Terkejutnya Nabila kala mendapati suara tangis Najmi pun mengundang tanya.
“Pelan-pelan dulu, pelan-pelan. Lo ngomong jangan sambil nangis biar gue bisa nangkepnya jelas. Lo kenape?”
Nabila yang sebenarnya ikut panik saat mendengar suara tangisan Najmi pun mencoba menenangkan gadis itu. Suasana di antara mereka berubah drastis. Rasa penasaran mulai tumbuh pada setiap mereka.
“ASTAGHFIRULLAH NAJMI, YANG BENER LO?!” Suara Nabila murni terkejut. Rautnya berubah panik setelah mendengar kalimat Najmi barusan padanya.
Darah Adibya berdesir. Jantungnya pun turut berdebar dengan sangat kencang tatkala Nabila menyebutkan nama gadis itu. Tiba-tiba rasa khawatir pun menyelimuti hatinya. Apa Najmi baik-baik saja?
“Lokasi lo buruan! Lokasi!!!” Nabila kembali bersuara dengan wajah paniknya.
Septian yang melihat raut wajah Nabila berubah seratus delapan puluh derajat pun menggenggam tangan gadis itu agar tetap tenang. Ia juga tak mau ikut mendesak Nabila dengan pertanyaan apa yang sedang terjadi. Yang ada, pikiran kekasihnya itu akan semakin kalut. Nanti saja ia tanyakan kalau panggilan ini sudah berakhir.
“Tunggu gue di sana. Lo jangan kemana-mana.”
“Iye, kaga bakal gue kasih tau bokap lo.” Begitu sambung Nabila. Kemudian panggilan terputus. Dengan lekas Nabila menarik Septian agar turut berlari untuk keluar kafe.
“Sindy, kamu tolong bayar pesanan kita sama meja nomor delapan.” Adibya dengan segara menaruh empat lembar uang berwarna merah tersebut di hadapan Sindy yang masih menatap bingung. Langkah Adibya pun sangat tergesa menyusul Nabila dan Septian yang sudah berlari ke luar kafe.
Meja nomor delapan. Sindy menoleh. Meja gadis itu rupanya. Lekas, ia pun berdiri. Berjalan cepat menuju kasir untuk segera membayar pesanan dua meja dengan uang pemberian Adibya padanya. Semoga gadis itu tidak dalam bahaya ataupun masalah. Begitu harapnya.
“Najmi kenapa?” Adibya bertanya saat tangannya berhasil menahan pergelangan Septian di sekitar parkiran.
“Najmi nabrak gerobak mamang nasgor di simpang empat sana, Mas!” Nabila lah yang menjawab pertanyaan tersebut. Gadis itu dengan secepat kilat meraih helm yang tergantung pada Vespa Septian.
“Astaghfirullah, terus Najmi-nya gimana?” Raut khawatir pun kian terpahat di wajah lelaki tersebut.
“Tremor. Dia kena panic attack sekarang.” Nabila dengan ringkas menjelaskan bahwasanya Najmi memiliki kenangan buruk terhadap jalan raya. Entah apa alasan pastinya, Nabila tidak tahu. Gadis itu hanya pernah bercerita bahwa dirinya memiliki trauma. Dan itu benar adanya. Nabila telah menyaksikannya dulu saat semester tujuh. Kala itu dirinya dan Najmi tidak sengaja disenggol angkot saat berboncengan dengan motor milik Shiddiq. Meski tidak ada yang terluka, nyatanya Najmi terlihat sangat pucat. Gadis itu bergetar hebat, dan kemudian menangis tidak karuan. Dia terlihat begitu takut.
Sementara itu, di tempat ini, kondisi Najmi persis seperti apa yang Nabila jelaskan. Kenangan buruknya kembali menyapa tatkala mobil yang ia kendarai tak sengaja menabrak sebuah gerobak nasi goreng yang tiba-tiba muncul di persimpangan. Najmi yang tak sempat memijak rem pun berakhir menepi belasan meter dari tempat kejadian. Kini ia dan mobilnya pun berada di pinggir jalan. Ia tak berani keluar. Tangannya semakin dingin dan bergetar. Di luar sana, gerobak tersebut sudah terbalik. Untungnya, sang pemilik tidak terluka sama sekali. Pria yang tampaknya berada di pertengahan umur tiga puluh itu bahkan kini mengetuk kaca mobil Najmi dengan sangat keras. Ia kesal dan semakin marah saat gadis itu tak kanjung keluar dari mobilnya.
Najmi terus saja menangis sembari menelungkupkan wajahnya pada setir mobil. Pejaman matanya begitu rapat. Pula ponsel pada tangannya ia genggam erat.
“Papi, Najmi takut...” rintih gadis itu menahan sesak. Rasa malu yang tadi ia hebohkan itu kini telah hilang entah kemana. Rasa takut dan cemas lah yang kini menguasai raganya. Najmi benar-benar butuh seseorang untuk menenangkannya.
Namun tiba-tiba ketukan pada kaca mobil Najmi terdengar kian banyak. Pula jalan di sekitarnya terlihat semakin ramai akibat kekacauan yang telah terjadi.
“NAJMI! NAJMI BUKA, INI GUE!!!” Nabila bersorak kencang setelah dirinya berhasil membelah kumpulan orang yang mengelilingi mobil temannya tersebut.
“Najmi, buka Mi!!!” Nabila sedikit memelankan suaranya kala Septian berhasil menenangkan warga sekitar agar tidak mendesak Najmi untuk keluar. Pria itu memberitahu bahwa orang yang ada di dalam mobil ini adalah teman mereka.
“Najmi, buka pintunya, ya? Ini saya, Adibya.” Lelaki yang tentu turut menyusul gadis itu pun bersuara. Ia mengetuk kaca depan Najmi dengan pelan. “Enggak apa-apa. Ada saya, jangan takut.”
Najmi yang rasanya tidak asing dengan kalimat tersebut pun perlahan membuka matanya. “Keluar ya? Ada saya. Ada Nabila. Kamu enggak perlu takut.” Begitu bujuknya pada Najmi hingga gadis itu dengan perlahan mengangkat wajahnya untuk mencari keberadaan Adibya yang mengetuk-ngetuk kaca depan. Kemudian pria itu melambai. Memberi isyarat agar Najmi mematuhi instruksi gerak tubuhnya.
“Permisi semuanya!” Adibya meminta warga supaya menjauh dari pintu mobil Najmi agar gadis itu dapat keluar dengan nyaman. Termasuk Nabila dan Septian yang juga ikut menyingkir.
Saat Najmi membuka kunci pada mobilnya, Adibya pun dengan lekas pula membuka pintu mobil gadis tersebut. Ia tarik Najmi secara perlahan agar gadis itu keluar dari ruangan ber-AC tersebut. Ia tuntun gadis itu untuk berjalan ke tempat yang lebih tenang. Kemudian, dekapan hangat pun langsung ia berikan pada sosok gadis yang masih bergetar ketakukan.
“Enggak apa-apa, Najmi. Ada saya di sini.” Adibya berbisik. Sementara wajah Najmi sudah tenggelam di dada bidangnya. Ia abaikan sorakan warga terhadap Najmi dan apa yang tengah ia lakukan untuk menenangkan gadis tersebut. Bahkan, Adibya dengan inisiatif menutup telinga gadis itu dengan satu tangannya agar tidak terlalu mendengar sorakan warga.
“Takut...” gumam Najmi semakin mengeratkan pelukannya pada Adibya. “Iya, kamu yang tenang ya? Ada saya.” bisiknya lagi.
Septian yang menjadi sasaran permintaan pertanggungjawaban dari pemilik gerobak nasi goreng tersebut pun kini mengajak Nabila dan pria tersebut untuk berdiskusi lebih tenang. Warga pun satu per satu mulai meninggalkan kerumunan sembari melontarkan komentar. Mereka mendadak menjadi manusia paling benar di atas muka bumi ini. Membicarakan keteledoran Najmi, bahkan sampai meledek kesehatan mental gadis itu. Lebay, katanya.
Padahal, mereka sendiri tidak tahu bagaimana beratnya menjadi Najmi. Sembuh dan bangkit dari sebuah trauma itu merupakan suatu hal yang sangat sulit. Terlebih, dirinya sering terkena serangan panik secara tiba-tiba seperti ini. Makanya, hendaklah menjadi manusia yang bijak dalam berpikir dan menyampaikan sesuatu. Jangan sembarangan dalam membicarakan kesehatan mental seseorang. Kita tidak tahu seberapa besar perjuangan mereka jatuh bangun dalam mencapai satu kata penuh makna, yaitu sembuh.
Adibya masih mendekap Najmi. Ia akan terus memeluk sampai detak jantung dan deru napas gadis itu kembali normal. Diusapnya bahu Najmi menenangkan. “Everything’s gonna be fine. Don’t be worry.” Begitu ucapnya di sela usapan. “Ada saya,” sambung Adibya sembari meletakkan dagunya di atas kepala Najmi.
Di lain tempat, Septian yang sudah disusul oleh Sindy pun kini tengah diskusi hebat mengenai pasal ganti rugi yang harus mereka bayarkan saat ini juga. Sementara, serine mobil polisi semakin terdengar keras. Pertanda bahwa laka lantas ini telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Nabila yang melihat hal tersebut pun langsung berlari mendekati Najmi. Ia beri kode pada Adibya untuk bertanya tindakan apa yang selanjutnya akan mereka lakukan. Sementara polisi yang sedang berpatroli pun sebentar lagi sampai di tempat kejadian.
“Biar saya yang urus. Kamu cek dompet Najmi aja. Dia bawa STNK sama SIM-nya apa enggak.” Untungnya, Nabila paham dengan gerak bibir Adibya yang tanpa suara tersebut. Dengan lekas berlari kecil ke arah mobil Najmi, ia bongkar tas gadis tersebut mencari barang yang disebutkan Adibya. Syukurnya, karena Najmi memang orang yang mengerti hukum, gadis itu selalu membawa dua benda tersebut kemanapun ia bepergian menggunakan mobil.
“Ada, Mas.” Adibya mengangguk. Kemudian mengode Nabila untuk segera membeli minum untuk Najmi. Gadis itu lagi-lagi menurut. Semua ia lakukan demi temannya tersebut.
Namun saat dirasa tubuh Najmi melemah, Adibya mengeratkan dekapannya.
Gadis itu pingsan!
“Mi? Najmi?!” Adibya panik saat gadis itu benar-benar tidak sadarkan diri dalam pelukannya.
“Astaga!” Dengan cepat, Adibya pun menggendong Najmi dan memanggil Nabila untuk berbalik. Gadis itu harus ikut bersamanya ke rumah sakit atau klinik terdekat.
Septian dan Sindy yang tengah sibuk menghitung kerugian pedagang nasi goreng tersebut pun menoleh penasaran saat Adibya menggendong Najmi ke dalam mobilnya. Sementara Nabila sudah meraup ponsel, tas, dan dompet Najmi yang ada di dalam mobil gadis tersebut. Kemudian, ia berlari menuju mobil Adibya.
“Sindy, Tian, saya minta tolong ini diurus ya?! Nanti saya ganti rugi dan susul ke polsek.” Adibya bersorak sebelum melajukan mobilnya. Paha Nabila pun sudah menjadi bantalan untuk kepala Najmi. Mereka menghuni bangku belakang. Ia rapikan rambut pendek gadis itu yang berantakan. Nabila usap pula keringat yang menghiasi wajah Najmi.
“Ya Allah, Mi. Adaaa aja kelakuan lo,” gumam Nabila yang kini memijat pelan kepala Najmi. Sementara netra Adibya fokus mencari plang klinik. Seingatnya di dekat sini ada klinik yang cukup besar.
“Najmi, maaf.” Berulang kali kalimat itu ia rapalkan dalam hatinya.
Ini aneh. Otaknya meronta agar Adibya segera sadar dengan apa yang tengah ia lakukan untuk Najmi. Bahwa ini adalah suatu hal yang berlebihan. Sementara hatinya selalu berkata, bahwa ia mengkhawatirkan Najmi dengan teramat sangat. Padahal, kenal gadis itu saja baru seminggu. Tapi rasanya untuk Najmi sudah sebesar ini untuk gadis itu.
Salahkan Adibya? Hatinya telah jatuh. Kekerasan hatinya telah runtuh. Benteng yang ia bangun telah rubuh hanya karena seorang perempuan bernama Najmi Desra. Mungkinkah ini yang namanya cinta? Tolong segera beri Adibya jawabannya.
Kalau Najmi memang jodoh yang diberikan oleh Tuhan kepada Adibya, maka tolong lekas tunjukkan pada dirinya. Dekatkan mereka, selamatkan mereka dari huru hara dunia dalam persatuan cinta.
“Najmi, semoga kamu baik-baik aja.” Adibya membatin saat tubuh gadis tersebut sudah berpindah tangan kepada mereka yang ahli dalam bidang ini.
Nabila hanya bisa terduduk di depan UGD sembari memperhatikan Adibya yang masih setia berdiri mondar-mandir di dekat pintu dengan raut cemas.
“Mas Adib! Sini duduk dulu!” ajak Nabila sembari menepuk pelan bangku di sebelahnya. “Najmi cuma pingsan. Bukan mau lahiran.”
Kalau saja di sini ada Septian, maka sudah dapat dipastikan bahwa mulut Nabila akan dibungkam dengan bakwan letoy oleh lelaki tersebut. Namun sayangnya Septian masih sibuk di TKP bersama Sindy. Jadilah, Adibya hanya menggeleng maklum atas tingkah pacar dari adik sepupunya itu.
“Gimana, Mas, Najmi-nya, lucu kaga?” Adibya hanya memijat keningnya pelan. Ia bingung dengan sikap gadis ini. Padahal tadi sewaktu di kafe belaga tidak tahu kalau Adibya sebenarnya mengenal Najmi. Sekarang gadis itu malah bertindak seolah Mak Comblang di antara hubungan mereka. Maunya apa?
“Lucuan Septian sih. Kenapa ya dia bisa mau sama kamu?”
“DIH?! Kaga nyambung.”
Nabila pun melayangkan tatapan tajam pada sosok Adibya yang baru saja menempelkan bokongnya tepat pada bangku yang berada di ujung.
“Cuma nanya...” sambung Adibya meluruskan. Namun Nabila sudah keburu bad mood. Ia lebih memilih untuk meraih ponselnya, kemudian mengirim pesan pada Septian demi mencari informasi terbaru yang terjadi di sana.
Narasi 6 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe