MIDIB The Explorer

rofenaa
14 min readJul 31, 2022

--

Perjalanan mereka berlangsung riang. Najmi dan Adibya sampai dengan selamat hingga hotel tujuan. Setelah makan siang dan meregangkan otot-otot mereka, dua orang tersebut lantas melancarkan aksi menjelajah kota. Katanya, Najmi ingin menaiki seluruh transportasi umum yang ada di daratan ini. Mulai dari yang roda dua, sampai ke yang tak punya roda pun, akan Najmi jabani.

Yang pertama, ada becak motor. Kendaraan itu membawa mereka hanya 300 meter saja dari titik awal. Pasangan itu berhenti dan mampir di sebuah taman untuk bersantai ria. Syukurnya, terik mentari kali ini tak terasa begitu menyengat karena banyaknya gumpalan awan yang menggantung di atas sana. Pula, angin yang berembus cukup kencang di bawah rindangnya pohon tempat mereka bersandar membuat suasana tampak kian mendukung.

“Mas Adib, mau naik becak kayuh nggak?” tanya Najmi usai menyedot es cekek yang ia beli sendiri. Sementara, Adibya yang sedang menenggak air mineral dingin itu hanya melirik, kemudian mengangguk. “Boleh,” jawabnya.

Adibya kira, maksud Najmi bertanya demikian adalah dengan bayangan akan naik berdua seperti becak motor sebelumnya. Namun ternyata, hanya dia seorang. Sebab, gadis itu meminta izin pada sang pemilik becak untuk mengendarainya sendiri. Ya, Najmi yang akan mengayuh becak tersebut. Sementara, Adibya hanya disuruh duduk dengan tenang selayaknya penumpang.

“Enggak, saya enggak mau kalau gitu.” Ini adalah penolakan Adibya yang kedua kalinya. Namun Najmi dengan keinginan anehnya itu tetap memohon menggunakan unsur paksaan.

“Ayo dong, Mas Adib. Muterin taman ini doang, kok!” Sang gadis kembali meyakinkan.

“Enggak mau, Najmi. Nanti kamu kecapekan. Saya ini berat.”

“Nggak bakalan capek, Sayang. Lagian ini tuh aku udah susah payah lho ngebujuk abang becaknya ampe ngasih duit ceban. Masa kamu nggak mau naik sih?”

Dan perdebatan panjang pun terjadi. Yang pada akhirnya, mau tak mau, Adibya mengalah. Pemuda itu menuruti kemauan Najmi meski dengan berat hati. Sebab, ia tak mau merusak mood gadis itu dan malah membuat rencana mereka hancur berantakan. Karena ada begitu banyak hal yang harus mereka lakukan selama tiga hari ke depan. Waktu bersama yang tersisa kian terkikis, maka Adibya harus memanfaatkannya sebaik mungkin.

Dengan raut cerah dan nada cerianya, Najmi mengayuh becak tersebut dengan penuh semangat. Bahkan, gadis itu sama sekali tak mengeluh. Yang ada, sembari mengayuh becak keliling taman, Najmi malah tanpa malu-malu menyanyikan lagu anak-anak yang sangat melegenda berjudul Becak.

Saya mau tamasya

Berkeliling keliling kota

Hendak melihat-lihat keramaian yang ada

Saya panggilkan becak

Kereta tak berkuda

Becak becak coba bawa saya

Berulang-ulang kali Najmi menyanyikan lirik tersebut dengan diiringi tawanya yang begitu renyah. Adibya yang terbawa suasana pun mau tak mau ikut mengimbangi senandung gadis itu. Suara mereka memang tak terlalu merdu, pun tak terlalu keras. Namun, ada rasa yang begitu hangat membalut keduanya.

Hanya saja, mereka tetap menarik perhatian orang-orang yang juga bertamasya di taman ini. Beberapa pasang mata sibuk memperhatikan sembari ikut tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Beberapa lagi tampak ikut berkomentar bak komentator bola dan host acara gosip. Untungnya, dua orang itu menggunakan masker. Jadi ya…, nggak malu-malu amat.

“Udah capek?” tanya Adibya usai mereka berkeliling taman dengan durasi dua puluh menit. Sepuluh Najmi, sepuluhnya lagi Adibya. Mereka berujung bergantian mengayuh transportasi tersebut.

Anggukkan yang Najmi berikan pun mengundang helaan napas lega dari sang pemuda. Lantas, mereka mengembalikan becak tersebut dan kemudian melanjutkan destinasi.

“BAJAJ!!!” Najmi yang tiba-tiba bersorak itu langsung membuat Adibya turut menoleh bergantian. Ke arah Najmi, lalu ke arah bajaj yang melintas pelan melewati mereka di seberang sana.

Bajaj, dibaca bajai. Kendaraan yang kini sudah banyak bertranformasi dari warna jingga menjadi warna biru itu pun kian memelankan lajunya. Lalu, berhenti di pinggir jalan sepi.

“Yuk, kita naik bajaj!” Gadis itu lantas menarik Adibya untuk segera melangkah mendekati kendaraan tersebut.

“Tapi kamu jangan aneh-aneh, ya?” Najmi sontak tertawa mendengar kalimat sang lelaki yang terdengar was-was. “Saya enggak mau denger kalau nanti kamu malah tiba-tiba nyeletuk pengen nyetir bajaj.”

Semburat merah di wajah Najmi kian terlihat. Lagian, dia juga tidak bisa mengendarai kendaraan berkopling itu. “Siapa juga yang mau nyetir?” jawab Najmi dengan suara setengah meledek. “Aku masih pengen nikah kali sama kamu!” Lantas, Najmi kembali melenggang. Ia juga tak mau mengambil resiko besar karena nekat ingin mengendarai bajaj. Rugi sekali kalau dirinya mati sia-sia disaat umurnya yang masih begitu muda?

Sementara di sisi lain, sang pemuda yang berjalan mengikuti langkah gadis itu menggaruk pelipisnya yang sama sekali tidak gatal. Bahkan, kalau saja Najmi memperhatikan, daun telinga Adibya saat ini terlihat memerah. Debaran jantungnya kembali bertalu-talu. Sebab, Najmi-nya selalu begitu.

“Bang, terminal, ya!” Kemudian, Najmi pun masuk terlebih dahulu, dan disusul oleh Adibya setelahnya. Mereka duduk bersebelahan di dalam ruas bangku yang cukup kecil.

“Kita mau ngapain ke sana?” tanya Adibya mengerut heran.

“Mau naik Kopaja!” jawabnya penuh semangat sampai mengundang supir bajaj untuk menoleh.

“Kopaja mah udah kaga narik, Neng. Dari sebelum pandemi juga udah jarang keliatan.” Sang supir mengimbuhi percakapan mereka.

“Eh, masa sih, Bang?” bingung Najmi. Jujur, dia juga tidak tahu kalau Kopaja — bus melegenda di negeri Batavia itu sudah tak lagi ada.

“Beneran, Neng. Sekarang mah orang-orang udah pada naik Transjakarta atau kaga ya MRT. Bajaj aye aja kadang sepi bener ama pemumpang.”

Konversasi antara Najmi dan supir bajaj pun terjalin menemani perjalanan mereka. Adibya tentu turut menimpali. Sesekali, supir bajaj nan memiliki selera humor yang pas dengan sepasang kekasih itu pun mengundang tawa.

Pertanyaan demi pertanyaan pula Najmi layangkan. Mulai dari sejak kapan sang supir berprofesi sebagai supir bajaj, mengapa bajaj harus berubah warna menjadi biru, dan kenapa knalpot bajaj begitu berisik; menjadi pertanyaan paling sengit. Apakah bajaj tak bisa dimodifikasi menjadi bajaj dengan knalpot yang lebih ramah suara? Maka, seluruh pertanyaan pun dibabat habis tanpa sisa. Sang supir ternyata berkemampuan untuk menyampaikan argumennya.

Kata sang supir, kalau knalpot bajaj bunyinya halus seperti omongan lelaki saat proses PDKT, maka bukan bajaj lagi namanya. Sebab, itulah salah satu ciri khas bajaj itu sendiri.

Kurang lebih dua belas menit, mereka pun sampai di terminal tujuan.

“Udah sampai sini, kita mau ke mana?” Adibya bertanya di tengah klakson yang bersahutan. Suara kenek angkutan umum yang ada di sana turut menguasai gendang telinga. Mereka berlomba-lomba dalam memberitahu jurusan angkutannya.

“Makan Soto Medan, mau? Aku pernah diajak Nabila ke warung makan deket sini. Sotonya enak! Di sana juga ada jual sop buntut.” Yang paling bersemangat di sini memang Najmi. Gadis itu seolah tahu seluk beluk kota yang begitu besar. “Eh, tapi Mas Adib suka babat sama buntut, nggak?” sambungnya was-was.

Adibya tersenyum, lalu menangguk. “Suka!” jawabnya ikut semangat.

“YES, LET’S GO!!!”

Peluh membanjiri sekitar wajah. Kipas yang ada di warung ini tak dapat sepenuhnya membantu kala pelanggan turut memadati. Belum lagi, atap yang tak terlalu tinggi membuat panas matahari terasa kian meresap.

“GILA, MAKIN SORE KOK MAKIN PANAS SIH?” Najmi sebal luar biasa ketika mereka telah berhasil keluar dari warung. Tentu saja dengan kondisi perut yang sudah terisi penuh.

Adibya lantas mengeluarkan sapu tangannya. Membuat pergerakan Najmi yang mengeruk totebag demi mencari tissu pun terhenti. Ia lirik sapu tangan yang motifnya terasa tak asing tersebut, lalu berkata, “ih, mirip punyaku!” ucap sang gadis sembari meraih sapu tangan tersebut, lalu mengelap keringatnya. Ia tak perlu banyak pikir. Sebab, sapu tangan itu pasti banyak sekali beredar dan dijual di pasaran. Bukan hanya dirinya saja yang punya.

Adibya pun hanya terkekeh. Kemudian, lantunan pertanyaan pun ia berikan. “Mau ke mana setelah ini?”

“Nggak tau.”

“Kok enggak tau?”

“Ya nggak tau. Aku tau jalan cuma sampai sini.” Wajah keduanya terlihat horor. Matanya bergerak gelisah ketika satu sama lain memandang dengan tatapan bingung.

“Kamu serius enggak tau arah?” tanya Adibya memastikan.

“Ya serius,” sahutnya santai. Karena menurut Najmi, lelaki itu pasti tahu sedikit banyaknya tentang seluk beluk kota ini.

“Ya udah kalau gitu kita ke stasiun.” Nah, kan, apa Najmi bilang. Adibya pasti tahu arah.

Dengan mata yang berbinar kala mendengar hal itu, Najmi menjadi girang. “Mau naik MRT?” tanyanya memastikan. Adibya lantas mengangguk, membuat Najmi merekahkan senyumannya. “Ayo!” jawabnya riang gembira.

“Tapi kita naik angkot dulu buat sampai ke halte. Kalau jalan kaki, jauh. Panas. Baru nanti setelah sampai halte, kita naik busway ke stasiunnya.” Adibya kemudian meraih pergelangan Najmi yang tertutup blezzer berwarna aspal basah tersebut. Namun, bukannya ikut melangkah, gadis itu masih mempertahankan pijakannya di tempat yang sama.

“Kenapa?” bingung Adibya yang menoleh, kemudian kembali berbalik sepenuhnya pada Najmi tanpa melepas genggamannya.

“Aku nggak mau naik angkot.” Datar. Nada suara gadis itu berubah dingin dengan rahangnya terlihat mengeras. Geraham sang gadis beradu hingga dapat terdengar letupan oleh dirinya sendiri.

Namun, jauh dari itu semua, Adibya dapat melihat bahwa mata Najmi menyorot sendu. Gadisnya masih terjerat masa lalu.

“Kita coba, ya?” Sebab kata sang dokter, jika benar-benar ingin belajar memaafkan hal yang telah berlalu, Najmi harus menghadapinya secara langsung agar tak lagi terjerat dan dibelenggu oleh kebencian dan rasa takut.

“Never.”

“Ada saya, Najmi.” Lagi-lagi Adibya meyakinkan.

“Nggak.”

“Najmi…, ”

“Kalau aku bilang nggak, ya nggak, Mas Adib!”

Oke. Cuaca yang panas kian terasa panas kala dua orang tersebut tampaknya akan terlibat debat yang cukup sengit.

“Kamu harus berani, Najmi. Kamu harus bisa keluar dari lingkaran itu. Kalau bukan sekarang, kapan lagi kamu akan memulai?” Sang gadis membuang muka ke arah kanan. Yang sialnya, kendaraan umum yang sangat Najmi benci dan ia kecualikan untuk hari ini tampak mendekat. Membuat tubuhnya semakin terpaku meski Adibya tengah mengelus lembut punggung tangannya.

“Ayo,” bujuknya. “Ada saya, Najmi. Saya di sini.”

Belum sempat menjawab, angkot tersebut sudah menepi di dekat mereka. Pria berkumis itu menawarkan jasa antarnya dengan menyebutkan berbagai macam jurusan.

“Ya udah, ayo.” Sontak mata Adibya melebar. Jawaban Najmi benar-benar di luar ekspektasinya. Ia kira, gadis itu akan tetap menolak dan keras kepala seperti biasanya. Tapi ternyata tidak.

Lantas, tanpa berlama-lama, Adibya menarik lembut tangan Najmi untuk segera mendekati angkot. Sang lelaki tentu mempersilakan Najmi masuk terlebih dulu.

Dengan ayunan kaki yang terasa sangat berat, pun debaran jantung yang begitu sulit untuk dikontrol, Najmi tetap masuk terlebih dahulu. Disusul Adibya, mereka duduk di deretan bangku yang berbeda. Najmi yang duduk di bangku panjang, Adibya duduk di bangku pendek yang berhadapan dengan Najmi.

Dari sini, Adibya dapat melihat, bahwa Najmi meremat loose pants hitam miliknya. Gadis itu tertunduk dengan mata yang terpejam erat. Bibirnya terkatup rapat, dengan kaki yang bergerak resah. Najmi begitu ketakutan. Namun ia tetap mencoba melawan rasa takutnya itu.

Mungkin, di mata Adibya, Najmi terlihat keren karena berani memutuskan sesuatu yang selama ini sulit untuk ia lakukan. Namun, kalau menurut pandangan orang lain, Najmi malah terlihat seperti orang yang tengah menahan pipis. Padahal, lebih dari itu.

Satu menit berlalu, angkot mulai penuh. Adibya yang melihat Najmi kian panik ketika angkot hendak melaju pun pindah ke samping gadis itu. Kemudian, ia ketuk punggung tangan sang gadis dengan telunjuknya sebanyak dua kali. Membuat Najmi membuka mata, lalu menoleh.

Lantas, Adibya tersenyum lembut. “Enggak apa-apa. Ada saya.”

Tanpa tedeng aling-aling, Najmi meraih tangan kanan sang pemuda untuk digenggamnya. Membuat beberapa penumpang yang memperhatikan sepasang manusia tersebut menatap heran. Di sudut dekat speaker angkot, dengan ekor matanya Adibya bahkan dapat menangkap sepasang gadis remaja tengah bersenggolan lengan. Tampaknya, mereka sedang memberi kode bahwa ada sepasang bucin style elite yang naik angkot langganan mereka.

Tak lama, angkot berjalan dengan kecepatan cukup lambat. Kawasan terminal yang padat membuat kendaraan apapun bergerak di bawah kecepatan rata-rata. Namun, saat sebuah motor menyalip kendaraan yang mereka tumpangi, sang supir jelas terpaksa membantung stir dan melakukan pengereman mendadak. Membuat siapapun tersentak, termasuk Najmi yang dadanya terasa kian sesak.

Umpatan sang supir pun menguar. Mencemari udara sore yang terasa kering tanpa mempedulikan penumpang yang diterjang syok.

“Turun…, ” gumam Najmi dengan sisa keberaniannya. Gadis itu tak sanggup lagi rasanya berlama-lama di dalam angkot. Getar dan debar dalam dadanya seolah ingin meledak. Ia ketakutan luar biasa.

Lalu, tanpa banyak bertanya, Adibya bersorak. “Kiri, Pak!” Angkot yang baru berjalan tiga meter usai berhenti mendadak itu pun menepi.

Lantas, sang pemuda menarik pergelangan Najmi untuk ikut turun bersamanya.

“Lah, Mas, kembaliannya?!” Sang supir bersorak ketika Adibya langsung pergi ketika memberikan selembar uang berwarna biru dan mengucapkan terima kasih.

“AMBIL AJA, PAK!” sahut sang pemuda yang buru-buru membawa Najmi untuk duduk pada bangku yang tersedia di dekat trotoar. Bangku itu adalah fasilitas umum milik daerah.

Sementara, sang supir yang menerima rejeki nomplok itu langsung bersorak gembira. “MAKASI YAK!!!” soraknya dari dalam. Adibya hanya mengacungkan jempol tanpa berbalik melihat.

“Ada-ada aja kelakuan orang kaya,” guman sang supir kemudian melanjutkan perjalanannya. Begitupun dengan para penumpang yang mulai bergosip ria dan berbisik-bisik, mereka tentu membicarakan pasangan tersebut. Sebab, dua orang itu hanya menumpangi angkot dalam jarak 200 meter dari titik awal pemberhentian sebelumnya. Namun, uang yang diberikan malah sepuluh kali lipat pembayaran dari yang seharusnya.

Di lain tempat, Adibya berdiri menghadap Najmi yang duduk pada bangku. Gadis itu sedikit merunduk dan meremat sisi bangku. Ia mencoba menetralisir ketakutannya agar bisa kembali bernapas lega.

“Enggak apa-apa, Najmi. Kamu hebat.” Adibya tulus berkata demikian. Dia sunggguh bangga pada keberanian sang gadis yang menantang ketakutan terbesarnya selama ini. Padahal, sudah sepuluh tahun lamanya Najmi tak sudi menginjak kendaraan tersebut. Terlalu banyak kenangan buruk tentang angkot dalam hidup gadis itu.

Maminya, meregang nyawa karena dihantam angkot yang ugal-ugalan. Ditambah, saat perkuliahan dulu, Najmi pernah diserempet kendaraan sial tersebut sampai mendapatkan luka ringan bersama Nabila. Maka, rasa bencinya semakin menjadi-jadi dan memuncak. Pun ketakutan yang kian menumpuk membuat Najmi bertekad untuk tidak akan pernah menaiki angkot.

Namun, semua telah ia patahkan hari ini. Meski tak sampai sepuluh menit di dalamnya, Adibya tetap merasa bangga yang teramat. Najmi sungguh berhasil! “Kamu hebat, Najmi. Kamu berani.” Adibya turut duduk di sebelah sang gadis, membawanya ke dalam pelukan damai. “Saya bangga sama kamu,” sambungnya.

Kenderaan roda dua itu melaju dengan kecepatan rata-rata. Si pengendara berjaket hijau menyalip dengan sewajarnya. Di lain sisi, helm warna senada yang dipakai oleh penumpangnya itu, membuat siapapun tahu bahwa mereka tengah menumpangi ojek online.

Namun, kali ini suasananya cukup berbeda. Sebab, sepasang insan manusia itu berjalan beriringan. Ini semua atas idenya Adibya. Dari banyaknya kendaraan umum menuju stasiun, alih-alih memesan taxi, Adibya dengan inisiatif memilih ojek online sebagai sarana transportasi mereka selanjutnya. Dengan tujuan, ia ingin mengembalikan mood Najmi dengan cara konvoi ala-ala.

Karena memang pada dasarnya, sang gadis menyukai hal-hal unik. Pun, Adibya tentu berinisiatif menawarkan ide tersebut karena keadaan Najmi sedang drop beberapa waktu lalu, membuatnya berusaha ekstra. Maka kemudian, terjadilah aksi saling melambai dan melempar tawa kala ada hal-hal random yang mereka tertawakan selama perjalanan menuju stasiun. Seolah-olah, mereka tak pernah menghadapi situasi mendebarkan bermenit-menit yang lalu.

Dua pengendara itu memang sudah diberitahu agar tidak berjauhan satu sama lain. Oleh karena itu lah, mereka bisa saling pandang dengan jarak yang cukup dekat dari atas motor masing-masing.

“Makasi ya, Mas!” Najmi berucap sembari memberikan helmnya kepada sang pengendara. Tak lupa, ia juga membayar ongkosnya dan ongkos Adibya. Padahal, lelaki itu sudah memaksakan diri untuk ‘bills on me’. Namun Najmi bilang, “Gapapa, kita ganti-gantian ngebayarinnya.”

Lantas, langkah pun membawa mereka untuk segera memasuki stasiun yang ramai. Biasanya, kalau weekday, stasiun akan terasa lebih ramai dan padat pada saat jam-jam orang pulang kerjs. Seperti saat ini tentunya. Namun, karena ini termasuk hari libur, loket-loket tak terlalu dipenuhi oleh calon penumpang. Pun, gerbong kereta yang mereka tumpangi memiliki banyak space.

Moda Raya Terpadu, atau yang akrab disebut MRT ini membawa mereka. Mass Rapid Transit adalah nama perusahaannya. Proses pembangunan moda transportasi ini sendiri sudah dimulai sejak tahun 2013 lalu. Dan jalur layanannya dioperasikan mulai pada tanggal 24 Maret 2019, hingga saat ini.

“Setelah ini, kamu mau ke mana?” Adibya yang duduk di sebelah Najmi pun bertanya. Namun sang gadis hanya menggeleng tidak tahu. Ia tak lagi hapal dengan jalan.

Lantas, Adibya hanya tersenyum kecil. “Mau lihat orang-orang main skateboard, enggak?”

“Boleh, di mana?!” sahutnya begitu semangat.

“Ada, nanti kamu lihat aja. Jam-jam segini biasanya ramai remaja-remaja main skateboard di taman sana.” Najmi mengangguk dengan raut cerah. Kemudian, menolehkan kepala ke arah jendela. Dari sini, dapat ia lihat keadaan kota yang mereka lewati dengan kecepatan tinggi.

“Kamu juga bisa sambil lihatin gedung-gedung pencakar langit itu nanti.” Najmi menoleh, kemudian menatap lama pada sosok Adibya yang baru saja berucap.

“Aku kelihatan norak, ya?” Padahal, Najmi sudah terlalu sering melihat gedung-gedung yang menjulang itu. Tapi tetap saja, ada debar dan rasa kagum tersendiri kala ia menatap deretan gedung tersebut berdiri gagah dengan ciri khasnya masing-masing.

“Memangnya kenapa kalau kelihatan norak?” Adibya malah balik bertanya, membuat sang gadis langsung merengut sebal. “Tuh, kan! Aku pasti norak banget, ya?!” balas Najmi.

“Ya memangnya kenapa, Najmi?” ulang Adibya bertanya. Najmi lantas melengos dan mengedikkan bahunya. “Ya malu, lah.”

“Kenapa harus malu disaat kamu merasa sedang mengagumi sesuatu?” Telak. Otak Najmi buntu hanya untuk menjawab kalimat Adibya barusan.

“Ya…, nggak salah sih. Tapi kali aja aku keliatan berlebihan kayak definisi norak itu sendiri,” jawabnya dengan nada keraguan.

Lantas, Adibya terkekeh.

“Enggak ada yang salah dengan norak, Najmi. Karena porsi bahagia dan standar selera orang itu beda-beda. Kitanya aja yang terlalu merasa keren dan sempurna sampai berani meremehkan orang lain.” Najmi pun bungkam tanpa bisa balik mendebat. Karena memang pada dasarnya, pribadi tiap kebanyakan manusia adalah demikian. Termasuk dirinya sendiri.

Kegiatan menjelajah kota hari ini berjalan penuh makna. Mereka menutupnya dengan kembali menaiki MRT setelah makan malam. Suasana kota pada malam hari benar-benar menakjubkan kala dilihat dari dalam kereta yang berjalan cukup tinggi dibanding kendaraan di jalan raya. Pendar lampu yang gemerlap memanjakan mata mereka pada gelapnya langit malam.

Lantas, dari stasiun tempat mereka berhenti, sepasang kekasih itu berjalan menuju halte terdekat untuk menaiki busway. Selama di dalam kendaraan itu, selain menikmati perjalanan pulang dengan mematri jalan raya, dua insan tersebut menyambilnya dengan berbagi musik dari airpods milik Adibya.

Lagu berjudul Nyaman yang dilantunkan oleh Andmesh menjadi teman perjalanan mereka. Liriknya sungguh membuat rasa di dada pada masing-masingnya menjadi kian rekah. Belum lagi ketika sang pemuda berucap bahwa, “Aku bersyukur musisi seperti Andmesh lahir ke dunia.”

Najmi menoleh. Wajah mereka hanya terpaut dua jengkal. “Kenapa gitu?”

“Karena melalui lagu-lagu yang dia nyanyikan, selalu ada kisah tersendiri yang relate dengan hidup saya.” Najmi mengangguk paham. Ia hanya tersenyum lembut dengan malu-malu.

Bukannya Najmi terlalu percaya diri, namun dia bukan perempuan bodoh yang tak dapat mengartikan bagaimana sorot mata Adibya yang saat ini menatap lekat kepadanya. Belum lagi dengan lagu yang tengah terputar, membuat Najmi kian yakin bahwa lelaki ini tengah mengungkapkan perasaannya secara tak langsung.

“Lagu ini saya putar untuk kamu.” Apa Najmi bilang? Prediksinya itu bahkan tepat sasaran! Tapi tetap saja jantung ini berdebar kian kencang seolah-olah ingin mendobrak tulang rusuknya.

Lantas, dengan wajah yang dihiasi semburat merah bak buah apel, Najmi meminjam ponsel Adibya. Gadis itu memilih satu lagu untuk diputar setelahnya.

“Yang ini dari aku untuk Mas Adib.”

Masih dari Andmesh, dengan judul Kumau Dia.

Kumau dia, tak mau yang lain

Hanya dia yang s’lalu ada kala susah dan senangku

Kumau dia, walau banyak perbedaan

Kuingin dia bahagia hanyalah denganku

Najmi tidak memaksa, tapi dia sungguh mencintai Adibya Lofarsa. Maka, sang pemuda yang tentu peka luar biasa, ia bawa pergelangan kiri Najmi ke dalam genggamannya. “Aku juga maunya kamu. Bukan yang lain.”

Maka pada alam raya, untuk hari ini saja, biarkanlah sepasang insan ini dimabuk asmara. Izinkan mereka untuk saling memuja dengan debar pada dada yang kian berdentum ria. Sebab Najmi dan Adibya, raganya akan terpaut benua. Ribuan jam akan mereka lalui tanpa jumpa bertatap muka.

Turun dari bus, langkah demi langkah, yang sedang dimabuk cinta itu turut mengisi perjalanan kaki dengan candaan dan pembicaraan ringan. Tak lupa, genggaman pun kembali mereka satukan. Tangannya bertaut, dengan hangat yang melingkupi keduanya.

Dan, penutupan kencan hari ini berakhir dengan kecupan yang sedikkit lebih lama daripada saat pertama kali sang gadis berikan kepada Adibya berbulan-bulan yang lalu.

Guling kanan, guling kiri, telentang, lalu tengkurap. Namun matanya tetap saja tak bisa diajak kerja sama. Tiap memejam, sudut paling gelapnya langsung menampilkan bayang. Jantungnya masih setia berdebar tak karuan.

Padahal, ia sudah mencoba menetralisir debaran dengan berbagai macam aktivitas. Mulai dari mandi, membaca artikel di ponsel, sampai rela mengunduh beberapa game untuk ia mainkan demi mengalihkan pikiran pun, nyatanya tetap tak bisa. Sebab, kecupan yang Najmi berikan secara tiba-tiba saat mereka masih berada di koridor hotel itu, masih terbayang dengan amat jelas dalam benak sang pemuda. Lembab bibir gadis itu masih terasa pada bibirnya yang cukup kering.

Najmi itu…, sungguh sesuatu. Nyalinya seolah berada di luar batas nalar. Membuat Adibya tersentak dan terpaku kala sang gadis menekan belah mereka sebelum melepasnya begitu saja.

“Good night, Mas Adib!” pamitnya kala itu yang langsung menempelkan access card, lalu masuk dan menutup pintu kamar dengan kecepatan kilat. Najmi meninggalkannya yang termangu di koridor nan sepi sendirian.

Adibya mengerang, lalu menarik rambutnya pelan. “Kamu bikin saya gila, Najmi.” Lelaki itu menenggak air mineralnya, kemudian meraih ponsel untuk kembali mematri berbagai macam foto yang ia ambil secara diam-diam seharian tadi.

Indah. Gadis itu sangatlah indah.

Najmi, adalah yang pertama, kedua, ketiga, keempat, dan harus menjadi yang seterusnya. Tak ada yang bisa menyentuh rekah ini selain gadis itu sampai akhir hayatnya. Adibya, dia benar-benar telah berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa, Najmi adalah satu-satunya wanita yang ia cintai hingga sedalam ini. Menguasai seluruh ruang hati, pikiran, dan hari-harinya.

Adibya Lofarsa, sungguh mencintai Najmi Desra dengan begitu luar biasa. Bahkan, sampai ke ujung nadi pun, akan ia jaga gadis itu dengan segenap jiwa raganya. Tak akan pernah ia kecewakan presensi yang begitu berharga itu barang sedikit. Sebab, kalau sempat alam raya merubah takdirnya, Adibya bersumpah bahwa tidak akan pernah ada wanita lain yang mampu menggantikannya. Karena cintanya pada Najmi, sungguh tak akan pernah terganti. Sosok itu benar-benar berarti dalam hidupnya. Maka, tolong bekerja sama. Najmi dan Adibya sangat ingin berbahagia di bawah naungan bahtera rumah tangga.

Narasi 36 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

By ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet