“Ooh, ini ya Ga, orang yang selalu matahin rokok kalau kita nyebat di depan dia?”
Begitu sindir Nuel kala Senan menjatuhkan ekornya pada sofa yang ada di hadapan mereka. Tiga orang ini sama-sama memilih private room di kafe ini.
Pluk!!!
Senan melemparkan sebungkus rokok yang hanya usak satu batang tersebut ke wajah Nuel. Lelaki itu menertawakan, pula menirukan suara batuk Senan saat menghisap nikotin tadi. Puas sekali Nuel terbahak bersama Nuraga.
“Nih, Kopiko.” Nuel pun menyerahkan permen kopi legendaris tersebut kepada Senan. “Mending lo makan ini daripada nanti malah kecanduan rokok,” sambungnya sembari terkekeh.
“Dih, enak juga enggak. Apa yang harus dicanduin?” jawab Senan mempertahankan harga dirinya.
Nuraga kembali tertawa. “Ya lo nyebatnya Sampurna ijo. Mana nge-feel lah!”
“Nih, rokok gue Esse. Si Nuel Marlboro. Pilih dah kalau mau.” Nuraga menunjukkan bungkus rokoknya. Ia tawarkan Senan kalau saja mau mencoba rokok miliknya. “Tapi Nuel udah jarang nyebat sih. Lebih ke pod atau mod,” sambung Nuraga.
“Atau lo mau nyoba pod?”
Senan menggeleng tegas untuk kali ini. Dia merasa jadi manusia bodoh saat menghisap nikotin tersebut tanpa berpikir dua kali. Padahal, selama ini yang sering mematahkan rokok Alvaro dan Nuraga adalah dirinya. Dia pula yang sering berkata bahwa rokok tidak baik untuk kesehatan. Namun malam ini, hanya karena masalah tengah menimpa, ia sentuh gudang penyakit tersebut.
Ah, Senan merasa malu pada dirinya sendiri.
“Padahal pod lebih aman dari rokok. Rasanya juga macem-macem,” ujar Nuel memberitahu. Namun Senan tetap memilih abai. Mau apapun rasanya, mau apapun bentuknya, Senan tidak mau lagi menyentuh benda-benda tersebut.
“Lagi ada masalah ya lo?” Nuraga menebak dari raut wajah Senan yang terlihat kusut. Tak biasanya lelaki itu berpenampilan seperti ini. Mulai dari pakaiannya yang terlihat biasa saja, sampai wajah kesal yang tak luntur sejak melihat lelaki itu masuk ke tempat ini.
“Gue tebak, lo pasti lagi berantem ya sama si Ratu?” Nuel dengan kesotoyannya itu turut menebak yang tidak-tidak.
Sorot tajam langsung terpampang pada netra Senan. “Nggak ada hubungannya sama cewek gue.”
Nuel mencebik. “Ya kan kali aja lo abis diputusin.”
“Anjing!!!”
Senan yang sedang tidak stabil emosinya itu pun menarik kerah Nuel. Nuraga yang kaget pun lekas menengahi perdebatan mereka.
“Santai dong, santai. Nggak usah tegang juga kali, ah!” sahut Nuel melepas cengkraman Senan.
“Ya lo juga orang lagi sensi malah mancing-mancing.” Nuraga mengomeli Nuel yang bersungut-sungut menatap Senan.
“Ya kan gue bercandaaaa!” jawabnya. “Dianya aja yang sensian.”
Nuraga hanya bisa mendengus saat mendapati Senan dan Nuel yang kini malah saling menatap tajam. Mungkin, Senan termakan api cemburu dan tersinggung. Sebab lelaki itu tahu bahwa Nuel pernah menaruh hati pada kekasihnya.
“Lo ngapain ke sini sendirian? Cewek lo mana? Ini kan malam minggu?” Nuraga pun mengalihkan pembicaraan demi mencairkan suasana.
“Bimbel,” sahut Senan singkat. Nuraga pun mengangguk-angguk sembari menghisap rokok miliknya. Di sini, adalah kafe tempat dirinya biasa bekerja. Namun kini sudah tak lagi. Nuraga hanya ingin fokus menghadapi studinya.
Ke tempat ini pun karena tadi Nuel yang mengajaknya. Lelaki itu mentraktir sahabat kecilnya sekaligus memberi kabar gembira, kalau ia telah diizinkan berkuliah dengan jurusan pilihannya. Namun saat baru sepuluh menit berbincang, Senan datang dengan raut kusutnya. Ia tak menyadari kalau di pojok ruangan ini ada Nuraga dan Nuel yang menangkap segala gerakan Senan.
Ponsel Senan berdering. Wanita yang dibicarakan tadi tiba-tiba kini meneleponnya.
“Halo?” Senan dengan lekas menjawab. Nuraga dan Nuel pun kini saling menatap. Seumur-umur, mereka belum pernah menyaksikan Senan berteleponan dengan gadis itu di dekat mereka.
“Udah pulang?” tanya Senan lembut. Rautnya perlahan berubah kala mendengar suara Ratu.
“Tunggu di sana. Aku jemput.”
Ratu yang ditelepon, malah Nuraga dan Nuel yang salting. Jiwa jomblo mereka meletup-letup saat Senan dengan jantannya bergumam sambil mengatakan, “See you, babe,” pada sosok Ratu. Mereka berdua tidak menyangka kalau Senan sangat pro dalam urusan asmara.
“Berisik lo berdua!” protes Senan saat panggilannya terputus. Dua temannya yang bocor halus itu cekikikan tidak jelas sepanjang dirinya menelepon dengan ratu.
“Gila sih lo. Kayaknya kita berdua kudu berguru biar ikutan jago bikin salting anak orang.” Nuraga memuji kinerja Senan dalam dunia percintaan.
Lelaki itu hanya menanggapinya dengan rotasi mata. Kemudian ia berdiri untuk segera menjemput sang kekasih yang telah selesai bimbel matematika.
“Gue cabut duluan.” Kemudian lelaki itu pun melangkah pergi. Meninggalkan Nuraga dan Nuel yang masih saja menertawakan kejombloan mereka.
“Padahal kita cakep. Tapi kenapa ga laku-laku ya, Ga?” begitu tanya Nuel di ujung tawa mereka.
Di bawah langit gelap yang mulai kering, sepasang kawula muda tersebut tengah berbagi kasih. Menyalurkan cinta dalam sebuah pagutan mesra, saling memanjakan meski keduanya tahu bahwa mereka adalah seorang amatir.
Rekah bibir nan manis itu kemudian ia lepas. Senan lagi-lagi mengumpati dirinya yang lepas kendali. Belasan detik yang lalu, ia baru saja menodai bibir kekasihnya.
“Maaf,” ucap Senan penuh rasa bersalah.
Namun Ratu lekas meraih rahang pria itu untuk dikecupnya. “Don’t say sorry. Just say I love you.” Kemudian pelukan hangat pun gadis itu berikan pada raga yang tampak rapuh. Ia dekap Senan seerat yang ia bisa.
“Mungkin aku nggak akan tau gimana perasaan kamu yang sebenarnya.” Gadis itu bergumam dalam pelukan mereka. “Tapi aku mau bilang makasih sama kamu karena udah memilih aku sebagai tempat kamu berbagi cerita. Makasih udah percaya.” Dekapan pun Senan balas tak kalah erat. Tak akan ia lepaskan raga yang telah tulus mencintainya sepenuh hati.
“Ibu kamu itu malaikat tak bersayap, Senan. Dia bidadari dunia. Nggak akan ada perempuan sebaik ibu kamu. Kalaupun ada, mereka pasti sulit ditemukan. Ibarat mencari berlian yang jatuh ke dalam air yang keruh. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami yang membumbung.”
Dalam dekapannya, Senan merasa nyaman. Namun detak jantungnya yang berdebar kencang mungkin dapat Ratu rasakan pula. Setelah menceritakan semua permasalahannya pada gadis itu, rasanya Senan sangat lega. Perasaan yang mengganjal di hatinya perlahan sirna. Amarah pun bahkan tak lagi ada. Hanya ada rasa menggebu tatkala Ratu kembali mengecup pipinya sekilas saat sebelum melepas dekapan.
Gadis itu terkekeh pelan. Kedua ujung telinga milik Senan memerah bukan main. Prianya tengah malu. Kemudian, Ratu ucapkan bahwa Senan harus segera mengabari Windi. Susul beliau ke rumah sakit. Temani raga, hati, dan jiwanya untuk menemui masa lalu yang telah lama wanita itu maafkan.
“I love you, Ratu Kemuning.” Lalu remaja itu berpisah. Senan tunggui gadis itu sampai memasuki rumah, kemudian ia telepon Ibunya untuk menanyakan lokasi terkini.
Benar kata Ratu. Dia bukan lagi anak kecil. Setidaknya, dia harus bisa menjadi lebih dewasa untuk Windi. Senan harus bisa.
“Hadeh, dasar anak muda.” Wanita itu menyuruput coklat panas buatan putra semata wayangnya.
“Kenapa, Ma?” tanya Alvaro saat dirinya baru bergabung untuk duduk di balkon rumah.
Jihan menggeleng. “Enggak, itu tadi Mama lihat ada yang lagi pacaran di bawah,” jawabnya menunjuk ke arah pagar dengan dagunya.
Alvaro lekas menoleh. Namun kosong. “Mana?”
“Udah bubar. Telat kamu.”
“Anak rumah sebelah?” tanya Alvaro lagi.
“Ho'oh, yang perempuan.” Anggukan pun pemuda itu layangkan. Kini saatnya ia berbagi cerita dengan sang Mama. Tak peduli dengan tetangga sebelah rumah mereka. Ia tidak kenal dengan orang di sekitar rumah baru milik Jihan.
“Udah dikompres lagi kan lebamnya?” Wanita itu bertanya sembari menutup majalah bisnisnya.
Alvaro tersenyum lembut. “Udah, Ma.”
“Pinter.” Jihan mengusak rambut lembab Alvaro. Anaknya ini baru selesai keramas maghrib tadi.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe