Motor Scoopy hitam yang dikendarai Nuraga pun sudah terparkir di halaman. Lelaki itu baru sampai. Sedang mereka masih setia duduk di tempat yang sama. Paling sebentar lagi akan masuk ke dalam rumah. Soalnya sudah malam. Tak enak juga jika nanti suara mereka jadi mengganggu ketenangan tetangga. Sementara, tiga anggota aliansi itu sudah pergi meninggalkan kontrakan. Bahkan Jeriko sedari tadi sudah sibuk bersama Alvaro berbicara tentang gitar. Mereka memiliki hobi yang sama!
“Widiiiiihhh, nyampe juga orang jauh!” Nuel menyapa kedatangan Nuraga yang melepas helmnya. Mereka tak lagi bermain domino. Yang kalah sudah didapatkan! Si pencuci piring dadakan telah ditetapkan. Rencana awal mereka untuk menjahili Nuraga tak jadi dilaksanakan.
Alvaro kalah telak dengan sisa tiga batu domino. Jumlah poin yang tersisa juga besar. Lalu, disusul oleh Arsaka, si tuan rumah yang nyatanya malah kalah oleh tamu undangan. Merdeka sekali rasanya si tidak penyuka piring kotor tersebut. Tangannya tak jadi menyentuh sisa makanan!
“Malam, Pak.” Nuraga menyapa Jeriko. Ia hendak menyalami pria itu selayaknya siswa pada guru di sekolah.
“Malam, Nuraga,” jawab Jeriko sembari sedikit menyingkirkan gitar di pangkuannya demi menyambut uluran tangan Nuraga. “Sudah makan?” lanjut Jeriko bertanya.
“Sudah, Pak. Tadi saya sempat makan dulu.” Nuraga mengambil posisi. Ia duduk di samping Alvaro. Yang lain pun juga berangsur duduk di bangku yang tersedia.
Malam memang semakin dingin. Tapi unggun yang dibuat oleh Yudhistira satu jam lalu itu nyatanya dapat membantu tubuh mereka menjadi sedikit lebih hangat.
“Gimana kondisi ayahmu? Membaik?”
“Puji Tuhan, membaik sih, Pak. Tapi masih belum bisa ngomong lancar kayak biasanya,” ucap Nuraga memberitahu keadaan Dafitra. Jeriko mengangguk paham. “Semoga ayahmu lekas diberi kesehatan.”
“Aamiin!” ucapan tersebut terdengar serempak.
“Jadi, Pak, tujuan Bapak undang kita ke sini tuh apa ya?” Senan sudah tak sanggup lagi menahan rasa penasarannya.
“Gak ada tujuan apa-apa sih. Cuma mau berkumpul dengan para teratas Garpa aja. Memangnya gak boleh, ya?”
Senan terdiam. Ia sedikit malu saat dibilang ‘Para Teratas Garpa’. “Ya... tapi kenapa, gitu lho,” lanjutnya bertanya.
“Saling berbagi cerita, mungkin? Sama... mau bilang, kalau Arsa itu—”
“Anak angkat Bapak?!” Lagi, suara mereka terdengar serempak lucu. Nadanya terkesan sedang mengatakan “Ah, gue mah udah tau!”.
Kemudian belah bibir itu merekah. Lantunan tawa Jeriko nan khas terdengar pun memasuki Indra. Lalu ia melirik Arsaka yang tengah duduk terpisah dua bangku darinya.
“Itu juga. Tapi point utamanya adalah, bersama kalian, Bapak ingin kembali merasa muda,” tuturnya begitu. “Atau mungkin akan tetap menjadi tua demi mendengarkan keluh kesah para remaja yang didewasakan oleh semesta?” Senyum diakhir kalimat itu pun menambah kesan manis dalam ucapan Jeriko.
“Bapak ketularan Arsa, ya, ngomongnya?” Lino berceletuk. Memang, jika diperhatikan lagi, gaya bahasa Jeriko dan Arsaka itu tampak mirip. Kalimatnya mengandung makna-makna yang menyentuh hati.
Jeriko tertawa. Bapak-bapak sekali suaranya. “Mau tau kenapa saya jadikan Arsa satu KK dengan saya?”
“Kenapa?” Alvaro mengeluarkan suara. Eksistensinya sedari tadi tak lepas dari sosok yang tertua.
“Karena setiap melihat Arsaka Laksana, Bapak seolah bercermin diri. Pribadinya mirip sekali dengan Bapak waktu remaja.” Jeriko menjawab dengan apa adanya.
Yang lain pun mengangguk-angguk. Rasa penasarannya tentang Jeriko dan Arsaka mulai terpenuhi.
“Tapi Bapak bisa ngomong jorok, ‘kan?” Pertanyaan frontal itu dilayangkan oleh Nuel. Seingatnya, Arsaka sama sekali tidak bermodalkan kosa kata kasar. Jangankan itu, menaikkan intonasi bicara saja pria itu jarang sekali melakukannya. Makanya Nuel bertanya demikian.
Lagi, Jeriko tertawa. Begitupula dengan yang lainnya. “Ya bisa, tapi lihat situasi dan kondisinya dulu. Saya ini kan pendidik, mana mungkin mencerminkan hal buruk seperti itu kepada murid-muridnya.” Nuel mencebik. Yang lain pun hanya diam mendengarkan. Benar juga apa kata Jeriko.
“Kalau Bapak boleh tau, cita-cita kalian masih tetap sama? Sama yang kalian utarakan waktu kelas sepuluh dulu?” Jeriko ingat, saat kelas sepuluh dulu, sebagai salah satu guru BK, ia mendapat kesempatan untuk masuk ke kelas-kelas. Meski hanya kebagian satu jam pelajaran, Jeriko memanfaatkannya sebaik mungkin. Mengenali murid-muridnya, mendengarkan, memberi saran, hingga mengarahkan cita-cita dan keinginan mereka menuju jalan yang lebih tepat.
Lino menghela napas. “Makin gak jelas, Pak.”
“Bagian mana yang gak jelas?” Jeriko pernah muda. Maka ia tahu bahwa fase ini pasti sering menghampiri kehidupan para remaja yang semakin dekat dengan kelulusan SMA. Semakin tinggi jenjangnya, semakin kelabu pula tujuannya. Cita-cita yang dikoarkan saat SD telah berubah. Cita-cita yang telah direvisi lagi saat SMP menuju SMA pun telah berganti. Hingga akhirnya kelabu saat di ujung masa putih abu-abu.
Setelah sedikit mempertimbangkan, Lino rasa dirinya butuh tempat untuk berbagi resah. Ia pernah bercerita pada Arsaka. Tapi tak seluruhnya. Hanya seperempat dari bagian. Namun kini, mungkin akan ia tumpahkan semuanya di sini. Pada orang-orang yang dapat ia percaya, di kesempatan yang mungkin tak kan datang untuk keduakalinya.
Lino pun memulai cerita. Ia hirup udara sebelum menyampaikan semrawut isi kepala. Angin malam berembus pelan menyapa pipi tirusnya.
Dulu, saat kelas sepuluh, ia pernah menulis di lembaran biodata diri yang diberikan sekolah. Di sana, ia tuliskan bahwa ia ingin menjadi Koreografer handal. Jika di Indonesia pekerjaan itu tidak terlalu menjamin kesejahteraan hidup, maka tak menutup kemungkinan bahwa ia mampu untuk terbang ke Asia Timur sana, Korea Selatan. Sebuah negara yang berhasil melahirkan manusia-manusia berbakat dan menginspirasi dari berbagai macam agensi. Lino bisa mengerahkan seluruh tenaganya di Negeri Gingseng tersebut demi hal yang ia cintai. Ia bisa kumpulkan kepingan Won tersebut menjadi kepingan Rupiah. Tapi apa daya? Semakin hari, rintangannya semakin berat. Keinginannya tak direstui. Cita-citanya diremehkan oleh keluarga sendiri.
“Terus, orangtuamu maunya kamu itu jadi apa?” Jeriko bertanya saat dirasa Lino telah menyelesaikan kalimatnya.
“Maunya mereka, ya, saya jadi orang yang berpengaruh di negara,” jawabnya ringan. Bebannya sedikit-sedikit mulai terasa menguar.
Jeriko lagi-lagi tertawa pelan. Sedang yang lain masih mendengarkan dengan tenang.
“Lino, bahkan koruptor pun bisa jadi orang paling berpengaruh di negara kita,” imbuh Arsaka membuka suara. “Berpengaruhnya yang seperti apa? Mengharumkan nama bangsa, atau mencoreng harga diri Pancasila?” Berat sekali sambungan kalimatnya.
“Ya mengharumkan lah! Ya kali gue mau bikin malu tujuh turunan. Ogah!” sahut Lino sangsi. Arsaka terkekeh pelan melihat wajah Lino yang tampak bersungut-sungut.
“Arsa bener, jawaban lo yang ambigu. Ya walaupun sebenernya kita ngerti sih maksud ucapan lo.” Senan mengimbangi percakapan. “Coba aja gak ada koruptor. Mau kerja apa KPK?”
Lino mendengus. Benar juga sih. “Ya gue disuruh masuk STIN sama bokap.”
“Lo mau jadi tukang nasi goreng?” Irvan bertanya sekenanya. Lino sudah menebak bahwa lelaki itu pasti akan berujar demikian. Bukan hal yang tabu lagi dalam masyarakat kalau Intel sering menyamar menjadi apa saja. Mereka berkamuflase. Berbaur dengan masyarakat demi menjalankan tugas negara. Identitasnya dirahasiakan!
“Kasian anak bini lo, ntar lo dikira orang susah beneran,” sambung Irvan lagi. Pak Jeriko juga tak bisa menyangkal pendapat Irvan tentang Intel.
“Ya mau gimana pun, kalau gue masuk kuota SNMPTN, gue bakal ambil ISI Jogja.”
“Lah kok sama?” Nuel menyahut. Semua atensi beralih kepadanya. “Gue mau ambil perfilman sih,” sambung pemuda itu.
“Kenapa gak ambil sastra?” Kali ini Nuraga yang bertanya.
“Ya kalian tau sendiri lah hobi gue apaan. Kalau gak fotografi, ya videografi. Kurang minat di bidang sastra. Apalagi Sastra Jerman, ampun gue.” Nuel memang paling anti dengan bahasa sulit tersebut.
Pak Jeriko manggut-manggut. Sebenarnya ia sudah tau semua permasalahan anak-anak ini. Yaitu orangtua mereka. Kecuali Arsaka dan Senan tentunya. Dua pria itu tidak ada masalah dengan hobi dan cita-cita. Namun berbeda cerita dengan yang lainnya. Restu orangtua menghalangi impian dan keinginan mereka. Hal-hal yang mereka sukai direnggut dengan paksa.
Tapi dua di antaranya lagi telah ikhlas menerima keinginan orangtua. Nuraga dan Irvan. Jika Nuraga merelakan impian Barista-nya, maka ada Irvan yang juga telah merelakan impiannya untuk menjadi gamer profesional. Impian dua anak itu memang terdengar sedikit aneh dan nyeleneh.
Kini, masalah tersisa di tiga pemuda. Alvaro, Lino, dan Nuel. Nuel mungkin tampak lunak dan biasa saja. Tapi ia sebelas dua belas dengan Alvaro. Seringkali urat lehernya mencuat jikalau debat kusir dengan ayahnya. Nuel tidak suka politik! Tapi tetap saja dipaksa untuk menguasai bidang tersebut. Belum lagi Alvaro. Dia benci sains, dan dia juga sedikit takut dengan cairan plasma berwarna merah tersebut.
“Kalian tau lagunya Tulus yang Manusia Kuat?” Jeriko tiba-tiba bertanya.
Semua kepala mengangguk. Siapa pula yang tak tau lagu dari musisi Indonesia yang amat terkenal itu?
Petikan gitar pun kemudian terdengar tanpa permisi. Diiringi dengan suara Jeriko yang berlantun merdu, tujuh pemuda itu malah terhenyak saat lirik tersebut nyatanya memang teramat mengandung arti. Pada mereka yang tak ingin menyerah terhadap mimpi.
♪Kau bisa patahkan kakiku, tapi tidak mimpi-mimpiku...
♪Kau bisa lumpuhkan tanganku, tapi tidak mimpi-mimpiku...
Tujuh orang pilihan Garpa itu bukan siswa yang bodoh dan tidak peka. Jeriko sedang menyemangati mereka yang tengah terombang-ambing di lautan keputusasaan. Ia sematkan pesan-pesannya melalu bait lagu dari Tulus dengan tulus.
♪Kau bisa merebut senyumku, tapi sungguh tak akan lama...
♪Kau bisa merobek hatiku, tapi aku tahu obatnya...
Dirasa Jeriko tidak akan menghentikan petikan gitar dan lantunan suaranya, mereka pun terkekeh pelan. Tubuh lelaki tertua itu bergerak mengikuti irama lagu. Yang mau tak mau, para pemuda pun juga perlahan mengikutinya. Nuel yang paling keras menyambung lirik lagu tersebut. Diikuti oleh Lino dan Nuraga. Sedang Senan hanya bernyanyi dengan suara merdunya.
♪Manusia-manusia kuat itu kita, jiwa-jiwa yang kuat itu kita...
♪Manusia-manusia kuat itu kita, jiwa-jiwa yang kuat itu kita...
Arsaka melirik Irvan saat lirik penyemangat itu terlantun dengan seirama. Sorotnya bersirobok dengan iris lelaki yang gundahnya tengah menggebu-gebu. Arsaka memang sengaja menatap Irvan. Memberitahu secara tidak langsung bahwa lelaki itu termasuk ke dalam golongan manusia yang kuat.
Nyatanya, bukan hanya Arsaka pada Irvan. Namun mereka semua saling melempar pandang satu sama lain secara bergantian. Memberi senyum lebar sampai terkekeh di tengah-tengah lagu.
Sejenak, Jeriko berhasil membuat mereka lupa akan resah. Jeriko mampu melepaskan gundah para pemuda meski hanya untuk sesaat.
“Wahai penerus bangsa, kalian harus bertahan, ya? Semoga semesta tak memberi akhir cerita yang fana. Kalian harus bahagia.”
Senyum sejuta cerah milik Jeriko terpampang begitu jelas. Di bawah pendar lampu perkarangan rumah berteman unggun yang mulai meredup, mereka habiskan waktu dengan bernyanyi bersama hingga ditegur oleh tetangga. Anaknya menangis akibat terkejut mendengar suara tawa Nuraga, Nuel, dan Lino yang begitu menggelegar mengudara. Kelakarnya menimbulkan bencana.
Astaga, malu sekali Jeriko rasanya. Ia sampai berulang kali meminta maaf pada tetangga. Ini salahnya.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
©ebbyyliebe