Marriage Life

rofenaa
16 min readAug 7, 2022

--

Desing dari knalpot mobil Najmi tak terdengar. Sebab, suaranya dikalahkan oleh knalpot dan bunyi klakson dari berbagai macam kendaraan yang ada di jalan raya ini. Untung, jalanan tak terlalu macet. Jadi ia bisa melaju tanpa adanya hambatan yang tak menambah keresahannya di malam ini.

Sebab, bisa-bisanya Najmi yang sudah menikah dengan Adibya malah lupa kalau dirinya telah menjadi istri dari pemuda tersebut. Najmi benar-benar lupa akan status yang telah ia sandang selama dua minggu ini. Hal tersebut dikarenakan Najmi yang terlalu asyik dan terbiasa dengan kegiatannya selama berhubungan jarak jauh dengan Adibya. Dia, over productive.

Untung saja tadi ada Ratna yang mengingatkannya ketika jarum jam di kantor telah menunjukkan pukul 8 malam. Kalau tidak, bisa kebablasan sampai besok pagi dirinya berada di kantor ini.

“Najmi…, Najmi. Gara-gara ngedesain produk baru yang bakal di-launching-in malah lupa sama suami di rumah. Heran gue sama lo.” Begitulah kira-kira ucap Ratna sang manajer kepada bosnya. Dia kira, saat jam 4 sore tadi melihat Najmi masih betah berada di kantor, gadis itu sudah meminta izin kepada suaminya untuk pulang telat. Ternyata, ia lupa kalau sudah berumah tangga.

Belum lagi, ketika Najmi melihat daya ponselnya mati dikarenakan baterai habis, mampuslah dia. Pasti Adibya tengah menaruh khawatir yang sungguh luar biasa saat ini. Sebab, istrinya belum berada di rumah disaat dirinya sendiri sudah pulang dari kantor.

TIN TIN!

Najmi yang melihat Adibya sudah bersiap di atas motornya itu memberi klakson. Maka, dengan lekas, sang pemuda membukakan pagar rumah baru mereka itu dengan lebar agar Najmi bisa memarkirkan mobilnya di dalam.

Dari sini, sang gadis dapat melihat bahwa raut penuh kekhawatiran yang terpampang jelas di wajah Adibya sudah tampak mengendur dan berubah menjadi sedikit tenang. Istrinya, pulang dengan selamat.

“Mas Adib, maaf banget aku pulangnya telat. Aku beneran lupa kalau kita tuh udah nikah. I feel like I’m still single. Sorry, Babe. Aku juga minta maafkarena HP aku baterainya habis dan berakhir nggak bisa kamu hubungi. Tadi aku udah nge-charge di mobil, terus udah buka chat dari kamu juga. Tapi nggak sempet aku bales karena mau cepet-cepet sampai rumah. Ya udah, aku tancap gas aja.”

“Maaf ya, udah bikin kamu dan yang lainnya ikut khawatir nyariin aku. Aku lupa beneran, Mas Adib. Sorry, ya?”

“Iya.”

Hanya satu kata. Sekian banyak kalimat dan rentetan kata maaf dari penjelasan Najmi barusan hanya dibalas oleh Adibya dengan satu kata ‘iya’. Najmi saja sampai termangu dibuatnya.

“Gitu aja?” tanya sang gadis dengan mata yang membola. Sebab, Adibya tak pernah seperti ini. Apa lelaki itu sedang menaruh amarah kepadanya?

“Kamu marah, ya?” Najmi kembali bertanya dengan suara yang terdengar mengecil karena sedikit takut. Sebab, raut wajah Adibya terlihat datar bak hari-harinya bertemu orang lain.

“Udah, masuk. Terus kamu mandi dulu, habis itu kita makan malam. Saya udah masak.”

Maka, langkah itu didahului oleh Adibya yang kembali masuk ke dalam rumah sembari membuka jaketnya.

“Ih, Mas Adib marah ya sama aku? Iya, kan? Jangan marah dong, please…, eh, gapapa deh kalau marah. Tapi jangan lama-lama, ya? Nanti habis aku mandi, semoga marahnya udah hilang. Hehe.”

Lantas, usai mengunci pintu depan, Najmi pun buru-buru melangkah dengan cepat menuju kamar mereka sebelum Adibya. Bahkan, gadis itu sampai berlari kecil di dalam rumah baru mereka tersebut.

“Najmi.” “Iya?!”

Hanya butuh setengah detik untuk Najmi menjawab panggilan Adibya barusan. Bahkan, gadis itu sampai reflek memutar tubuhnya 180 derajat demi melihat sang pemuda. Apa lelaki itu sudah tidak marah lagi dengannya? Secepat itukah hilangnya kemarahan seorang Adibya Lofarsa pada Najmi Desra? Oh, sungguh tidak disangka.

“Jangan lari-lari. Kamu bukan lagi ikutan uang kaget.” Lantas, saat itu juga rasanya Najmi ingin tertawa mendengar peringatan Adibya yang mengandung lelucon. Katakanlah humor Najmi memang begitu rendah hanya karena diperingati demikian. Tapi kali ini, situasinya berbeda. Sebab Adibya sama sekali tak menunjukkan gerak-gerik bahwa ia tengah bercanda.

“Oke, hehe.” Najmi pun menjawab dengan raut wajah canggung. Lantas, ia pun kembali melanjutkan langkahnya.

Namun, baru tiga langkah berjalan dari tempat pemberhentiannya barusan, Adibya kembali memanggil gadis itu. Membuat Najmi yang mau tak mau kembali menoleh dan menyerongkan tubuhnya demi menghadap sang suami.

“Kenapa, Mas Adib?”

“Kamu enggak akan marah, kan, kalau saya ngambek?”

“Lah?” Maka jangan tanyakan lagi kondisi Najmi. Yang dia lakukan usai Adibya bertanya demikian hanyalah tertawa sekencang-kencangnya sampai sakit perut.

“Kok kamu ketawa?” Adibya bertanya tak mengerti. Apakah ada yang lucu dengan pertanyaannya?

Lalu karena Najmi tidak mau membuat Adibya semakin merajuk, ia pun mendekatkan langkahnya menuju Adibya. Kemudian, tanpa peduli apapun lagi, Najmi memeluk suaminya dengan begitu erat. “Karena aku bahagia punya kamu. Itu jawabannya.”

Dalam pelukan tersebut, Najmi berucap demikian. Dia, memang betul-betul bahagia memiliki Adibya.

Kala sang perempuan mereasa lelakinya belum membalas pelukan, Najmi malah semakin mengeratkan pelukan. Ia sandarkan dagunya pada pundak sang suami sembari berucap maaf berulang kali. Dan ketika pelukannya dibalas tak kalah erat, Najmi pun merasa lega. Ada kehangatan yang menyelimuti dadanya.

“Maafin aku, ya, Mas.” Yang terdengar hanyalah embusan napas pelan dari Adibya. Lelaki itu bahkan sesekali menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher sang istri sampai membuat Najmi kegelian sendiri.

Sebenarnya, dia tidak marah. Hanya saja, ada rasa sedikit kesal kala Najmi bilang bahwa dia lupa dengan statusnya yang sudah menjadi seorang istri dari Adibya Lofarsa. Namun apa daya, mau sekeras apapun ia ingin marah, tetap saja tidak bisa. Najmi-nya terlalu berharga untuk dimarahi atau didiamkan.

“Saya juga minta maaf udah diemin kamu barusan dan bikin kamu berulang kali minta maaf sama saya.” Adibya mengendurkan sedikit pelukan mereka, lalu merapikan anak rambut Najmi yang berserakan.

“Saya enggak marah. Cuma sedikit kesal aja dengar kamu lupa sama status kita. Padahal baru dua minggu yang lalu kita nikah. Tapi udah dilupain aja.”

Najmi mengangguk paham. “Iya, sorry. Tapi bukan dilupain, ih! Lupa beneran! Ya emang sih salah aku juga akibat kebiasaan over productive waktu kita LDR dulu. I swear.

Adibya menghela napasnya. “Jangan terlalu keras, Sayang? Kamu punya saya untuk diandalkan. Salah satu tugas saya itu menafkahi serta mencukupi kebutuhan lahir dan batin kamu. Jadi, jangan terlalu keras untuk cari uang. Materi yang saya punya saat ini bahkan Insya Allah udah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga kita sampai sepuluh tahun ke depan.”

Najmi lagi-lagi hanya diam. Adibya memang tak pernah melarang Najmi untuk melanjutkan karir sesuai apa yang diinginkan oleh istrinya tersebut. Namun kali ini, tampaknya Najmi memang sudah berlebihan, makanya harus diperingati.

“Terus tadi apa? Kamu bilang tancap gas, kan, dari kantormu ke sini? Sampai enggak sempat balas chat dari saya? Apa salahnya kamu menepi dulu, Najmi. Terus dibalas dulu pesan saya supaya kamu enggak ngebut bawa mobilnya. Saya di rumah juga bakalan tenang-tenang aja nungguin kamu jadinya. Ya, kan? Lain kali jangan diulang. Oke?” Pada dasarnya, yang Adibya khawatirkan tetaplah Najmi sendiri. Ia tak mau gadis itu kenapa-kenapa.

“Ya udah, sana, mandi. Pakai air hangat, ya? Terus habis itu kita makan malam. Saya udah masak buat kita.” Adibya kembali mengulang titahnya tadi, ketika mereka di depan garasi rumah.

“Mas Adib masak apa emangnya?” Najmi bertanya penasaran. Dekapan mereka pun telah lepas seutuhnya.

“Sup ayam. Lengkap pakai sayur kol, wortel, dan kentang kayak kesukaan kamu. Daun bawang sama saledrinya juga saya banyakin.” Lantas, Najmi yang merasa sangat beruntung dan begitu bahagia itu pun meraih kedua pipi Adibya dengan telapak tangannya. Lalu membawa wajah mereka agar saling berdekatan, untuk Najmi layangkan sebuah kecupan pada bibir sang suami.

Adibya hanya diam, lalu menarik wajahnya untuk menjauh. “Kamu enggak lupa, kan, kalau kita udah nikah?”

Najmi kira, Adibya bertanya demikian karena mau menyindirnya terkait lupa status barusan. Namun nyatanya, seorang Adibya Lofarsa, malah tersenyum jahil dengan raut menggoda. Lantas, tanpa memikirkan Najmi yang terkejut bukan main karena ranumnnya disambar dengan cukup dalam oleh Adibya, pun, hanya bisa meremang. Tubuhnya turut menegang kala sang lelaki menggerakkan bibirnya untuk memberi sedikit lumatan kecil.

Chup!

Setelahnya, cumbuan singkat itu Adibya akhiri dengan sebuah kecupan manja pada sudut bibir Najmi. “See?” tanyanya diiringi dengan kekehan kecil.

Sebelum nikah, boleh jadi Adibya terlihat cupu karena selalu menghindar tak membalas kecupan Najmi. Maka setelah sah, tak ada yang salah jika ia akan membalasnya dengan gerakan yang seintim mungkin.

Najmi hanya tertawa canggung. Kemudian malah berbalik badan dan berlari kencang menuju kamar mereka. Tak ada tangga. Karena rumah ini hanya berlantai satu, namun memiliki luas yang begitu lebar.

“Awas jatuh, Najmi!” Adibya memperingati perempuannya itu agar berhati-hati. Ia berlari dengan wajah yang bersemu merah karena malu atas tindakan suaminya barusan. Sebab, selama dua minggu berumah tangga, nyatanya mereka baru hanya melakukan cuddle tanpa ciuman panas. Hanya kecupan kupu-kupu yang baru pasangan itu lakukan selama ini.

Dan untuk morning kiss, Najmi sendiri tak pernah setuju akan hal itu. Bayangkan saja, baru bangun tidur dengan iler yang ke mana-mana, dan bau jigong yang menguasai mulut, maka Najmi tak akan pernah mau. Malu. Bahkan Adibya sudah sampai kena tendang karena beberapa hari terakhir karena terus menggoda Najmi untuk melakukan morning kiss bersamanya.

“BIG NO! AKU NGGAK MAU YA MAS!” ucap Najmi kala itu sembari menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Serta, selimut yang ia tarik sampai menutupi badan Najmi jadikan sebagai perlindungan diri dari terjangan jahil sang suami.

Namun, jangan salah. Ketika ia sudah rapi hendak berangkat kerja, hampir setiap hari setelah pernikahan mereka, Adibya selalu menyempatkan diri untuk mengecup setiap bagian wajah istrinya.

Bukan, bukan karena mereka pengantin baru. Tapi begitulah salah satu tips membangun dan mempertahankan rumah tangga. Dan lima tahun pertama pernikahan adalah Golden Period yang harus mereka habiskan dengan penuh asmara dan intim agar terjalinnya keharmonisan.

Usai mandi, Najmi benar-benar telah disambut dengan harumnya aroma sup ayam buatan suaminya. Adibya memang sosok suami idaman yang Najmi dapatkan dengan penuh perjuangan. Lelaki itu juga selalu tak pernah merasa bahwa pekerjaan rumah itu harus dikerjakan oleh Najmi saja.

Mau ‘kodrat wanita’ sekalipun, katanya, bagi Adibya pekerjaan tersebut bukan hanya bisa dilakukan oleh perempuan saja. Namun juga bisa dilakukan oleh dirinya yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini pun sudah pernah ia bicarakan dengan sang Bapak kala hendak menyampaikan niat baik pada keluarga Desra sekitar dua setengah tahun yang lalu. Maka kali ini, perlu ia ingatkan kembali, bahwa kodrat wanita itu hanyalah menstruasi, melahirkan, menyusui, dan nifas. Selebihnya, bukan kodrat wanita. Begitu menurut pandangan Adibya.

“Enak?”

“Enak!” Kali ini, Adibya sengaja membuat rasa sup ini pas dengan lidah Najmi. Karena biasanya, ia tak suka makanan yang cukup asin. Namun karena ini memang ia persembahkan untuk sang istri, tak masalah. Toh, Adibya tetap bisa menelannya dengan nikmat.

Karena hari ini Adibya yang memasak, maka tugas Najmi yang mencuci piring. Siklusnya selalu begitu. Kalau nanti Najmi yang mencuci pakaian, Adibya yang akan menjemur. Ketika Najmi yang menyapu rumah, maka Adibya bertugas dalam hal mengepel lantai. Mereka memang membagi pekerjaan rumah tangga dengan seimbang dan dijalankan dengan senang hati tanpa pernah merasa keberatan. Bahkan, ketika memasang seprai untuk ranjang mereka, dilakukan bersama-sama. Najmi menarik sudut kanan, Adibya menarik sudut kiri. Pokoknya, harus sampai benar-benar rapi.

“Menurut Mas Adib, aku cantikan rambut panjang apa rambut pendek?” Kini, setelah mereka selesai makan malam, pasangan tersebut menghabiskan waktunya di depan ruang TV. Lebih tepatnya Adibya yang menemani Najmi menonton drama Korea. Hari ini episode yang ke-delapan, katanya.

Lantas, Adibya yang ditanya demikian pun menoleh. Ia fokuskan netra pada sosok Najmi yang kini sudah duduk bersila di atas sofa menghadap dirinya. Bola mata gadis itu tampak berbinar.

“Ayo, jawab. Menurut Mas Adib cantikan gimana?” Najmi mengulang pertanyaannya sembari membawa gerai rambutnya untuk disampirkan ke bahu lalu menyalipkan di sisi belakang telinga.

“Cantikan mana, ayo. Aku butuh pendapat kamu, Mas Adiiib ….” Najmi geram sendiri kala sang suami tak kunjung menjawab pertanyaannya.

“Enggak tau,” jawabnya.

Lantas, raut tersebut langsung berubah 180 derajat. Riangnya hilang bersama jawaban yang barusan Adibya layangkan. “Kok kamu gitu, sih?” Najmi tentu merajuk dan bersedekap dada.

“Tinggal pilih doang susah amat!” Najmi yang hendak berdiri meninggalkan sofa pun langkahnya langsung ditahan oleh Adibya.

Lelaki itu mendongak demi melihat Najmi yang kini berdiri di hadapannya. “Kenapa pergi? Kamu, kan, belum dengar jawaban full dari saya.”

Sang gadis pun membalikkan tubuh. Alisnya ia naikkan sebelah pertanda menanti jawaban. “Mau rambutmu panjang atau pendek, mau hitam atau putih sekalipun, kamu akan tetap cantik di mata saya. Setiap detik, setiap menit, setiap hari, bahkan setiap waktu. Dari dulu, sampai nanti kita tua, cantiknya kamu akan tetap sama di mata saya. Bahkan selalu bertambah setiap harinya.”

Sampaikan pada para kalelawar yang bertebangan di luar sana, Najmi Desra butuh tompangan menuju goa. Sebab rasanya, ia mau bertapa saja. Hidup satu rumah dengan Adibya benar-benar tidak aman untuk jantung.

“Ih, apaan sih! Jawaban kamu nggak masuk kategori, dan sama sekali nggak ngasih solusi!” Najmi pura-pura kesal sembari menempatkan kebali ekornya di sofa. Bahkan, Adibya dengan berani membawa pinggang Najmi untuk duduk mendekat dengan dirinya.

“Kenapa tanya kayak gitu? Kamu mau potong rambut?” Kini, layar televisi telah sempurna diabaikan oleh mereka. Sebab, Adibya yang telah menarik lembut kepala Najmi untuk bersandar di dadanya menambah keintiman dalam konversasi sepasang suami istri.

Dan Adibya tentu dapat merasakan bahwa Najmi tengah mengangguk. Sembari mengelus kepala istrinya penuh sayang, Adibya terkekeh pelan.

Najmi yang tadi merajuk nyatanya sudah meluruh hanya dengan perlakuan Adibya padanya. Dia tidak sanggup berlama-lama marah pada lelaki super lembut ini.

“Aku boleh potong rambut, kan?” tanyanya kemudian.

“Ya boleh, dong. Itu, kan, selera kamu, Sayang. Selagi kamu nyaman, just do it. Saya enggak akan pernah mempersalahkan itu.”

Maka, tolong, Najmi benar-benar ingin dibawa ke goa. Ia mendadak ingin jadi petapa saja kala rangkulan Adibya kian mengerat. Kecupan ringan pada pipinya turut sang lelaki layangkan di tengah konversasi. Pun, ketika bibir Adibya menyentuh lama puncak kepala istrinya, ada buncahan rasa cinta yang kian berbunga-bunga di hati mereka. Malam pun dihabiskan dengan mesra oleh keduanya.

Sabtu malam, atau yang akrab disebut dengan malam minggu oleh semua kalangan tersebut rencananya akan dihabiskan oleh Adibya dengan membaca buku. Sekitar 50 halaman lagi selesai, perkiraannya. Dan ini adalah malam minggu kelima yang telah ia lewati setelah beruma tangga. Alias, umur pernikahan mereka sudah melibihi waktu satu bulan.

Namun ketika ia mendengar Najmi menghela napas kasar untuk yang ketiga kalinya, membuat fokus Adibya terdistraksi, lalu menoleh. Gadis itu tengah sibuk dengan ponselnya.

“Kenapa?” Adibya tentu bertanya kala kerutan pada gadis itu kian mendalam saat menatap lamat ponsel yang ada dalam genggamannya.

“Ini, si Nabila bilang Ghandi nge-chat-in dia mulu, ampe bikin Asep kemakan cemburu, terus berantem sama Nabila. Padahal mah setauku mereka jarang berantem, dan nyaris nggak pernah. Apalagi karena masalah kayak gini.”

Najmi mulai menyalurkan resahnya. Sebab, ia bak makan buah simalakama, serba salah, kalau kata Raisa. Dia memang ingin Ghandi lekas move on. Tapi ya tidak dengan menjadikan Nabila sebagai wanita yang mau ia dekati. Terlebih, Septian sampai sudah terang-terangan memperingati Ghandi. Namun tetap saja tak digubris lelaki itu.

“Terus, tanggapan Nabila ke Ghandi gimana?” tanya Adibya.

“Ya karena males nanggepin, mau nggak mau diblokir lah. Apalagi?” jawabnya. “Tapi kadang yang bikin ngeselin tuh, Da Ghandi kalau jam makan siang kurang kerjaan banget nyamperin Nabila ke kantor Papi. Ngajakin makan bareng, buset. Makanya Nabila sampai berantem sama si Asep karena kebetulan pas kemarin itu mereka emang udah janjian mau makan siang bareng. Eh, Da Ghandi malah kepergok nyamperin Nabila. Bikin ruwet aja!”

Nabila memang langsung menjadi karyawan tetap di kantor notaris milik Khaffa usai melalui proses magang dua tahun lalu. Sebab, selain public speaking Nabila yang bagus, gampang akrab dengan klien dan orang lain, kinerjanya pun juga sangat bagus. Maka dari itu Khaffa langsung menariknya untuk dijadikan karyawan tetap.

Adibya tentu tertawa kecil. “Kalau Nabila tetap pilih pacarnya, harusnya Tian nggak perlu ngapai-ngapain, sih. Karena mau gimanapun, Ghandi bakalan tetep kalah mau segencar apapun usaha dia. Tapi ya, balik lagi, takdir. Kita memang punya rencana, tapi kan Tuhan yang ngatur semua jalannya.”

Najmi hanya bisa memanyunkan bibir. Apa yang diucapkan suaminya itu memang benar. “Besok biar saya deh yang ajak Septian ngobrol. Terus abis itu saya bilangin ke Ghandi juga mumpung weekend. Kamu tenang aja. Jangan terlalu dipikirin sampai bikin bad mood gini.” Elusan pada kepala belakang sang gadis pun ia berikan. Mereka memang tengah duduk bersebelahan di atas ranjang ini. Dan Najmi, memang suka begitu. Apa-apa selalu dipikirkan. Adibya kadang geregetan sendiri dibuatnya.

“Mending nontonin acara anak-anak yang kamu suka itu. Siapa tuh namanya? Ben, ya?”

Najmi berdecak, lalu menyandarkan kepalanya pada bahu kanan sang suami. “Anak-anak online-ku udah pada gede semua, ih! Mau cari yang unyu-unyu lagi. Because a baby looks so cute!” ucapnya sedikit mendusalkan kepala demi mencari posisi ternyaman dalam bersandar.

William dan Bentely sudah besar. Maka Najmi akan mencari bayi-bayi imut lainnya untuk ia tonton kegemasannya.

Adibya dibuat tertawa kecil karena jawaban Najmi. Ia pun mau tak mau melanjutkan bacaan literasi terkait Hukum Pidana Korupsi setelah Najmi kembali menyibukkan diri dengan ponselnya. Apalagi, kalau bukan untuk menonton bayi-bayi mungil yang menggemaskan tersebut?

Namun sialnya, fokus itu telah hilang. Menguar bersama suara tawa Najmi yang melihat kelucuan tingkah laku bayi di ponselnya tersebut. Maka, niat untuk mengusili perempuan itu pun muncul begitu saja.

“Sayang,” panggil Adibya pada Najmi. Yang dipanggil demikian pun langsung menekan tombol pause dan segera menoleh. Jarak wajah mereka hanya menyisakan dua jengkal saja.

“Iya?” jawabnya keki. Jujur, Najmi masih belum terbiasa dengan panggilan tersebut pasca pernikahannya dengan Adibya. Padahal, saat sebelum menikah, Najmi lah yang terlihat begitu agresif. “Kenapa, Mas?” sambungnya.

“Kamu suka banget, kan, sama bayi dan anak-anak?”

Najmi lantas menegakkan tubuhnya. Ia mengangguk pasti. “Hu’uh, suka banget. Kenapa emangnya?”

Adibya pun tersenyum geli, bahkan sebelum mengucapkan kalimatnya ia sudah merasa tergelitik. “Kenapa enggak bikin sendiri aja?”

“Hah?!” Alih-alih mengerti, Najmi malah memasang wajah bingung. “Apanya yang dibikin sendiri?” lanjutnya bertanya.

“A baby,” jawabnya enteng. “Ya enggak sendiri, sih. Berdua sama saya.”

Rambatan panas itu menjalar hingga ke seluruh tubuh Najmi. Badannya pun turut meremang.

“Let’s make a baby.” Dan sekarang, ia sudah mengerti maksud suaminya tersebut.

Bahkan, Adibya yang berucap demikian pun telinga dan wajahnya serta merta turut memanas bukan mainnya. Meski saat ini ia sedang memasang raut jahil dengan alis yang dinaik turunkan, tetap saja, debaran pada jantungnya itu tak dapat membohongi bahwa ia juga tengah gugup setengah mati.

“Oh, bikin anak?”

Sekarang, Adibya yang merona. Najmi terlalu frontal dalam bertutur kata. Namun ya sudah, toh, ia berkata demikian juga karena sedang bicara dengan suaminya. Jadi tak terlalu masalah.

Lantas, Adibya pun mengangguk. “Shall we?” Mereka, memang belum pernah melangkah jauh. Jadwal yang padat menghasilkan penat. Maka pada malam-malam sebelumnya, hanya dihabiskan dengan keromantisan seperti biasa.

Najmi yang sebenarnya tahu bahwa Adibya hanya sedang bercanda pun menanggapi dengan mata memicing. “Yakin?” tanyanya memancing.

Namun, bukannya menjawab pertanyaan Najmi, Adibya malah menutup buku dan memutar tubuh demi menghadap sang istri seutuhnya.

“Why not?” sahut Adibya tak kalah berani. Bahkan lelaki itu membawa wajahnya untuk mendekat pada wajah Najmi. Jaraknya hanya tinggal beberapa inchi. Pun, deru napas keduanya dapat dirasakan pada kulit wajah masing-masing.

Kemudian, ketika Adibya semakin merapatkan wajah mereka hingga hidung saling bergesekkan, Najmi pun kian berdebar bukan kepalang. Jantungnya bertalu-talu. Tangannya mendadak dingin bak tinggal di dataran kutub nan beku.

Maka pada AC yang menghantarkan sejuk, pada jam dinding yang turut berdetak menemani keterdiaman Najmi, terima kasih. Karena gadis itu kini malah mendadak menepi, lalu turun dari ranjangnya. Karena menurut sudut pandang dan telisik mata Najmi, Adibya telah berubah menjadi bersungguh-sungguh.

“Hehe, mau mandi ah, Mas. Gerah,” ucapnya menghindari aksi dari suaminya tadi. Padahal Adibya telah menaruh ekspektasi tinggi. Namun malah dipatahkan begitu saja oleh sang istri.

Sedikit sakit, tapi Adibya menutupi patahnya dengan kekehan sumbang. Lalu, ia perhatikan langkah Najmi yang berjalan cepat menambil handuk dan masuk ke kamar mandi.

“Enggak apa-apa. Mungkin Najmi belum siap.” Adibya berasumsi demikian dalam hatinya.

Padahal, di dalam kamar mandi, Najmi sibuk mengetes bau napasnya sendiri berulang kali. Dia takut memberikan sesuatu yang nantinya tidak maksimal. Oleh karena itu, dia harus membersihkan diri terlebih dahulu. Lagian, Najmi memang betulan gerah. Ia belum mandi lagi sejak tadi siang.

Di ranjang, Adibya pun melanjutkan bacaannya. Tapi, sungguh, entah kenapa, rasanya masih kesal sendiri. Karena tadi, Najmi telah menolaknya secara tidak langsung.

Sepuluh menit pun berlalu. Najmi telah keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan hot pants dan tank top warna senada, hitam. Handuk yang melilit pada rambut itu pun bertengger di atas kepala.

Istrinya…, terlihat begitu indah.

Meski hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang wajar untuk dilihat seorang suami. Ia pun sudah hampir setiap hari pula menyaksikan gadis itu berpakaian demikian setiap selesai mandi. Namun, Adibya masih saja tetap berdebar bukan main. Sebab, selama kenal, dan selama bertemu dengan Najmi, gadis itu tak pernah sekalipun menggunakan baju yang memamerkan bahu. Bajunya pasti selalu menutupi lengan atas. Pun, celana dan rok yang Najmi gunakan selama ini, paling pendek hanya sebatas lutut. Selebihnya, sopan. Meski kadang kelakuannya sedikit minus karena sering menyosor pada Adibya, tidak masalah. Karena pada dasarnya, nikmat itu hanya dia yang rasakan. Lelaki lain tak pernah, dan tidak akan pernah.

“Mas Adib?” Namun Adibya tak menjawab. Lelaki itu masih sibuk dengan bukunya.

“Sayang,” panggilnya lagi. Namun tetap saja tak digubris oleh sang suami.

Karena bingung, Najmi pun mendekat. Ia bahkan dengan berani merundukkan tubuh demi melihat wajah Adibya yang tertekuk membaca buku.

“Ngambek, ya?” Satu hal yang kini Najmi sadari setelah menikah adalah, Adibya itu tipe suami yang sering merajuk. Tapi merajuknya seorang Adibya sangat gampang untuk kembali dibujuk.

“Enggak.”

Najmi menegakkan badannya kembali. Gadis itu berdiri berkacak pinggang di samping ranjang.

“Yakin?”

“Yakin.”

“Ya udah, ayo.”

“Apanya yang ayo?” Adibya yang memang mendadak bingung pun bertanya. Aksi merajuknya benar-benar hilang fokus hanya karena menangkap raga Najmi yang sangat minim dibaluti pakaian.

“Bikin anak lah, apalagi?”

Lantas ketika mendengar ucapan Najmi barusan, Adibya mendadak pening. Pijatan pada kening pun langsung ia berikan sembari menarik napas gusar. “Astaga Najmi, bahasanya bisa diganti ke yang lebih halus, enggak? Saya kaget-kaget denger kamu bilang gitu.”

Najmi yang diperingati pun mengulum bibir. Sedikit malu, tapi trabas saja. Sudah terlanjur kuyup, menurutnya. “Ya, maaf. Terus apa dong aku nyebutnya? Let’s make a baby? Having sex? Making love? Bercinta? Or nge — mhhp?!!!

Adibya yang tidak tahan dengan deretan kalimat Najmi barusan pun beranjak dari posisi duduknya untuk berdiri, lalu membekap mulut Najmi dengan satu tangannya. Kemudian, sang lelaki menggiring tubuh kecil tersebut ke arah lemari. “Enough. Mending kamu pakai baju, nanti masuk angin.”

Najmi hanya menurut, dan membebaskan diri dari Adibya. “Ya udah sih, kalau nggak jadi.” Kegiatan pun gadis itu lanjutkan dengan membuka lemari demi memilih baju tidurnya untuk malam ini.

Melihat Najmi yang balik merajuk demikian pun membuat Adibya lagi-lagi mengalah. Tidak masalah.

“Bukannya tadi kamu yang menghindar, ya? Kenapa sekarang malah nawarin saya?”

Pardon? Nawarin?!” Najmi begitu kaget dengan pilihan kata yang Adibya sampaikan barusan kepadanya. Raut wajah gadis itu dibuat sedramatis mungkin. Meski nyatanya ia sedikit merasa tersentil.

Waahhh, perasaan tadi kamu deh yang ngajakin aku. Bercanda bilang ‘let’s make a baby’ tapi berakhir beneran pengen. Ya, kan?!”

“I’m your wife, Mas Adib. I know you so well. I just want to give my best buat ‘malam pertama’ kita. Sorry if I offended you. I’m so sorry.” Lantas, Najmi berkahir memeluk suaminya agar rasa kecewa itu bisa berkurang. Ia sungguh tak mau membuat Adibya merajuk kepadanya. Oleh karena itu, ia harus menjelaskan sejelas-jelasnya.

“Maafin saya.” Adibya pun tentu turut meminta maaf. “Maaf, Sayang,” ulangnya sembari membalas pelukan sang istri. Ia takut sekali ada kata-katanya tadi yang menyakiti Najmi. Pun, lelaki itu merasa bersalah karena sudah merajuk karena hal demikian.

Aroma almond lily pun menguasai indra penciuman Adibya. Kulit putih Najmi yang bersih tersebut terasa dingin. Wangi sekali tubuh istrinya ini.

“Saya mau minum dulu.” Adibya lantas merenggangkan pelukannya. Ia ingin mengambil minum ke dapur. Najmi yang tak merasa curiga pun hanya mengangguk. “Hm, silakan.”

Padahal, setelah keluar kamar, Adibya menarik rambutnya pelan dengan kedua tangan. Ia bingung harus bagaimana lagi setelah ini. Haruskah mereka melakukannya malam ini?

Ia sungguh mendadak bingung. Bagaimana cara memulainya agar terasa rileks dan lebih santai? Bahkan jantung murahannya ini tak ada henti-hentinya berdebar dengan begitu kencang. Dada bidang itu bahkan mungkin bisa terkoyak saking besar dan cepatnya debaran tersebut.

“Astaga kenapa saya mendadak dungu gini, sih?” Adibya menggerutu sendiri sembari menunggu gelasnya penuh dengan air galon pada dispenser. Bunyi khas yang ditimbulkan dari air tersebut menjadi temannya berpikir tentang bagaimana membangun konversasi dan pergerakan yang intim.

Adibya, ingin. Dia sangat ingin menafkahi Najmi secara batin malam ini. Namun gugupnya masih mendominasi.

Maka, belasan menit berikutnya, kegiatan itu tetap berjalan khidmat dan indah. Entah bagaimana cara pasangan itu memulai suatu kewajiban sebagai sepasang suami istri, yang jelas kini belahnya tengah beradu. Berdiri di tepi ranjang, dengan tangan yang terletak nyaman pada spot pilihan.

Narasi 42 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

By ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet