Ranting Pohon

rofenaa
4 min readMar 9, 2022

Pada lengangnya malam di pelataran rumah sakit, Arsaka menjadi saksi bahwa pada akhirnya, bulir-bulir kecewa menghiasi raut sendu Alvaro. Melengkapi kisahnya di hari yang jahat, penuh duka pula derita. Hingga gemerlapnya cahaya dalam ruangan ini tak lagi mampu berfungsi menjadi sebuah penerang. Gelap gulita sudah pandangannya. Dengan dada kembang kempis menahan sesak, lebam pada wajah pun turut hilang rasa. Pedih tak lagi ada. Semua seolah berpindah hanya ke satu titik. Yakni hatinya.

Tuhan, dunia Alvaro telah hancur. Tekad yang sudah ia bangun sendirian, pun, berkahir dirubuhkan. Apa dirinya memang tak memiliki hak dan kesempatan barang sedetik pun untuk merasa lapang? Alvaro tidak minta bahagia, Tuhan. Dia hanya berani meminta untuk sembuhkan saja ibunya. Tapi kenapa... Kenapa Kau malah sembuhkan dia dengan cara yang berbeda? Bolehkan kini Alvaro beritahu kalau dirinya kecewa sebagai seorang Hamba?

Cengkraman pada ponsel tersebut kian mengeras. Diikuti oleh cabutan jarum infus yang Alvaro tarik khas seorang amatir. Bahkan tanpa berpikir bahwa raganya masih lemah, Alvaro pun berlari dengan tertatih menuju ruangan tempat ibunya berada.

Langkah pemuda itu tak dapat Arsaka halangi. Pula ayunan kaki Alvaro yang tampak tak gentar sama sekali. Ia terus maju meski kondisinya sendiri sedang tidak baik-baik saja. Melesat menyusuri lorong gedung berbau obat-obatan, menaiki elevator yang sepi, derapnya pun turut diiringi oleh sosok yang setia menemani tanpa henti.

Terseok-seok berlari tanpa alas kaki, akhirnya ruangan yang akan dipenuhi dengan bulir kecewa itu pun kini telah berada di depan matanya. Dengan serak dan sesak, Alvaro panggil sosok yang katanya sudah tak lagi ada. Tak ia pedulikan sosok ramai berpakaian formal yang berada di sekitar ruangan sang Mama. Mungkin mereka adalah orang suruhan Fadel, pikirnya begitu.

“Mama!” Lelaki itu menyentak gagang pintu. Dibukanya dengan amat tergesa. Sementara Arsaka, langkahnya mendadak dihentikan oleh orang-orang berpakaian rapi tersebut.

“Tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruangan ini kecuali Alvaro Marfellio.” Begitulah perintah mutlak yang mereka terima sore tadi.

“Tapi Pak, kenapa saya nggak boleh masuk? Saya cuma mau nemenin temen saya.” Begitu protes Arsaka tak terima. Ia bingung harus apa kali ini. Hatinya turut tercabik-cabik saat tadi melihat air mata Alvaro meluruh tanpa ampun. Baru kali ini ia melihat pemuda tersebut berada pada titik terapuh.

“Kamu duduk saja di sana. Tunggu sampai temanmu keluar,” jawab seorang lelaki matang yang menahan pergerakan Arsaka.

“Tapi—” ucapnya terpotong. Arsaka terbungkam dengan sorotan tajam dari belasan orang yang berpakaian formal. Mereka berjaga di depan ruangan VVIP tersebut.

Mau tak mau, dengan pasrah Arsaka pun mendudukkan bokongnya pada bangku yang telah disediakan rumah sakit sebagai salah satu fasilitas mereka di sini. Jarinya kemudian menari-nari pada layar ponsel. Berbagi pesan dengan sosok ayah angkatnya demi mempertanyakan penderitaan ini. Namun semakin mengulik dan berbalas pesan, rahasia besar yang hampir saja terlewati oleh Arsaka pun akhirnya lelaki itu sadari dan ketahui.

Kepalanya mendadak pening. Jawabannya masih mengambang. Opsi yang diberikan terlalu umum dan buram. Apa benar dugaannya kali ini? Pak Jeriko juga bukan tipe manusia yang akan mengatakannya secara gamblang. Berbagai macam spekulasi pun mendadak tumbuh liar dalam benak Arsaka. Pikirannya bercabang layaknya ranting pada pepohonan. Instingnya pun ia pertajam bak tengah mengasah mata pisau. Kalau saja dugaannya benar, maka mungkin ini adalah suatu kebercandaan terbesar yang pernah ada dalam hidup seorang Arsaka Laksana.

“Arsaka,” panggil seseorang. Suaranya tak lagi asing di telinga lelaki itu.

Mata nan fokus menatap pada pintu yang tertutup rapat pun teralihkan pada sosok yang sudah berdiri di sampingnya. Netra mereka bertemu, lalu saling beradu tatap.

“Ikut saya.” Tak ada bantahan. Sesuai dengan instruksi Pak Jeriko pada pesan sebelumnya, Arsaka pun berdiri. Ia ikuti langkah lebar Pak Tristan yang entah akan membawanya kemana.

Arsaka tak banyak tanya. Tapi sesekali masih ia tolehkan wajahnya ke belakang. Berharap bahwa Alvaro segera keluar dan mengatakan bahwa dirinya sudah tak lagi kuat. Arsaka tak suka melihat lelaki yang sudah ia anggap sebagai teman dekat itu masih saja berpura-pura tegar. Padahal dirinya adalah sosok yang rapuh. Sosok yang mudah digoyahkan oleh alam raya. Sosok yang mudah diruntuhkan oleh semesta dan isinya. Alvaro Marfellio, dia hanya manusia biasa yang butuh teman untuk berbagi luka dan derita.

“Belum waktunya untuk kamu tau, Nak.” Tristan membatin. Langkah lebarnya nan tampak mempesona itu masih diikuti oleh derap keraguan milik Arsaka. Hatinya masih risau. Ia tak tega meninggalkan Alvaro sendirian di sana.

“Pak.” Lengan Tristan ditahan oleh Arsaka. “Sebenarnya ada apa?” tanya pemuda tersebut. Ia kepalang penasaran.

Namun Tristan tidak menjawab. Dirinya malah ditarik paksa hingga memasuki elevator untuk turun ke basemen rumah sakit. Kemudian, tiga menit berselang, mobil mereka pun melesat meninggalkan pelataran rumah sakit.

“Pak, kita mau kemana?” Arsaka bertanya cemas. Sedari tadi satu pun pertanyaan miliknya tak dijawab oleh Tristan. Perjaka tua itu masih saja membisukan diri.

Sementara itu, pada jalur yang berlawanan, di bawah basahnya langit kelam, mesin dengan empat roda mereka berpapasan. Menimbulkan keheranan dan berbagai macam pertanyaan.

“Liat apaan?” tanya Lino pada Nuel yang mendadak menoleh panjang pada arah kaca jendela mobil. Bahkan badannya sedikit ikut memutar untuk memastikan kembali siapa yang dirinya lihat.

“Mobil siapa sih? Bokap lo?” lanjut Lino bertanya.

Nuel menggaruk kepalanya bingung. Kemudian menggeleng acak. “Bukan,” jawabnya dengan harapan bahwa ini adalah jawaban paling tepat. “Bukan mobil siapa-siapa,” lanjut Nuel kembali meluruskan pandangannya ke arah depan. Sebentar lagi mereka akan memasuki lingkungan rumah sakit.

“Lo mau kemana sama Pak Tristan?”

Aliansi Garuda Melegenda
Karya Rofenaa

©ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet