Langit hari ini dikuasai kelabu. Mendungnya seolah mendukung suasana duka yang tercipta di antara mereka. Sakit pada kepala Adibya yang menunggu Najmi terbangun dari lelapnya, sungguh bukan kepalang. Ia lelah lahir batin jiwa raga. Mengurus pemulangan jenazah Abbas yang sudah dilapisi kafan ke kediamannya, lalu kembali lagi ke rumah sakit demi menantikan sang istri yang tak kunjung membuka mata, tentu sangatlah berat. Bahkan Jafar dengan mata sembab dan bengkaknya itu dengan suka rela mengikuti setiap langkah Adibya. Ia turuti ke mana pun lelaki itu berjalan.
Sementara Abbas, diurus oleh keluarga Desra di rumah Najmi dan Adibya. Pula ada Ratna yang dapat dipercaya untuk mengurus segala sesuatunya dengan rinci dan tuntas. Ia harapan Adibya yang semoga dapat menyelesaikan urusan dengan rumah sakit. Entah itu perihal Abbas ataupun Najmi, yang jelas Adibya juga bertitip pesan untuk jangan lupa beritahu Nabila dengan cara pelan-pelan. Sebab sahabat baik istrinya itu juga tak boleh turut stres karena hal ini. Ia sedang hamil muda, dan Adibya tahu bagaimana susahnya Septian dan Nabila yang selalu berusaha untuk mendapatkan momongan. Maka, apa yang telah terjadi kepada dirinya dan Najmi, jangan sampai terulang di keluarga adik sepupunya tersebut.
Lantas, kala Adibya masih saja memikirkan orang lain di saat dirinya dirundung luka, duka dan lara, ke mana perginya semua keluarga Lofarsa? Ke mana keluarga yang mengaku sangat mempedulikan sang bungsu dan selalu berkoar-koar tentang kekeluargaan?
Ada.
Mereka ada. Tapi Adibya memilih untuk membutakan pandangannya dari mereka semua. Sebab semenjak Bapak tak lagi ada, mereka sudah tak lagi sama. Jajaran Lofarsa tak seperti dahulu kala. Yang benar-benar Adibya punya hanyalah Najmi Desra, dan keluarga istrinya yang begitu harmonis. Sementara, keluarga Lofarsa terpecah. Mereka hidup berjauhan dengan jarak yang membentang luas. Namun saat yang sulung berdekatan dengan sang bungsu, malah berkhir begini.
Ia, pencetus duka. Keturunan pertama Arsyi si sulung Lofarsa adalah penyebab dari segala luka yang mereka rasa.
Maka ketika Najmi pada akhirnya membuka mata, kepala itu tak kalah sakit. Pandangannya berputar, bahkan untuk sekadar melihat siapa yang berada di dekatnya saat ini saja butuh puluhan detik untuk ia habiskan.
Najmi meringis. Namun indra penciumannya langsung menangkap dengan jelas siapa raga yang tengah memeluknya dengan sangat erat. Aroma kasturi yang tak pernah pudar meski Adibya sekali pun belum sempat membasuh diri, Najmi hafal. Ini adalah raksi suaminya.
“Mas Adib …” Perasaan kalut dan takut itu pudar sesaat. Ia balas dekap sang suami tak kalah erat. Najmi salurkan seluruh kekalutan. Ia ceritakan semua ketakutan yang belasan jam lalu turut menghantam.
Lantas, perempuan itu kembali histeris mempertanyakaan keadaan. Sekarang hari apa dan jam berapa? Bagaimana proses operasi anaknya? Bagaimana kabar Abbas selama ia tak sadarkan diri? Dan mengapa tiba-tiba Jafar menangis tertahan lalu keluar begitu saja meninggalkan ruangan ini?
“Dek …” Adibya mengurai rengkuhan. Ia tatap dalam gurat penuh kecemasan yang terpatri di wajah sang istri. “Dengerin Mas baik-baik, ya? Hatinya harus tenang.” Ia usap dada kiri atas Najmi seolah beri stimulasi energi. Namun yang diperlakukan demikian hanya bisa menatap resah. Ia begitu takut dengan apa yang selanjutnya akan Adibya katakan.
“Mulai hari ini, kita bakalan hidup berdua. Cuma ada kamu sama Mas. Kayak enam tahun yang lalu.”
Halus. Bahasanya begitu halus sampai membuat Najmi bertanya-tanya dan menerka-nerka. Maksudnya apa? Kenapa hanya berdua? Kenapa hanya ada dirinya dan Adibya saja? Abbas mau dikemanakan? Buah hatinya, Jagoan Kecil mereka, kenapa tidak dihitung dalam rencana masa depan?
“Kenapa?” Najmi tidak bodoh dalam memahami makna dan situasi. Tapi sesuatu dari dalam dirinya selalu mencoba menyangkal. Kesedihan itu tak boleh datang menguasai keluarga mereka.
Namun ia malah memilih untuk bertanya, menuntaskan ketakutannya dengan cara mendengar deklarasi penuh duka dari bibir Adibya Lofarsa.
“Masa titipan Abbas udah habis. Abbas udah pulang.” Ia masih tak mau berucap secara gamblang. Yang bertujuan agar Najmi tak terlalu sakit dengan fakta sesungguhnya bagaimana. Namun dari kalimat Adibya, nyatanya Najmi kian teriris. Umpama yang ia tuturkan sungguh mengundang tangis.
“Pulang ke mana?” Tetapi ia masih tak mau menerima. Sisi dirinya yang masih berharap, mencoba memikirkan segala sesuatu sepositif mungkin. Sebab Najmi benar-benar lelah untuk menangis lalu berakhir tak sadarkan diri.
Ia harus kuat. Tetapi bisakah kali ini saja yang ia dengar adalah kabar baik? Bisakah fakta yang ia ketahui sebelum tak sadarkan diri selama berjam-jam lalu itu hanyalah sebuah mimpi buruk? Najmi harap begitu. Namun pada nyatanya, Adibya lagi-lagi menarik agar ia keluar dari lubang harapan semu. Bahagia fatamorgana.
“Ke rumah. Abbas pulang ke rumah.”
“Rumah kita?” lirih Najmi tak lekas ditanggapi. Adibya tak mengangguk, tak pula menggeleng. Lelaki itu sejenak berpikir, rumah siapa?
Lantas sekon berikutnya, Adibya pun menjawab dengan nada yang sendunya ia coba hapuskan. “Rumah abadi. Abbas pulang ke rumah terakhirnya.”
Maka raung Najmi menjadi. Sesak pada dadanya bertambah berkali-kali lipat. Rasa bersalah itu bahkan kembali menghantam tanpa iba. Ingatannya didera memori pahit menyakitkan.
Isak pilu seorang ibu yang kehilangan anaknya di pagi hari ini, sungguh tak ada yang bisa menandingi.
“Jangan jadi tua ya, Ma. Abbas takut Mama sama Papa tidur di tanah.” Memori konversasi antara dirinya dan sang anak kembali berputar memenuhi isi kepala. Abbas begitu takut untuk kehilangannya.
“Tapi kenapa malah kamu yang duluan ke sana, Jagoan?”
Najmi direngkuh erat. Gaung kesedihan yang menggema di setiap sudut ruangan membuat siapa saja turut merasa kehilangan. Sepasang suami istri yang tengah berpelukan itu terpaksa merelakan kepergian Jagoannya.
Tapi, dari sekian banyaknya hari, dari sekian banyaknya bulan dan tanggal di tahun ini, mengapa lagi-lagi harus 10 November?
Das Sein, by ebbyyliebe