Tarikan pada tali gas motor Adibya membawanya ke arah tempat tujuan utama, yaitu keberadaan Najmi. Motor yang memiliki badan besar itu melesat dengan kecepatan rata-rata. Jalanan memang tidak seramai jam setengah tujuh pagi tadi. Sebab anak sekolah, pegawai kantor, dan pengguna jalan lainnya pasti tengah sibuk di tempatnya masing-masing. Jalanan lumayan sepi kalau jam-jam segini. Namun tetap saja, Adibya tidak akan meninggikan tarikan gasnya. Kecuali itu dalam keadaan yang darurat.
Saat di kantor tadi, setelah mendapat kabar bahwa gadis itu sedang dilanda kesulitan, maka dengan lekas Adibya menemui Pak Bahar yang baru memasuki ruangannya. Ia meminta izin untuk keterlambatan Najmi sebab hal tak terduga yang dialami oleh gadis itu. Pula, ia meminta izin untuk menjemput sang gadis agar tidak kebingungan di sana.
“Ya, boleh. Silahkan kamu jemput calon istrimu itu.” Begitu sahut Pak Bahar pada Adib sembari tersenyum jahil.
Bukan tanpa alasan Pak Bahar bersikap demikian. Sebab, selama dirinya mengenal Adibya, lelaki itu sama sekali tidak tertarik pada wanita yang ia kenalkan. Entah itu pegawai muda di pengadilan, pegawai administrasi di perusahaan leasing, sampai anak magang tahun sebelumnya pun tak mendapat lirikan minat dari seoramg Adibya Lofarsa. Maka dari itu, saat mendapat kabar dari Khaffa, bahwa rencananya Najmi akan dijodohkan dengan Adib, lelaki tua itu senang bukan main. Pegawai yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu sebentar lagi tampaknya akan segera melepas masa lajangnya.
Bunyi klakson yang keras itu menyapa rungu Najmi. Gadis yang sibuk menunduk memainkan ponselnya itu pun mendongak ke arah kaca depan mobil untuk melihat siapa sosok yang berada di sana.
Kaca jendela mobil pun lekas ia turunkan. Memanggil nama lelaki tersebut, kemudian melambaikan tangan. “Kak!” panggilnya. Najmi benar-benar akan memanggilnya demikian. Adib pun segera turun dari motor usai melepaskan helmet.
Namun, waktu seolah berjalan sangat lambat saat netra sang gadis disuguhkan dengan Adibya yang berjalan ke arahnya sembari menggulung lengan kemeja abu-abu tersebut. Meski masker masih melekat dan menutupi setengah wajah Adib, tak dapat Najmi pungkiri pula bahwa lelaki itu tetap terlihat sangat gagah dan tampan.
“Montirnya masih belum datang?”
Bukan pertanyaan itu yang menjadi pusat perhatian Najmi saat ini. Melainkan prosesnya lah yang membuat Najmi terpesona hingga dibuat tak bisa berkata-kata. Saat Adib menundukkan kepala, kemudian menurunkan maskernya untuk berbicara pada Najmi, saat itu lah ia terkesima. Jarak wajahnya dengan wajah Adib hanya terpaut dua jengkal. Dengan Najmi yang masih setia duduk di dalam mobil, dan Adib yang berbicara sambil berdiri di balik jendela mobil yang terbuka.
Tangan kanan lelaki itu bertengger pada jendela. Bertanya sesuatu yang tidak dengan jelas Najmi tangkap suaranya. Sebab fokusnya kini telah dicuri semua. Sorot Adibya berhasil menghipnotis seorang Najmi yang selama ini dikenal sulit move on dari cinta tak bertuan miliknya.
“Halo...” Adibya pun melambaikan tangan saat Najmi tak kunjung merespon ucapan demi ucapan darinya.
Gadis itu tersentak. “Eh, iya, Kak. Gimana?” panik Najmi.
“Itu, montirnya datang.” Tepat saat itu, seseorang dengan seragam bengkel berwarna biru yang cukup terkenal di sini pun datang menghampiri mobil Najmi.
Gadis dengan blouse berwarna sage green yang dipadukan dengan celana dasar hitam itu pun lekas turun dari mobil saat Adibya telah menjauh dari pintu.
“Mba Najmi, ya? Anaknya Pak Khaffa Desra?” tanya montir tersebut. Seragam biru lecek yang berhias oli itu sudah menandakan bahwa dirinya memang orang suruhan sang Papi.
Najmi mengangguk. “Iya, Mas. Bener.”
Dan jadi lah, pagi itu, Adibya tidak jadi membantu Najmi mengganti ban mobil. Padahal sejak awal sudah ia niatkan untuk membantu gadis tersebut. Tapi karena montirnya sudah datang, ya syukurlah. Ia tak jadi berkeringat di pagi hari dengan seragam kantor seperti ini.
“Ini maunya kamu tungguin sampai selesai?” Najmi yang sibuk berdiri memperhatikan montir sibuk mondar-mandir pun mengangguki pertanyaan Adib.
“Boleh, kan?” Gadis itu memastikan pilihannya. Siapa tahu Adibya merasa keberatan.
“Boleh kok. Kan saya sudah minta izin ke Pak Bahar,” jawabnya.
Lima menit berlalu. Adibya yang pada dasarnya memang tidak bisa melihat orang lain bekerja sendirian, pun, kini mulai membantu seadanya. Seperti mengambilkan alat, ban ganti, dan kembali meletakkan ban yang bocor ke dalam bagasi mobil. Nanti paling akan ditambal oleh gadis itu. Begitu pikirnya.
“Kamu udah sarapan?” Pertanyaan sederhana itu Adibya ajukan pada Najmi yang mulai keroncongan. Dia memang tidak sempat sarapan tadi pagi. Niatnya memang karena tidak mau terlambat. Terlebih, tadi pagi dia juga sedikit telat bangun. Jadi lah, perut Najmi yang masih kosong itu kini semakin meronta saat mendengar pertanyaan Adib.
Gelengan yang Adibya lihat pun menjadi jawaban. Gadis di hadapannya ternyata memang belum sarapan. Sementara sekarang sudah jam setengah sembilan. “Ya udah, kita ke sana dulu. Mau?” Adibya menunjuk sebuah warung kaki lima yang menjual nasi uduk di seberang sana. “Suka nasi uduk enggak?” tanyanya kemudian.
Najmi mengangguk cepat. “Suka.”
“Ya udah, ayo sarapan dulu sambil nunggu mobil kamu selesai ganti ban.” Begitu putus Adibya.
“Mas Nanda, kita mau sarapan dulu ya?” pamit Adibya pada montir tersebut. Namanya Nanda. Paling usianya baru memasuki kepala tiga.
Nanda pun hanya mengangguk sembari bekerja. “Oh, iya Mas, boleh. Silahkan. Nanti kalau ini udah siap, saya panggil.”
Di hari kedua, pertemuan kedua, langkah dua insan tersebut kembali beriringan untuk kedua kalinya. Najmi hanya bisa terdiam saat Adibya bahkan meraih pergelangan tangannya saat menyebrang jalan. Lelaki itu tampak seperti menyebrangi anak kecil saja.
“Modus banget,” batin Najmi berbunga-bunga. Padahal, jauh dari prasangka gadis itu, Adib hanya reflek meraih pergelangan Najmi sebab gadis ini melangkah dengan sembarangan tanpa memperhatikan kiri kanan.
“Mas, nasi uduknya satu.” Adibya memesan makanan untuk Najmi.
“Kak Adib nggak makan?” tanya gadis itu bingung.
“Saya udah sarapan di rumah. Masih kenyang. Kamu aja,” jawabnya demikian.
Najmi pun mengangguk-angguk. Kembali duduk berhadap-hadapan seperti ini membuat gadis itu kembali dilanda sedikit gugup. Sorot Adibya tak habis-habisnya menatap serius pada Najmi. Ada apa ya?
“Kamu keringetan. Lap dulu.” Ternyata, Adibya memperhatikan bulir-bulir keringat yang ada di sekitar anak rambut dan dahi Najmi. Uluran sapu tangan miliknya pun ia berikan pada gadis di hadapannya itu.
Dengan perasaan gugup, Najmi menerima uluran sapu tangan tersebut. Bulir keringat pun dirinya sapu dengan sepotong kain kecil pemberian Adibya.
“Lusa saya kembaliin,” ujar Najmi usai menyudahkan acara mengelap keringat.
Tak menunggu lama, pesanan pun datang. Namun makanannya tak kunjung Najmi sentuh saat melihat ada irisan tempe goreng yang dipadukan dengan ikan teri balado. Harusnya sejak awal, Najmi tidak sembarangan dalam mengangguki pertanyaan Adibya.
“Kenapa?” Lelaki itu bertanya bingung saat Najmi menyisihkan tempe ke pinggir piring.
“Nggak suka tempe, hehe...” jawab Najmi diringi cengiran.
Adibya pun mengangguk-angguk. “Saya kira kenapa.”
“Kak Adib suka tempe nggak?” Tiba-tiba saja Najmi bertanya demikian pada Adibya. Lelaki yang sibuk mengunyah kerupuk kulit itu pun mengangguk.
“Suka. Kenapa?”
Raut cerah pun memenuhi wajah gadis itu. Sudut bibirnya terangkat naik sebab mempunyai tawaran yang baik. “Nah, daripada mubazir, mending tempenya kamu aja yang makan. Sayang kalau dibuang,” jelas Najmi. Adibya saja sampai dibuat bingung olehnya. Apa memang secepat ini untuk saling berbagi isi piring? Mereka baru kenal dua hari, lho!
“Nggak mau ya?” tanya gadis itu merasa tidak enak. Apa sikapnya terlalu blak-blakan pada Adibya?
Tapi anehnya, Adibya tak pula bisa menolak permintaan gadis itu. Ia malah mengambil sendok baru, kemudian ikut menyendok tempe tersebut ke dalam mulutnya secara perlahan. Alhasil, Najmi tak dapat menahan senyum lebarnya tersebut. Di matanya, mereka tampak romantis makan sepiring berdua. Namun di mata pelanggan lainnya, mereka malah terlihat aneh. Penampilan bagus dan wajah good looking apa tidak mampu membeli dua piring nasi uduk saja?
Tapi Adibya dan Najmi tampaknya memilih abai. Padahal, kalau saja mereka mau, bersama dengan gerobaknya pun ia mampu untuk membeli nasi uduk seharga dua puluh ribu ini.
“Nasinya disuap juga Kak, biar nggak enek makan tempe doang.” Begitu saran Najmi. Namun kali ini tak diindahkan oleh Adibya.
“Nggak apa-apa,” jawabnya kemudian menyeruput teh hangat yang tadi ikut ia pesan. “Kamu aja yang makan. Dihabiskan, oke? Saya udah bantu makan tempenya.” Najmi pun lagi-lagi hanya bisa menurut. Tampaknya Adibya adalah sesuatu yang tak dapat Najmi tolak. Baik keberadaannya, maupun segala ucapannya.
Suapan demi suapan pun terasa sulit Najmi telan. Sebab gerakannya tak lepas dari sorot Adibya. Sesekali lelaki itu menoleh keluar warung untuk melihat kegiatan montir pada mobil Najmi. Sebentar lagi pasti selesai, terkanya.
Kenyang. Satu kata tersebutlah yang mewakili cacing di perut Najmi yang tak lagi memberontak untuk diberi jatah. Teh manis hangat pun telah ia habiskan setengah gelas.
Setelah dirasa Najmi mempunyai waktu senggang usai makan, Adibya pun memastikannya lagi saat sebelum berdiri dari bangku. “Udah?” Najmi pun turut berdiri sebagai jawaban.
Saat hendak membayar makanannya, Najmi hanya terdiam. Adibya telah lebih dahulu mengeluarkan dompetnya, kemudian menyerahkan selembar uang berwarna biru kepada si pedagang.
Saat menerima kembalian, dan hendak berjalan keluar, Adibya malah memasukkan uang tersebut ke dalam kotak sumbangan yang ada di warung tersebut. Najmi semakin terpesona dibuatnya. Apa memang Adibya sebaik ini? Ah, padahal rasanya kemarin ini Najmi ingin mendapatkan lelaki yang bukan terlalu baik. Alias, pernah brengsek, dan kini telah bertaubat. Aneh! Tapi itulah keinginannya.
“Makasih, Kak. Udah bayarin nasi uduknya.” Kendati demikian, sebagai seorang manusia yang tahu diri, ia pun mengucapkan terima kasih kepada Adibya. Lelaki itu hanya mengangguk sebagai respon.
“Maaf.” Setelah berkata demikian, Adibya dengan lekas meraih satu pergelangan tangan Najmi. Lelaki itu kembali menuntunnya menyebrangi jalan.
Najmi kian berdebar. Tatapannya tak bosan-bosan memandangi wajah Adibya yang serius menoleh ke kiri dan ke kanan. Satu tangan pria itu sesekali terangkat beriring dengan anggukan sopan saat meminta satu dua pengendara untuk memelankan laju kendaraan mereka.
“Lain kali, kalau nyebrang jalan, lihat-lihat dulu. Apalagi kalau kamu sendirian.” Begitu ucapnya saat telah sampai di dekat mobil. Tepat sekali dengan montir bernama Nanda itu telah selesai dengan pekerjaannya.
Lagi dan lagi, Najmi mengangguk paham. Selang beberapa menit, setelah menyerahkan upah dan berterimakasih, gadis itu dengan lekas memasuki mobilnya. Ia sudah sangat terlambat. Sementara Adibya memutuskan untuk mengiringi mobil Najmi dari belakang. Lelaki itu akan mengawasi Najmi di depan sana. Melesat membelah jalanan, berbelok pada setiap tikungan, hingga sampai dengan selamat di depan firma hukum.
“Nyampe juga lo, Mi.” Riski menyapa Najmi demikian saat baru masuk ke dalam ruang kerja. Gadis itu meringis. Kemudian menatap sedikit gugup saat mendapati Pak Bahar baru saja keluar dari ruangannya.
“Eh, Najmi.” Advokat senior tersebut menyapa Najmi yang merapikan rambut pendeknya. Semua karyawan tak ada yang heran. Sebab semalam, identitas gadis itu telah diketahui oleh Riyan dan Jessi. Yang mengundang tanya hanyalah bagi Puja dan Riski. Sapaan Pak Bahar pada gadis itu terdengar ramah dan seolah telah lama kenal.
“Gimana? Selasa cerah nggak?” tanya Bahar kemudian. Pria tua itu menarik sudut bibirnya untuk tersenyum. Namun Najmi tahu, bahwa sahabat ayahnya itu tengah meledeknya kali ini. Mustahil rasanya dua sahabat baik itu tidak saling berbagi cerita.
Tatapan Bahar pun beralih pada Adibya. “Cerah ‘kan, Dib?” tanyanya jahil.
“Iya, Pak. Cerah,” jawab Adib santai sembari duduk di bangku kerjanya. Lelaki itu sedikit melonggarkan dasinya hendak melanjutkan pekerjaan.
Jauh dari kesibukan tersebut, gadis yang merupakan bagian dari masa lalu Adibya hanya bisa terdiam sembari mendengarkan. Dia juga sibuk membuat somasi atas bimbingan Riyan. Sementara Jessi, si karyawan administrasi itu tengah sibuk membuat daftar somasi bulan lalu yang diabaikan oleh calon tergugat.
“Nanti setelah zuhur ada jadwal sidang di PN. Adib sama Puja ikut saya, ya?”
Adibya hanya diam. Namun Puja dengan lekas bersuara. “Baik, Pak.”
Najmi yang masih berdiri pun melirik tidak peduli. Memang sudah sewajarnya demikian. Semua pasti akan mendapat giliran untuk turun langsung ke lapangan.
“Saya juga ikut boleh nggak, Pak?” tanya Riski menyusul. Sesuai keinginan, dia juga maunya hari ini atau besok mendapatkan giliran.
“Oh, boleh sih. Ikut aja. Berarti nanti kita berempat ke PN.” Begitu putus Bahar. “Tapi dua puluh somasi harus selesai sebelum jam dua belas. Bisa?”
Sahutan menyanggupi dari Riski dan Puja pun terdengar bersemangat. Sementara Najmi memilih duduk untuk mengambil tempat terlebih dahulu. Bangkunya yang sengaja diatur tepat di samping Adibya pun membuatnya kesenangan.
Namun bahagia itu hanya sekejap menghampiri. Sebab apa yang diucapkan Adib kemudian kepadanya, membuat Najmi menatap Pak Bahar dengan tatapan tak menyangka. Bagaimana tidak, Bahar menyampaikan pada Adib, bahwasanya gadis itu harus menyelesaikan sepuluh somasi sebagai bentuk hukuman keterlambatan di hari kedua magang.
“Makanya tadi saya suruh kamu makan dulu. Biar fokus,” bisik Adibya menahan senyumnya. “Semangat!”
Raut wajah Najmi pun berubah sebal. Jadi ini maksud sebenarnya? Ah, bikin bad mood saja!
“Bantuin dong...” pinta Najmi dengan nada frustasi.
Adibya terkekeh pelan. “Yang tadi malam sudah dipelajari, kan, format dan strukturnya?”
Najmi mengangguk cepat. “Udah. Tapi tetap aja, bantuin...” pintanya lagi.
“Iya. Nanti saya bimbing. Kalau ada yang ragu, tanya aja,” sahut Adibya yang kemudian melanjutkan pekerjaannya mempersiapkan berkas untuk siang nanti.
“Makasih, Mas Adib.” Najmi berucap. Ia telah mengubah panggilannya lagi pada Adibya.
Hadirmu itu sesuatu yang baru. Namun terasa sangat lekat seolah kita telah lama dekat.
Narasi 4 ; Lofarsa
Karya Rofenaa
© ebbyyliebe