CW // Mention Of Kiss
Desing pada mobil sebenarnya telah terdengar sejak bermenit-menit yang lalu. Najmi tahu, suaminya telah sampai. Perempuan tersebut bahkan sedari tadi sudah duduk di ruang tamu, menunggu kepala keluarga tersebut pulang.
Dua bulan ini, Adibya memang benar-benar sibuk. Profesinya sebagai pengacara muda yang sedang naik nama, kerap membuat Najmi jengkel sendiri. Terlebih akan perkara yang tengah ia hadapi. Pendampingan demi mengakkan keadilan tersebut benar-benar memakan waktu.
Bukan, bukan karena Najmi tak mendukung jalan kesuksesan dan perjuangan suaminya. Dia hanya jengkel terhadap sikap Adibya yang terlalu gila kerja. Belum lagi dengan rencana S3 yang ingin lelaki tersebut jalani. Kampus tempatnya mengajar menuntut para dosen berpotensi agar lekas menyabet gelar tersebut demi meningkatkan akreditasi. Jurnal-jurnal yang setidaknya wajib diterbitkan para dosen sebanyak minimal 2 penelitian setiap bulannya, tak urung membuat Najmi jadi depresi sendiri. Kegiatan Adibya benar-benar padat. Dan dia tidak suka melihat karakter suaminya yang demikian. Sebab Adibya Lofarsa adalah pribadi yang memang tak pernah bisa diam.
Maka ketika Najmi melangkah ringan menuju pintu dan membukanya, terlihatlah lah sosok sang suami yang tersenyum lembut. Khas sekali tarikan tersebut. Sampai rasanya Najmi ingin menggigit pipi Adibya tiap kali ia mengembangkan senyum terhadapnya.
“Ngapain senyam-senyum?” Sembari meraih tangan sang suami untuk disalami, Najmi pun pura-pura menggerutu. Ia bahkan merebut pelan tas kerja dan kantung plastik berisikan bakwan letoy beserta jagung bakar dari tangan kiri Adibya untuk ia bawa.
Yang mendengar gerutuan masih tersenyum. Bahkan kian mengembang sebab melihat istrinya tampak merajuk. Lantas ketika ia melangkah maju demi menginjak lantai ruang tamu, lekas Adibya persembahkan kecupan kilat pada ujung bibir milik Najmi.
Yang merasa kecolongan tentu melotot dan protes. “Mas Adib, ih!” Najmi menutup bibirnya reflek. Semburat kemerahan pada wajah dan ujung telinga bahkan tetap setia untuk muncul meski mereka sudah menikah selama 6 tahun lamanya.
“Dasar mesum!” Demi menutupi sikap malu-malunya, Najmi berbalik dan berjalan menghentak menuju dapur. Ia harus mewadahkan makanannya. Kalau untuk menyiapkan makan malam sang suami, ia tak perlu repot-repot. Lelaki itu sejak dulu tidak suka makan malam dengan yang berat-berat. Ia hanya akan mengonsumsi dua buah apel dan satu buah pisang sebagai gantinya.
Adibya yang ditinggalkan hanya bisa terkekeh, lalu mengunci pintu. Dia yang biasanya setiap pulang kerja akan mencium kening Najmi, malah iseng mengecup ujung bibir sang istri. Kesempatan, mumpung Abbas sudah tidur, pikirnya. Sebab kalau anaknya tersebut belum terpejam dan mendengkur, pasti sudah mengekori Najmi ke mana pun sang Mama berjalan.
“Kok saya dibilang mesum, sih? Kan, saya suami kamu?” Adibya bertanya sembari menarik kursi di meja makan. Ia duduk tepat di samping kanan Najmi yang sudah sibuk menggerogoti jagung bakar.
Perempuan itu masih ingin memilih cuek. Pokoknya Adibya harus jera! Suaminya itu tidak boleh terlalu sering lembur. Rasakan saja akibatnya jikalau nanti diulangi lagi.
“Kalau udah jadi suami dibilang mesum, jadi saya nyebut kamu apa dong?”
Kunyahan lantas memelan drastis. Najmi tolehkan wajahnya pada sosok Adibya yang lagi-lagi bertanya. Namun sayang, ia tak tahu arah pembicaraan lelaki ini hendak ke mana.
“Padahal dulu sebelum nikah, yang nyosor bibir saya duluan siapa? Kamu, kan?” Senyum jahil beserta alis yang dinaik-turunkan lantas membuat Najmi kian jengkel. Ternyata Adibya tengah mengajaknya bernostalgia pada momen 9 tahun lalu. Momen ketika dirinya yang bingung cara meminta maaf karena terlampau merasa bersalah pada Adibya, jadilah kecupan kilat yang ia sembahkan. Sampai-sampai, antara yang mencium dan dicium mendapatkan ganjarannya masing-masing.
Jika saat itu Najmi dirawit oleh Papinya karena berani mengecup bibir Adibya di depan keluarga, maka sang pemuda langsung terserang demam tinggi. Dia yang kala itu tak pernah membiarkan diri ‘disentuh’ oleh para kaum hawa tentu kaget bukan main. Dua hari ia nyaris tidak bisa apa-apa selain berbaring di atas ranjang miliknya.
“Mau kamu bahas sampai kapan?” tanya Najmi dengan raut frustasi. “Sampai tua?” sambungnya yang malah mendapati anggukkan Adibya.
Ibu jari dan telunjuk dari sosok yang lebih tua 3 tahun dari Najmi tersebut bahkan dengan berani mengapit dagu sang istri sebab gemas.
Najmi mendecak, lalu melepaskan tangan Adibya dari dagunya. “Udahlah, kamu mandi aja sana. Terus tidur.”
“Kok tidur, sih?”
“Ya terus apa? Mau main yoyo bareng anakmu?” balas Najmi sewot. Ia bahkan sudah melotot demi menunjukkan kalau dirinya sedang sensi.
“Abbas udah bobo. Lagian kamu pasti capek, kan? Ya udah, mandi sana. Habis itu langsung bobo. Aku juga udah mulai ngantuk.” Meski berkata demikian, nyatanya Najmi tetap menggigit jagung bakarnya hingga tandas. Setelah ini baru menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan cuci muka.
“Kalau mau ‘main’ sama kamu, boleh nggak? Mumpung Abbas udah bobo.” Adibya memang candu sekali menggoda istrinya ini. Terlebih saat mendapat lirikan tajam yang Najmi berikan, membuat lelaki itu mengurai tawa.
Sial! Tawanya saja masih terdengar tampan. Najmi selalu berhasil dibuat merinding sebadan-badan. Terlebih dengan kondisi dibalut kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, membuat debaran di dada kian menggila. Sebab Najmi tidak pernah berbohong bahwa Adibya sungguh punya pesona yang luar biasa.
“Nggak boleh! Jatah malam ini ditiadakan karena aku lagi ngambek sama kamu!” Namun mau bagaimanpun, ia harus tetap kukuh demi memberi sebuah pelajaran pada Adibya. Lantas kemudian ia raih beberapa lembar tisu untuk mengelap bibirnya dari sentuhan mentega dan minyak bakwan letoy.
Namun bukannya lekas bergerak ke arah kamar, Adibya malah merenggangkan dasinya di sini untuk dilepaskan sendiri. Belum lagi dengan kancing kemeja yang dilepas satu persatu hingga habis, membuat Najmi seolah menonton adegan erotis.
“Mau ngapain kamu?!” Najmi tentu kian panik saat Adibya tiba-tiba berdiri dan membuka kemeja putihnya. Bahkan badan berkulit sawo matang dengan dada bidang yang biasa dibalut kaus putih atau singlet itu kini terpampang jelas tanpa mereka.
Namun Najmi cukup maklum, karena hari ini sang suami memang menggunakan jas sebagai luaran. Jadi tak terlalu masalah baginya jikalau Adibya tak menggunakan lapisan kaus dalam.
Tapi yang jadi masalah Najmi, jalan pikiran Adibya saat ini yang tak ia pahami. Pemandangan sang suami saat ini memang benar-benar terlihat begitu panas di matanya. “Nggak usah macem-macem, ya, Mas! Kalau kamu mau mah, ya cukup di kamar aja, jangan di ruang makan!”
Najmi beringsut mundur dan memberi gestur siap melarikan diri jika diterkam tiba-tiba oleh Adibya. Namun yang diperingati malah menyemburkan tawa. “Sekarang saya tau siapa yang lebih mesum,” ucapnya sembari menyampirkan kemeja putih di pundak kiri.
Najmi yang mendapat respon demikian pun melototkan mata. Rautnya yang terpampang seolah sedang kobarkan aura permusuhan.
“Emang siapa sih yang mau ‘mencintai’ kamu di sini? Orang saya cuma gerah.” Lantas merasa puas telah menggoda sang istri, Adibya lekas berjalan menuju kamar. Rumah satu lantai namun cukup lebar dan luas tersebut sudah mereka huni selama menikah.
Di setiap langkahnya, Adibya tentu masih dapat mendengar gerutuan dan omelan Najmi yang bermacam ragam.
Ah, lelaki yang bertelanjang dada itu jadi mengingat momen saat Najmi juga pernah seperti ini. Posisinya benar-benar terbalik. Dahulu saat awal-awal menikah, Najmi lebih parah. Perempuan itu bahkan pernah lupa kalau dirinya sudah menikah dengan Adibya.
Alhasil, ia yang terbiasa sibuk mengembangkan bisnisnya tak akan pulang jika tak diingatkan oleh sang manajer. Jadilah, usai terburu-buru pulang kala itu, Najmi yang merasa bersalah lantas menggoda Adibya dengan berbagai macam cara agar lekas memaafkan dirinya. Dan yang terjadi beberapa tahun lalu itu, persis sekali seperti momen hari ini.
Adibya tak henti tersenyum dibuatnya.
Das Sein, by ebbyyliebe