Dua insan yang berada di tepian samudra asmara itu pun melangsungkan panggilan telepon. Berada di ranjang masing-masing, di rumah masing-masing.
“Halo?” Kata sapaan tersebut dilantuntkan oleh Adibya saat menjawab panggilan dari Najmi. Gadis itu terlanjur khawatir dan curiga. Gelagat Adibya terasa berbeda menurutnya.
“Kak Adib kenapa?” Bukannya menyahuti sapaan, Najmi malah langsung bertanya demikian. Keadaan Adibya adalah yang terpenting. Basa-basi hanya akan menghabiskan waktu, begitu pikir Najmi Desra.
“Enggak kenapa-napa. Cuma lagi risau aja,” jawab Adibya lembut. “Maaf ya, karena saya sudah menganggu waktumu.”
Najmi di seberang sana pun terdengar mendengus. “Nggak ganggu kok. Kan tadi udah aku bilang,” jawabnya.
Mereka pun diam. Yang terdengar hanyalah deru napas halus dari keduanya. Adibya yang tengah risau semakin dilanda kebingungan kala Najmi mulai menanyakan hal apa yang membuatnya risau.
Haruskah? Haruskah kini Adibya membicarakan tentang masa lalunya pada Najmi? Tapi bukankah ini masih terlalu awal untuk berbagi cerita yang kelam menurutnya? Adibya bingung harus menjawab apa.
“Kak?” Najmi kembali memanggil saat Adibya masih diam berpikir lama. “Risau kenapa?” tanyanya lagi.
“Kamu jangan marah, ya?” Adibya takut. Dia terlalu takut untuk kembali menyakiti hati wanita. Ia juga takut kalau Najmi merasa tersinggung karena harus mendengarkan kisah Adibya di masa lalu bersama gadis lain.
“Emangnya Kak Adib kenapa sampai takut bikin aku marah?” Bukan Najmi namanya kalau tidak to the point begini.
Helaan napas pun terdengar. “Perempuan masa lalu itu datang lagi.”
Adibya memejamkan matanya. Rematan pada ujung selimutnya pun ia pererat. Lelaki ini sungguh berdegup kencang menunggu respon Najmi atas kalimatnya.
Tak lama, gumam pelan terdengar. “Mantan pacar, ya?” tanya Najmi dengan nada hati-hati. Di zaman seperti ini, jarang sekali lelaki tampan yang mapan tidak memiliki mantan pacar. Hampir semua bahkan punya, termasuk Adibya Lofarsa tentu saja. Begitu nalar Najmi Desra.
Namun Adibya hanya diam. Helaan napasnya yang cukup berat mungkin tertangkap jelas oleh indra pendengaran Najmi. “Orang-orang sih bilangnya begitu,” jawabnya tak ingin terlalu ingin menjelaskan secara rinci.
Najmi yang tak mau ambil pusing pun kembali merespon sebiasa mungkin meski dalam hati cukup khawatir dengan kehadiran orang masa lalu yang kini menghantui pikiran Adibya. “Kak Adib masih sayang sama dia?” tanya Najmi kemudian. Jujur, dia mungkin minim dalam persoalan asmara. Tapi bukan berarti Najmi buta akan segalanya. Ia mengerti harus menanggapinya seperti apa.
Nabila dulu pernah bilang, “Lo kalo mau jatuh cinta, pilih-pilih, Mi. Jangan mau ama orang yang belom kelar sama masa lalunye. Ribet! Tar ati lo juga yang potek!” Tapi bukan berarti Najmi bisa langsung memutuskan. Adibya pasti punya cerita untuk dirinya.
“Kita sudah selesai bertahun-tahun yang lalu, Najmi. Kisah itu telah lama usai. Tapi sampai sekarang, ada beberapa hal yang masih tertinggal.”
“Apa?” Najmi berani bertanya meski hatinya masih belum siap mendengar jawaban Adibya setelah ini. Jika benar lelaki itu masih belum move on, apa dirinya harus mundur seperti yang pernah Nabila pesankan kepadanya?
Semesta, jangan patahkan Najmi untuk yang kedua kalinya, bisa?
“Kesalahpahaman, penyesalan, luka, sakit hati, dan kecewa. Itu yang tertinggal.”
Keduanya pun kemudian terdiam. Sebegitu berat kah kisah cinta Adibya di masa lalu?
“Najmi?” Adibya yang semakin sesak kala Najmi tak memberi respon terhadap jawabannya pun memilih untuk memanggil gadis itu.
“Iya?” Nada suara Najmi terdengar tenang. Membuat Adibya sedikit merasa lega karenanya.
“Boleh saya minta tolong?” tanya lelaki itu kemudian.
Meski di dalam hatinya tengah menahan rasa khawatir yang membumbung, Nyatanya Najmi tetap mampu untuk terkekeh pelan. “Iya, boleh. Minta tolong apa?”
“Tolong buat saya jatuh cinta kepadamu sepenuhnya.”
Suhu kamar Najmi seolah mendadak naik beberapa derajat. Wajah dan telinganya terasa sangat panas setelah mendengar kalimat tersebut.
Adibya mungkin hanya perlu tiga detik untuk menyampaikan permintaan tolongnya. Namun Najmi tidak tahu harus menghabiskan waktu berapa lama untuk menyanggupi permintaan Adibya.
“Bisa?” tanyanya meminta persetujuan gadis itu.
“Bisa. Asalkan hati Kak Adib juga bersedia untuk aku isi sepenuhnya.” Adibya kembali menghela napasnya lega. Dadanya terasa begitu lapang kala kemudian mendengar tawa Najmi yang mungkin tengah menahan geli di seberang sana.
“Makasih,” ucap Adibya tersenyum tipis.
“Tapi janji ya, jangan jadi brengsek!” pinta Najmi. “Awas aja kalau sampai kita gagal nikah.”
Peringatan Najmi barusan mengundang gelitik dari dalam diri Adibya. Dari awal, gadis itu memang sudah menunjukkan lampu hijau dalam rencana Pak Khaffa terhadap hubungan mereka. “Iya, saya janji. Nanti kalau waktunya sudah tepat, dan kita juga sudah saling mengenal satu sama lain, saya pasti akan bawa ayah saya untuk menemui ayahmu.”
“Dan semoga, saya bisa menghalalkan kamu untuk menjadi perempuan saya seumur hidup.” Kalau saja Adibya tahu bagaimana kacaunya Najmi malam ini, mungkin lelaki itu akan terbahak.
Siapa pula yang tidak akan jungkir balik kala mendengar kalimat barusan berasal dari lelaki yang disukai? Najmi saja sampai menggigit ujung gulingnya sangkin menahan jeritan agar tidak keluar. Malu kalau Adibya tahu dirinya tengah salting tujuh keliling.
Setelah dirasa hatinya mulai tenang, dan jantungnya mulai berdetak sedikit normal, Najmi pun kembali bersuara. “Kak Adib,” panggilnya.
“Iya?”
“Kalau bilang I love you sekarang, kecepetan nggak sih?”
Sekarang giliran Adibya yang dibuat jungkir balik. Jantungnya berdebar kala Najmi bertanya demikian.
“Kamu mau bilang I love you ke saya?” sahut Adibya memberanikan diri.
“Iya. Tapi besok-besok aja deh. Jangan sekarang, malu.”
Rasanya Adibya ingin tertawa mendengar jawaban Najmi. Satu hal lagi yang kini ia sadari, bahwa eksistensi Najmi mampu menenangkan hatinya yang risau. Gadis dengan tingkah lucunya itu, selalu berhasil menerbitkan senyum di wajah Adibya Lofarsa.
“Iya, boleh. Semaunya kamu aja,” jawabnya dengan sejuta kupu-kupu di perut.
“Eh, tapi-tapi,”
“Kenapa?”
“Aku boleh tau nggak siapa nama mantan Kak Adib itu? Pengen aku stalk, hehe ….” Orang masa lalu itu, mantannya ‘kan? Tadi saja Adibya menyebutkan ‘orang lain sih bilangnya begitu’, ya sudah, berarti memang benar.
Sementara, Adibya terdiam sebentar. “Kamu nggak perlu nge-stalk dia.”
“Kenapa? Nggak boleh, ya?” tanya Najmi penasaran. Padahal dirinya sangat ingin tahu bagaimana bentuk mantan Adibya yang satu itu.
“Bukan. Tapi dia adalah orang yang pasti kamu kenal.”
“Hah? Aku kenal mantan Kak Adib? Sumpah?!!” Bohong kalau Najmi tidak terkejut akan hal itu.
Adibya pun bergumam mengiyakan. “Namanya Puja.”
Najmi yang sedari tadi berbaring di ranjangnya pun langsung terduduk kala mendengar jawaban Adibya.
“Pu-puja?” tanyanya memastikan.
“Hm,” sahut Adibya singkat.
Najmi semakin melebarkan matanya. “Puja Larasati?!”
“Iya.”
“Yang magang bareng aku sekarang?!!”
“Iya.”
Gadis itu menutup mulutnya tidak percaya. Ternyata temannya itu, si primadona fakultas hukum di kampusnya tersebut adalah mantan pacar Adibya Lofarsa? Yang benar saja?!!
“Kak Adib beneran?” tanya Najmi masih tidak menyangka.
“Iya.”
“Kapan pacarannya?”
“Menurut dia…,” Adibya menggantung ucapannya ragu. “Dulu, waktu kelas dua belas.”
“Hah? Menurut dia siapa?” tanya Najmi kebingungan. Namun Adibya tak menggubrisnya. Ia memang tak berniat membahas yang satu ini. Dan tiba-tiba, “Anj — ” umpat Najmi tertahan. Ia baru teringat sesuatu!
Gadis itu sampai sujud untuk menyembunyikan wajahnya di kasur yang empuk tersebut. Rasanya, gadis itu ingin berteriak saat ini juga. “Jadi maksudnya, Puja tuh mantan Kak Adib waktu kelas tiga SMA?!” sambung gadis itu yang kini sudah kembali duduk dengan benar.
“TAU GITU MENDING NGGAK USAH AKU KASIH NOMOR KAK ADIB KE DIA….” Najmi jadi kesal sendiri karena sudah mengirimkan nomor Adibya kepada gadis cantik itu.
Adibya yang mendengar rengekan frustasi Najmi pun tertawa pelan. “Enggak apa-apa. Nomornya sudah saya blokir,” ucapnya menenangkan.
“Ih, dia udah ngechat Kak Adib?!”
“Iya, udah.” Najmi langsung mendesis saat mendengar jawaban Adibya. Tapi dia langsung meringis kala mengingat bahwa jika dilihat dari fisik dan otak, Puja menang banyak. Gadis itu bahkan terlihat cocok jika disandingkan dengan Adibya Lofarsa. Najmi Desra kalah telak, wahai pemirsa!
“Kenapa harus dia sih yang jadi saingan aku?” keluh Najmi kemudian.
Adibya yang paham keresahan Najmi pun angkat bicara. “Jangan pernah anggap dia sainganmu, Najmi. Bahkan kamu enggak akan pernah tersaingi oleh siapapun, termasuk dia. Karena dari awal, saya sudah memutuskan, bahwa kamu adalah pemenangnya.” Najmi diam. Mendengar ucapan Adibya saat ini mungkin tidak sepenuhnya akan menenangkan hati gadis itu. Tapi setidaknya, Adibya telah berhasil mengembalikan rasa percaya diri seorang Najmi.
“Tapi dia kan lebih — ” “Lebih apa?” potong Adibya tanpa membiarkan Najmi meneruskan kalimatnya.
“Dia enggak bisa apa-apa kalau hati ini sudah saya serahkan sepenuhnya untuk kamu, Najmi.” Gadis itu menggigit bibir saat kembali mendengar kalimat Adibya yang begitu meyakinkan dirinya.
“Kak Adib,”
“Iya?”
“Ayo lebih saling mengenal satu sama lain.”
“Iya. Nanti kita habiskan waktu bersama lebih banyak. Perlahan pasti kita bisa saling mengerti dan memahami,” jawab Adibya tenang.
“Jangan khawatir, Najmi. Dia enggak sebanyak itu tahu tentang saya.” Najmi membisu. Nyatanya Adibya tahu, bahwa sebenarnya ia takut kalah saing. Ia takut kalau Puja lebih banyak tahu tentang Adibya dibanding dirinya.
“Kak Adib,”
“Hm?”
“Jangan kecewa kalau nanti aku bikin kesalahan.” Najmi meminta. Dia percaya, bahwa suatu hari pasti ada masanya satu dua hal melanda mereka. “Jangan marah kalau nanti aku berantem sama Puja.”
Adibya tersenyum. “Kenapa harus marah? Terus ngapain kamu mau berantem sama dia?”
“Ya mana tau dia bikin aku gedek, terus naik darah. Kan orangnya emang rada ngeselin gitu,” jelas Najmi sambil mengingat-ingat kelakuan Puja kepadanya. Apalagi selama jadi pemagang. Pantas saja gadis itu terlihat caper ke Adibya. Ternyata mantannya? Huh! Menyebalkan!
“Iya, enggak marah. Tapi jangan sampai melanggar undang-undang, ya? Apalagi sampai melanggar Pasal 351 KUHP. Kita ini punya norma. Dan kita juga hidup di negara hukum.”
“Iya-iya, paham.” Sebelum Adibya melanjutkan sesi kuliah terbuka, Najmi pun langsung menyela. Daripada nanti semakin panjang pula lelaki itu membahas perihal hukum dengannya, mending disela saja.
“Ya udah, sekarang tidur. Besok saya jemput.”
“Iya.” Tanpa penolakan seperti tadi pagi, kini Najmi langsung menyetujuinya. Ia tidak peduli lagi jikalau dianggap centil oleh orang di kantor. Terlebih oleh Puja.
Bahkan, Najmi sudah berencana untuk mengumbar kedekatannya dengan Adibya setelah ini. Bodo amat dengan pendapat mereka. Yang penting Adibya tidak jatuh ke tangan orang lain, itu saja.
“Makasih sudah mau mendengarkan cerita saya malam ini.”
“Sama-sama. Makasih juga udah mau ngasih tau aku tentang cerita lama Kak Adib.”
“Hm.”
“Aku tutup, ya?”
“Iya. Selamat malam.”
“Malam.”
Kemudian panggilan pun terputus. Pembicaraan tersebut usai dengan menyisakan berbagai macam rasa dalam hati mereka.
Risau Adibya mungkin telah hilang. Namun rasa tersebut tampaknya berteleportasi ke dalam hati Najmi. Ia benar-benar takut akan takdir yang akan menghampiri. Sebab Najmi selalu mengingat, mungkin dirinya punya rencana, tapi dunia punya realita. Takdir mereka sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Narasi 12 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe