Oksigen masuk ke dalam paru-parunya dengan lancar. Napas pun ia tarik dalam-dalam. Sejuk sekali rasanya udara di pagi hari ini. Bahkan air embun pada tanaman di halaman terlihat jelas. Tadi malam memang terasa sangat dingin, sampai-sampai ia harus berebut selimut dengan Nuraga.
“Ayo, masuk.” Jeriko menyadarkan lamunan Irvan. Menarik pikirannya yang baru saja mulai kembali kusut.
Irvan pun masuk ke dalam mobil berwarna hitam tersebut. Ah, kenapa ia baru sadar kalau mobil milik Jeriko ini ternyata menyentuh harga setengah miliar lebih. Setiap menit, kecurigaannya semakin bertambah. Di sekolahnya memang tak jarang guru menggunakan mobil. Tapi, apa gaji seorang guru BK memang sebesar itu? Belum lagi tanggungannya terhadap biaya hidup Arsaka. Uang dari mana Jeriko ini?
“Masih pagi udah bengong aja.” Jeriko kembali membuka suara. Ia acak surai hitam kecoklatan milik Irvan dengan lembut.
Senyuman Jeriko yang tulus itu lagi-lagi menyentak relung Irvan. Ia begitu terpana. Mata teduh milik Jeriko seolah menenangkannya dari kerisauan hati dan huru-hara yang tengah melanda pikiran.
Andai, ayahnya juga berlaku demikian. Mungkin Irvan tidak akan selemah ini saat digoyahkan.
“Lebamnya sudah dikompres ‘kan semalam?” Pria dewasa itu bertanya sembari melirik lebam Irvan yang terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya.
Irvan menggeleng. “Saya tidur duluan, Pak. Jadi gak sempet.”
Jeriko mengangguk-angguk paham. “Tidur memang obat dari segala penat. Entah itu penat pikiran, ataupun penat raga,” ujarnya demikian. Sedang Irvan hanya terdiam. Mengapa lelaki ini seolah paham dengan kebiasaan dirinya? Irvan memang kerap melupakan masalahnya dengan tidur. Sebab dengan begitu, ia akan merasa lebih tenang dan damai saat terbangun.
“Nanti pulang dari beli sarapan, dikompres, ya?” lanjut Jeriko. Ia mengingatkan Irvan untuk tetap mengompres lebamnya.
Remaja itu hanya bergumam mengiyakan. “Kita mau sarapan apa, Pak?” tanyanya kemudian memberanikan diri. Dari semalam, ia tak pernah bertanya pada Jeriko. Jeriko lah yang selalu mengajukan pertanyaan kepadanya.
“Rijst vermengd met onrust van de liefde.”
“Hah?!” Irvan benar-benar merasa jadi orang bodoh sekarang. Sia-sia rasanya ia menjadi siswa teratas di Garuda Pancasila.
“Disingkat jadi jaloerse rijst, alias nasi uduk!”
Irvan menganga. Pakai bahasa apa Jeriko barusan? Nasi uduk saja namanya sedemikan susah. Merepotkan!
“Bahasa Belandanya nasi yang dimasak dengan santan, ya, itu... rijst vermengd met onrust van de liefde.” Jeriko kembali mengulang. Ia beritahu darimana bahasa makanan yang tadi ia sebutkan.
Irvan mendengus. “Ya elah, Pak. Kirain mau makan apaan,”
“Kenapa? Kamu gak suka nasi uduk?” tanyanya.
“Siapa yang bilang?”
“Kan saya nanya,”
“Ooh, suka-suka aja sih.”
“Ya udah. Nasi uduk, ya?”
“Iya.”
Mungkin, ini adalah percakapan terpanjang mereka. Saling berbalas-balasan kalimat setelah dari semalam Irvan hanya diam, mengangguk, dan menggeleng.
“Kamu tau nggak,”
“Nggak.” Irvan menjawab terlalu cepat. Padahal Jeriko belum selesai berbicara.
“Kan saya belum kasih tau... ” protes Jeriko. Memang sifat menyebalkan Irvan ini benar adanya.
Irvan menghela napasnya. “Ya apa, Pak?”
Jeriko terkekeh saat suara Irvan terdengar pasrah. “Kamu tau gak kenapa nasi uduk dimasak pakai santan?” tanya Jeriko melanjutkan kalimatnya.
“Ya kalau pakai bensin memangnya Bapak mau?”
“Mau apa?”
“Ya mau makannya lah.”
Bukannya kesal, Jeriko malah tertawa mendengar jawaban nyeleneh dari Irvan.
“Ya nggak gitu juga maksud saya,” tuturnya dengan nada penuh kesabaran.
“Ya mana saya tau, Pak. Gak pernah masak.” Irvan menyahut seraya menoleh pada trotoar jalan. Ia perhatikan satu per satu benda mati yang terlewat di pagi hari ini.
“Tapi kalau dimasakin, pernah ‘kan?”
Irvan terdiam mendengar pertanyaan Jeriko. “Pernah,” jawabnya. Tapi Jeriko tentu dapat mendengar bahwa ada keraguan yang tersirat dalam nada suara Irvan.
“Sama Mbok, selalu.” Dalam hati, Irvan melanjutkan. Mana pernah Jennifer memasak untuk dirinya. Tak pernah sekalipun Irvan menyicipi makanan dari hasil tangan mulus Ibunya itu. Sedari dulu, wanita itu memang tidak pernah pandai memasak. Dan ia juga tidak pernah berniat untuk mempelajarinya.
“Jadi, jawabannya apa, Pak?” Pemuda tersebut menuntut hasil akurat.
“Apanya?”
Irvan berdecak. Apanya-apanya. Sudah jelas ia tadi yang bertanya, malah kebingungan saat ditanya balik.
“Kenapa nasi uduk dimasak pakai santan?” tanya Irvan memperjelas. Gelaknya terdengar memenuhi rungu saat melihat raut wajah Irvan yang mudah sekali berubah menjadi kusut.
“Ya jawabannya gak jauh sama jawaban kamu tadi sih. Nasi uduk kalau gak pakai santan, ya bukan nasi uduk namanya.”
“Jadi? Intinya Bapak bertanya ke saya tuh apa?” Irvan masih bertanya bingung. Setengahnya lagi ia merasa jengkel sebab dirasa sedang dipermainkan oleh Jeriko.
“Saya cuma mau kita berbicara apa saja.” Lagi, Irvan terdiam. “Di sekolah, yang saya dengar kamu selalu banyak bicara dan cerewet. Tapi akhir-akhir ini, kemana dia? Hilang?”
Irvan tersenyum miring. “Mungkin akan lenyap.” Lagi dan lagi, ia hanya mampu bersuara di dalam hati.
Mobil tersebut mulai menepi. Irvan pun menoleh. Ternyata warung nasi uduk itu tak terlalu jauh dari kontrakan Arsa.
Saat Irvan hendak turun, Jeriko menepuk pundak kanannya pelan. Membuat Irvan pun mau tak mau kini menghadapnya.
“Saya tau kamu sedang penat dengan semua keadaan. Saya juga tau kalau kamu pasti lagi kecewa berat dengan kedua orangtuamu... ” irisnya beradu, “...tapi, Irvan, menutup diri dan memendamnya sendirian bukan satu-satunya pilihan.”
Irvan menyingkirkan tangan Jeriko dari pundaknya secara perlahan. “Saya baik-baik aja, Pak.” Kemudian ia pun keluar tanpa menghiraukan Jeriko yang menghela napas. Nyatanya, Irvan sebelas dua belas dengan Alvaro. Mereka sulit untuk membuka diri pada orang lain.
Masalahnya, biar ia sendiri yang hadapi. Tak perlu orang lain ikut memberi solusi. Tanpa basa-basi, tanpa berpikir dua kali, akan ia tanggung deritanya seorang diri.
Hap!!!
Lagi, netranya ia alihkan pada lengan yang merangkul pundaknya. Siapa lagi kalau bukan Jeriko?
“Kamu tau, kamu persis sekali dengan orang yang saya kenal belasan tahun lalu.”
Kepalanya kini menoleh ke sisi kanan. Jeriko berjalan berdampingan dengan dirinya.
“Namanya Alex. Menyebalkan dan keras kepala. Dia itu teman sekaligus musuh saya sejak SMA.” Penuturan Jeriko kini benar-benar menarik perhatian Irvan. Apakah lelaki dewasa ini tengah membicarakan ayahnya?
“Bapak kenal Papi saya?” Bola mata itu sedikit memancarkan binar.
“Memangnya Papi kamu siapa?” Jeriko malah balik bertanya.
“Ya Alex. Alexandrio!”
“Bukan tuh,” Jeriko melepaskan rangkulannya. Kemudian ia berjalan memasuki warung nasi uduk.
Kepalang penasaran, Irvan ikut membuntuti. Menggurutu adalah kebiasaan Irvan saat diabaikan.
“Bapak beneran temen lama Papi saya, ya?” Ia kembali bertanya saat Jeriko sudah selesai memberitahukan pesanan untuk dibawa pulang. Kini, mereka tengah duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia. Menanti pesanan hingga selesai.
“Bapak beneran temennya Papi saya?” berkali-kali Irvan bertanya. Membuat Jeriko kembali tertawa. Sungguh, anak-anak ini sangat sulit untuk diterka. Tadinya tak mau berbicara. Sekarang malah banyak tanya. Maunya apa?
“Kenapa kamu pengen tau?” Warung kaki lima yang beratapkan terpal biru tersebut menjadi saksi bahwa betapa besarnya rasa ingin tahu Irvan terhadap cerita masa muda ayahnya, Alex. Kalau saja benar dugaannya, maka Irvan akan dengan sangat sungguh-sungguh untuk membujuk Jeriko agar menceritakannya.
Sedari dulu, Irvan juga ingin tahu bagaimana masa muda orangtuanya. Mendengar teman-teman perempuan di kelasnya saling berbagi cerita tentang masa muda orangtua mereka, membuat Irvan terkadang juga iri kepada gadis-gadis itu. Mereka memiliki orangtua yang punya banyak waktu untuk anak-anaknya. Berbagi cerita, canda, dan tawa. Sementara Irvan, untuk melihat wajah orangtuanya saja sekali seminggu. Itu juga kalau mereka tidak sibuk. Pembicaraan pun kadang bahkan terasa canggung. Tak ada yang namanya kehangatan melingkupi hidup seorang Irvan Alexandrio. Dia menggigil, dinginnya interaksi dari keluarga kecil membuatnya awam akan rasa kepedulian.
“Pak... ” Irvan kembali membujuk Jeriko untuk memberitahu yang sebenarnya.
Jeriko tersenyum. “Alex itu dulu sering berkelahi dengan Tristan. Dan saya adalah orang yang selalu menengahi mereka.” Irvan membuka daun telinganya lebar-lebar. Pria itu akhirnya memulai cerita lama dengan nada pelan. Jeriko, Tristan, dan Alexandrio memang sudah saling kenal sejak mereka SMA.
Jika digambarkan, Irvan itu mirip sekali perangainya dengan Alex semasa remaja. Suka berkoar-koar, emosian, egois, keras kepala, dan sering memandang orang lain dengan sebelah mata. Makanya, dia selalu bertentangan dengan Tristan si penjunjung keadilan dan kebenaran.
“Bapak cuma kenal sama Papi saya aja?” Irvan bertanya lagi setelah Jeriko menceritakan satu dua hal tentang ayahnya semasa SMA.
Jeriko menggeleng. “Saya kenal ibu kamu. Tapi ya kenal-kenal yang begitu aja. Dari cerita si Alex sebelum nikah dulu, Jenni itu adik tingkatnya semasa kuliah.”
“Sebentar,” Irvan tiba-tiba memotong. “Umur Bapak berapa?”
“Saya? Sudah mau tiga puluh sembilan tahun. Kenapa?”
“Umur Papi saya empat puluh dua... ” Kentara sekali kerutan di dahi Irvan. Nada bicaranya juga terkesan bingung.
“Alex itu teman saya, tapi dia senior. Saya kelas sepuluh, dia kelas dua belas.” Jeriko membantu Irvan agar tidak bingung.
Irvan pun mengangguk pelan. “Kalau empat puluh dua dikurang tujuh belas...” gumamnya menghitung jarak umur. “Dua puluh lima.”
“Jarak umur mami sama papi dua tahun. Berati umur mami waktu itu dua puluh tiga.”
“Mereka nikah akhir tahun 2003. Sedangkan gue lahir September 2004.”
“Kamu ngitungin apa?” Jeriko bertanya heran. Saat Irvan sibuk menggerak-gerakkan jarinya tanpa mengeluarkan suara. Entah memikirkan hal dan prasangka apa lagi anak satu itu.
Irvan menoleh. “Eh, enggak Pak.”
Ada raut risau yang kemudian muncul di wajah Irvan. Gundah yang tadinya mulai berkurang kini malah semakin bertambah. Overthingking Irvan pun mulai bermunculan.
“Ini gue lahir dari hubungan yang sah ‘kan?” batinnya lagi.
Benar apa kata orang-orang. Terlalu ingin tahu itu tak selalu berakibat baik.
Aliansi Garuda Melegenda
By Rofenaa
© ebbyyliebe