Sabtu ini, Sabtu yang penuh tipu, pilu, dan palsu. Setiap insan merasakan hal-hal yang berbeda pada tiap mereka. Hidup itu memang bukan selalu tentang bahagia. Namun juga ada rasa sedih dan kecewa yang ikut mengiringinya. Semesta tengah menguji, jadi harap tangguhkan diri. Begitu katanya.
Pada suasana sepi berlatar pemakaman itu, Alvaro hanya diam. Lelaki itu bersimpuh di samping sebuah makam yang masih merah dan basah. Seperti yang telah diprediksi, Fadel dan keluarga kecilnya itu datang usai gundukan tanah tersebut telah ditaburi bunga. Tampaknya selain mereka memang tidak sudi untuk menghadiri serangkaian proses pemakaman, Jihan telah mengatur waktu kedatangan mereka sedemikian rupa.
Lima sampai sepuluh orang berpakaian formal pun tampak masih berada di sini. Namun Fadel tidak peduli. Dia berpikir bahwa itu pasti sisa-sisa orang yang masih memihak dan menghargai Jihan meski wanita itu telah lama pudar, kemudian mati.
“Mama turut berduka ya, Nak?” Kalimat penuh kepalsuan itu mendapat sorot dingin dari Alvaro. Wajahnya yang masih berhias lebam pun menambah kesan tajam. Kalimat Yura barusan, sama dengan ucapan perayaan kepergian. Keluarga bajingan itu pasti tengah merayakan kepulangan.
“Matamu sembab. Menangis semalam suntuk?” Pertanyaan tersebut dilontarkan oleh si penggores luka, si pemberi lebam.
Mata Alvaro memang sembab. Sebab, dirinya memang menangis deras tadi malam. Ia menangisi semua rencana sang ibu yang diam-diam tengah merancang suatu pembalasan dan keadilan demi dirinya. Alvaro menangisi hidupnya dan hidup Jihan yang berjalan pahit. Ia tangisi pula semua kesedihan-kesedihan yang turut menimpa hidupnya. Malam tadi, setelah kabar kecelakaan maut di waktu lampau, untuk kedua kalinya, itu adalah pertumpahan air mata paling deras sepanjang hidup Alvaro. Meski begitu, dirinya tentu sangat merasa bersyukur dan lega. Bahwa wanita yang selama ini ia kira akan pergi meninggalkan dirinya, ternyata selamat dan sudah sehat wal afiat.
“Lihat? Jihan itu bukan lagi siapa-siapa. Dia mati saja, tidak ada yang datang.” Fadel melengos ke kiri dan ke kanan, melihat kondisi pemakaman yang sepi. Orang-orang berpakaian formal tadi juga berangsur telah pergi meninggalkan pelataran.
Alvaro hanya diam menatap tajam. Namun tangannya masih setia meremat tanah merah sekuat tenaga. Ingatan Alvaro tentu saja masih melekat pada kemarin siang, saat dirinya sedang asik beristirahat di kamar asrama, tiba-tiba malah diseret dan dibawa pergi oleh orang suruhan Fadel ke apartemennya sendiri. Kemudian, dirinya disiksa di sana.
Pukulan pun masih terasa nyata. Pula tendangannya yang terasa begitu menyakitkan, membuat denyutan ini kembali terasa ngilu. Harusnya, hari ini Alvaro berada di ranjang saja. Ia butuh banyak istirahat. Namun demi memperlancar rencana Jihan, Alvaro rela menahan lelahnya.
“Lupain sama apa yang saya setujui kemarin. Saya nggak butuh uang itu.” Alvaro pun membuka suara. Semua perintah Fadel kemarin, akan ia bantah mulai hari ini. Toh, uang Jihan lebih banyak daripada milik lelaki tidak tahu diri itu.
“Maksud kamu? Mentang-mentang dia sudah mati, dan tidak ada lagi biaya yang harus kamu tanggung, kamu jadi mau membantah perintah saya?!” Fadel mulai naik pitam. Bahkan lelaki itu dengan teganya menarik kerah belakang jas milik Alvaro agar lelaki itu berdiri dari simpuhannya.
“Mulai berani kamu sama saya?!” Kini tangannya telah berada di kerah kemeja Alvaro bagian depan.
Lihatlah, bahkan saat berada di pemakaman saja Fadel terlihat tidak ada adab.
“Mas, jangan.” Begitu lerai Yura pada suaminya. Ia raih pergelangan Fadel untuk menahan pergerakan lelaki itu.
Namun Fadel segera memerintah Jeffan untuk membawa pergi Yura dari tempat ini. Biarkan Alvaro menjadi urusannya.
Yura memberontak. Namun Alvaro tentu tahu, bahwa perhatian itu hanyalah palsu. Setelah meninggalkan pemakaman ini, Jeffan dan Yura pasti terlihat sangat bahagia dan langsung berbincang tentang pembagian harta. Cih, jelas sekali sikap buruk kedua manusia itu.
“Sudah kuat kamu untuk jadi jagoan? Memangnya kamu berani hidup tanpa uang dari saya?” Fadel mulai membombardir Alvaro dengan pertanyaan meremehkan.
“Mau jadi apa kamu kalau kuliah tanpa punya biaya? Uang SPP bulanan Garpa saja paling kamu tidak sanggup bayar sendiri. Sekarang malah sok-sokan mau lawan perintah saya.” Lelaki itu melanjutkan ucapannya. Sementara cengkraman tersebut tak kunjung lepas.
“Saya tidak butuh, dan saya tidak lagi takut dengan siapapun.” Jawaban Alvaro tentu membuat Fadel gelap mata. Tamparan yang begitu keras pun kembali ia terima hingga luka pada sudut bibir tersebut kembali mengeluarkan darah.
Alvaro tidak meringis. Kekuatan mental dan hatinya kini semakin kuat. Ada Jihan, pula Pak Jeriko beserta jajarannya. Rencana-rencana besar telah dipersiapkan dengan matang. Tak ada lagi yang harus Alvaro takutkan dalam menghadapi kebengisan seorang Fadel. Lelaki tua itu hanyalah sampah semesta. Eksistensinya patut untuk diberantas. Sekalipun Fadel adalah Ayahnya, Alvaro tidak lagi mau peduli. Rasanya telah pias. Hatinya telah lama mati untuk seseorang yang harusnya menjadi sosok pemimpin.
“Dengar,” ucap Fadel mencengkram dagu Alvaro dengan kuat. “Kamu itu bukan siapa-siapa tanpa uang saya, Alvaro. Kamu nggak akan bisa lepas.”
Alvaro berdecih. “Uang Papa? Nggak salah?” tanyanya tajam. “Seluruh harta yang Papa kelola selama ini tuh punya keluarga Bessara. Papa cuma perebut tahta yang tidak tau diri.”
PLAK!!!
Alvaro sampai tersungkur akibat tamparan Fadel. Bayangkan betapa kerasnya lelaki itu menyakiti buah hatinya sendiri.
“VARO!!!”
Namun, meski telinganya mendadak berdengung, Alvaro masih dapat menangkap dengan jelas panggilan dari suara yang tak lagi asing di pendengarannya.
“OM, JANGAN!” Alvaro meringis saat tendangan itu malah menyapa punggung Arsaka. Pria itu mendadak jadi tamengnya.
“APA-APAAN KAMU BAJINGAN?!!” Situasi tiba-tiba semakin mencekam. Semua yang dilakukan oleh Fadel terekam jelas oleh indera penglihatan milik Jeriko. Hatinya geram sekali saat menyaksikan dua anak tersebut tersakiti oleh ulah manusia biadab itu.
“Kurang ajar!” Aksi saling berbagi pukulan pun tak dapat dihindari. Jeriko sudah muak dengan apa yang telah Fadel lakukan. Maka dari itu, akan ia balaskan hari ini semua luka yang telah Alvaro terima. Pula tendangan yang mengenai punggung Arsaka, Jeriko pulangkan saat ini juga.
Sakit yang Jihan rasa, tentu tidak akan sebanding pula dengan apa yang Jeriko berikan hari ini pada Fadel. Namun setidaknya, ia puas. Akhirnya, dengan leluasa ia dapat menghajar seonggok raga yang tak pantas menyandang titel manusia.
Jeriko tidak peduli dengan profesinya lagi. Di sekolah mungkin dirinya menjadi seorang pendidik. Tapi di sini, di tempat ini, dia adalah seorang ayah. Jeriko adalah seorang manusia yang juga memiliki emosi. Sabarnya tak sebesar para manusia alim, maka jangan salahkan Jeriko jikalau Fadel bisa saja akan berakhir di rumah sakit setelah ini.
“Kamu nggak apa-apa?” Arsaka membantu Alvaro untuk segera duduk dengan benar. Ia meringis saat melihat wajah Alvaro yang tampak semakin berantakan. Luka dan lebamnya bertambah.
Alvaro mengangguk pelan. “Punggung lo...”
Arsaka tersenyum lembut. “Nggak apa-apa. Nggak sakit kok,” jawabnya enteng. Namun Alvaro tahu, tendangan tersebut pasti luar biasa sakitnya. Sepatu kulit milik Fadel bukan main-main. Alvaro sudah pernah merasakannya.
Namun karena tidak mau berdebat panjang dengan Arsaka, Alvaro hanya diam. Pandangannya beralih pada Jeriko dan Fadel yang terlibat perkelahian sengit. Ia menatap was-was.
“Itu...” Alvaro cemas. Ia takut Pak Jeriko mendapat masalah setelah ini. Ia juga takut kalau lelaki itu kenapa-napa.
Arsaka yang sadar pun langsung berdiri dan menengahi perkelahian dua bapak-bapak tersebut. Untungnya, beberapa orang suruhan Jihan masih berada di sini. Termasuk Yudhistira dan Tatang. Mereka turut pula menengahi perkelahian tersebut. Orang berpakaian formal yang Fadel kira adalah sisa-sisa orang yang menghargai Jihan, nyatanya memang sengaja diutus oleh perempuan itu ke sini untuk berjaga-jaga kalau situasi berjalan tidak kondusif. Seperti ini contohnya.
“Awas kamu, Jeriko!!!” Fadel mengancam Jeriko saat dirinya mulai diseret untuk menjauh dari makam oleh Yudhistira. Tak lupa, Fadel lirik Alvaro yang masih berdiri tak jauh dari makam palsu Jihan.
“Saya pastikan kamu akan menyesal, Alvaro.” Jeriko yang masih dikuasai amarah pun kian naik pitam saat melihat Fadel menunjuk Alvaro dengan tangan kiri. Ia cengkram anggota tubuh lelaki tersebut, kemudian ia pelintir sampai Fadel mengumpat kesakitan.
Jeriko mendesis saat pergerakannya semakin terbatas karena dihadang oleh Yudhistira dan Tatang. Kalau saja ia tidak sedang di depan anak-anak, maka sudah dapat Jeriko pastikan kalau tangan Fadel bisa saja berakhir patah dalam cengkramannya. Tingkah lelaki seperti dia memang jauh sekali dari kata beradab. Tampaknya Fadel lebih membutuhkan pendidikan karakter daripada siswa Jeriko di sekolahan. Haruskah ia ajarkan lelaki ini tentang adab sopan santun dan etika dalam dasar kehidupan manusia?
Fadel mengumpat kesal. Dirinya langsung ditarik menjauh oleh Tatang saat Jeriko telah menghempaskan tangan lelaki tersebut.
“Jeriko sialan!” umpatnya dengan keras. Fadel tentu kenal dengan dirinya. Ia adalah guru BK SMA Garuda Pancasila. Tentu dalam pikiran Fadel, ia bisa kapan saja menghancurkan hidup dan karir Jeriko. Padahal, nyatanya tidak akan semudah itu. Jeriko bukan orang sembarangan. Hartanya menumpuk. Sahamnya tertanam diberbagai tempat. Bahkan dia merupakan donatur terbesar di sekolah swasta nan bergengsi tersebut. Tak ada yang tahu hal itu kecuali keluarganya, Jihan, dan kawan-kawan di aliansinya.
“Ayo ke rumah sakit sekarang. Kita harus visum dan laporin laki-laki brengsek itu biar tidak seenaknya lagi sama anak.” Jeriko pun menarik Alvaro dan Arsaka seperti tengah menuntun dua anak paud. Lucunya, dua pemuda itu hanya menurut tanpa protes.
Sesekali dalam langkahnya, Arsaka menoleh pada sebuah pusara. Kemudian ia lirik pula Alvaro yang berjalan pasrah di sebelahnya.
Apa dia baik-baik saja? Lebamnya bahkan masih terlihat sama. Luka pada sudut bibirnya bahkan kembali tampak segar. Pula situasi yang tengah terjadi seperti ini, pasti membuat semestanya porak poranda. Hati Alvaro pasti sedang tidak baik-baik saja, ya?
Ah, padahal kalau saja Jeriko menceritakan semuanya terlebih dahulu pada Arsaka saat di panti asuhan tadi, mungkin Arsaka tidak akan sekhawatir ini. Dia bukan tipe yang memikirkan sebuah kemungkinan-kemungkinan di luar kendalinya. Arsaka malas berasumsi tanpa dasar yang pasti. Ia menilai sesuatu sesuai dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.
Sementara itu, sepanjang langkah menuju mobil, Arsaka dan Alvaro masih setia mendengarkan segala macam serapah Jeriko pada Fadel. Tak pantas pria itu disebut sebagai seorang ayah. Bahkan untuk menjadi manusia saja, kedudukan itu terlalu mulia untuk Fadel yang berkelakuan layaknya binatang.
“Dia nggak pantas disebut ayah. Nggak ada ayah yang setega dan sejahat ini sama anaknya sendiri! Biadab!” Napas Jeriko berembus cepat. Dadanya naik turun menahan emosi. Akan dia pastikan bahwa rencana balas dendam itu dipercepat. Ingin sekali ia menghancurkan Fadel hingga berkeping-keping.
Saat hendak memasuki mobil, Alvaro sedikit terkejut saat melihat wanita yang berdiri di dekat kendaraan roda empat tersebut. “Mama?!” Bahkan Arsaka sampai dibuat bingung olehnya.
Mama? Lalu... pusara tadi milik siapa? Apa tebakannya memang benar? Apa asumsi yang ia buang jauh-jauh itu adalah sebuah kenyataan? Jeriko sama sekali belum menjelaskan apapun padanya. Dia hanya menurut saat dibawa kemari oleh Jeriko usai memperbaiki genteng panti asuhan.
Jihan dengan kebiasaannya yang menggunakan pakaian glamour itu pun menambah kesan mahal dengan dihiasi kacamata hitam. Wanita cantik itu segara menarik wajah anaknya untuk diteliti. Ia buka kacamata hitam tersebut, lalu mengusap pelan sudut bibir Alvaro. Hatinya kembali memanas. Apa yang ia takuti benar-benar terjadi. Alvaro kembali menjadi korban kekerasan Fadel, ayah anak itu sendiri.
“Sakit ya, Nak?” Jihan mengelus-elus pipi anaknya penuh rasa bersalah. “Maafin Mama...” Alvaro menggeleng lembut. Senyum tulus itu terbit di wajahnya yang penuh lebam. “Bukan salah Mama,” jawabnya sembari menarik tangan Jihan untuk ia genggam.
Sementara itu, Jeriko memperhatikan Arsaka yang hanya berdiri mematung. Wajahnya dipenuhi berbagai macam ekspresi. Pula ada Tristan yang sesekali melirik anak itu di tengah pekerjaannya mengawasi keadaan.
“Kenalin, Sa. Ini nyokap gue.” Dengan santainya, Alvaro berbicara demikian. Arsaka pun masih diam saat Alvaro mengenalkan Jihan padanya. Dari cerita yang semalam Alvaro dengar, Jihan memang sama sekali belum menyinggung nama Arsaka Laksana yang merupakan bagian dari Aliansi Garuda Melegenda termuda. Mereka sama-sama tidak tahu dengan situasi sebenarnya.
Arsaka melirik Jeriko dengan pandangan penuh tanya. Apa benar yang dibicarakan oleh Alvaro saat ini?
“Ini Bu Jihan, Arsa. Semua jawaban yang kamu cari itu adalah beliau, Jihan Bessara.” Tatapannya beradu dengan milik wanita itu saat Jeriko memberitahu.
“Pendiri AGM...,” sambung Jeriko, “...sekaligus pemilik Garpa.” Arsaka reflek menutup mulutnya saat Jeriko berbisik demikian. Ia speechless. Jadi selama ini Alvaro adalah anak dari pemilik sekolah swasta terbaik yang mahal dan begitu terkenal itu? Alvaro adalah pewaris tunggal dari seluruh harta kekayaan Bessara!
“Kamu pasti kaget ya?” tanya Jihan membuka suara. Oh, ya Tuhan, bahkan tatapan anak ini mirip sekali dengan tatapan seseorang di masa lalunya dulu.
“Lo pasti terlibat banyak kan, Sa, di semua momen yang pernah terjadi?” Alvaro kemudian bertanya.
“Maksudnya?”
“Buktinya barusan Pak Jeriko bilang kalau ini semua adalah jawaban yang lo cari. Jadi, selama ini lo tau kalau Pak Jeriko bukan cuma sekedar guru BK biasa kan?”
Alvaro menelisik pahatan yang diberikan Tuhan pada wajah Arsaka. Rautnya masih terlihat bingung dengan situasi ini.
“Ya Pak Jeriko emang bukan cuma berprofesi sebagai sebagai guru BK. Tapi juga bagian dari Aliansi Garuda Melegenda. Ya kan? Pak Jeriko digaji di sana.” Begitu jawabnya. Setahu Arsaka, Jeriko memang bukan hanya guru BK. Jadi, dia jawab sesuai dengan apa yang ia ketahui.
Jihan tersenyum mendengar jawaban anak itu. Ternyata Jeriko benar-benar masih menutupi identitas sesungguhnya dari Arsaka. “Sudah, bahasnya nanti saja. Sekarang kita ke rumah sakit dulu untuk visum.” Jeriko menengahi percakapan ini sebelum menjadi perdebatan. Biarlah profesinya nanti dia yang langsung bicarakan bersama Arsaka.
Alvaro diam. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sosok Arsaka. Kalau benar Jeriko digaji, maka apakah Arsaka juga menerima sejumlah uang atas apa yang telah ia lakukan selama ini? Jadi, baiknya Arsaka memang karena tuntutan penugasan? Bukan karena murni dan ikhlas membantu? Ternyata pertemanan mereka hanya sebatas uang saja ya? Alvaro sungguh tidak menyangka.
“Tapi itu...” Arsaka menoleh. Ia masih penasaran dengan pusara tersebut.
“Enggak ada siapa-siapa di dalam sana, Arsaka. Saya di sini. Saya tidak mati.” Jihan berucap sembari merapikan jas anaknya yang terlihat kusut. “Saya sudah sembuh sejak lama,” lanjut wanita itu merangkul lengan Alvaro. Membawa buah hatinya itu untuk segera memasuki mobil.
Arsaka masih diam. Helaan napasnya terdengar berat oleh Jeriko dan Tristan. Ia usap keningnya sekilas, lalu mengikuti instruksi Jeriko yang menyuruhnya segera masuk ke dalam mobil.
Tristan yang pernah memberi hukuman mengupas dan meracik bawang kepada mereka tersebut ternyata bagian dari orang kepercayaan Jihan. Alvaro saja sungguh sangat tidak menyangka saat mendengar penjelasan ibunya semalam. Tapi satu hal yang belum dijelaskan oleh Jihan kepada anaknya itu — hal yang telah menimbulkan asumsi dan kesalahpahaman pada Arsaka Laksana.
Jeriko tidak pernah digaji. Malah Jeriko lah yang membantu segala urusan Jihan selama ini. Hartanya banyak. Harta yang dikelola oleh Jihan bahkan sebelas dua belas dengan milik lelaki itu. Pula tentang masa lalu Jihan yang mengenal mendiang ayah kandung Arsaka. Semuanya masih abu-abu. Dua anak tersebut masih tidak tahu.
Alvaro yang mulai berasumsi buruk pada Arsaka, dan Arsaka yang mulai merasa asing terhadap keadaan di sekitarnya.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe