Dengan desing kendaraan yang menguasai seluruh sudut jalanan, sepasang manusia yang bernama Najmi dan Adibya itu menghabiskan waktunya di sini, di tempat yang paling sering gadis itu kunjungi bersama Nabila, jajanan kaki lima.
Dua raga itu menyusuri gerobak demi gerobak — dari ujung sampai ujung. Lantas, apapun yang menarik perhatian dan mengundang rasa laparnya, Najmi tarik Adibya ke tempat itu. Sebab, si lelaki sedang dalam mode dermawan. “Hari ini kamu luar biasa. Jadi, saya yang traktir.” Dan berakhirlah demikian.
Sementara, “Mas Adib makannya dikit aja, ya?! Nggak boleh banyak-banyak.” Begitu ucap Najmi kala mereka mencicipi makanan yang manis-manis. Atau, “Pelan-pelan, Najmi. Gerobaknya enggak bakalan terbang,” ucap Adibya setiap sang gadis berjalan terburu-buru menuju satu gerobak ke gerobak lain.
Dan kini, saatnya mereka akan kembali ke rumah masing-masing. Sudah waktunya untuk pulang. Sebab, selain keringat telah memenuhi sekujur tubuh mereka, langit telah menunjukkan ronanya. Jingga di penghujung senja memenuhi hamparan luas di atas sana. Maka, dengan beberapa bungkus plastik yang berada dalam genggaman Adibya, lelaki itu meninggalkan sang gadis sendirian di pinggir jalan.
Sebelum menyeberang, katanya begini, “Najmi, saya tunggu kamu di sana.” Sembari menunjuk ke arah depan. “Jadi, kamu nyeberang jalannya harus yang bener, oke?” Lantas, Najmi menyaksikan bahwa kini Adibya telah berdiri di seberang sana. Lelaki itu melambai dengan tangan kanannya. Sementara, tangan kiri lelaki itu sibuk memegangi berkantung-kantung plastik berisi jajanan buruan mereka.
“Ayo, Najmi. Lo pasti bisa!” batin sang gadis meyakinkan diri. Kepalan tangannya mengeras membulatkan tekad. Hari ini, dia sudah hebat. Pertanyaan Pak Bahar disapu bersih tanpa sisa. Tepuk tangan meriah pula ia terima saat penutupan uji ingatan dalam sesi kompre ala-ala.
Maka, sore ini, harus ia tutup pula harinya dengan satu pencapaian lagi. Setidaknya, untuk kali ini.
Lihat kanan, toleh kiri. Ramai. Jam-jam segini jalanan memang padat akan kendaraan. Pula, tempat ini memang sangat terkenal sebagai salah satu titik yang kerap kali membuat jengkel. Dan ya, tentu akan terasa sangat menjengkelkan jika hanya ingin lewat tanpa singgah untuk membeli jajanan apapun.
Laju kendaraan memang tak ada yang cepat. Rata-rata, pengendara menarik dan menginjak gasnya pelan, dan cendrung lambat. Sebab, ya…, kembali lagi — karena padat. Makanya Adibya pun berani melepas Najmi di sini. Padahal biasanya, dia akan menyeberang langsung berdua. Melangkah bersama, dengan tangan yang sengaja Adibya eratkan pada tautan mereka. Perempuannya begitu ia jaga. Namun, kali ini beda cerita. Sebab sudah saatnya Najmi pandai menyeberang jalan sendiri dengan cara yang tidak lagi sembrono.
Flat shoes gadis itu pun mengayun bersama langkah kakinya. Tangan kanan dan kirinya terangkat bergantian, membentuk sudut 45 derjat. Kepalanya juga turut menoleh ke kanan dan ke kiri demi memastikan. Kenapa? Karena kali ini ia memang ditantang untuk menyebrangi jalan yang bukan di zebra cross. Melainkan di jalan lepas. Sebab, kalau menyeberang di zona garis besar hitam putih itu, Najmi sudah cukup lihai.
Kini, ia harus meminta jalan di tengah ramainya kendaraan agar dapat sampai ke tempat Adibya berdiri. Bising knalpot dan klakson bersamaan memenuhi rungu setiap insan, termasuk Najmi tentunya. Dan seperti yang pernah ia bilang, bahwa traumanya sudah perlahan sembuh meski keringat dingin itu sering muncul disaat rasa takutnya sudah ia coba tekan sebisa mungkin.
Tidak. Najmi tidak memaksa. Hanya saja, inilah salah satu cara agar dirinya bisa lekas sembuh dari bayang-bayang masa lalu.
Sementara, dengan sorot awasnya, Adibya memperhatikan setiap langkah dan tindakan Najmi. Ia rekam dengan jelas bagaimana gadis itu sedikit terhambat dan menerima klakson dadakan dari sebuah motor. Tak ada umpatan atau teguran bernada kasar. Satu-satunya yang menjadi fokus Adibya adalah kerutan di dahi gadis itu. Najmi tampak serius menyeberangi jalan dengan raut datarnya. Padahal, detak jantung gadis itu sudah berdebar luar biasa. Sama halnya dengan sang pemuda.
“Sedikit lagi, Najmi.” Adibya bergumam penuh harap dalam hatinya.
Langkah demi langkah, klakson demi klakson, dan desing demi desing…, Adibya menahan napasnya.
Bugh!!!
“You did well!” Beberapa atensi orang berhasil tercuri. Bagaimana tidak, kalau sepasang manusia itu kini dengan enaknya berpelukan singkat di pinggir jalan!
Adibya lah yang tadi merentangkan tangannya untuk menyambut kehadiran Najmi di tempat ia berdiri saat ini. Gadis itu, perempuannya, calon istrinya, calon dari bagian keluarga besar Lofarsa, telah berhasil menutup hari dengan satu keberhasilan lagi.
Lantas, di penghujung hari yang semburatnya dapat menutupi rona merah di wajah, Najmi tertawa saat Adibya si Peretas Gundah itu mengusak kepalanya dengan raut bangga. Cemasnya telah luruh sebab dihadiahi perayaan kecil oleh Adibya. Lelaki itu mengapresiasi, melakukan selebrasi. Namun, gemuruh yang ada dalam diri Najmi masih setia menemani. Hanya maknanya saja yang berganti. Jikalau tadi gemuruh itu hadir karena rasa takut, maka kali ini karena debaran jantung yang terasa bertalu-talu. Sebab tadi, Adibya memeluknya dengan sangat erat meski sekejap.
Menuju parkiran, pemuda itu menenggerkan tangannya di bahu Najmi. Ayunan dan tempo langkahnya turut disamakan dengan sang gadis.
Selang beberapa menit, suasana di mobil pun dipenuhi canda tawa dan cerita yang ceria. Iringan lagu milik Tulus berjudul Teman Hidup turut menjadi pelengkap guratan kisah mereka di penghujung hari.
Sesekali, Najmi iseng menyuapi beberapa makanan pada Adibya. Salah satunya adalah tahu bulat dan sotong. Makanan yang tadi ia minta untuk diberi bumbu balado dan ditambah sedikit bubuk cabai kering itu, memenuhi rongga mulut. Rasa yang sebenarnya tak terlalu pedas tersebut menjadi semakin nikmat kalau mengunyahnya sembari melihat Adibya. Setidaknya, bagi Najmi seorang.
“Kenapa liatin saya?” Meski turut salah tingkah diperhatikan demikian, Adibya tetap mencoba untuk menutupinya dengan bertanya. Namun sang gadis menggeleng sembari membuka tutup botol air mineral yang ingin ia tenggak.
“Mas Adib mau nggak?” sahutnya malah menawarkan minum.
“Kamu aja. Punya saya ada.” Ia raih botol mineral yang ada di saku pintu. Namun nihil, airnya ternyata telah habis.
Lantas, Najmi terkekeh. Kemudian ia serahkan minuman yang belum jadi ia tenggak itu pada sang lawan bicara. “Nih!” ucapnya menyodorkan.
Adibya diam, kemudian dua detik setelahnya menaruh botol kosong itu kembali, dan meraih pemberian sang gadis. “Thanks,” ucapnya ikut tersenyum.
Setelah puas banyak bicara dan saling tertawa, pula kerongkongan mereka yang telah dilalui berbagai macam makanan, akhirnya rongga tersebut merasakan jernihnya air hambar yang menyegarkan. Kini, mereka telah selesai menenggak, dan melepaskan dahaganya masing-masing.
Selama perjalanan menuju rumah, dua insan yang menghabiskan waktu bersamanya hari ini pun tak kunjung selesai berbagi cerita. Najmi yang menceritakan bagaimana konyolnya Ghandi kalau merajuk, dan Adibya yang turut menceritakan betapa hebohnya Mba Arsyi kala menerima kiriman Surat Terbuka dari calon adik iparnya.
Lantas, puluhan menit setelahnya, pagar tinggi berwarna putih gading milik kediaman keluarga Desra pun terlihat. Mereka telah sampai.
Kini, setelah mereka sama-sama keluar dari kendaraan roda empat berwarna hitam itu, hening menyapa sejenak. Hingga sesaat kemudian, “Najmi,” panggil Adibya yang saat ini sudah berdiri tepat di hadapan gadis itu. Sementara, pagar di dekat mereka sama sekali belum ada tanda-tanda akan dibukakan oleh satpam. Namun, lagi-lai, muda-mudi yang tengah dimabuk asmara tersebut memilih abai. Toh, nanti bisa dibuka sendiri.
“Iya, kenapa?” sahut sang gadis dengan nada semangat setelahnya.
Tatapan mereka pun beradu. Manik teduh milik Adibya itu bertitik pada sorot Najmi yang selalu memancar cerah. Yang getarannya hanya akan terlihat kala kenangan pahit itu datang menyerbu. Selebihnya, tak ada. Adibya sudah hapal bagaimana gadis itu menatap orang lain dengan tatapan antusiasnya entah karena apa.
Jika Adibya perhatikan lagi, rambut pendek gadis itu sudah mulai memanjang. Yang dulunya hanya tiga senti di bawah telinga, kini telah sebahu. Angin sore yang berembus kali ini bahkan ikut menyapa dan bermanja pada surai lurus tersebut.
Lantas, setelah membulatkan niat, dengan jurus seribu langkah dan sepersekian detik bak kecepatan kilat, Adibya mengecup — tanpa bunyi. Sementara, gadis yang tadinya masih menaikkan alis karena bingung kenapa Adibya tak kunjung buka suara, malah melotot sempurna. Tubuhnya meremang tiba-tiba.
Kecupan ringan itu…, sungguh, membuat wajah Najmi memanas bukan main. Darahnya berdesir merasakan bibir Adibya menyentuh pipi kanannya meski hanya sekejap mata. Debaran organ bernama jantung itu tak lagi bisa diajak kerja sama. Detaknya begitu cepat dan keras seolah bisa menembus rusuk dan mengoyak dada. Najmi menggila luar biasa.
“You’re so amazing,” bisik sang pemuda kemudian. Sementara sang gadis masih belum bisa apa-apa selain meneguk ludahnya sendiri. Dia membeku layaknya es. “Dan akan selalu begitu. Mutlak.” Begitulah ucap Adibya petang ini.
Sesaat setelahnya, Adibya berdeham sadar. “Maaf udah bikin kamu kaget karena tiba-tiba begini.” Lelaki itu pun mundur satu langkah. Turut salah tingkah dan berakhir dengan menggaruk alisnya yang tidak gatal.
Najmi yang merasa kembali ditarik pada realita yang sudah mengobrak-abrik kewarasannya itu pun terkekeh canggung. Jadi, beginikah rasanya disosor?
Lantas, dengan jurus cengar-cengir andalannya, gadis itu pun terkekeh pelan. Dan dua detik setelahnya, Najmi mendekap. Ia rengkuh raga Adibya sebelum mereka berpisah hari ini. “Glad to have you here, Mas Adib. Dan makasih atas segala hal yang udah kamu ajarin ke aku selama ini.”
Lelaki itu pun bergumam dan mengangguk menanggapi. Rasanya, mendekap raga Najmi sudah menjadi suatu hal yang menyejukkan untuknya. Begitupula dengan sang gadis. Ia…, benar-benar merasa tenang dan terlindungi.
Tanpa terasa, rengkuhan itu pun semakin erat. Dua insan tersebut kian bersatu dan menghangatkan rasa yang kini tengah bertumbuh pesat.
“Najmi,” “Hm?”
“Please be thankful for what you have.” Najmi mengangguk. Ia paham betul konteks Adibya berbicara demikian. “Jangan merasa rendah lagi, ya?”
Dagu yang Najmi sandarkan pada pundak kiri Adibya pun kembali terasa menganggu-angguk. Setelahnya, dekapan pun mereka urai. Senyuman satu sama lain tak lagi dapat untuk disembunyikan.
Hari ini, mereka benar-benar bahagia.
“Udah, sana masuk. Mau gelap,” ucap Adibya menunjuk langit yang mulai berubah warna.
Menurut, gadis itu berjalan mendekat ke arah pagar. “Mas Adib hati-hati, ya!” ucapnya sebelum mereka benar-benar berpisah.
Namun, bukan Najmi namanya kalau sehari tidak membuat malu. Passion gadis itu tampaknya memang untuk menciptakan aib dirinya sendiri di hadapan Adibya. Sebab mengapa? Tepat saat Najmi mendorong bagian pintu pagar yang lebih kecil, satpam malah membukanya terlebih dahulu dengan lebar. Alhasil, Najmi yang sudah mengerahkan tenaga cukup besar untuk itu pun berakhir nyungsep dengan posisi seperti merangkak. Ia terjerembab.
“Waduh, Un! Sori Un, sori!” ucap sang satpam lekas membantu Najmi berdiri. Uni, semuanya memanggil demikian.
“Awas jatoh!!!” sorakan itu pun lantas membuat Adibya yang kaget dan Najmi yang kesal menjadi mendongak ke arah balkon — mencari sumber suara. Dan siapa lagi, kalau bukan Ghandi?
“UDAH JATOH!!!” balas Najmi tak mau kalah. Ia benar-benar malu karena harus nyungsep saat usai romantis-romantisan dengan pujaan hati. Sial!
“Yang mana yang sakit?” tanya Adibya mengabaikan Ghandi yang mengomel di atas sana.
Namun Najmi hanya merengut sebal. “Mas Adib kalau aku lagi atraksi kayak gini tuh, ketawa kek! Biar akunya nggak malu-malu amat!” jawabnya memukul pelan lengan Adibya.
“Loh?” bingungnya. Tentu, lelaki yang diprotes menatap heran. Baru kali ini ia menemukan orang yang meminta ditertawakan usai tak sengaja melakukan sesuatu yang memalukan.
Lalu, mau tak mau, Adibya menuruti. “Haha… ha, ha?”
Bukannya merasa lega, sang gadis malah kian merutuki dirinya sendiri. Mendengar tawa paksa dari Adibya kian menciptakan merah padam pada wajahnya. “Au ah, sebel! Mas Adib pulang aja, aku makin malu!” putusnya kemudian berjalan cepat meninggalkan Adibya yang semakin garuk-garuk kepala.
Najmi itu…, memang sesuatu.
“Makanya, kalau udah maghrib tuh di rumah, bukan malah ngebucin di luar pager!!!”
“BERISIK!!!”
Setelahnya, tawa Ghandi menguar. Ia merasa terhibur dengan cara meledek adiknya yang masih belum sampai ke arah teras.
“Ghan, saya pamit, ya?!” ucap Adibya berpamitan dari tempatnya. Yang diajak bicara pun menyahut seadanya. “Yo, tiati!”
Usai turut pamit pada satoam, Adibya pun melangkah mundur. Kemudian lelaki itu balik badan demi meninggalkan pelataran rumah Desra. Setelah masuk dan duduk di dalam mobil, pemuda itu berpikir sembari menyalakan mesin mobil. “Sejak kapan Ghandi di sana?” gumamnya.
Dan…, overthingking pun dimulai. Apakah lelaki itu menyaksikan semuanya? Atau hanya separuhnya? Atau mungkin ia baru muncul?
Kira-kira apa pendapat Ghandi saat melihat Adibya mengecup pipi adiknya? Bagaimana kalau ternyata Ghandi marah lagi?
Ah! Adibya jadi pusing sendiri dibuatnya!
Narasi 30 ; Lorfarsa
Karya Rofenaa
@ ebbyyliebe