluk eratnya Anggun demi meredam rasa iba dan kacaunya dia melihat Adibya. Lantas bagaimana dengan kakaknya nanti? Uni Najmi yang sangat Jafar sayangi meski mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali.

Khaffa kian gemetar. Adibya ini … mirip sekali dengan tindak-tanduknya kala kehilangan istri puluhan tahun lalu. Yang ia khawatirkan dahulu hanyalah Najmi. Sedihnya kehilangan teman hidup yang telah diperjuangkan penuh peluh dan halang rintang seolah tak ada apa-apanya dengan rasa cemas terkait sang anak yang akan merasa bersalah setelah ini.

Maka, Khaffa kembali tersadar. Bahwa anaknya bukan hanya akan merasa kehilangan untuk yang kedua kali. Namun hebatnya luka dan duka yang akan Najmi terima pasti akan membuat perempuan itu mengulang masa sulit. Bahkan berkali-kali lipat.

Assalamualaikum, Jagoan.” Adibya tahu, salamnya tentu tak akan disahuti oleh sang anak. Bibir pucat dengan wajah penuh luka dan lebamnya, pun, membuat Adibya kian sadar, bahwa Abbas pasti kesakitan saat dibawa kemari untuk pertama kali. Terlebih, saat dirinya memberanikan diri untuk mematri pada dua tungkai yang dibalut perban, dada Adibya seolah dibidik ribuan panah. Sakitnya sungguh tak terbilang.

Bahkan setelah dinyatakan amputasi dua kaki, kini Jagoannya benar-benar pergi. Seolah tak mau beri penyesalan pada sang Mama kala tiap kali melihat dirinya yang tak lagi sempurna.

Maka pada alam raya, yang tega beri kecewa pada Najmi dan Adibya, dera luka dan duka yang mana lagi hendak engkau hantarkan pada mereka?

“Maaf, ya, Bang. Papa telat jenguk Abang.” Adibya meremat jubah khususnya sekuat mungkin. Penyesalan dan rasa bersalahnya itu perlahan menggerogoti hati. Kenapa tak ia turuti saran Ghandi untuk menjenguk sang anak sedari tadi? Saat sebelum Abbas-nya dinyatakan meninggal usai kejang-kejang karena komplikasi pasca operasi?

“Selamat ulang tahun, Jagoan.” Kemudian ia kecup lama puncak kepala Abbas. Maka setelahnya, ia langitkan pula doa-doa tulus untuk ketenangan ruh sang anak di dunia yang telah berbeda dengan dirinya. Ia hantarkan kasih sayang yang tak lagi Abbas rasakan dalam bentuk nyata selain doa.

Laa ilaaha illallah …” Adibya berbisik. Maka dengan resmi ia ikhlaskan anaknya pergi meninggalkan dunia. Ia relakan Jagoan itu tenang di alam sana.

Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.” Ia tutup malam pilu dengan lafaz penuh arti. Maknanya juga mampu membuat Adibya kian menguatkan diri sendiri. Bahwa, apa yang menjadi milik-Nya, akan kembali pula kepada-Nya.

Abbas adalah titipan, dan mungkin ia sudah ditakdirkan untuk dititipkan kepada mereka selama 6 tahun saja. Tidak lebih.

“Abang jangan khawatir, ya? Mama punya Papa.” Adibya pun tahu, seberapa besar anaknya ini mencintai Najmi. Ibu yang setiap saat mencoba memperbaiki pola didiknya, yang rela membagi waktu antara anak, suami, dan kerjaan. Wanita hebat itu, maunya Adibya tak perlu sang anak khawatirkan. Semoga ia bisa mengurus duka sang istri setelah ini.

“Makasi ya, Bang. Udah mau jadi anak Papa sama Mama.”

Maka dini hari ini, perjalanan menggapai kesembuhan antara Najmi dan Adibya pun resmi dimulai.

Das Sein by ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet