Najmi’s Way of Apologizing

rofenaa
7 min readMay 24, 2022

--

Usai Adibya menjelaskan semua yang terjadi pada dirinya kala itu, Najmi merasa sakit hati. Ia benar-benar kesal dengan sosok Puja Larasati. Sebab, dari cerita versi Ghandi, gadis itu sangat berbeda sekali dengan apa yang sudah Adibya ceritakan barusan. Ternyata, gadis itu tipe perempuan manipulatif yang suka memutarbalikkan fakta.

Ghandi yang merasa kini pikirannya sudah mulai terbuka, hanya bisa menunduk tanpa suara. Ia masih enggan untuk sekedar mengucapkan kata maaf.

“Waktu kuliah semester dua dulu, saya juga punya pacar. Tapi hubungan saya enggak berhasil. Saya masih takut kecewa.” Entah apa maksud Adibya berkata demikian, tapi Najmi tetap setia mendengarkan ceritanya.

“Tapi setelah ketemu kamu, malah saya yang takut bikin kamu kecewa. Yang saya cemaskan bukan lagi diri saya, Najmi. Tapi kamu.” Rasanya, Najmi benar-benar semakin merasa bersalah. Prasangka buruk yang ia ciptakan selama seminggu ini tenang Adibya benar-benar salah besar.

“Maaf kalau saya udah bikin kamu sakit hati dan merasa enggak dihargai. Saya benar-benar enggak bermaksud,” sambung Adibya yang tak lepas memandang gadis itu. Rambut pendeknya bahkan sampai menutupi setengah wajah sangkin menunduknya.

“Saya harap, setelah ini, udah enggak ada lagi kesalahpahaman di antara kita. Saya enggak mau kita berjauhan, Najmi.” Tak ada habisnya, Adibya masih berbicara pada mereka. “Saya juga udah capek enggak bertegur sapa selama bertahun-tahun sama kamu, Ghandi.” Kini matanya beralih pada sosok lelaki itu. Mereka berdua sama saja. Kakak beradik itu hanya bisa menundukkan pandangannya karena merasa bersalah luar biasa.

Bahkan, untuk membuktikan itu semua, Adibya sampai membawa surat yang dulu ditulis sang Ibu untuknya bersama STNK motor. Ia benar-benar menunjukkan identitas siapa Si Lela yang sesungguhnya pada mereka.

“Sekali lagi, saya minta maaf karena waktu itu udah ngasih surat kamu ke Puja tanpa izin,” ucap Adibya kembali meminta maaf entah untuk yang ke berapa kalinya. “Menyesali hak yang udah berlalu emang enggak berguna. Tapi kalau aja saya tau bakalan berbuntut sepanjang ini, saya pasti lebih memilih buat enggak peduli hari itu, Ghandi.”

“Saya minta maaf.” Tutupnya kemudian. “Kalau gitu, saya pamit ya? Semoga setelah ini hubungan kita bisa membaik.”

Dengan spontan, Najmi dan Ghandi mendongakkan kepalanya. Adibya telah berdiri dari duduknya. Pria itu bahkan sudah berjalan masuk ke dalam rumah untuk berpamitan dengan Khaffa dan Anggun.

“Udah?” tanya Khaffa saat Adibya menyalaminya sebagai pertanda pamit untuk pulang.

Lelaki itu tersenyum lembut, “Udah, Pak. Alhamdulillah,” jawabnya. “Kalau gitu, saya pamit dulu. Terima kasih, Pak, Bu. Assalamualaikum.

“Waalaikumsalam…. ” jawab Khaffa, Anggun, dan Jafar serentak. Mereka antarkan pula Adibya sampai ke teras.

“Saya pulang ya, Najmi? Kalau bad mood-nya udah hilang, buka aja blokirnya. Atau cek DM Instagram saya.” Jujur, Najmi merasa semakin tak enak dengan Adibya. Ditambah lagi, Khaffa meliriknya dengan tatapan memicing. Meminta penjelasan atas maksud ucapan Adibya barusan.

Apa anak gadisnya ini masih keras kepala?

Kemudian, Najmi berdiri. Matanya masih tak berani menatap sorot Adibya yang belum sepenuhnya lega. Sebab, Najmi masih belum mau berbicara kepadanya setelah penjelasan yang begitu panjang ia tuturkan.

Namun, saat Adibya sudah berada di dekat Si Lela, langkahnya terhenti karena suara Najmi. “Mas Adib,” panggilnya membuat Adibya sedikit terhenyak. Gadis itu kembali memanggilnya dengan sebutan yang ia sukai.

Lelaki itu pun menoleh, lalu berbalik sepenuhnya. Ia dapati Najmi yang kini tengah berdiri tepat di hadapannya. Mata gadis itu menyipit saat tatapan mereka beradu. Sinar matahari saat ini benar-benar bergantung terik di atas mereka. Tapi, Najmi tak peduli. Rindu dan rasa bersalahnya telah menggebu. Maka tanpa malu, ia rengkuh tubuh bongsor tersebut dengan sangat erat. Adibya sampai kaget bukan main karena respon Najmi yang tiba-tiba seperti ini.

“Maaf.” Lalu setelahnya, Adibya benar-benar membeku di tempat. Tak pernah ia membayangkan bahwa Najmi akan memberikan respon yang sangat berani seperti ini. Padahal, Adibya sendiri belum sempat membalas pelukan sang gadis. Namun Najmi, di depan keluarganya itu, ia dengan sangat berani mengecup bibir Adibya dalam hitungan sepersekian detik.

ASTAGHFIRULLAH, NAJMI!!!!” Khaffa langsung pontang-panting berlari menarik tubuh anaknya itu dari Adibya.

Sementara Ghandi, dia masih menatap dengan pandangan super tak menyangka atas kenekatan adik satu-satunya itu.

“Gila, Uni Najmi keren banget,” ucap Jafar berdecak kagum atas nyali yang Najmi punya. Anggun yang berada di samping anaknya itu pun menoleh horor. Lalu setelahnya, jeweran yang bukan main sakitnya itu pun tak dapat Jafar hindari. Anggun memarahinya karena sudah membenarkan hal yang barusan terjadi.

“Anak kecil, pikirannya bukan main!” cecar Anggun memarahi anaknya demikian. Begitupula dengan Najmi di depan sana yang disentil Khaffa berulang kali. Anaknya itu ia dekap agar menjauh dari sosok Adibya.

“Papi nggak mau tau. Bulan depan kalian harus nikah!!!” Khaffa mungkin memang marah terhadap apa yang ia saksikan atas ulah putri bungsunya. Tapi, keputusan ini mungkin akan sangat tepat. Kalau mereka dibiarkan tetap berada dalam hubungan yang tidak sah, Khaffa takut malah terjadi yang tidak-tidak.

“Lusa, kamu bawa ayahmu ke sini.” Begitu perintah Khaffa pada Adibya.

Namun bukannya menyangkal, lelaki itu langsung menyetujui permintaan Khaffa. “Baik, Pak. Lusa akan saya bawa ayah saya kemari,” jawabnya. “Dan maaf karena saya enggak bisa menghindar dari kecupan anak Bapak.” Begitu lanjut Adibya menahan malu setengah mampus.

Khaffa pun hanya bisa mengangguk, lalu menarik Najmi untuk segera masuk ke dalam rumah. Sementara Adibya sudah ia persilahkan untuk mempercepat kepulangan.

“Siapa yang ngajarin kamu kecentilan?!” Kini Khaffa bersorak heboh di dalam rumah. Ia benar-benar frustasi atas apa yang dilakukan anaknya tadi. Keberadaannya di sana seolah-olah tidak pernah mengajari putrinya dalam hal menjaga harga diri.

“Untung Adibya setuju Papi minta begitu. Kalau enggak, gimana? Hah? Kamu mau dia berpikiran macem-macem tentang kamu?”

Najmi hanya diam mendengarkan. Pikirannya masih melayang dalam bayang ingatan. Wajahnya saja sampai merah bukan main saat mengingat bagaimana belah bibirnya menyatu dengan milik Adibya yang lembut meski hanya sepersekian detik. Sebenarnya, ia juga reflek mengecup bibir lelaki itu. Dia juga tak menyangka akan senekat itu dalam bertindak. Tapi bodo amat, yang penting dia akan menikah dengan Adibya dalam waktu dekat! Yeay!

“Ya udah sih, Papi nggak usah ribet, ih! Orang itu juga first kiss aku,” sahut Najmi mencoba santai. “Lagian ‘kan dia calon suami aku. Bulan depan juga nikah. Ya ‘kan?” sambungnya menahan senyum.

Namun tidak dengan Khaffa. Pria itu masih tidak terima kalau anak gadisnya itu semena-mena dalam memberikan ciuman pada lelaki yang belum sah menjadi suaminya.

“Sini kamu!” Khaffa menarik Najmi menuju dapur. Anggun yang takut-takut dengan ekspresi calon suaminya itu mencoba menenangkan sebisa mungkin.

“Uni Najmi mau diapain?” tanya Jafar pada Ghandi dengan raut sedikit cemas.

Ghandi hanya menahan tawanya. “Mau dirawitin kali mulutnya.”

“Hah, yang bener?” kaget Jafar setengah percaya. Ghandi pun menunjuk pada Najmi dan Khaffa dengan dagunya. Dua orang itu menuju kulkas.

“SUMPAH?!” kaget Jafar lalu menutup mulutnya ngeri. Ghandi pun hanya bergidik. Tapi remaja itu tetap saja mengikuti dua orang tersebut sampai jaraknya begitu dekat. Lalu, sorakan panik dari Najmi malah menyusul memenuhi gendang telinga.

Tebakan Ghandi akurat. Hukuman saat mereka kecil dulu kalau ketahuan berbicara kasar, kini kembali gadis itu rasakan.

“PAPI AMPUN! ASTAGA, DEMI CUPANGNYA GHANDI NGGAK BAKAL AKU ULANG LAGI DEH SUMPAH!!!” Najmi bersorak panik saat satu buah cabe rawit setan sudah berada di tangan kanan Khaffa. Sementara, tangan kiri papinya itu sibuk menahan lengan Najmi agar tidak lari dari cekalannya.

“YA ALLAH PAPI, SUMPAH MAAPIN AKU!!!” Najmi tak henti-hentinya berteriak kencang sampai suaranya memenuhi seisi rumah. Kegiatan itu bahkan menjadi tontonan gratis bagi para pekerja di kediaman mereka. Mulai dari ART, supir, tukang kebun, sampai satpam pun ikut menyaksikan peperangan antara Najmi dan Khaffa Desra. Bapak anak tersebut sibuk saling tarik menarik ke arah yang berlawanan.

“SINI KAMU!” Khaffa tak kunjung menyerah. Pria itu bahkan sudah mematahkan ujung cabai agar isinya dapat mengenai bibir Najmi. Namun, insting untuk melarikan diri tak pernah pudar dari dalam tubuh anak itu. Ia bahkan mencoba menarik Jafar sampai ikut terseret-seret.

Ghandi tak lagi dapat menahan tawanya. Meski gadis itu dan Jafar berulang kali meminta bantuan untuk diselamatkan, Ghandi tak bisa. Ia tak mau ikut dirawiti mulutnya oleh Khaffa. Maka dari itu, kali ini ia angkat tangan. Ia hanya menarik Jafar agar terlepas dari cengkraman Najmi.

“Untung celanaku nggak melorot,” keluh Jafar saat dirinya terbebas dari tarikan Najmi. Khaffa kalau sudah marah, hukumannya harus terealisasi. Agar anaknya itu dapat belajar atas kesalahan yang telah diperbuat.

“Mas, udah Mas.” Anggun berulang kali mencoba menahan tangan Khaffa yang memegang rawit. Namun lelaki itu tidak mendengarkan.

“Kamu awas dulu, Dek. Nanti matamu yang kena cabe.”

“Ya tapi itu kasian anaknya, masa mau dirawitin?” protes Anggun masih tak terima. Ia akan mencoba melindungi Najmi sebisa mungkin.

Najmi yang mendapat kesempatan pun mencoba melarikan diri. Namun Khaffa tetap menahan lengannya dengan kuat. “Bunda, tolongin aku…, ” rengek Najmi kemudian. Ia sampai berlutut di lantai karena lelah sudah bergerak sejak lima menit yang lalu. Kepalanya mendongak mencari kubu perlindungan. Sebab, Ghandi sudah tak ada lagi harapan.

“Mas — ”

“PAPIIIIIIIIII!!!!” Najmi menjerit keras kala Khaffa sudah menjejali cabai rawit berwarna merah itu ke bibirnya.

Dua kali olesan, namun berhasil membuat Najmi ketar-ketir karena kepanasan. “Cium tuh cabe rawit!” ucap Khaffa lalu melepaskan lengan anaknya.

Najmi sontak berlari kencang ke arah wastefel. Membasuh bibirnya dengan sabun cuci tangan sembari berteriak tidak jelas. Rekahnya itu kepanasan. Tak lupa, ia juga berkumur. Sebab, saat rawit itu menjajah bibir, lidahnya malah tak sengaja ikut mengecap karena sibuk berteriak.

“PAPI, PEDEEEESSS!!!” rengeknya bukan main. Anggun pun dengan lekas menyerahkan es batu yang sudah ia kemasi dari dalam kulkas pada Najmi.

“Enak ‘kan? Rasian!” Lalu, Khaffa ikut melangkah menuju wastafel untuk mencuci tangannya. “Awas kalau berani kamu ulang!” tutupnya kemudian. Sementara yang lain sudah menahan tawa melihat Najmi mencak-mencak bak kesurupan reog.

Ah, sial sekali nasibnya kali ini. Padahal ia masih ingin mengingat bagaimana tekstur bibir Adibya yang bersatu dengan bibirnya. Tapi apa daya, yang tertinggal hanya rasa pedas yang kemudian akan memerah dan berubah bengkak bak di-filler.

“Papi tega!” kesal Najmi mencak-mencak sembari menaiki anak tangga. Gadis itu hendak kembali menuju kamarnya.

“MAU PAPI TAMBAH?!” sahut Khaffa yang sudah duduk santai di ruang TV.

“ENGGAK!”

Brak!!!

Gadis itu pun masuk ke dalam kamar. Tak lupa, ia pastikan bahwa pintunya telah terkunci rapat. Jaga-jaga, kalau Khaffa nanti tiba-tiba masuk dan membawakan sepiring cabai lagi karena Najmi yang berani membanting pintu dengan kuat.

“Adibyaaaaaaaaa!!!” teriak Najmi kemudian. Namun suaranya teredam bantal. Jadi, tak akan sampai terdengar sampai ke luar.

Narasi 20 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet