Putusan Adibya

rofenaa
13 min readMay 12, 2022

--

Bagai kuda yang dilecut ekornya, lelaki itu dengan lekas berdiri. Blokiran dari Najmi benar-benar membuatnya suntuk setengah mati. Umpatan dalam hati untuk dirinya sendiri pun terulang puluhan kali. Adibya terlalu bodoh untuk segera menyadari kesalahannya ini. Untung saja Mino Prabuartha segera menyadarkannya. Ya Tuhan, kemana otak pintarnya itu? Berpikiran kritis tentang isu sosial, malah bodoh dalam perihal cinta dan wanita. Aduh, Adibya.

Tak perlu lagi menunggu lama, usai menerima pesan dan blokiran dari Najmi, dadanya terasa dihimpit batuan besar, sesak. Lalu, tanpa terlebih dahulu meminta izin pada tuan rumah, Adibya pun memutuskan akan segera menghampiri kediaman Najmi. Ia tinggalkan acara perkumpulan saudara persepupuan ini setelah berpamitan pada semua yang hadir. Ada urusan dadakan yang begitu penting katanya.

“Najmi ya, Mas?” tanya Septian memberanikan diri untuk menerka.

Adibya yang terburu pun hanya bisa mengangguk sembari bicara, “Iya, calon istri saya.” Lalu meninggalkan belasan orang yang termangu tak percaya. Damian, sepupu Adibya yang paling terkenal cukup pendiam saja sampai kaget bukan main. Ekspresi wajahnya yang begitu datar berubah seratus depalan puluh derajat, hingga mengundang tawa Septian dan yang lainnya.

“Perempuan yang waktu itu ‘kan?” tanya Sindy pada Septian. Ia hanya ingin memastikan bahwa gadis itu adalah gadis yang ada dalam ingatannya. Sindy jelas masih ingat bagaimana ribetnya urusan pada malam itu hanya karena sebuah prasangka buruk.

Septian mengangguk. “Iya, yang waktu itu bajunya nyangkut di depan pintu kafe.” Sindy sampai tertawa kala mengingat tingkah konyol gadis tersebut. Lucu, pikirnya. “Tapi sekarang kayaknya lagi berantem, ceunah. Badai asmara sedang melanda,” sambung Septian melankolis. Semenjak berpacaran dengan Nabila, pribadi pria ini berubah menjadi sedikit lebih terbuka dan suka bercanda. Sindy sampai senang dibuatnya.

“Yang mana sih orangnya?” tanya Arrisa yang diangguki oleh Arsyi — si sulung dari lima bersaudara tersebut.

“Iya, ih, yang mana deh? Aku juga penasaran kenapa kemarin Adib tiba-tiba nanya resep tumis udang,” sahut Arsyi tak kalah penasaran.

Sementara itu, Septian yang tidak tahu akun Instagram milik Najmi pun mencoba mencari tahu dari tag yang ada pada salah satu feed Instagram Nabila. “Yang ini Mba…. “ ucapnya kemudian menyerahkan ponsel pada Arsyi.

“Yang rambut pendek?” tanya Arsyi memastikan.

“Ya iya. Kalau yang di sebelahnya ‘kan pacar saya, Mba. Nabila.” Semua mendengus mendengarnya. Siapa pula yang tidak tahu dan tidak ingat dengan gadis itu? Gadis yang dulu pernah menumpahkan sebaskom rendang saat halal bihalal di rumah nenek mereka.

“Kalau Nabila mah Mba juga hapal kali. Sering ketemu di pasar juga kalau lagi belanja.” Arsyi memang memiliki tempat langganan yang sama dengan Nabila. Septian pun hanya haha hehe setelahnya.

“Oh?! Yang kemarin ketemu sama aku di super market ini mah!” Arrisa ikut menambahi. Ternyata adiknya itu ingin menghampiri gadis yang kemarin sempat membuat sore Adibya uring-uringan tidak jelas.

“Kamu udah ketemu, toh?” tanya Arsyi tak menyangka.

Arrisa mengangguk. “Iya, udah kenalan. Tapi nggak selesai karena dia buru-buru.”

“Buru-buru apa cemburu? Kan anak muda sekarang emang suka begitu mikirnya. Aku waktu jalan sama Septian aja pernah disangka si Nabila selingkuhannya dia.” Sindy menunjuk Septian dengan lirikannya. Ia tak mau kalah ikut membahas masa lalu.

Sebab, dulu, setelah sekian lama berada di Aussie, Sindy mengajak Septian untuk menghadiri pameran di salah satu museum saat baru satu hari berada di Indonesia. Mirisnya, hal itu malah sampai ke telinga Nabila dengan info yang setengah-setengah. Hingga menimbulkan kesalahpahaman dalam hubungan Septian dan Nabila kala itu. Untungnya, Sindy cepat turun tangan untuk membantu Septian menjelaskan. Bahwa hal tersebut hanyalah sebuah kesalahpahaman.

Damian, yang sebentar lagi selesai koas itu hanya melirik ke arah ponsel Septian yang sedang diotak-atik oleh Arsyi. Perempuan beranak dua itu sibuk menggulir layar ponsel sepupunya demi melihat-lihat foto calon adik ipar.

“Apa jangan-jangan kemarin dia nangis gara-gara hal kayak gitu juga ya?” gumam Septian bertanya pada diri sendiri. Namun masih dapat didengar oleh para perempuan tersebut.

“Maksud kamu dia sampai nangis karena cemburu sama aku?” tanya Arrisa memastikan.

Dengan sedikit gelagapan, Septian menggeleng. “Nggak tau juga. Dia nggak bilang apapun kemarin waktu belajar bikin cookies sama brownies buat Mas Adib. Tapi kayaknya mereka emang lagi nggak akur. Makanya kemarin nangis di rumah Nabila.” Septian kira, gadis itu menangis hanya karena cookiesnya terinjak Dio. Tapi ternyata karena masalah ini.

Aduh, perempuan, kenapa permasalahannya sama saja? Selalu berburuk sangka dan menarik kesimpulan seenaknya.

“Waduh, sampai mau bikinin camilan buat Adib?” sahut Arrisa sedikit kagum dengan effort Najmi. Padahal, dia tidak tahu saja kalau usaha Najmi belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan apa yang sudah adiknya lakukan untuk gadis itu.

“Dih, kasian dong adek aku? Berantem ‘kah sama si Najmi ini?” Arsyi ikut meringis memikirkan adiknya yang tidak terlalu lihai dalam urusan asmara.

Septian hanya mengedikkan bahunya tidak tahu. Namun, semoga mereka akan baik-baik saja.

“Jadi, pacarmu ini temenan sama calon adek iparku?” tanya Arrisa yang sudah mencomot percakapan lain setelah belasan menit Adibya meninggalkan rumah.

Septian mengangguk. “Iya, bestie-an,” jawabnya.

Arsyi dan Arrisa hanya bisa menepuk jidatnya sembari tertawa. “Kacau!” ucap mereka bersamanaan. Sebab, tampaknya keluarga besar mereka yang sedikit kaku seperti kanebo kering, selalu mendapatkan pasangan yang supel, aktif berbicara dan punya humor rendahan. Seperti yang sudah-sudah.

“Lo?!” Itu adalah kata pertama yang Adibya terima sesaat dirinya sampai di teras kediaman Desra. Pintu utama yang terbuka lebar menampilkan dengan jelas siapa saja yang berada di dalam sana. Rumah itu tampaknya sedang kedatangan tamu, begitu pikir Adibya.

“Mau ngapain lo ke sini?” Dengan nada tak sukanya, Ghandi bertanya demikian pada Adibya.

Lelaki itu berdeham pelan. “Mau ketemu Najmi. Ada?” jawabnya. Ghandi hanya memutar matanya malas. Mau jawab tidak ada, tapi Papinya keburu menghampiri mereka.

“Widih, calon mantuku datang!” Khaffa menyambut Adibya dengan wajah yang begitu sumringah. Berbeda sekali dengan anaknya tadi.

“Pak,” sapa Adibya menyalami calon mertuanya. Semoga.

“Mau cari Najmi, ya?” tanya Khaffa mempersilahkan Adibya untuk masuk.

Perempuan kisaran umur empat puluh tahunan yang duduk bersama seorang anak muda pun menoleh. Mereka ikut tersenyum menyambut kehadiran Adibya di ruang tamu.

“Duduk dulu, Dib.” Adibya pun menuruti dengan senyum ramahnya. Khaffa begitu memperlakukannya dengan sangat baik.

“Ghan, panggilin adekmu sana.” Khaffa yang melihat Ghandi hendak kembali duduk di sofa ruang tamu pun memerintah anaknya tersebut.

Meski sedikit gondok, Ghandi hanya bisa menuruti. Sejak pulang dari membeli cendol, Najmi memang semakin berubah. Bahkan bahu gadis itu terlihat lebih loyo dari sebelumnya.

“Sebentar ya, Dib, Najmi dari tadi emang belum keluar. Lagi bad mood kayaknya sejak kemarin-kemarin.” Adibya hanya mengangguk mendengarkan penuturan ayahnya Najmi. Pria itu tak tahu saja, bahwa alasan terbesar mengapa anaknya bad mood setengah mampus adalah karena Adibya sendiri.

“Kenalin, Dib, ini calon ibu sambungnya Najmi.” Tak mau terjebak dalam keheningan, Khaffa pun mengenalkan Anggun kepada calon menantunya itu.

“Adibya, Bu.” Adibya pun berdiri untuk sejenak menyalami Anggun, sekaligus berkenalan. Di samping wanita itu, ada Jafar, remaja SMA yang sering diceritakan oleh Najmi kepadanya.

“Pacarnya Najmi, ya?” sahut Anggun dengan senyum tipis yang begitu mempesona. Ah, pantas saja Khaffa jadi terpikat pada wanita itu. Najmi saja waktu pertama kali bertemu sampai mengakui kalau Anggun begitu sangat cantik meskipun sudah berada di atas kepala empat.

Adibya hanya terkekeh ringan. “Bukan, Bu.”

Dapat Adibya lihat, bahwa raut Anggun sedikit berubah dan terkejut. “Loh, bukan? Tapi kok tadi saya dengernya calon mantu ya?” tanya Anggun melirik ke arah Khaffa.

“Emang bukan pacarnya Najmi, Dek.” Ayah dari anak itu pun mengimbuhi. “Tapi calon suaminya. Ahhaayy!” Jafar sampai tertawa melihat tingkah laku Khaffa yang langsung menepuk pelan paha Adibya. Calon ayah tirinya itu salah tingkah sendiri karena ucapannya barusan. “Ya ‘kan, Dib?” tambah Khaffa meminta validasi.

Adibya yang kupingnya sudah memerah pun hanya tersenyum, “Insya Allah,” sahutnya. “Kalau Najmi masih mau,” sambung Adibya dalam hati. Sebab, jika menelisik pesan yang sedari tadi Najmi kirimkan, gadis itu benar-benar ingin menghentikan pendekatan mereka.

Gue mundur, katanya. Padahal Adibya belum meniupkan peluit tanda dimulai. Tapi Najmi sudah hendak mundur duluan. Adibya semakin risau jadinya.

Sementara itu, di lantai atas, Najmi menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Gadis itu bergolek di atas karpet yang ada di kamarnya. Dengan kondisi ponsel yang jauh dari posisi gadis itu.

Setelah memblokir nomor Adibya, Najmi melemparkan benda pipih tersebut ke sembarang arah. Hingga berkahir tergeletak mengenaskan di ujung kaki meja yang penuh skincare.

“Mi?” panggil Ghandi dari luar. Lalu ketukan pun terdengar dua kali. “Najmi?” Namun gadis itu tidak mau menyahut.

“Mi, disuruh Papi ke bawah.” Ghandi belum menyerah. Kalau saja gadis itu tidak mengunci pintu, mungkin ia sudah main nyelonong saja seperti biasanya. Tapi kali ini, adiknya itu tumben sekali menutup rapat pintu singgasananya.

“Ada yang mau ketemu sama lo tuh, di bawah!”

Dengan malas, Najmi menyahut, “Suruh pulang aja. Gue lagi gak mau ketemu siapa-siapa!”

Ghandi terdiam sejenak. “Lo yakin?” tanyanya memastikan. “Nggak mau cari tau dulu siapa yang dateng?”

Namun Ghandi tak lagi mendengar jawaban. Najmi juga terlalu malas untuk menyahut. Ia pun tak tertarik untuk mengetahui siapa yang datang hendak menemuinya.

“Ya udah kalau nggak mau keluar. Adibya-nya gue gue suruh pulang aja.”

Dari yang awalnya tengkurap tanpa tenaga, posisi Najmi langsung berubah menjadi duduk tegap. Telinganya begitu nyaring saat mendengar nama Adibya disebutkan oleh Ghandi.

Jadi, orang yang ingin menemuinya itu adalah Adibya?

Ah, tapi gadis itu langsung kembali pada posisi semula. Keputusannya sudah final, meski ragu masih menggerogoti hati dan pikirannya.

“Gue turun nih, ya?” Ghandi memastikan sekali lagi.

Karena tak ada respon yang ia dengar dari Najmi, pria itu pun mulai melangkah pergi. Sementara Najmi semakin dilanda bingung setengah mati. Ingin ia hampiri, tapi gengsi. Toh, tadi dirinya sudah memutuskan. Apalagi yang perlu dibicarakan?

Di bawah, Adibya yang kini sibuk diajak bicara oleh Khaffa pun menoleh. Ia dapati Ghandi yang hanya berjalan sendirian.

“Najmi-nya mana?” tanya Khaffa bingung.

“Iya, Da Ghandi. Aku juga mau ketemu Uni Najmi, nih!” Jafar malah menambahi.

Ghandi menghela napas. “Nggak mau ketemu siapa-siapa dulu katanya.”

Raut wajah Khaffa berubah seratus delapan puluh derajat. Bad mood boleh, tapi harusnya Najmu juga bisa jaga etika. Masa ada orang yang sudah bertamu ke rumah, tuannya malah tak mau menemui? Macam-macam saja tingkah anak gadisnya itu!

“Bentar, ya?” pamit Khaffa seraya bangkit. Pria itu kemudian melangkah untuk menaiki tangga.

“Jangan dimarahin,” gumam Ghandi saat Khaffa melewatinya. Namun Papinya itu hanya diam. Ia tetap melanjutkan langkahnya tanpa henti.

Dalam hati, Ghandi berdecak sebal. Gara-gara Adibya, Najmi akan diomeli oleh Papinya.

“Pak!” Langkah kaki Khaffa yang masih belum sampai pada tengah anak tangga pun terhenti. Ia menoleh saat mendapati Adibya memanggilnya. “Kalau Najmi nggak bisa ketemu saya hari ini, enggak apa-apa. Besok bisa ketemu di kantor kok.” Begitu tutur Adibya yang terdengar jelas oleh kuping Khaffa.

“Udah tau bisa ketemu di kantor, kenapa repot-repot dateng sekarang?” dumal Ghandi dalam hati.

Bukannya langsung mendapatkan jawaban, Adibya malah meliha Khaffa mendengus yang mendengus.

“Kamu lagi ada masalah ‘kan sama anak saya?” Adibya bahkan tiba-tiba merasa ngeri saat melihat perubahan air muka milik pria itu. Nyatanya, Khaffa tahu, bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja. Bagi mereka para orang tua, tentu auranya terasa beda. Sikap santai yang Adibya terima tadi hanyalah supaya pemuda itu merasa lebih nyaman di rumah ini.

Ya walaupun Khaffa memang selalu ramah, kali ini tampaknya ia harus ambil sikap. “Kamu tunggu di sana. Biar saya yang panggilkan Najmi.”

Adibya pun terdiam. Begitupula dengan Anggun dan Jafar. Sementara Ghandi, dia sudah hapal bagaimana Papinya tersebut.

Kemudian, ruang tamu itu hening. Sebenarnya Jafar sangat ingin bertanya pada Adibya perihal sikap Khaffa barusan. Kira-kira, pertanyaannya seperti ini, “Mas, kaget ya? Sama sih, saya juga kaget.” Tapi urung, sebab Ghandi masih berdiri di tempatnya.

“Ghandi,” Adibya memanggil teman lamanya itu. Yang dipanggil hanya melirik enggan. Tatapannya seolah mengatakan, “Ngapain lo manggil-manggil gue?” tapi nyatanya lelaki itu tidak menyahut.

“Bisa kita bicara sebentar?” lanjut Adibya meminta waktu Ghandi. Ia ingin meluruskan kesalahpahaman kisah lama yang terjadi di antara keduanya.

“Ghandi permisi ke teras depan dulu ya, Bun.” Meskipun tidak mengiyakan ajakan Adibya secara lisan, ucapan sulung Desra barusan menandakan bahwa ia menyetujui ajakan tamunya itu.

Anggun hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Calon anak tirinya itu memang welcome sejak awal. Buktinya, Ghandi dan Najmi langsung memanggilnya dengan sebutan Bunda. Sama dengan seperti yang Jafar lakukan selama ini kepadanya.

“Najmi, buka pintu.” Khaffa tak mengetuk. Pria itu hanya langsung memainkan gagangnya sebagai pertanda harus segera dibukakan pintu.

“Sekali lagi Papi panggil tapi kamu nggak keluar, jangan minta uang perbaikan kalau pintumu Papi rusak.” Khaffa kalau sudah marah itu luar biasa seram. Makanya Najmi langsung berdiri saat mendengar suara tajam milik Papinya itu. Acara galaunya ditunda dulu. Daripada harus menghadapi macan ngamuk, biarlah gengsinya ia turunkan sedikit.

“Iya, sebentar…. ” Najmi pun menjawab dengan nada yang memelas.

Baru saja membuka pintu kamarnya, Najmi sudah menerima jeweran di telinga. “Kamu tuh, ya, udah gede masih aja ngambek-ngambek nggak jelas. Umurmu itu udah dua puluh tiga, Najmiiiiii!”

Yang dijewer pun hanya bisa meringis kesakitan. Ya walaupun tidak keras, tapi tetap saja, Najmi selalu berlebihan dalam berekasi. Buktinya, Khaffa langsung melepaskan jewerannya itu.

“Dimana sopan santun kamu?” Najmi bungkam. Kini ia sudah duduk menunduk di tepi ranjang. Sementara Khaffa berdiri berkacak pinggang. “Masa ada tamu yang mau ketemu malah kamu biarin gitu aja? Kamu tuh bukan anak SMP yang baru pubertas, Najmi. Kamu udah dewasa. Harusnya kamu ngerti sama hal-hal yang kayak gini.”

Ya…. seperti biasa, Khaffa pasti akan menceramahinya lagi setelah sekian lama.

“Kamu, kalau punya masalah itu diselesaikan baik-baik. Dibicarakan. Jangan dieeeeemm aja nggak mau tau. Nanti orang salah ngomong sedikit, kamu tersinggung. Sementara, kamu sendiri nggak mau mikirin jalan keluarnya. Kamu mikirin nggak gimana perasaan orang lain yang lagi nungguin kamu di bawah sana?”

Najmi hanya diam menekur seperti ayam. Wajahnya sendu bercampur pasrah. Sudah dapat dipastikan bahwa ia akan dibasuh habis-habisan dengan teguran.

“Sekarang Papi tanya, maumu apa?” Namun yang ditanya seolah tak punya mulut. Diam membisu seperti tak diberi berkah pandai bicara oleh Tuhannya.

“Kalau ditanya itu, jawab.” Najmi bukannya tak mau menjawab. Dirinya sungguh bimbang. Dia sendiri juga tidak tahu dengan keputusannya saat ini. Sudah benar, atau salah? Najmi benar-benar tidak mau kalau dirinya nanti akan menyesal dikemudian hari.

“Sekali lagi Papi tanya, mau kamu apa?” Khaffa menatap serius pada anaknya yang semakin tertunduk. “Harus jelas, Nak. Kamu nggak bisa gantungin perasaan orang lain kayak gini.”

Siapa yang menggantung siapa? Najmi bahkan tidak dapat melihat jelas tujuan Adibya.

“Kalau kamu nggak mau bicarain ini sama Papi, oke. Tapi sekarang Papi minta kamu keluar buat temuin Adibya. Dia butuh bicara sama kamu. Dan kamu harus hargai usahanya itu. Paham?” Najmi pun hanya mengangguk patuh. Dengan gerakan lambat dan super lunglai, gadis itu berdiri. Berjalan terseok-seok dan menyeret paksa langkahnya berusaha mendahului Khaffa.

“Jalan yang bener! Jangan kayak nggak dikasih makan aja cara jalannya.” Pundak yang meresot itu seketika tegap. Sebab Khaffa memberi peringatan diiringi dengan pukulan kecil pada punggung Najmi. Rasanya, Najmi sungguh sedang latihan militer. Khaffa kalau sedang mode serius benar-benar menakutkan. Ghandi saja bahkan tak berani menatap kalau sedang dimarahi perihal motor.

Sesampainya di ruang tamu, gadis itu hanya mendapati Bunda Anggun dan Jafar. Pemuda itu melambaikan tangan penuh semangat empat lima. Memang, semenjak mengenal Najmi, Jafar merasa sedikit ramai. Hidup menjadi anak tunggal selama tujuh belas tahun nyatanya memang benar-benar kesepian. Terlebih tak ada sosok ayah yang mendampingi. Makanya ia sangat senang saat mendapat calon kakak dan ayah tiri yang begitu baik.

“Uni!” sapa Jafar dengan senyum sumringahnya. Najmi pun membalas dengan cengiran yang sedikit dipaksakan. Namun matanya yang menangkap bekas luka dan lebam di beberapa bagian wajah Jafar pun segera berlari kecil demi menghampiri.

“Ih, muka kamu kenapa, Jaf?!” Gadis itu bahkan tanpa sungkan menangkup wajah Jafar. Yang diperhatikan sedemikian pun hanya tertawa. “Biasa, anak laki,” jawabnya sembari menaik turunkan alis.

Najmi yang tidak suka kekerasan pun mencebik dan membuang wajah Jafar dari tangkupannya. “Keren kamu tonjok-tonjokkan?” omel Najmi yang kini berkacak pinggang. Ia tiru persis bagaiamana posisi Khaffa yang tadi memarahinya di kamar. Sementara para orang tua itu saling bertukar cerita. Anggun memberitahu pada Khaffa tentang Adibya dan Ghandi yang sedang berada di teras depan. Lagi bicara, katanya.

“Besok-besok jangan tonjok-tonjokan lagi. Ngerti?!” Kalau perihal menceramahi, Najmi nomor satu. Giliran dirinya punya masalah, malah tidak bercermin diri.

“Marahin aja tuh, Uni, adeknya. Bandel, padahal udah Bunda kasih tau.” Anggun kini turut menimbrung. Ia berbicara dengan nada mengadu pada Najmi Desra.

Jafar pun tertawa. “Menang nggak?” bisik Najmi kemudian padanya. Jafar samakin tergelak karenanya. “Seri.”

“Ah, lemah!” balas Najmi mencebik, masih berbisik. Kekehan mereka pun tak lama terhenti karena suara Khaffa yang menegur Najmi.

“Heh, malah bisik-bisik. Samperin sana ke luar!” ucap Khaffa tak lupa dengan mata yang melotot. “Iya-iya!” sahut Najmi yang kemudian berjalan sedikit menghentak-hentak.

“Yang bagus kalau jalan!” Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, lagi-lagi Najmi hanya menurut. Ia pun berjalan seperti biasa meski mendumal dalam hatinya.

Di luar sana, sayup-sayup Najmi mendengar suara Ghandi dan Adibya yang berbincang cukup sengit.

“Jadi, Puja sama sekali belum ngasih tau kamu yang sebenarnya?” tanya Adibya kemudian. Najmi yang memelankan langkahnya pun semakin menajamkan pendengaran. Tapi jawaban Ghandi tak kunjung terlontar. Sebab, lelaki itu hanya menggeleng lemah. Ia benar-benar tak menyangka bahwa versi cerita yang dia dan Puja punya sangat berbeda dengan penjelasan Adibya barusan.

Jadi, Ghandi harus percaya pada siapa setelah ini? Ia benar-benar sedang berada di posisi serba salah.

Adibya membuang napasnya berat. Tapi setidaknya, bebannya seolah terasa lebih ringan karena sudah meluruskan kesalahpahaman yang membelenggu di antara keduanya. Percaya tak percaya, itu urusan Ghandi. Yang jelas, dirinya sudah berani untuk memberitahu apa yang sebenarnya dulu terjadi.

“Semoga ketidaksukaan kamu sama saya bisa berhenti di sini. Dan kita bisa jadi teman lagi kayak dulu.” Begitu harap Adibya.

Kemudian hening. Ghandi lagi-lagi tak menjawab. “Kamu itu calon kakak ipar saya, Ghandi. Semoga setelah ini kita bisa akur dan saling menerima.”

Sebenarnya Adibya juga tidak terlalu yakin dengan perkataannya. Tapi semoga saja, Najmi benar-benar menjadi wanita pertama dan terakhir untuk ia sahkan dari sebuah jabatan tangan. Sementara, di dekat pintu, Najmi sudah mengepalkan tangannya. Gadis itu menahan buncah rasa bahagia saat Adibya berkata demikian. Tapi lagi-lagi, bahagianya itu hancur karena perbuatannya sendiri. Ia sudah terlanjur berkata ingin menghentikan proses pendeketan mereka.

“Mereka ngomongin apaan sih?” Najmi pun mencoba mengalihkan pikirannya dari kegundahan. Lebih baik dirinya mati penasaran daripada mati dalam keadaan penuh penyesalan.

“NAJMI!” Suara Khaffa yang menggelegar mengagetkan orang seisi rumah. Yang ditegur sampai terlonjak sangkin kagetnya. “Malah nguping lagi!”

Ghandi dan Adibya yang berada di balik dinding pun menoleh ke arah pintu. Posisi Najmi memang tidak akan terlihat oleh mereka karena terhalang oleh jarak pandang dan pintu.

“Semperin buruan!”

“IYA!” Kemudian Najmi benar-benar melangkah keluar. Menampilkan wajah enggannya saat mendapapati Adibya yang langsung tersenyum lembut kepadanya.

“Gue cabut dulu,” pamit Ghandi hendak berdiri. Namun Adibya melarangnya. Ia meminta pria itu untuk menemani pembicaraan mereka. Toh, Ghandi juga berperan banyak dalam ketidakakuran Najmi dan Adibya.

“Kamu di sini aja. Kita selesaikan masalah ini bertiga.” Begitu putus Adibya.

Narasi 18 ; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet