Ayunan kaki sang pemuda melangkah cukup tergesa. Genggam pada gawai yang ditempelkan di telinga menandakan bahwa insan tersebut tengah melakukan sebuah panggilan. Maka, kala dering ponsel yang tersambung mulai terdengar, dadanya kian berdebar. Gugup yang sebenarnya mendera bahkan tertutup oleh semangat yang membara. Ia sungguh tak sabar untuk bertemu Silvia Laverta.
Padahal, tujuan mereka ke sini bukan untuk berkencan, melainkan untuk bimbingan sembari membesuk sosok yang sebenarnya baru satu kali gadis itu temui. Namun, kala rungu mendadak disapa lembutnya nada, desirannya dibuat kian menggila. Sebab Silvia, menjawab panggilan sang pemuda hanya dalam hitungan ketiga.
“Halo?” Denasta terpaku. Bahkan hanya satu kata, namun rasanya ada ribuan bunga yang mendadak tumbuh di dalam tubuh.
“Halo? Mas Asta udah deket mana, ya?” Pertanyaan diperjelas hingga membuat Denasta mau tak mau harus mempercepat langkahnya.
“Ini masih di pembelokan dekat poli bedah. Kamu masih di dekat poli gigi, kan?”
“Iya, Mas. Masih,” jawab sang gadis sembari celingak-celinguk. “Tapi di sini agak rame, sih, Mas. Nanti kalau udah keliatan banner Bahaya Narkoba yang deket poli gigi, bilang aja ya. Saya nggak jauh dari situ soalnya.” Dua meter di seberang gadis itu memang terdapat beberapa banner yang cukup besar tertempel di dinding. Atau bisa juga disebut spanduk berukuran sedang, entahlah, ia juga tak tahu pasti namanya apa. Yang jelas, narasi Bahaya Narkoba adalah yang paling mencolok dalam penglihatannya.
“Oke, sebentar.” Sang pemuda menjawab sembari melirik ke arah papan denah ruang. Benda berwarna hijau tersebut tergantung di langit-langit bangunan.
Sementara di lain sisi, Silvia memutari pandangannya demi mencari keberadaan Denasta yang dalam hitungan detik pasti akan tertangkap netra.
Satu, dua, hingga hitungan ke sepuluh yang telah dirapalkan oleh sang gadis di dalam hati, akhirnya dua pasang obsidian tersebut saling beradu pandang. Dan lambaian tangan lantas Silvia berikan sebagai kode agar sang pemuda lekas mengikis jarak demi menghampirinya.
“Hai,” sapa Densata terlebih dahulu. Sementara Silvia hanya tersenyum dan mengangguk.
“Ini saya izin matiin, ya?”
“Eh, iya.”
Bahkan, untuk sekedar memutus panggilan suara yang masih berlangsung saja, pemuda itu meminta izin terlebih dahulu kepadanya. Entah manner-nya memang demikian, atau karena Silvia yang sengaja diperlakukan istimewa dan satu-satunya, gadis itu tak tahu pasti. Yang jelas, puan berkulit sedikit sawo matang itu sudah dibuat terpana.
“Jangan sampe baper, Silvia. Jangan!” batin Silvia bekerja. Ia harus segera menekan perasaannya. Sebab dia, tak lagi mau kecewa untuk kesekian kalinya.
Sialnya, usaha menahan buncah dan gejolak asmara yang mulai tumbuh itu lagi-lagi harus menghadapi rintangan lain. Karena beberapa detik setelahnya, suara Denasta kembali menginterupsi telinga.
“Mau saya bantu?” Pertanyaan itu mengalir begitu saja ketika sorot mata sang pemuda mengarah pada sebuah map cukup tebal dan parsel buah yang Silvia bawa. Satu di tangan kanan, satunya lagi di tangan kiri.
“Oh, iya, Mas. Boleh.” Beruntungnya, Silvia juga bukan tipe perempuan yang terlalu malu untuk menerima tawaran bantuan dari orang lain. Selagi orang itu ikhlas dan mau membantunya, kenapa harus menolak? Toh, baguslah Denasta juga punya rasa kepekaan yang tinggi. Sebab Silvia sendiri sudah kesusahan untuk sekedar membawa barang-barang ini. Belum lagi dengan tas yang tersampir di tubuhnya — berisikan iPad dan beberapa benda berat lain — membuat gadis itu hampir mengeluh.
Barang telah berpindah tangan. “Ayo,” ucap sang pemuda seraya melangkahkan kaki jenjangnya menuju lift. Maka mau tak mau, Silvia pun mengikuti Denasta. Gadis itu turut berdiri bersama beberapa orang lainnya yang juga sedang menunggu pintu lift terbuka.
“Saya dengar, hari ini bimbingan terkahir, ya?” Setelah berhasil masuk, lift dengan tombol angka 4 yang telah ditekan oleh Denasta menandakan bahwa kotak teknologi mutakhir itu akan segera membawa mereka menuju lantai tersebut.
Berdiri paling depan dengan netra yang menatapi refleksi diri pada pintu besi tersebut membuat Denasta dapat menangkap sebuah anggukan. Gadis itu mengiayakan.
“Bener, Mas. Hari ini mau minta tanda tangan acc sidang, sama revisi bab 4 sedikit lagi.”
Kali ini giliran Denasta, ia menangguk dengan senyum tipis yang menghiasi. “Pembahasan penelitian, ya?” tanyanya memastikan.
“Nggeh, Mas.”
Lalu hening pun melanda hingga dua menit ke depan. Entahlah, meski hanya berdiri dan saling membisu di dalam ruangan sempit ini, rasanya Silvia begitu nyaman. Seolah raga yang tengah menanggung penat lahir batin itu benar-benar diluruhkan begitu saja. Apalagi ketika mereka telah berhasil keluar dan kembali berjalan beriringan, aroma khas Denasta kian menguasai indra penciumanannya.
Maskulin, smooky, earthy, dan kesan manis yang tercampur menjadi satu tatanan, mungkin akan menjadi aroma favorit setelah aroma Floral Fayette — lilin aromaterapi — yang selalu menguar di kamar Silvia. Ah, mungkin lain kali ia harus menanyakan parfum merek apa yang dipakai pemuda ini.
Rumah sakit punya cerita, tentang Silvia dan Denasta.
Narasi 1; LATBE
by ebbyyliebe