Tak perlu memakan waktu lama untuk membuat mereka sampai ke bagian UGD. Arsaka dan Nuraga yang melangkah dengan sangat terburu-buru itu bahkan tak sempat mempedulikan orang lain yang sedari tadi menatap penasaran ke arah mereka. Rasa khawatir itu tengah membumbung tinggi. Berbagai macam spekulasi tengah tumbuh tanpa bisa dikendali.
Semoga, teman mereka baik-baik saja.
“Lin!” “El!” panggil Arsaka dan Nuraga serempak. Mereka memanggil orang yang berbeda.
Bukan hanya Lino dan Nuel saja yang menoleh, namun juga Agus dan Marbun. Atensi mereka semua kini berpusat pada dua raga yang melangkah gusar menuju satu arah.
“Gimana Irvan?” tanya Arsaka meraih lengan atas Lino untuk ia pegang.
Pria itu pun hanya menggeleng lemah. Rasa bersalahnya masih begitu besar pada sosok Irvan. Mengingat kembali betapa susahnya lelaki itu saat berlari, membuat Lino iba setengah mati. Ia baru tahu kalau temannya itu bisa sampai sebegitu parahnya jikalau kepanasan. Andai saja dia tidak mengajak teman-teman lainnya menjadi relawan, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Namun, Lino hanya menyimpan itu sendirian. Rasa bersalahnya ia pendam untuk dirinya sendiri. Mungkin nanti, setelah Irvan sudah sadarkan diri, ia akan meminta maaf.
Arsaka dan Nuraga hanya bisa menghela napas berat. Lalu, bahu yang biasanya tampak tegap itu, kini terlihat sedikit mengendur. Mereka merasa gagal sebagai teman.
“Sak!” Itu Marbun, yang kehadirannya mungkin belum disadari oleh Arsaka.
Lelaki itu tersentak. Satu tangan besar yang hinggap di bahu kirinya begitu menarik perhatian. “Eh, Bang Marbun?!” kaget Arsaka. Benar saja, ternyata ia baru menyadari kehadiran Si Penguasa Jalanan.
“Bang.” Kemudian, Agus ikut menyapa. Membuat pupil mata Arsaka kian membesar tak menyangka. Astaga, dua orang yang pernah ia temui secara tak sengaja, ternyata menjadi orang yang menolong temannya kala situasi di luar kuasa.
“Agus?!” Dengan Nada sedikit ragu, Arsaka menyebutkan nama lelaki itu. “Kamu Agus, kan?” tanyanya sembari melirik ke arah lantai. Ah, ternyata benar. Sepatu itu menjadi peyakinnya. Pemuda ini adalah orang yang dulu tak sengaja ia perhatikan langkahnya.
“Iya, ini saya, Agus. Yang Bang Saka pernah kasih sepatu.” Agus melirik sepatunya, kemudian menarik tangan kanan Arsaka untuk ia jabat. “Maaf ya, Bang. Waktu itu saya nggak sempat berterimakasih dengan cara yang benar,” sambungnya.
Arsaka pun terkekeh pelan, lalu menepuk pundak Agus pertanda tidak masalah. Setelahnya, mereka pun kini saling berbagi cerita. Dengan bergantian, satu persatu menceritakan deretan kejadian secara rinci. Dinding dan lantai rumah sakit kini menjadi saksi, bahwa mereka tengah saling mendengarkan cerita satu sama lain.
“Gue mau beli minum dulu buat kita.” Saat cerita mereka telah usai, Nuraga pun pamit sejenak. Ia kasihan. Sebab, ia tak sengaja memperhatikan jakun Nuel yang sudah naik turun sejak tadi. Haus sekali, sepertinya. Namun lelaki itu sungkan untuk mengungkapkannya.
“Gue ikutan!” Lihat, tebakan Nuraga begitu tepat. Sahabatnya itu menjadi yang paling semangat kala ia selesai berkata demikian.
Lalu setelahnya, tinggallah Lino bersama Arsaka. Sementara Agus dan Marbun, mereka juga turut pamit pulang. Adzan Maghrib sebentar lagi berkumandang. Arsaka pun tak lupa untuk kembali berterimakasih pada mereka meski sudah berulang kali mengucapkannya sejak tadi.
“Gue takut Irvan kenapa-napa.” Lino membuka suara. Di sini hanya tersisa mereka berdua.
Tak ada maksud lain, Arsa hanya ingin menenangkan Lino dengan cara memijat lutut kiri temannya itu. “Harus yakin, kalau Irvan pasti enggak kenapa-napa.”
Lino menoleh. Yang ia dapat, tentu saja tarikan lembut pada raut wajah pemuda itu. Ia tersenyum begitu menenangkan hati. Sorot matanya yang selalu teduh, seolah-olah memberikan sesuatu yang dapat menguatkan diri. Tatapannya begitu penuh meyakinkan. Tak ada getaran ragu yang bahkan dapat Lino lihat pada setiap kedipan matanya. Arsaka Laksana, dia itu punya aura positif pada setiap siapapun yang ada di sampingnya.
“Daripada kamu risau terus, mending sekarang sholat Maghrib ke mushola. Udah adzan juga nih kayaknya.” Usai melirik jam pemberian Pak Jeriko yang melingkar di tangannya itu, Arsaka memberi saran. Ia tepuk pelan pundak sang kawan untuk meyakinkan.
“Gapapa, kita gantian. Kamu duluan yang sholat, biar tenang. Nanti setelah kamu, baru aku. Kasihan kalau Irvan ditinggal sendirian.” Kini keduanya menatap pintu UGD yang tak kunjung terbuka.
Lalu, mau tak mau, Lino berdiri. Ia turuti apa saran Arsaka barusan pada dirinya.
Sepanjang jalan, yang menjadi fokusnya pun kini hanya ubin putih rumah sakit. Lino menekur, ditemani oleh keresahan hatinya. Kala hari berganti, maka bertambah pula beban tak kasat mata itu. Ia terombang-ambing, terbawa derasnya ujian pendewasaan dari semesta. Lalu, mampukah ia bertahan lebih lama lagi? Apa yang ia harapkan tak pernah sesuai dengan kenyataan. Sebegitu tidak pantasnya kah Lino menggapai rasa lega dan bahagia?
“Kamu harus ingat, Lin. Seberat dan sebanyak apapun malasah yang datang menghadang, sebesar apapun kamu dikecewakan sama penghuni semesta, kamu masih punya Tuhan. Dia adalah satu-satunya Dzat yang akan selalu mendengarkan cerita kamu tanpa ada satupun keluhan dan rasa bosan.”
Dalam tengah perjalan menuju mushola itu, akhirnya ia kembali tersadar. Ditariknya napas itu dalam-dalam, kemudian menghembuskannya secara perlahan.
Ia tentu masih mengingat wejangan Arsaka usai kembali dari Rumah Baca sabtu lalu, saat ia mengasingkan diri usai diusir oleh keluarganya sendiri.
“Gapapa, Lino. Gapapa. Takdir itu nggak jahat. Ini cuma ujian dari Tuhan buat lo.” Ia membatin, meyakinkan diri sembari mengusap dadanya yang terasa sesak. Ucapan Arsaka akan selalu menjadi penyemangat dirinya kala ia merasa sedang tidak baik-baik saja.
“Arsa tau kalau bicara doang itu gampang. Tapi Arsa juga tau, sekarang kamu lagi ngerasa semuanya berjalan sulit dan berat, ‘kan? Nggak apa-apa, tapi kamu juga harus yakin sama diri kamu sendiri, kalau kamu pasti bisa lewatin fase ini. Akan tiba nanti saatnya kamu ngerasa lapang dan lega. Bahkan kamu bisa jadi Lino Cakrawala yang lebih kuat dan tegar.”
“Lino itu hebat! Kamu kuat!”
Lelaki itu menunduk dalam. Meski pada kenyataannya, lega itu tak kunjung ia dapatkan. Setelah berbicara dengan Irvan, diskusi meja kantin, dan surat cinta itu, Lino masih merasa berat. Risau hatinya tak kunjung usai. Ada rasa takut kehilangan yang selalu menghampiri dirinya tanpa alasan. Entah itu tentang kasih sayang orang tua, pendidikan yang ia mintai, atau apapun itu yang tak Lino sadari.
Kini, ditambah lagi dengan kekhawatiran atas kondisi Irvan, membuatnya kian resah setengah mati.
Di lain sisi, Arsaka yang tengah menanti kabar Irvan dari dalam sana pun kini dihampiri oleh dua orang yang mempertanyakan kondisi Irvan. Saat ia tanya balik, katanya mereka adalah orang yang kini dipercayakan untuk menjaga Irvan.
Mba Reni dan Pak Keffa, namanya. Yang satu manajer dari ibunya Irvan, yang satu lagi sekretaris dari ayahnya. Ah, padahal belum satu pun yang sempat mengabari mereka. Tapi insting dan nalar Arsaka langsung dapat mencerna. Ini pasti tugas Aliansi Garuda Melegenda. Utusan Jihan ada dimana-mana.
Dan kini terbukti, bahkan di depan sana, Arsaka dapat melihat, kalau Pak Jeriko tengah berlari demi menyusulnya.
Bukh!
Tidak. Itu bukan pukulan. Melainkan bunyi yang ditimbulkan dari dua raga yang dipersatukan. Jeriko memeluk anaknya begitu erat. Rasa cemas itu benar-benar menghantam dada kala ia mendengar kabar kalau anak-anak itu tengah terlibat dalam masalah serius.
“Astaghfirullah, Nak! Bapak khawatir banget waktu denger kabar kalian digangguin orang.” Jeriko semakin memeluk Arsaka erat. Ia begitu takut membayangkan pemuda itu kembali terbaring lemah tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Sementara itu, Arsaka hanya bisa membalas pelukan ayah angkatnya. Memberikan ketenangan, lalu meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Hanya Irvan yang kondisinya sedang dikhawatirkan.
“Maaf, Pak. Arsa udah bikin Bapak khawatir.” Anak itu tentu tak lupa meminta maaf. Ia benar-benar merasa bersalah kala mengingat betapa gusarnya Jeriko ketika berlari ke arahnya tadi.
Sementara itu, Nuraga yang tengah membawa dua bungkus kresek berisi beberapa botol minuman pun memicing. Netranya menangkap kehadiran seonggok raga yang kini sedang dalam masalah.
Lelaki itu Jeffan. Kakak tiri yang beberapa waktu lalu Alvaro ceritakan pada dirinya seorang.
“Ngapain dia di sini?” batin Nuraga penuh tanda tanya. Langkahnya ia perlambat demi menelisik ke arah mana lelaki itu akan pergi.
“Anjing!” Setelah mengumpat pelan, Nuraga pun dengan cepat menyusul Jeffan dengan langkah seribunya. Membuat Nuel yang sedang menikmati minuman dinginnya pun bertanya-tanya.
“Woi, mau kemana?!” Mau tak mau, Nuel ikut mempercepat langkahnya. Namun gelagat Nuraga yang menyuruhnya untuk menjaga suara pun membuatnya bungkam. Mereka tengah melakukan aksi bak menguntit orang lain.
Dan kemudian, prasangka Nuraga pun benar. Lelaki itu berbelok ke arah yang sudah ia duga. Jeffan menuju ruangan VIP.
Namun, ia kira si brengsek itu ingin mencari keberadaan kakaknya yang sering berada di rumah sakit sebab harus menjaga sang ayah. Tadi malam Rania memang langsung memaki dan memutuskan lelaki itu secara sepihak. Namun tampaknya ia salah. Jeffan malah terus melangkah menuju ruangan yang Nuraga tak tahu tengah dihuni oleh siapa.
“Lo mau jenguk bokap lo?” tanya Nuel sembari menoleh pada pintu yang kini berada di samping kanan. Mereka berhenti tepat di depan ruangan ayah Nuraga.
Kemudian, karena kepalang penasaran dan turut sakit hati atas tindakan buruk lelaki itu pada dua orang sekaligus, Nuraga pun kembali melanjutkan langkahnya. Tak lupa ia langsung menghubungi Arsaka demi mencari informasi di mana keberadaan Alvaro saat ini.
“Sa, Alvaro masih di ICU atau udah dipindahin ke VIP?” tanya Nuraga to the point.
Di lain tempat, Arsaka langsung menoleh pada Jeriko. Lelaki dewasa itu tengah sibuk berbicara dengan wali Irvan dan dokter yang baru saja keluar dari ruangan bertuliskan UGD tersebut.
“Kemarin sih setau Arsa masih di ICU. Tapi sebentar, Arsa tanya ke Pak Jeriko dulu.” Lalu, Arsaka berdiri, mencolek Jeriko meski merasa sedikit tidak sopan karena membuat percakapan itu terpotong.
“Kenapa?” Nuraga dapat mendengar kalau ternyata, Pak Jeriko memang sedang berada di sana.
“Maaf, Pak. Arsa mau tanya sebentar. Alvaro udah dipindahin dari ICU belum?” tanyanya. Jeriko pun mengangguk, “Udah. Bangsal Raflesia, VIP nomor 8. Baru pindah tadi sore. Tadi bapak juga udah dari sana soalnya.”
Lalu, tak perlu menunggu Arsaka mengulang apa yang Jeriko sampaikan, Nuraga dengan lekas berlari menuju ruangan tersebut. Panggilan suara pun bahkan telah terputus sepersekian detik yang lalu.
Ruangan yang disebutkan Jeriko barusan, sama persis dengan ruangan yang dimasuki oleh Jeffan!
BRAK!!!
Pintu tersebut berakhir mengahantam dinding yang ada di belakangnya. Mereka semua sama-sama terkejut. Jeffan yang hendak melayangkan sebuah pisau pada dada Alvaro membuat Nuel otomatis berteriak kencang. Ia langsung berlari keluar meminta bantuan. Sementara, Nuraga dengan berani langsung mendorong tubuh Jeffan agar jatuh dari atas tubuh Alvaro. Lelaki gila itu bahkan dengan tega menduduki raga sang adik tiri yang masih belum sadarkan diri.
Peperangan sengit pun tak dapat dihindari lagi. Nuraga yang hanya modal nekat dan kemampuan bela diri yang lumayan bagus dengan berani melawan Jeffan. Lelaki yang menggunakan senjata tajam itu tengah menggila. Membuat Nuraga harus sebisa mungkin mungkin melindungi dirinya sendiri, juga Alvaro.
“Shh…. ” Nuraga meringis. Kini, lengan baju sekolahnya sobek karena terkena mata pisau yang Jeffan gunakan saat menghindari pukulannya. Sementara, Jeffan yang sudah ambruk di lantai pun kembali berdiri. Kini, pembaringan Alvaro menjadi benda yang menghalangi mereka. Namun Nuraga tetap jaga-jaga. Mata bulan sabitnya yang tampak lucu bahkan telah berubah menjadi kilat penuh amarah. Ia menatap dengan mata elang yang begitu tajam. Jeffan masih memegang pisaunya.
“BRENGSEK!!!” Jeffan berteriak marah. Ia mainkan pisaunya di udara sebagai bentuk peringatan pada Nuraga bahwa dirinya sedang dalam keadaan yang tidak menguntungkan.
“ANJING, LO JANGAN GILA!!!” Nuraga dengan reflek menahan pergerekan tangan Jeffan yang kini kembali mengarahkan pisaunya pada tubuh Alvaro.
Sialan! Kekuatan si brengsek itu sangat kuat. Nuraga sampai susah payah merebut pisau tersebut agar tak lagi melukai siapapun.
“BAJINGAN!!!” Nuraga mengumpat tak terima kala dirinya lah yang kembali terluka. Jika tadi lengan kanan, maka kini telapak kiri. Tapi setidaknya, pisau itu sudah berada jauh dari mereka. Benda tersebut erlempar hingga ke sudut ruangan dekat sofa. Nuraga berhasil menyelamatkan nyawanya dan temannya.
Lalu, wajah Jeffan langsung berubah kian keras. Iblis tampaknya telah menguasai seluruh tubuh lelaki itu. Bak kesurupan, ia bahkan menarik jarum infus yang tertancap di tangan kiri Alvaro. Muncrat darah pun terlihat dari tangan lelaki yang tengah terbaring lemah tersebut.
Nuraga menatap nyalang dengan makian yang tak mungkin untuk ia lewati. Si iblis otu bahkan ternyata sudah melakukan hal lain sebelum ia memasuki ruangan ini. Sebab, saat Nuraga tak sengaja menunduk, ia baru menyadari bahwa masker oksigen yang mungkin sengaja dipasangkan pada Alvaro demi membantu pernapasan malah tercampak di dekat kakinya.
Jeffan sungguh begitu brutal. Dia menggila bak anjing gila!
“NURAGA?!!” Lalu, atensi Nuraga beralih pada pintu. Begitupula dengan Jeffan.
Setelah bertarung cukup sengit mempertahankan nyawa, akhirnya Nuel datang membawa bala bantuan. Ya walaupun sedikit terlambat, tapi tak masalah. Nuraga jadi cukup lega saat melihat temannya itu membawa rombongan petugas keamanan. Bahkan di antaranya ada dua wajah yang sangat ia kenali.
“ANAK SETAN!!!” Kini Nuel yang naik pitam. Dengan tenaga seadanya, lelaki itu menerjang tubuh Jeffan untuk ia tendang. Sementara satpam dan beberapa perawat langsung ikut menengahi kekacauan ini. Mereka bekerja sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Sungguh, Nuel sangat tak terima saat melihat Nuraga terluka. Darah yang cukup banyak berceceran di sekitar ranjang itu membuat rasa takutnya berubah menjadi amarah.
Setelahnya, tak butuh waktu lama untuk meringkus orang gila itu. Dokter bahkan sudah membawa Alvaro kembali ke ruang ICU. Pula Nuraga yang sudah dibawa ke UGD untuk diobati. Luka sayat yang ia terima itu harus dijahit! Sementara, Jeffan telah diseret paksa oleh Tatang dan Yudhistira. Tak lupa, sebelum itu mereka sudah menghadiahi hantaman yang begitu kuat pada Jeffan sampai membuat setan yang satu itu lemas bukan main tanpa ada pemberontakan.
Kemudian, dengan napas yang begitu menderu hebat, Nuel menelepon Arsaka. Lelaki itu laris sekali namanya hari ini.
Dengan tangis yang tak lagi dapat ia tahan, Nuel bahkan sampai mengumpat berulang kali. Rasa takutnya telah kembali, dengan sangat menggebu-gebu. Baru kali ini rasanya dia melihat percobaan pembunuhan secara langsung. Terlebih, hal itu terjadi kepada temannya. Nuel gemetar bukan main. Namun, panggilannya nalah tak kunjung diangkat. Membuat Nuel semakin risau tidak karuan. Entah kemana lelaki itu, yang jelas kini Nuel tengah mengumpat tak ada habisnya.
Di lain tempat, Arsaka sudah bergantian dengan Lino. Kini, gilirannya dan Pak Jeriko yang melakukan kewajiban. Mungkin, ibadahnya tadi terkesan buru-buru. Sebab, ponsel yang terletak di saku celana Arsaka tak kunjung berhenti bergetar.
Usai mengusap wajahnya terburu, Arsaka pun meraih ponselnya. Nama Immanuel terpampang dengan amat jelas.
7 Panggilan Tak Terjawab
Hati Arsaka mendadak risau.
“ANJING, SA! KENAPA BARU LO ANGKAT?!!!” Nuel tak dapat lagi menahan emosi. Ia kelepasan membentak Arsaka yang tidak tahu apa-apa.
“Astaghfirullah, kenapa Nuel?” sahut Arsaka terkejut.
“INI TEMEN LO HAMPIR MATI, ANJING!!!” Jeriko saja sampai melirik saat suara itu terdengar oleh dirinya. Padahal, Arsak tidak menghidupkan speaker hp.
Lalu, Arsaka yang tak mau menodai rumah suci ini dengan perkataan yang Nuel lontarkan, ia segera izin keluar terlebih dahulu pada Jeriko.
“Maksud kamu apa?” Arsaka berjalan menuju teras. Sembari memakai sepatunya, ia tetap mendengarkan amarah Nuel dari seberang sana.
Jantungnya seolah berhenti berdetak. Ada hantaman yang begitu kuat kala amarah Nuel berubah menjadi tangisan kepanikan. Terlebih, dengan rincian kejadian yang barusan ia dengarkan dengan seksama. Arsaka benar-benar susah bernapas dibuatnya.
Tak hanya sampai di situ. Kini, atensi Arsaka mengarah pada sosok Jeriko yang tampaknya baru memasukkan ponsel dalam saku. Lelaki itu berlari dengan raut cemas di wajahnya.
“Ikut Bapak. Kondisinya kacau!” ucap Jeriko lekas menyorong sandal. Lalu, tanpa banyak bertanya apa lagi, mereka berdua berlari pontang-panting.
“Pak, Bapak cek ICU, Arsa ke UGD, ya? Nuel kayaknya butuh Arsa di sana!” di persimpangan koridor rumah sakit, Arsaka memberikan penawaran. Yang mau tak mau, Jeriko harus menuruti. Keadaannya benar-benar kacau saat ini.
Kemudian, mereka pun berpisah ke arah yang berbeda. Jeriko menuju tempat Alvaro, dan Arsaka menyusul Nuel yang menemani Nuraga.
Langkah mereka berlari cukup kencang. Arsaka begitu khawatir dengan keadaan teman-temannya. Begitupula dengan Jeriko yang sungguh mengkhawatirkan mereka. Terlebih Alvaro. Rasanya, baru saja anak itu dipindahkan karena kondisinya sudah mulai membaik. Namun kini keadaannya malah kembali seperti semula. Sesuai apa yang Jihan kabarkan tadi padanya, Alvaro kembali kritis. Sedang Tristan kini tengah sibuk menahan pergerakan Jihan agar tidak terburu dalam bertindak. Sebab, semua harus berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan dengan matang.
Sedikit lagi. Jihan harus dapat menahan amarah besarnya sampai besok. Untuk hari ini, biar mereka yang akan menangani pemuda dus puluh lima tahun tersebut sampai mampus.
“Akh!” ringis seorang gadis yang tak sengaja punggungnya menabrak tubuh Arsaka. “Maaf, Mas.” sambungnya kemudian.
Pemuda itu hanya mengangguk sembari menjauhkan sepasang tangannya dari tubuh sang gadis. Arsaka menahan punggung gadis itu tepat waktu hingga tak jadi telentang menghantam lantai.
Ya, di pembelokan bangsal menuju UGD yang sepi ini, tanpa disangka, Arsaka melihat sisi lain dari seorang Senan Dika. Dia yang sangat menyangi ibu dan pacarnya itu, ternyata bisa kasar pada perempuan lain.
“Lo?!” kaget Senan. Oknum yang sedang berdebat dengan Tiara tersebut menatap tak percaya.
“Kamu kenapa dorong-dorong perempuan, Senan?!” Setelah terkejut dengan kehadiran Arsaka yang sangat tiba-tiba, nyatanya belum cukup sampai di sana. Sebab, Senan juga mendapati Arsaka yang menatapnya sedikit tidak suka. Sekian lama mengenal, baru kali ini pula ia mendapati nada bicara lelaki itu meninggi.
Padahal, Senan tidak tahu saja dengan apa yang sedang Arsaka hadapi saat ini sangat-sangat emosional. Selain dirinya memang tidak suka melihat perempuan dikasari, dia juga tengah terburu. Waktunya jadi tersita hanya karena masalah ini.
“Jangan coret harga dirimu, Senan. Kamu itu laki-laki.” Lalu tanpa aba-aba, setelah menatap tajam dan berkata demikian, Arsaka berlari meninggalkan mereka. Membuat Senan menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan lelaki itu?
Lalu, karena sudah merasa tersentil dengan ucapan Arsaka barusan, Senan hanya bisa mengerang kesal pada Tiara. Gadis itu benar-benar menguras sabarnya beberapa waktu ini.
“Hari ini lo bisa lolos. Tapi enggak dengan besok dan seterusnya!” sarkas Senan sembari mendorong keras jidat Tiara sampai kepala gadis itu terdongak kencang.
Lalu senyap. Yang tersisa hanya bunyi langkah kaki Senan yang sudah melangkah jauh. Sementara di sini, Tiara hanya bisa menahan tangisnya. Ia sungguh tidak pernah bermaksud untuk membuat Windi agar selalu membela dan berpihak kepadanya. Tiara sungguh tidak masalah jikalau Senan akan selalu memakinya secara berkesinambungan. Namun tadi, kakak tirinya itu sudah kelewatan. Mengatakan bahwa Tiara dan keluarga brengseknya itu adalah benalu, serta memaki bahwa Tiara merupakan anak haram yang terlahir dari seorang jalang dan lelaki tukang selingkuh. Menurut Senan, orang seperti mereka sangat tidak pantas untuk berpijak di dunia.
Alhasil, membuat Windi yang tak sengaja mendengar perkataan anaknya itu pun menjadi naik pitam sampai tega menampar Senan di hadapannya.
Putra sematawayang itu, pasti terluka. Tiara benar-benar merasa bersalah saat melihat sorot kecewa terpancar jelas di mata kakak tirinya itu.
“Mas Senan, maaf…. ” batin gadis itu kemudian. Setetes air mata pun bahkan sudah lolos tanpa sempat untuk ia tahan.
Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa
@ ebbyyliebe