N Kuadrat

rofenaa
9 min readMar 30, 2022

Sesuai dengan janji, Nabila akan segera datang menemui sahabat baiknya tersebut. Gadis itu melesat melintasi jalan raya yang padat dengan menggunakan sepeda motor kesayangannya. Sementara Najmi, dia telah menanti kedatangan Nabila di ruang TV rumahnya.

Layar elektronik berukuran 43 inch bermerek Samsung tersebut menyala. Menampilkan serial drama Korea terbaru yang ceritanya cukup mengocok perut penonton. Namun, karena masih kepikiran dengan apa yang Ghandi bilang kepadanya saat sarapan tadi, Najmi menjadi tidak fokus. Banyak scene yang jadinya tidak akan ia pahami di episode kali ini.

Flashback on

“Saran gue, jauhin Adibya. Dia nggak sebaik apa yang Papi kita kira, Mi.”

Najmi sama sekali tidak membenci Ghandi saat lelaki itu berkata demikian. Seumur hidupnya telah ditemani oleh Ghandi. Dia lah yang selalu ada dalam susah senangnya. Sementara Adib, dia hanyalah orang baru. Pasti ada alasan kuat mengapa Ghandi memberi peringatan seperti itu kepadanya.

“Emangnya lo tau dari mana kalau dia nggak sebaik yang gue dan Papi kira?” Tak menutup kemungkinan pula bahwa Najmi akan menanyakan hal ini. Ghandi itu siapa sampai bisa tahu bagaimana Adibya yang sesungguhnya?

Namun bukannya menjawab, Ghandi malah mengecup pipi sang adik gemas. “Makan yang banyak. Besok-besok jangan nabrak gerobak orang lagi. Bikin rugi!” Kemudian rambut itu diusaknya pelan.

Meski mereka sering beradu mulut, Ghandi tetaplah sosok kakak yang sangat menyayangi adiknya. Apalagi saat tadi malam mendengar bahwa Najmi mengalami serangan panik, Ghandi yang tengah asyik bermalam minggu dengan gebetannya itu pun pontang-panting menyusul ke klinik. Dia tentu sangat khawatir terhadap kondisi adiknya.

”Iiiih, Ghandi!” Najmi langsung mengusap jejak kecupan Ghandi di pipi kanannya tersebut. Dia itu tipe yang tidak suka physical touch. Najmi tidak seperti Nabila yang sering genit dan menggoda Septian, atau sekedar menggangu Yarli yang geli saat dipeluk.

Ghandi tertawa. Lalu segera beranjak dari tempatnya sebelum dilempari oleh Najmi dengan apa yang ada di hadapan gadis itu. “Heh, lo mau kemana? Pertanyaan gue belum dijawab!” protes Najmi bersungut-sungut. Namun Ghandi sudah berlari menaiki tangga. Pria itu ingin segera mandi. Ada schedule dadakan dengan teman-temannya siang ini.

“Ngasih info kok setengah-setengah sih?! Pantat lo kelap-kelip baru tau rasa!!!” sorak Najmi. Ghandi yang masih berada di ujung anak tangga paling atas pun menoleh.

“Keren banget dong pantat gue?” sahut Ghandi sembari menunggingkan ekornya tanpa tahu malu. Najmi yang dijawab demikian pun mendesis sebal. Ada saja balasan lelaki itu padanya.

“Tapi apa bener si Adib nggak sebaik yang gue kira? Padahal semalem sikapnya suamiable banget deh perasaan,” gumam Najmi seraya menyesap teh lemon hangat buatan Ghandi untuknya.

Decakan frustasi pun terdengar. Mengingat Adibya membuat implus otaknya mendadak bekerja untuk mengingat kejadian di kafe semalam. Gadis itu mendesis malu kala bayangan itu terus menyapa ingatannya. Akan Najmi museumkan bajunya itu. Sejarahnya bukan main-main. Najmi akan abadikan sumber malunya hari itu.

“Kenapa sih, jingkrak-jingkrak mulu Papi perhatiin?” Khaffa yang baru keluar dari kamarnya itu pun ikut bergabung di meja makan. Sebetulnya, lelaki itu sudah sarapan. Tapi karena melihat gelagat Najmi yang seperti cacing kepanasan, Khaffa jadi berbelok ke arah sini. Lagian, ada hal yang ingin ia bicarakan kepada anak gadis satu-satunya itu.

Setelah lima menit berbincang kecil tentang hal yang terjadi semalam, Najmi melotot saat tahu bahwa ganti rugi gerobak tadi malam diselesaikan oleh Adibya. Pria itu membayarkannya tanpa berpikir dua kali.

“Tapi udah langsung Papi ganti sih, tadi malem.” Najmi pun menghela napas lega kala mendengar ayahnya berucap demikian. Lagian, mana mungkin tidak akan diganti uang sebanyak itu? Apalagi dirinya dan Adibya masih belum ada kejelasan apapun dalam hubungan mereka.

Namun, kalimat selanjutnya membuat tubuh Najmi mendadak kaku. Khaffa terlalu tiba-tiba memberi tahu bahwa Adibya akan bertamu kemari nanti sore.

“Ih, mau ngapain sih ke sini?” protesnya.

“Ya mau jenguk calon istrinya dong, gimana sih?” jawab Khaffa sembari mencolek dagu Najmi. Papinya itu suka sekali berlaku demikian. Sebelas dua belas dengan kelakuan Ghandi.

“Ih, apaan? Pasti Papi kan yang nyuruh dia dateng?”

“Dih? Enggak. Orang dia sendiri yang nelpon.”

“Kok malah nelpon ke Papi sih? Bukan ke aku?” Najmi tentu protes. Kenapa Adibya harus menelepon ke ayahnya?

Khaffa bergidik. “Kenapa kamu protesnya ke Papi? Ke Adib-nya langsung dong, sana,” jawabnya enteng. Najmi pun merengut sebal.

“Semalem dia khawatir banget, lho, sama catrinya.” Khaffa kembali menggoda anaknya tersebut. Tatapannya seolah tengah mengolok-olok macam kawula muda saja.

Najmi berkerut. “Catri apaan?”

“Calon istri!” Lalu pria tersebut malah cekikikan tidak jelas. Kasihan sekali ibu tirinya nanti. Harus menghadapi berbagai macam tingkah Khaffa yang seperti ini.

“Tau ah sebel.” Najmi yang kesal sendiri pun berdiri. Ia tinggalkan ruang makan tersebut dengan Khaffa yang semakin terpingkal-pingkal. Ia bukan tidak tahu kalau semalam anaknya itu telah melakukan hal yang memalukan. Siapa lagi, kalau bukan dari Nabila Putri si pemberi informasi.

Flashback off

“PERMISI, PAKET!!!” Suara melengking itu terdengar hingga memasuki rumah kediaman keluarga Desra. Kebetulan, pintu depan tidak tertutup.

Najmi hapal sekali suara tersebut. Padahal dia baru pertama kali ke sini. Tapi tingkahnya seolah-olah sudah sering bermain ke tempat ini saja. Mana ucapan salamnya tidak ada. Dasar Nabila!

“Ada adab lo begitu?” omel Najmi berjalan ke arah teras. Nabila pun hanya cengar-cengir saat mendapati Najmi yang sudah tidak seperti orang sekarat.

“Wih, Uni udah sehat?” tanya Nabila meraba-raba kening dan leher Najmi. Gadis itu memang lumayan sering memanggilnya demikian. Uni, panggilan kakak dalam bahasa Minang. Karena memang, almarhumah Maminya Najmi itu orang Minang asli. Makanya keluarga Desra terkadang menggunakan bahasa daerah tersebut kalau berbicara.

“Apaan sih, kan gue bukan lagi demam, bego!” sahut Najmi menyingkirkan tangan Nabila.

Gadis dengan aksen Betawi yang lumayan kental itu pun cengengesan. “Sensi amat, buset,” sahutnya. “Nih, gue bawain es cendol buat lo. Sama brownies kukus ala gue!” Nabila menyerahkan bawaannya untuk menyumpal mulut Najmi. Hitung-hitung ucapan terima kasih karena sudah membelikannya pulsa seratus ribu jalur Shiddiq.

Tanpa menunggu lama, Najmi pun membawa Nabila masuk ke dalam rumah. Namun bukannya duduk di ruang tamu, Nabila malah mengekori Najmi yang berjalan ke arah dapur.

“Ngapain lo ngikutin gue?” tanya Najmi heran. Padahal sudah jelas-jelas ia menyuruh Nabila untuk duduk manis saja di depan.

Nabila tak menanggapi. Dia malah menggeleng takjub. “Gede juga rumah lo,” pujinya mematut interior kediaman Desra.

Saat masuk pagar saja, Nabila sudah dihadang satpam. Itu pun bisa langsung dibolehkan masuk perkarangan karena Najmi yang sudah menitip pesan pada satpam tersebut. Sementara rumah Nabila, hanya rumah sederhana berukuran sedang. Halaman yang sempit, dan jalan masuk yang harus melewati gang kecil. Berbeda sekali dengan kondisi rumah Najmi yang berada di komplek perumahan mewah dan tenang. Rumah ini luas, indah, dan memiliki interior yang mengesankan. Belum lagi saat matanya menangkap televisi super besar tersebut. Astaga, jiwa katroknya menggebu-gebu ingin segera mencoba menonton apapun dari kaca listrik tersebut. Pasti akan puas sekali, pikirnya.

“Norak banget najis.” Bukannya tersinggung, Nabila malah terbahak kala mendengar jawaban Najmi. Sekarang ia tatap kulkas dua pintu yang jumlahnya ada dua unit di ruangan ini.

“Anjrit, ini kulkas apa kaga mau gitu satunya lo sedekahin ke gue?” Tunjuk Nabila pada salah satu kulkas.

Najmi mencebik. “Minta sama Asep sana, kan lo maunya nikah sama dia. Duitnya pasti banyak tuh. Gaya doang kayak orang kere. Diem-diem ternyata anak sultan,” jawabnya telak. Nabila hanya tertawa mendengarnya. Pacarnya itu, Septian, memang berasal dari keluarga yang berada. Namun dia malah dikenal banyak orang sebagai pribadi yang sederhana. Nabila saja, saat awal-awal pacaran, ia kira Septian itu anak yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Namun nyatanya, kedua orang tua Septian memiliki usaha di bidang properti dan meubel. Meski keduanya telah berpisah sejak lama, tidak menutup kemungkinan bahwa Septian memiliki banyak uang.

“Itu kan duit orang tuanya. Bukan duit dia.” Nabila menjawab sembari duduk di kursi yang tersedia di dekat kitchen bar.

“Kalau nggak ya kenapa kemaren-kemaren lo gak mau nawarin emak lo buat jadi bini baru bokap gue?” sahut Najmi sembari mewadahi es cendol. Nabila yang mendengar hal tersebut pun langsung terpingkal-pingkal.

“Yang ada bokap lo malah berantem ntar sama si Yarli,” jawab Nabila dengan sisa tawanya.

“Yarli abang lo?”

“Ya terus siapa? Kang kebon rumah gue?”

“Ya kali aja,” sahut Najmi ikut terkekeh.

Usai mewadahi es cendol tersebut, mereka pun segera memasuki kamar Najmi. Aksi norak Nabila tentu masih belum usai kala melihat kamar Najmi yang seluas ruang tengah rumahnya tersebut. Tahu begini mending dulu dia sering-sering main ke rumah Najmi. Hitung-hitung ya biar bisa latihan jadi orang kaya! Begitu pikirnya.

“Lo kalau bosen jadi anaknya Om Khaffa, jangan lupa bilang gue ya?” ucap Nabila sembari duduk bersandar di sofa super empuk yang ada di kamar Najmi.

“Mau jadi sugar baby-nya lo?” sahut Najmi kemudian menyendok cendol.

“Ya kalau bokap lo mau kenapa enggak?”

“Anjing!” Lemparan bantal sofa pun menghampiri wajah Najmi. Kemudian dua manusia itu malah terbahak bersama.

“Eh tapi sekarang gue serius dah,” ucap Nabila kemudian mencomot brownies bawaannya tersebut sebelum mengutarakan maksud dan tujuannya datang kemari.

Berbagai macam ekspresi dan reaksi pun terpampang amat jelas kala Nabila mulai menceritakan segala hal yang terjadi tadi malam. Bohong pula rasanya bila Najmi tidak kesal terhadap tingkah Nabila. Tapi jauh dari itu, semua yang terjadi bukan sebab gadis itu saja. Melainkan sebuah takdir yang tak dapat ditolak. Pula kecerobohan dirinya yang super duper mencengangkan. Andai saja semalam dirinya tidak terlalu percaya diri bahwa Adibya akan mengejarnya, mungkin semua rentetan kejadian tadi malam tidak akan terjadi.

“Terus ternyata yang perempuan itu kakaknya si Asep?!” tanya Najmi masih tidak percaya.

“Ya iya, anjir. Lo kata gue ngibul?” sahut Nabila turut menyendok es cendol miliknya.

Najmi menghembuskan napasnya lega. Ia kira Adibya sudah punya pacar. Ternyata belum, ya? Huft, syukurlah kalau seperti itu! Najmi jadi sedikit lega mengetahuinya. Semoga saingan sesungguhnya nanti tidak akan berat. Apalagi kalau bentukannya sepeti Sindy, kakaknya Septian itu. Tapi ya kalau bisa, jangan sampai Najmi memiliki saingan, begitu harapnya. Namun kalau tetap ada, semoga saja dirinya dapat memenangkan hati Adibya Lofarsa.

“Jadi ini gue bukannya untung, malah buntung dong?!” protes Najmi saat mengingat bahwa dirinya tadi pagi membelikan Nabila pulsa seratus ribu. Padahal seharusnya gadis itu beri gratis saja informasi ini.

Nabila berdecak. “Medit amat buset,” ucapnya. “Lagian lo selain berpahala udah ngasih gue, lo juga ngebantu perekonomian temen-temen lo tau!” sambung Nabila seadanya. Najmi pun hanya menanggapi dengan wajah datar. Terserah gadis itu saja lah.

“Eh, tar sore keluar yuk! Udah lama kaga makan bakso dah.” Sepintas ide itu pun Nabila utarakan. Lagi pula, memang sudah lama mereka tidak makan bakso berdua di tempat langganan.

Najmi mendesis. Sebenarnya ia juga ingin. Tapi ucapan Papi membuat ia ingat, bahwa Adibya akan ke rumahnya nanti sore.

“Yah, gue nggak bisa. Soalnya si Adib nanti sore bakal dateng.”

“Hah? Sumpah lo?!” kaget Nabila. Raut wajahnya tiba-tiba berubah penuh antusias. “Mau ngapain, anjir?!” sambungnya.

“Ya mana gue tau,” jawab Najmi.

Nabila tersenyum aneh. “Apa jangan-jangan mau dateng buat ngelamar lo?!” ucap gadis itu menerka.

Geplakan pun menyapa kepala Nabila. “Gila lo?! Yang bener aja baru kenal seminggu udah main ngelamar anak gadis orang?!” sahut Najmi speechless. Namun Nabila as being Nabila. Gadis itu malah haha hehe tanpa beban. Seolah semua masalah hanyalah angin lalu baginya.

Najmi memang beruntung telah mengenal dekat Nabila saat di pertengahan semester 3 dulu. Mereka sebenarnya sudah saling mengenal sejak masih menjadi mahasiswa baru. Pertemuan mereka tercipta ketika mengikuti acara Makrab Flamboyan Camp yang diadakan oleh fakultas hukum di alam terbuka. Nabila menjadi pemimpin regunya kala itu. Tiga hari dua malam membuat Najmi cukup banyak tertawa hanya karena seorang tingkah Nabila.

Gadis itu, yang kadang hanya diam saja pun sudah mengundang gelak tawa orang lain, membuat sosoknya menjadi berarti dan dirindukan. Kehadiran Nabila di hidup Najmi yang tidak sempurna menjadi sebuah pelengkap. Kocaknya gadis itu, semua tingkah aneh dan absurd-nya Nabila, Najmi suka. Meski kadang kalau bicara seringkali tidak disaring, ya tetap saja, Nabila itu sahabat baiknya. Tidak ada yang bisa menggeser posisi gadis itu. Sebab, sedari dulu, Najmi tidak pernah punya orang tulus yang mau berteman dengannya. Manusia-manusia itu hanya memanfaatkan Najmi karena dia berasal dari keluarga yang berada.

Dulu, sebelum bertemu dengan Nabila, Najmi itu sering diperalat oleh mahasiswa lain. Terlebih kalau ada tugas kelompok. Gadis itu mengerjakannya sendirian. Pula sering diajak nongkrong hanya untuk menjadi ATM berjalan mereka. Namun, setelah Nabila mengetahui itu semua, Najmi benar-benar ia jaga. Nabila ajari caranya menolak permintaan orang lain. Rasa sungkan terhadap orang lain itu terkadang memang perlu sedikit dihapuskan agar tidak menyusahkan diri sendiri.

Kalau kata Nabila dulu, “Nyenengin orang lain tuh kaga perlu ampe nyusahin diri sendiri, bego!” Najmi masih mengingat kalimat itu Nabila utarakan di dalam kelas yang tengah ramai. Suaranya yang keras mengundang perhatian. Orang-orang yang merasa tersindir dengan ucapan Nabila karena sudah memanfaatkan Najmi pun menoleh tidak suka. Bagaimana tidak, kondisinya saat itu kelompok Najmi yang akan maju untuk presentasi. Sementara, anggota kelompoknya tinggal menerima hasil bersih. Padahal, Najmi pontang-panting mencari bahan dan menyusun makalah sesempurna mungkin. Namun ucapan terima kasih saja tentu tidak mencukupi!

Setelah hari itu, semuanya berubah. Najmi merasa dunianya menjadi lebih cerah. Suara tawa dan kekocakan Nabila menemani hari-harinya. Kala itu, mereka yang sama-sama jomblo pun tidak pernah ambil pusing. Bermain kesana kemari, mengusili Shiddiq dan Hardi, serta hang out kemana pun mereka mau.

Dan kini, tampaknya takdir memang berpihak kepada mereka agar semakin dekat. Adibya yang dijodohkan dengan Najmi itu nyatanya kakak sepupu Septian. Kalau semisalnya jodoh, berarti, secara tidak langsung mereka sudah menjadi bagian dari keluarga besar. Akan semakin akrab pula hubungan mereka berdua pastinya!

Ah, sungguh indahnya berangan-angan. Begitu pikir Najmi.

Narasi 7 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet