Realisasi ; Sudikah Engkau?

rofenaa
12 min readJun 29, 2022

--

“Which one do you prefer?” Adalah pertanyaan yang membuat telinga Ghandi menolak dengar. Lelaki yang seminggu lalu mogok bicara malah mendadak menjadi seorang ahli yang berpendapat terkait pakaian mana yang cocok dikenakan oleh Najmi. Karena sejujurnya, ia sudah bosan meladeni sang adik yang sibuk memilih baju untuk memenuhi undangan calon kakak ipar, lagi.

Puan dengan rambut pendek yang dijepit asal itu tengah mengobrak-abrik lemari pakaian. Gerak-geriknya bak seorang pemburu thrift yang lincah ke sana kemari saat mendatangi pembukaan berbal-bal kain. Padahal, Ghandi sudah bilang, apapun yang Najmi kenakan, pasti akan terlihat cantik. Namun gadis itu tak mau mendengar. Menurutnya, Ghandi hanya membual karena ingin kegiatan ini lekas usai. Makanya ia berkata demikian. Padahal si sulung berkata jujur.

Waktu bergulir. Ghandi hanya bisa bergolek ria di atas ranjang milik Najmi sembari memainkan gawai yang ia genggam. Bunyinya berisik. Suara tembakkan yang diiringi beberapa kali decakan sebal pun terdengar di ruangan tersebut. Lelaki itu bermain game online, seperti biasa. Sesekali, Ghandi menyahuti Najmi yang mengoceh sepanjang merapikan baju-bajunya kembali.

“JAFAARRR!!! KE SINI BENTAR DOOONG….” Gelombang bunyi yang bermuara dari derasnya Najmi bersorak itu berhasil mengisi ketenangan rumah. Dia sudah muak dengan eksistensi Ghandi yang rasanya tidak berguna di dalam kamar ini.

“Najmi!!!” tegur Si Sulung pada adiknya. Atensi lelaki tersebut ditaruh penuh pada sosok Najmi. “Lo kira ini lagi di rimba, hah?!” Matanya melotot tanpa lagi mempedulikan permainan pada gawainya.

“Lah, emangnya enggak, ya? Kan, lo rajanya.” Gadis itu menjawab, kemudian melengos tanpa mempedulikan lagi gerutuan Ghandi. “Dasar sinting! Lo kira gue raja apaan?!” sahut si sulung, lagi.

“Raja Beruk!” jawab sang gadis meledek, kemudian menjulurkan lidah sembari berbalik badan sepersekian detik setelahnya.

Dan bisa ditebak apa yang terjadi. Bahwa, hantaman guling itu pun Ghandi layangkan pada punggung Najmi dengan telak. Membuat sang gadis memejam erat sembari menipiskan bibirnya menahan ledakan amarah.

“ANJI— ” “Najmi!!!”

“…ng?!”

Umpatan yang ingin si perempuan lontarkan dengan lantang itu menciut. Sebab, atensinya teralihkan dengan suara pintu yang dibuka secara tidak santai. Pula tegurandengan penuh nada mengintimidasi itu lebih menambah keterdiaman kedua manusia yang hendak melangsungkan perang dunia kelima.

“Di bawah tuh lagi ada tamu, tau nggak?!” omelnya terdengar serius. Giginya pun rapat saat berucap dengan mata yang membulat besar. Siapa lagi, kalau bukan tuan besar mereka, Khaffa Desra.

Najmi bungkam, Ghandi pun memilih diam. Dalam hatinya, ia bersorak penuh ledekan pada sang adik yang habis ini pasti akan dimarahi oleh sang Papi.

“Dan kamu mau tau siapa tamu yang datang itu?” lanjut Khaffa tanpa dijawab oleh sang anak. Sebab, si gadis hanya memberikan gestur mengerutkan dahi. Tak tahu dan tak mau menebak siapa yang datang pada jam 7 malam begini.

“Adibya. Dia datang sama keluarganya.”

“HAH?! PAPI SERIUSAN?!”

Khaffa berjalan gusar ke arah Najmi dengan pelototannya yang kian melebar. Kini, ia bungkan mulut sang anak yang terlalu besar dalam bersuara. “Bisa biasa aja nggak sih ngomongnya?!” geram Khaffa, kemudian mencubit kedua pipi sang anak geram.

“Ya, tapi, mereka mau ngapain ke sini malem-malem? Mana nggak bilang ke aku dulu lagi,” sahut Najmi kala mulutnya telah lepas dari bekapan sang Papi.

“Kamu yang punya calon, kok malah tanya Papi, sih?!” jawab Khaffa sekenanya. “Udah deh, sekarang kamu mending ke bawah. Yang rapi, bajunya diganti. Jangan dasteran gini.”

Ghandi yang memperhatikan Najmi diomeli oleh Papi mereka pun hanya menertawakan sang adik dalam diam. Sebab, dia tak mau malah ikut disemprot karena aksi sekonyong-konyongnya meledek Najmi demikian. Pula air muka Najmi yang berubah menjadi sedikit kalut bercampur bingung itu pun membulatkan keputusan untuk undur diri dalam melontarkan ledekan.

Tak berselang lama, usai Khaffa telah keluar dari kamar, Ghandi pun turut mengikuti langkah Papinya itu. Najmi harus segera berganti baju.

“Kamu juga! Ganti celana sana! Masa ada tamu penting di acara kayak gini malah pake celana kolor!” Pada akhirnya, Ghandi ikutan disemprot. Padahal, celana kolor yang dimaksud itu adalah celana pendek berbahan dasar katun yang terbilang sopan. Motifnya pun tidak macam-macam. Warnanya hitam polos bermerek Puma.

Namun karena tidak ingin menimbulkan kerunyaman, Ghandi pun menuruti dan masuk ke kamarnya demi mengganti celana dengan yang lebih panjang dan lebih pantas.

Suasana di malam ini membuat Najmi gugup setengah mampus. Detak jantungnya semakin tidak normal kala mendapati Adibya yang sungguhan datang bersama keluarganya. Sesuai dengan apa yang ia tangkap dengan mata telanjangnya, lelaki itu datang bersama Mba Arsyi beserta suami. Pun, yang tak mungkin untuk tidak ia kenali, Bapak Aswin yang terhormat. Pria dewasa itu duduk tegap di samping anak bujang bungsunya sembari berbincang kecil dengan Khaffa dan Anggun.

Hadirnya mereka di sini, sungguh, Najmi sama sekali tidak ikut berperan di dalam rencananya. Ia juga tidak tahu apapun tentang maksud kedatangan Adibya pada malam ini yang terkesan mendadak. Pula beberapa bingkisan besar yang di bawa lelaki itu, membuat Najmi semakin menarik kesimpulan bahwa kedatangan keluarga mereka kali ini bukanlah sekedar pertemuan biasa. Sebab, Adibya juga tak menjawab secara jelas atas pertanyaannya yang tadi ia ajukan melalui pesan singkat.

Padahal, Najmi saja yang tampaknya sedang benar-benar lupa. Dia lah manusia yang menjadi alasan utama mengapa lelaki itu datang ke mari meski Najmi merasa tak pernah diberitahu terlebih dahulu.

Sok, Dib. Disampaikan. Kayaknya Najmi juga udah nggak sabar sama maksud dan tujuan kita kenapa datang hari ini.” Aswin pun bersuara diiringi tawa.Tuturnya itu menitah sang anak untuk segera menyampaikan tujuan utama mengapa mereka semua datang ke kediaman Desra.

Dan dapat Najmi lihat, Adibya belum menaruh atensi pada dirinya barang sekilas. Lelaki itu bahkan sama sekali tak melihatnya yang duduk tepat di seberang dengan raga Ghandi di samping kanan. Sebab, sedari tadi, Adibya sibuk mendengarkan dan turut larut dalam percakapan orang tua. Hanya Najmi satu-satunya yang konsentrasinya terpecah. Membuat dirinya hanya bisa mengangguk-angguk mendengarkan.

Selang beberapa detik, Adibya berdeham. Karena kalau boleh jujur, tangannya saat ini sangatlah terasa dingin dan berkeringat. Resahnya selama hampir tiga minggu ini akan segera hilang. Janji dan tanggung jawabnya akan direalisasikan dalam beberapa menit ke depan.

Dia, sedang berada dalam tahap akan meminta seorang anak gadis kepada keluarganya. Ia meminta sang gadis untuk dijadikan satu-satunya teman hidup hingga hari tua. Najmi Desra, Adibya Lofarsa telah datang untuk memenuhi tekad dan janjinya.

“Jadi gini, Pak. Sebelumnya, kan, saya sudah pernah datang dengan tujuan yang sebagaimana sama-sama sudah kita ketahui. Tapi hari ini, saya mau membatalkannya.”

Demi apapun, Najmi yang mendengarnya sampai terkejut bukan main. Dahinya mendadak bekerut dalam dengan kedua alis yang menukik tinggi. Air mukanya berubah dengan mata yang bergetar menatap Adibya. Maksudnya membatalkan apa?

“Saya mau membatalkan rentang waktu tiga bulan yang saya minta waktu itu. Karena, saya mau mempercepat prosesnya.” Najmi lantas berdesis sampai tidak sadar bahwa desisan leganya barusan mengundang pandang dari semua orang. Tak terkecuali Adibya.

“Kenapa, Najmi? Ada yang salah?” tanya si pemeran utama pria malam ini.

“Aku kira Mas Adib tuh mau batalin apaan!” jawab Najmi mengucek matanya yang tak jadi mengeluarkan air mata kekecewaan.

Adibya yang langsung paham atas pemilihan kalimatnya yang hampir saja menimbulkan kesalahpahaman itu pun lantas meminta maaf. Ia benar-benar tidak bermaksud untuk menjahili dan membuat Najmi khawatir, apalagi sampai merasa kecewa. Tidak akan pernah!

“Maaf, Najmi. Maafin saya.” Najmi pun mengangguk dengan wajah yang sudah terlihat biasa saja. Namun bukannya melanjutkan percakapan, orang-orang malah menertawakan Najmi yang terlihat sebegitu overthingking-nya. Padahal Adibya belum menyelesaikan ucapannya. Lagi pula, pengusaian mana yang keluarganya datang malah membawa hantaran sebanyak ini?

Najmi hanya menggaruk keningnya salah tingkah. Semua mata tertuju kepada gadis itu sampai Adibya kembali membuka suaranya. “Jadi, maksud saya datang kemari adalah untuk meminta putri bungsu Bapak, dan anak gadis satu-satunya dari keluarga ini untuk dijadikan sosok perempuan yang mau menemani hidup saya hingga akhir hayat.”

“Maka malam ini, tolong izinkan saya untuk meminang anak Pak Khaffa, yang bernama Najmi Desra secara resmi di depan dua keluarga.”

Wajah Najmi memerah hingga telinga. Ia mengulum bibirnya menahan euphoria dalam diri yang ingin sekali melakukan selebrasi. Kepada Adibya, Najmi menatap penuh binar dengan cita rasa bahagia yang berkobar. Dan dengan begitu, lantas Khaffa bertanya, “Gimana, Mi? Mau ‘kan?”

Dan tak perlu diragukan lagi jawabannya, Najmi tentu mengangguk dengan teramat pasti. Keinginannya ternyata dipenuhi secepat ini. Gadis itu pun tersenyum lebar hingga membuat matanya menyipit. “Iya, mau. Aku sendiri, sebagai gadis yang bernama Najmi Desra juga bersedia untuk menjadi rumah tempat Mas Adib menetap. Bersedia menyeduhkan less sugar tea setiap pagi, dan bersedia membangun keluarga bahagia bersama lelaki yang aku cinta, Adibya Lofarsa.”

Dengan Ghandi yang selalu menganggap adiknya masih kecil, lelaki itu menunduk haru. Adik yang sampai saat ini masih ia khawatirkan kondisi kesehatan mentalnya, ia tak menyangka bahwa si bungsu itu bisa romantis dan terlihat dewasa seperti ini. Padahal, baru tadi mereka sibuk saling menimpali kalimat yang terucap tanpa mau kalah. Namun sekarang, adiknya itu telah diminta secara resmi oleh lelaki lain untuk membangun rumah tangga yang sejahtera. Ya walaupun rasa kesal pada Adibya itu masih ada, Ghandi bisa apa? Api cinta telah membara pada keduanya. Berkobar hingga memercikan gelora asmara yang menggebu-gebu.

Lantas, tanpa tedeng aling-aling, Khaffa dan Aswin tertawa kecil. Mereka sama-sama tertawa atas anak yang menjadi bungsu di kedua keluarga tersebut. Sebab nyatanya, mereka sama-sama bangga saat melihat keduanya telah besar dan menginjak usia dewasa. Ada begitu banyak hal yang telah mereka lewati selama membesarkan anaknya itu hingga bisa sampai ke tahap ini.

Sebab, tanggung jawab mereka sebagai orang tua akan segera berakhir. Mereka telah melewati empat tahap tanggung jawab yang dijalani selama ini.

Pertama, membesarkan. Mereka telah berhasil membesarkan anak-anak itu hingga bisa menjadi sosok yang seperti sekarang ini. Kedua, mendidik. Karena didikan paling mendasar yang menjadi pegangan dan tonggak seorang anak adalah ajaran yang diberikan oleh kedua orang tuanya di rumah. Ketiga, menyekolahkan. Bahkan sebagai orang tua, Khaffa dan Aswin bisa dibilang telah selesai melaksanakan tanggung jawab mereka yang satu ini. Anak-anaknya mengerti akan betapa pentingnya berilmu tinggi dan berpendidikan. Dan yang terakhir adalah, mengantarkan sang anak hingga berhasil sampai ke jenjang pernikahan. Maka, tanggung jawab mereka akan segera usai setelah jabatan tangan yang disahuti kata ‘sah’ oleh para saksi nantinya.

Gurat senyum yang sungguh menenangkan itu, kini dapat ditangkap oleh sorot Najmi. Manik mereka beradu tepat, lalu semakin tersenyum malu-malu. Keduanya sedang berada pada tahap salah tingkah stadium akhir.

Sampai pada akhirnya, setelah Adibya menghela napas begitu lega, ia kembali angkat bicara. Lelaki itu mengeluarkan satu kotak kecil berlapis kain beludru warna hitam dari dalam sakunya. “Ini saya beli untuk dijadikan penanda bahwa kita sudah sama-sama terikat,” ucapnya dalam dan dengan tatapan yang penuh cinta. “Lalu, sudikah lingkar jari manismu yang selalu kosong itu untuk diisi cincin pemberian saya?”

Kepada jangkrik yang tengah berbunyi di luar sana, dan kepada satu dua nyamuk yang mungkin sedang berkeliaran di sekitar mereka, sungguh, sampaikan nanti pada kawananmu, bahwa Najmi rasanya ingin pingsan. Sebab tuturan yang bermuara dari lisan Adibya barusan, terdengar mendayu-dayu seolah siap merenggut kewarasan.

Dengan Jafar yang juga tengah memperhatikan jalannya acara sebagai acuan, ia turut tersenyum salah tingkah kala Adibya berdiri, lalu permisi untuk menghampiri Najmi.

Tidak. Tidak ada adegan lutut berlutut. Sebab, Adibya tidak akan melakukan hal itu. Pula Najmi yang tidak mau melihat hal tersebut terjadi di depan keluarga mereka, pun, ikut berdiri menyambut sang lelaki yang mendekati. Dan kini, mereka menjadi dua orang pemeran utama yang paling menonjol di ruang tamu.

Dentang jam dinding tetap berputar. Lantas, pertukaran cincin pun dilakukan.

Sebenarnya, Adibya telah memiliki couple ring itu sejak dua minggu yang lalu. Lebih tepatnya, tiga hari usai dirinya perang pendapat dengan Ghandi Desra, lelaki itu lekas memesannya. Ia yang sesekali memperhatikan jari manis Najmi demi mengukur lingkarnya agar tidak terlalu tampak terang-terangan itu, dibantu banyak atas adegan saling menggenggam kala menonton konser Raisa. Maka, setelah menyimpan benda tersebut dengan sangat baik, pada akhirnya bisa ia kenakan pada sang gadis dengan rasa yang begitu bahagia. Rintangan mereka menuju tahap ini sudah terlewati meski harus banyak sabar menanti.

Usai berbicang-bincang dan membicarakan kelanjutan bagaimana rencana pernikahan, acara itu pun mereka tutup dengan suguhan makan malam yang ternyata telah disediakan oleh Bunda Anggun. Sebab nyatanya, Khaffa dan Anggun sudah tahu akan kedatangan Adibya beserta keluarga karena telah disampaikan terlebih dahulu oleh Aswin. Pria itu meminta maaf karena sudah membuat keluarga Desra menunggu cukup lama karena kondisi kesehatannya yang menurun beberapa waktu lalu. Dan setelah sehat, ia langsung membicarkan hal mengenai rencana lamaran yang akan dipercepat karena permintaan kedua belah pihak. Maka, terkait kekonyolan seorang Najmi yang rela mengirimkan sebuah Surat Terbuka untuk keluarga besar tersebut, kini telah direalisasikan.

Tidak ada acara pertunangan. Sebab kedua keluarga menginginkan anak-anaknya agar langsung menuju tahap pernikahan. Rencana tanggal akad sudah langsung dibicarakan hari ini. Deretan rekomendasi Wedding Organizer dari Mba Arsyi pun turut menghiasi percakapan terkait persiapan. Dan masih banyak hal-hal lainnya yang patut untuk mereka perbincangkan dalam hal tersebut. Mulai dari tema, adat, sesudut, mas kawin, rumah, pendidikan, kesehatan, karier, keuangan, sampai ke rencana program hamil pun dibahas sampai tuntas.

Kini, Najmi sadar. Bahwa menikah itu bukanlah sesuatu yang gampang untuk dilakukan. Ada begitu banyak hal yang perlu dipersiapkan dengan matang. Seperti modal fisik, finansial, mental, dan parenting haruslah mantap bagi setiap calon pengantin. Menikah bukanlah sekedar akad yang ditimpali dengan kata ‘sah’ saja. Melainkan sebuah proses yang akan sangat banyak merubah hidup kita sebagaimana telah berlangsung selama ini. Ada ego yang harus diturunkan. Ada hati dan harga diri yang perlu dijaga. Komitmen yang telah tercipta dan dibangun haruslah dipertahankan demi mencapai rumah tangga yang bahagia dan direstui alam raya. Sebab, hidup bersama ‘orang asing’ hingga hari tua bukanlah suatu hal yang dapat disepelekan. Karena bagi Najmi, yang sebenarnya berkomitmen untuk tidak berpacaran selama ini, mendapatkan seorang lelaki seperti Adibya merupakan hokinya seumur hidup. Menurutnya, mungkin ini lah imbalan dari Tuhan karena sudah bersabar dalam menanti jodoh.

Kepada dirinya sendiri, Najmi ingin berterimakasih. Terima kasih karena sudah berhasil menyingkirkan nama Shiddiq dari hati dan pikirannya. Dia telah sukses melakukan misi bangkit dari cinta yang bertepuk sebelah tangan. Yang parahnya, lelaki yang dulu sangat ia sukai itu malah gagal move on dari sahabatnya sendiri, Nabila Putri. Ah, jika dipikir-pikir, ternyata runyam dan complicated sekali percintaan sircle mereka!

Maka, kepada Adibya yang menjadi sosok pilhannya, tolong jadilah pemimpin yang dapat menuntun gadis itu ke arah yang lebih baik. Bawa Najmi ke dalam dekapan hangatmu kala dirinya kembali merasa sendu.

“Kamu belum cek E-mail, ya?” tanya Adibya ketika berdiri di sudut teras depan — tempat langganan mereka berbincang ria.

Namun jika dahulu adalah Ghandi yang menjadi obat nyamuk, maka kini ada Jafar sebagai penggantinya. Bahkan, remaja itu tampak sangat rela dan terima-terima saja kala mendapat mandat dari Ghandi untuk menjadi pengawas di antara keduanya. Sementara si sulung, kini tengah asik merokok di halaman belakang bersama suami Mba Arsyi katanya adalah seorang Chef di salah satu hotel bintang lima. Lelaki yang tampaknya hendak mencapai kepala empat itu juga berbicara terkait usaha restoran terkenal yang ia punya.

“Memangnya kenapa? Mas Adib ngirim E-mail?” Lantas, Adibya mengangguk dengan senyuman yang sebenarnya menahan rasa bahagia yang luar biasa. Tak masalah kalau Najmi belum membaca apa yang ia kirimkan. Sebab tujuan dari apa yang ia kirimkan itu telah terlaksanakan dengan baik.

E-mail apa deh?” tanya Najmi seraya merogoh ponselnya untuk segera mengobati rasa penasaran.

Lantas, Adibya hanya berdiam diri sembari bersandar pada salah satu tiang. Sesekali ia mengajak Jafar yang tengah asyik bermain game di bangku teras tersebut berbicara terkait bagaimana hari-harinya berjalan setelah tamat SMA. Terakhir, yang ia dengar dari Najmi, Jafar lulus SBMPTN Fakultas Teknik di Universitas Indonesia dengan jurusan Teknik Sipil.

Lain Adibya, maka lain pula dengan Najmi yang kini tengah memandang kaget atas sesuatu yang lelaki itu kirimkan untuknya.

Dua hari lalu, TANGGAPAN SURAT TERBUKA.

Najmi menutup mulutnya tiada henti. Gadis itu melotot-lotot penuh keterkejutan atas susunan kalimat yang tertera di berkas tersebut. Maka, kini ia tatap Adibya tanpa kedip. Matanya memerah menahan haru.

Dan sampai pada menit kedelapan, gadis itu telah selesai membaca isi dari keseluruhan kalimat yang terangkai indah. “Thank you!” ucap Najmi yang tanpa aba-aba malah meraih raga Adibya untuk segera ia dekap. “Thank you for being one of the best pieces of my life.”

Lantas, Adibya mengangguk dan tersenyum penuh arti. Kali ini ia membalas dekapan Najmi lebih erat.

Dan seperti biasa, Jafar yang telah dipercaya oleh Ghandi untuk menggantikan tugasnya pun berdeham keras diiringi dengan batuk kering yang dibuat-buat. Kemudian, keduanya pun mau tak mau harus mengurai persatuan mereka sembari terkekeh.

So, be my forever?” tanya Adibya sembari melirik cincin yang melingkar di jari manis mereka.

“Hm, I’ll be your forever. You’re mine, and I’m yours.” Jafar sampai terpaksa menulikan pendengarannya dari percakapan sepasang calon pengantin yang dimabuk asmara. Kemudian, keduanya tertawa malu ditemani rasa syukur yang luar biasa di dalam hati.

Napasnya mungkin tampak teratur, namun tidak dengan satu organ yang bernama jantung. Mereka, berdebar sangat kencang. Ada buncahan rasa bahagia yang meletup-lutup melingkupi raga Najmi dan Adibya. Tersenyum sepanjang waktu, saling mencuri pandang yang mendalam, mabuk asmara di malam Adibya yang benar-benar telah memenuhi janjinya sebagai seorang laki-laki.

“Mas Adib,” Najmi yang disahuti gumaman lembut dari orang yang dipanggil itu pun semakin menguatkan niatnya. “Sun…, boleh?”

Adibya terpaku. Najmi-nya selalu begitu.

Namun belum sempat ia menjawab, belum sempat pula Jafar menegur, maka, “Najmi!!!” Khaffa sedikit bersorak hingga membuat si gadis tersentak. Ia menoleh kaget bukan main saat mendapati Papinya itu sudah berdiri di depan pintu bersama sang calon mertua, Pak Aswin. Yang satu berkacak pinggang dengan mata melotot, yang satunya lagi bersekap dada sembari geleng-geleng kepala.

“Bener-bener ya kamu?!” berang Khaffa yang kini hendak mendekati sang anak. Mampuslah Najmi. Ide isengnya untuk menjahili Adibya dan Jafar malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.

“Bercandaaaa….” sorak Najmi yang langsung menarik Adibya agar menjadi tamengnya dari terjangan Khaffa yang hendak menjewer. Ia berlindung di balik raga tersebut, raga seorang lelaki yang akan menjadi suaminya nanti.

Dan namanya, Adibya Lofarsa.

Narasi 28; Lofarsa

Karya Rofenaa

@ ebbyyliebe

--

--

rofenaa
rofenaa

Written by rofenaa

bagian dari hobi dan mimpi.

No responses yet